Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hingga saat ini penyakit Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, hal ini dapat dilihat
dengan meningkatnya angka kesakitan diare dari tahun ke tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal setiap
tahun karena diare, sebagian kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Parashar, 2003). Menurut WHO, di
negara berkembang pada tahun 2003 diperkirakan 1,87 juta anak balita meninggal karena diare, 8 dari 10 kematian
tersebut pada umur < 2 tahun. Rata-rata anak usia < 3 tahun di negara berkembang mengalami episode diare 3 kali
dalam setahun. (WHO, 2005). Hasil survey Subdit diare angka kesakitan diare semua umur tahun 2000 adalah
301/1000 penduduk, tahun 2003 adalah 374/1000 penduduk, tahun 2006 adalah 423/1000 penduduk. Kematian
diare pada balita 75,3 per 100.000 balita dan semua umur 23,2 per 100.000 penduduk semua umur (Hasil SKRT
2001). Diare merupakan penyebab kematian no 4 (13,2%) pada semua umur dalam kelompok penyakit menular.
Proporsi diare sebagai penyebab kematian nomor 1 pada bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%)
(Hasil Riskesdas 2007).

B. Tujuan

Umum :

Menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare bersama lintas program dan sektor terