Anda di halaman 1dari 15

KEBIJAKAN POROS MARITIM DUNIA ERA PEMERINTAHAN

PRESIDEN JOKO WIDODO

Oleh:

La Ode Muhammad Fandi


NIM. A1F1 16 029

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Wawasan Kebangasaan

Program Studi PENJASKESREK


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Halu Oleo
Kendari
2017
I. PENDAHULUAN

Dalam sejarah maritim Asia, jalur yang ditempuh pedagang China, Jalur
Sutra, terdiri dari darat dan laut. Jalur darat mempunyai rute yang melalui China,
Asia Tengah, India, dan Asia Barat. Jalur laut merupakan kelanjutan dari jalur
darat yang dimulai dari Teluk Persia sampai Laut Merah. Selain itu, jalur laut juga
dapat ditempuh dari Teluk Benggala sampai ke Teluk Persia (Marsetio, 2014: 3).
Indonesia merupakan negara maritim dan sudah menjadi bagian dari jalur
perdagangan laut yang penting sejak masa prasejarah, khususnya di Selat Malaka.
Namun, hubungan perdagangan Nusantara dengan China dan India baru dimulai
pada abad ke-3 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan tulisan dari Fa-Hsien, yang
berlayar dari India ke China melalui Jawa (Marsetio, 2014: 5).
Walaupun Indonesia merupakan negara maritim sejak masa prasejarah,
pemanfaatan potensi ekonomi laut masih belum maksimal karena pemerintah
tidak terlalu serius menggarap sektor kelautan dan perikanan (Aziz, 2014: 6).
Pembangunan dan ekonomi Indonesia masih berbasis pada eksplorasi dan
pengolahan wilayah daratan, padahal perairan Indonesia lebih luas dan potensial
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut yang mendasari pemikiran
Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengembangkan visi poros maritim dunia.
Visi pembentukan poros maritim dunia tersebut tidak hanya menjadi
kebijakan dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Hal tersebut berkaitan dengan
kapal asing ataupun negara lain yang juga memerlukan wilayah perairan
Indonesia, tidak hanya untuk sebagai jalur pelayaran, tetapi juga sebagai tempat
melakukan bisnis. Apalagi kebijakan tersebut sudah dipaparkan Jokowi di dalam
East Asian Summit (EAS), yang merupakan forum interaksi pemimpin-pemimpin
dari pelbagai negara. Oleh karena itu, kebijakan pembentukan poros maritim
dunia merupakan kebijakan luar negeri Indonesia saat ini.
Pada dasarnya, kebijakan poros maritim dunia tersebut mendukung
pembentukan konektivitas nasional dan regional yang bertujuan untuk
menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2015,
Association of South East Asian Nations (ASEAN) akan melaksanakan Komunitas
ASEAN. Dalam pelaksanaan Komunitas ASEAN, konektivitas di tataran nasional
dan regional menjadi hal yang sangat penting. Apalagi Indonesia merupakan

1
negara kepulauan, sehingga konektivitas yang mampu menyatukan antarpulau
sangat diperlukan.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini mengangkat kebijakan pembentukan
poros maritim sebagai bagian kebijakan luar negeri Indonesia yang berdampak
lokal dan regional. Makalah ini menjelaskan mengenai kebijakan pembentukan
poros maritim dunia dalam konteks peningkatan konektivitas nasional dan
regional. Pembahasan kebijakan pembentukan poros maritim tersebut dianalisis
dengan menggunakan metode perspektif adaptif, sehingga tinjauannya didasarkan
pada kondisi internal, eksternal dan idiosinkratik dari Jokowi, sebagai Presiden
Indonesia saat ini.

II. PEMBAHASAN

A. Analisis Kebijakan Luar Negeri dengan Perspektif Model Adaptif


Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam menganalisis kebijakan
luar negeri suatu negara. Salah satunya adalah model perspektif adaptif. Analisis
dengan metode adaptif menggunakan asumsi yang menyatakan bahwa negara
melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Asumsi ini juga pendapat Rosenau
(1970) yang menyatakan bahwa negara merupakan entitas yang harus beradaptasi
terhadap lingkungannya untuk bertahan dan menjadi makmur (Thorson, 1973: 1).
Selain, lingkungan internal dan eksternal, kebijakan luar negeri juga
dipengaruhi oleh kepemimpinan atau rezim penguasa negara tersebut. Variabel
sejarah atau kebijakan luar negeri yang sebelumnya juga memengaruhi kebijakan
yang diberikan oleh rezim yang saat ini berkuasa.

Berdasarkan sikap rezim yang memerintah tersebut, Rosenau menyatakan


bahwa ada empat kemungkinan pola adaptasi yang dilakukan negara. Setiap pola
adaptasi tersebut mempunyai implikasi yang berbeda-beda dalam setiap
perubahan dan kesinambungan politik luar negeri suatu negara. Adapun keempat
pola adaptasi tersebut, yaitu:

1. preservative adaptation (bersikap responsif terhadap permintaan dan


perubahan di lingkungan eksternal dan internal);

2
2. acquiescent adaptation (bersikap responsif terhadap permintaan dan
perubahan di lingkungan eksternal);
3. intransigent adaptation (bersikap responsif terhadap permintaan dan
perubahan di lingkungan internal); dan
4. promotive adaptation (bersikap tidak peduli/responsif terhadap permintaan
dan perubahan yang terjadi baik di lingkungan internal maupun eksternal).
(Rosenau, 1991: 59).

B. Kebijakan Poros Maritim Dunia

Indonesia merupakan negara yang dua per tiga dari wilayah terdiri dari
perairan dan kaya sumber daya kelautan. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Soekarno, dalam salah satu pidatonya, Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat
jika mempunyai kemampuan perairan atau kelautan yang kuat, poros maritim juga
mempunyai tujuan yang sama. Indonesia akan dibentuk menjadi sebuah negara
maritim yang menjadi pusat aktivitas kelautan dunia
Kebijakan poros maritim merupakan salah satu agenda dan misi dari
Jokowi. Konsep pembentukan Indonesia poros maritim dunia terdiri dar lima pilar
utama yang disampaikan Jokowi dalam EAS. Kelima pilar tersebut, yaitu:
pembangunan kembali budaya maritim Indonesia; komitmen menjaga dan
mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut;
komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim;
melakukan diplomasi maritim untuk membangun bidang kelautan; dan
membangun kekuatan pertahanan maritim (Anonim, 2014e).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof
Chaniago, menyatakan bahwa Jokowi ingin menjadikan wilayah perairan
Indonesia sebagai wilayah teraman di dunia untuk semua aktivitas laut
(Muhamad, 2014: 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan poros maritim
tidak hanya berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, tetapi
juga peningkatan keamanan dan kenyamanan negara lain data berada di wilayah
Indonesia. Kebijakan poros maritim tidak hanya berkaitan dengan permasalahan
domestik, tetapi juga internasional.

3
Menurut Hasjim Djalal, Indonesia harus mampu mengelola dan
memanfaatkan kekayaan dan ruang laut untuk menjadi negara maritim. Indonesia
harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk
kesejahteraan bangsa dan kemajuan bangsa, serta membentuk keamanan laut yang
memadai untuk mencegah pelanggaran hukum (Muhamad, 2014: 6). Sementara
itu, di tataran diplomasi dan hubungan luar negeri, Indonesia harus mampu
melakukan diplomasi ekonomi maritim (Muhamad, 2014: 8). Diplomasi ekonomi
maritim menempatkan pemanfaatan potensi kelautan sebagai bagian dari
diplomasi dengan negara lain. Upaya diplomasi ini tidak hanya dapat
meningkatkan investasi di Indonesia, tetapi juga memperkuat hubungan kerja
sama dengan negara lain, terutama yang berada di wilayah Asia Tenggara.

C. Konektivitas Nasional dan Regional

Konektivitas yang dirancang oleh pemerintahan Susilo Bambang


Yudhoyono (SBY) adalah konektivitas nasional dengan visi Locally Integrated,
Globally Connected (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011: 36).
Upaya penguatan konektivitas nasional tersebut berpegang pada empat elemen
kebijakan, yaitu sistem logistik nasional, sistem transportasi nasional,
pembangunan daerah, serta teknologi dan informasi (Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, 2011: 33). Konektivitas nasional tersebut tidak hanya
menghubungkan antarpulau di Indonesia, tetapi juga pada tataran regional dan
internasional. Konektivitas tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok,
yaitu konektivitas intrakoridor, pengembangan interkoridor, dan perdagangan
logistik internasional (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011: 38).

D. Analisis Kebijakan Poros Maritim Dunia dalam Konteks Peningkatan


Konektivitas Nasional dan Regional

Ada empat variabel yang dibahas untuk menunjukkan dukungan


lingkungan terhadap kebijakan poros maritim, khususnya dalam konteks
peningkatan konektivitas nasional dan regional.

4
a. Kondisi Internal

Kondisi internal Indonesia dapat ditinjau melalui tiga aspek, yaitu


kapabilitas nasional, sumber daya militer, ekonomi, dan politik, serta kapastas
untuk melakukan collective action. Pada aspek kapabilitas nasional, Indonesia
menunjukkan kemampuan untuk mengelola wilayah perairannya. Jumlah
penduduk yang besar dengan wilayah perairan yang luas dan didukung sumber
daya kelautan dalam jumlah yang besar, Indonesia dapat menjadi negara
maritim yang terkuat. Apalagi posisi perairan Indonesia yang sangat strategis
dan menjadi jalur perdagangan negara lain.
Indonesia mempunyai pantai sepanjang 54.716 km yang melintasi
Samudera Hindia, Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, Laut
Maluku, Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor dan wilayah kecil
lainnya. Wilayah perairan indonesia yang sangat luas tersebut dibentuk
menjadi Sea Lines of Communication (SLoC) dan tiga Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI). SLoC berlaku untuk perairan Selat Malaka, ALKI 1
meliputi Selat Sunda, ALKI 2 meliputi Selat Lombok dan Makassar, dan
ALKI 3 meliputi Selat Ombai Wetar (Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, 2011: 33). Kelima selat yang dibentuk menjadi SLoC dan
ALKI tersebut merupakan daerah yang menjadi jalur utama pelayaran kapal-
kapal dagang dan sipil dunia.
Pada aspek kapabilitas militer, ekonomi, dan politik, Indonesia masih
belum mempunyai kemampuan pengamanan laut yang memadai. Pengamanan
laut Indonesia masih sangat terbatas. Komposisi kekuatan TNI AL yang
dibutuhkan dalam tataran Minimum Essential Force (MEF), terdiri dari 151
KRI, 54 pesawat udara, dan 333 Ranpur yang memiliki kesiapan tempur
dengan teknologi terkini, serta pasukan 3 BTP Marinir, 1 Yonif Siaga Ibu
Kota, 2 Yonif Kamdagri, an 18 Coastal Surveillance System (CSS) (Marsetio,
2014: 25). Sementara itu, kemampuan pengamanan laut Indonesia terbatas
pada ketersediaan bahan bakar untuk pengoperasian TNI AL. Dari 70 kapal
TNI AL, hanya ada 1012 kapal yang dapat beroperasi setiap hari. Sementara

5
itu, kapal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) hanya dapat beroperasi 60 hari setiap
tahunnya. (Anonim, 2014b: 5).

Tabel 1. Indikator Makroekonomi Indonesia

2011 2012 2013 2014 2015


Real GDP Growth 6,5 6,3 5,8 5,7 6,3
Inflation (CPI), period average 5,4 4,3 7,0 5,4 4,7
Short-term Interest Rate 6,9 5,9 6,1 7,3 6,4
Fiscal Balance (%GDP) -1,1 -1,9 -2,2 -2,2 -2,0
Current Account Balance ($ billion) 1,7 -24,4 -32,5 -26,8 -26,8
Current Account Balance (%GDP) 0,2 -2,8 -3,7 -3,1 -2,7
Sumber: The OECD Economic Outlook Vol. 2014/ 1.

Dalam tabel di atas, terlihat bahawa perekonomian Indonesia


menunjukkan perbaikan. Bahkan, perekonomian Indonesia diperkirakan akan
tetap mengalami peningkatan. Gambaran perekonomian Indonesia yang terus
menunjukkan perbaikan tersebut, merupakan faktor pendukung pelaksanaan
kebijakan poros maritim.
Namun, Indonesia tidak dapat mengabaikan keperluan biaya yang
tinggi dalam pembentukan poros maritim dunia. Indonesia membutuhkan
pelabuhan dan galangan kapal yang memadai. Untuk itu, Jokowi sudah
merencanakan pembangunan 24 pelabuhan baru dan industri galangan kapal.
Pembangunan industri galangan kapal Indonesia membutuhkan dukungan
fiskal untuk meningkatkan daya saing terhadap kapal impor (Anonim, 2014a:
1). Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelabuhan baru dan industri
galangan ini, sangat besar. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan kerja
sama dengan negara lain.
Pada aspek politik, kondisi perpolitikan Indonesia masih belum
terdukung dengan kinerja parlemen. Setelah dilantik pada 14 Mei 2014,
anggota parlemen masih disibukkan dengan pertikaian pembagian kursi
kekuasaan. Jika parlemen dapat menyelesaikan permasalahan tersebut
sebelum memasuki tahun 2015, kebijakan poros maritim dunia yang dibentuk
oleh Jokowi akan semakin menguat. Dukungan dari parlemen merupakan hal

6
yang krusial karena lembaga legislatif tersebut merupakan perwakilan dari
seluruh rakyat Indonesia.
Aspek kapasitas untuk melakukan collective action sudah mulai
terbangun di Indonesia. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pembangunan wilayah
Indonesia dibagi ke dalam enam koridor. Adapun koridor-koridor tersebut,
antara lain.

1. Koridor Ekonomi Sumatera, yang bertemakan Pusat Produksi dan


Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan Energi Cadangan Negara.
2. Koridor Ekonomi Jawa, yang bertemakan Pengendali Industri
Nasional dan Penyedia Layanan.
3. Koridor Ekonomi Kalimantan, yang bertemakan Pusat Produksi dan
Pengolahan Bahan Tambang dan Energi Cadangan Nasional.
4. Koridor Ekonomi Sulawesi, yang bertemakan Pusat Produksi dan
Pengolahan Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Pertambangan, serta
Minyak dan Gas Nasional.
5. Koridor Ekonomi BaliNusa Tenggara, yang bertemakan Pintu
Gerbang Pariwisata dan Dukungan Pangan Nasional.
6. Koridor Ekonomi PapuaKepulauan Maluku, yang bertemakan
Pusat Pengembangan Produksi Makanan, Perikanan, Energi dan
Pertambangan Nasional. (Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, 2011: 18)

Untuk menyatukan keenam koridor tersebut, pemerintah Indonesia


sebelumnya sudah merancang kebijakan konektivitas nasional. Selain itu,
keenam koridor tersebut juga dipersiapkan untuk memasuki tataran regional
dan global. Oleh karena itu, konektivitas yang dibangun Indonesia tidak hanya
bersifat lokal atau nasional, tetapi juga regional dan internasional.
Dengan konektivitas tersebut, Indonesia mempunyai kesiapan yang
matang untuk melakukan collective action di tingkat regional. Kesiapan ini
mendukung kebijakan poros maritim dunia. Apalagi di dalam MP3EI tersebut,
pembangunan wilayah perairan sebagai sarana penguatan konektivitas
nasional dan regional juga sudah diatur atau direncanakan.

7
b. Kondisi Eksternal

Kondisi eksternal Indonesia dapat ditinjau melalui sistem internasional


dan variabel eksternal. Sistem internasional masih bersifat anarkhi. Namun,
ada peningkatan kerja sama antarnegara untuk memperkuat kedudukan dalam
hubungan internasional. Hal ini yang mneyebabkan dunia menjadi multipolar
dengan penguatan regionalisme, termasuk yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara.
Pada variabel eksternal, Indonesia mendapatkan dukungan yang sangat
besar dari negara-negara mitra kerja, baik yang merupakan anggota ASEAN,
maupun bukan. Pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia tidak
hanya menjadi hal penting untuk ASEAN, tetapi juga negara di luar kawasan
Asia Tenggara. Amerika Serikat menawarkan bantuan pengawasan untuk
mengatasi penangkapan ikan secara ilegal, sedangkan Kanada menawarkan
bantuan pendampingan untuk menghitung stok ikan di perairan Indonesia
(Anonim, 2014d: 19). Bahkan, Bremen yang merupakan salah satu kota
pelabuhan paling ramai di dunia juga tertarik mengadakan kerja sama
pembangunan poros maritim dengan Indonesia.
Bremen merupakan salah satu kota di Negara Bagian dari Republik
Federal Jerman, tertarik untuk meningkatkan intensivitas kerja sama dengan
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pembangunan 24 pelabuhan baru
di Indonesia. Bremen mempunyai kapabilitas di sektor pelabuhan dan industri-
industri pembangunan kapal, kendaraan, penerbangan, perikanan, dan
makanan (Anonim, 2014f). Minat Kota Bremen tersebut menunjukkan bahwa
pembangunan poros maritim dunia menjadi perhatian seluruh masyarakat
internasional.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan mengenai lingkungan
eksternal Indonesia di bidang kelautan adalah permasalahan Laut Tiongkok
Selatan. Wilayah tersebut berbatasan langsung dengan kawasan perairan
Indonesia. Wilayah yang sangat rawan konflik tersebut dapat menjadi
ancaman pelaksanaan kebijakan poros maritim Indonesia. Apalagi berkaitan
dengan pembangunan konektivitas internasional.

8
Apalagi Tiongkok menyatakan bahwa ide pembentukan poros maritim
dunia di Indonesia seiring dengan rencana pembangunan Jalur Sutera Maritim
XXI yang sudah dipersiapkannya (Anonim, 2014c: 8). Pembangunan Jalur
Sutera Maritim XXI dapat dipastikan menggunakan wilayah Laut Tiongkok
Selatan. Jika Indonesia menerima kerja sama yang ditawarkan Tiongkok
terkait pembangunan Jalur Sutera tersebut, Indonesia akan menghadapi
negara-negara lain yang bersengketa. Hal tersebut mengancam
keberlangsungan pembangunan kawasan maritim Indonesia dan menghambat
pencapaian visi pembentukan poros maritim dunia.
Dalam konteks lingkungan eksternal, Indonesia mempunyai sejumlah
tantangan praktis yang terjadi di perairan Indonesia. Salah satunya adalah
pencurian ikan. Ada sejumlah daerah rawan pencurian ikan. Daerah tersebut,
antara lain Perairan Natuna, Perairan Natuna Barat (Kepulauan Riau), Laut
Arafuru Selatan, Bitung Utara, Kepala Burung (Papua Barat), Samudera
Hindia, serta Laut Segitiga Emas yang menghubungkan Indonesia, Thailand,
dan Malaysia. Hasil pencurian tersebut dijual ke negara Thailand, Filipina, dan
Vietnam. Kerugian yang disebabkan oleh pencurian ikan tersebut mencapai
Rp 101,04 triliun per tahun. Untuk menangani permasalahan tersebut, Menteri
Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, memberlakukan kebijakan
moratorium kapal yang berkapasitas 30 gross ton sejak tanggal 3 November
2014. (Kristiadi, 2014: 2)
Permasalahan lainnya adalah perbatasan laut yang masih belum dapat
diselesaikan dan ancaman-ancaman konvensional, terutama yang berasal dari
tindak kejahatan transnasional (Muhamad, 2014: 67). Permasalahan-
permasalahan tersebut merupakan tantangan sekaligus hambatan dalam
pencapaian kebijakan pembentukan poros maritim dunia. Sebagaimana tujuan
pembentukan poros maritim dunia, yaitu untuk menjadikan wilayah perairan
Indonesia sebagai jalur laut teraman di dunia, Indonesia harus mampu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama yang bekaitan
dengan keamanan perairan.

c. Idiosinkratik Joko Widodo

9
Menurut Jokowi, permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia, yaitu merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi
perekonomian nasional, serta merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian
bangsa (KPU, 2014: 1). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Jokowi
menyusun visi yang berbunyi:terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri
dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Visi tersebut ditempuh
melalui misi sebagai berikut:
1. mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan
wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan
sumber daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia
sebagai negara kepulauan;
2. mewujudkan masyarakat maju, keseimbangan dan demokratis
berlandaskan negara hukum;
3. mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri
sebagai negara maritim;
4. mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan
sejahtera;
5. mewujudkan bangsa yang berdaya saing;
6. mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; dan
7. mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
(KPU, 2014: 6)

Berdasarkan misi tersebut, permasalahan maritim merupakan fokus


utama pemerintahan Jokowi. Tiga dari tujuh misi yang disampaikan Jokowi,
merujuk pada upaya pembangunan kekuatan maritim sebagai bagian dari
identitas bangsa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Jokowi mempunyai
keseriusan dalam membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia.
d. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pemerintahan Terdahulu

Ada enam presiden yang pernah memerintah Indonesia. Presiden


Soekarno menggagas adanya pembangunan kekuatan maritim. Gagasan
tersebut belum dapat direalisasikan pada masa pemerintahannya, tetapi sudah
menjadi dasar untuk kebijakan saat ini. Bertentangan dengan gagasan

10
Soekarno, pembangunan pada masa Soeharto lebih bersifat land minded.
Pembangunan wilayah darat lebih diutamakan karena perhatian dari kebijakan
Soeharto adalah permasalahan pertanian dan pangan.
Era pemerintahan Habibie tidak menunjukkan kebijakan tertentu untuk
pengelolaan lahan. Reformasi yang baru saja bergulir dan kondisi domestik
yang belum stabil serta permasalahan Timor Timur membuat pengelolaan
lahan menjadi terabaikan.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur), dibentuk
Departemen Maritim, yang saat ini disebut dengan Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Pembentukan departemen ini menunjukkan bahwa Gusdur
mempunyai perhatian khusus di bidang maritim. Sementara itu, era
pemerintahan Megawati tidak menunjukkan kemajuan yang berarti mengenai
dalam bidang maritim.
Era pemerintahan SBY tidak mengangkat isu maritim sebagai bagian
utama dari kebijakannya. Namun, perhatian terhadap isu maritim sudah
tertuang dalam MP3EI. Strategi pengembangan potensi maritim juga sudah
dimuat di dalam MP3EI yang dibentuk pada tahun 2011. MP3EI inilah yang
menjelaskan mengenai konektivitas nasional dan regional serta konsep
pengamanan laut Indonesia.

Sementara itu, variabel kondisi eksternal juga dinilai mendukung


kebijakan poros maritim. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dukungan dari
pelbagai negara, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Kanada. Walaupun kerja
sama tersebut mempunyai ancaman tertentu
Dukungan dari sejumlah negara besar, seperti Amerika Serikat, Kanada,
Jerman, dan Tiongkok merupakan kekuatan untuk Indonesia dalam melaksanakan
kebijakan poros maritim dunia. Walaupun Indonesia masih terdapat sejumlah
permasalahan, seperti konflik antarnegara di Laut Tiongkok Selatan dan
penentuan batas laut yang belum selesai, kondisi eksternal masih menunjukkan
dukungan terhadap kebijakan poros maritim.
Ide pembentukan poros maritim yang berasal dari Jokowi menunjukkan
keyakinannya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat.

11
Kemampuan Jokowi dalam promosi potensi Indonesia juga merupakan
pendukung pelaksanaan kebijakan poros maritim.

Dalam tabel tersebut, nilai 0 diberikan pada variabel yang menyimbolkan


kebijakan B.J. Habibie. Hal ini disebabkan oleh minimnya masa kepemimpinan
dan tidak ada kebijakan khusus yang dikeluarkan dalam situasi krisis
multidimensional. Bertentangan dengan Megawati, walaupun tidak ada kebijakan
yang menggambarkan perhatian pemerintahannya pada masalah pengelolaan
wilayah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan poros maritim dapat
mencapai hasil yang optimal walaupun masih ada sejumlah permasalahan yang
harus diselesaikan.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan


poros maritim dunia dapat mencapai hasil yang optimal, termasuk untuk
meningkatkan konektivitas nasional dan regional. Pelbagai variabel yang
memengaruhi pelaksanaan kebijakan poros maritim, menunjukkan dukungan
terhadap kebijakan tersebut. Namun, ada sejumlah permasalahan maritim yang
diwariskan dari pemerintahan sebelumnya dan harus segera diatasi oleh
pemerintahan Jokowi. Penyelesaian masalah kemaritiman tersebut dapat
mendorong optimalisasi pencapaian kebijakan poros maritim dunia.

12
Daftar Pustaka

Anonim. (2014a). Industri Galangan Kapal: Usulan Insentif Fiskal Mentah Sejak
2006 dalam Harian Kompas, No. 126 Tahun ke-50, 6 November 2014.
Anonim. (2014b). Pengamanan Laut hanya 30 Persen: Kekurangan BBM Jadi
Masalah Utama dalam Harian Kompas, No. 126 Tahun ke-50, 6
November 2014.
Anonim. (2014c). Perkenalkan Poros Maritim: Presiden Joko Widodo
Dijadwalkan Jadi Pembicara Utama di APEC dalam Harian Kompas, No.
126 Tahun ke-50, 6 November 2014.
Anonim. (2014d). AS dan Kanada Siap Bantu Pengawasan dalam Harian
Kompas, No. 126 Tahun ke-50, 7 November 2014.
Anonim. (2014e). Di EAS, Jokowi Beberkan Lima Pilar Poros Maritim Dunia
dalam www.antaranews.com yang diakses pada 23 November 2014.
Anonim. (2014f). Indonesia-Bremen Perkuat Kerjasama Pelabuhan dan Maritim
dalam www.kemlu.go.id, yang diakses pada 23 November 2014.
APCO. (2014). A Jokowi Presidency: Politics, Government and Business Under
Indonesias Future Presidentdalam APCO Worldwide, 24 Juli 2014.
Aziz, Munawir. (2014). Tantangan Poros Maritim Jokowi dalam Harian Suara
Merdeka, 18 Oktober 2014.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2011.
Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic
Development. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia.
KPU. (2014a). Daftar Riwayat Hidup Joko Widodo dalam www.kpu.go.id, yang
diakses 23 November 2014.
KPU. (2014b). Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian: Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014
dalam www.kpu.go.id, yang diakses 23 November 2014.

13
Kristiadi. (2014). Moratorium Kapal Diapresiasi dalam Harian Media
Indonesia, No. 12239 Tahun XLV, 3 November 2014.
Marsetio. (2014). Sea Power Indonesia. Jakarta: Universitas Pertahanan.
Muhamad, Simela Victor. (2014). Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia
dalam Info Singkat Hubungan Internasional, Vol. VI, No.
21/I/P3DI/November/2014.
OECD. 2014. The OECD Economic Outlook, Vol. 2014/1. Paris: OECD
Publishing.
Rosenau, James N. 1981. The Study of Political Adaptation: Essays on the
Analysis of World Politics. New York: Nichols Publishing.
Thorson, Stuart J. 1973. Adaptation and Foreign Policy Theory dalam Sage
International Yearbook of Foreign Policy Studies Research Paper No. 18.

14

Anda mungkin juga menyukai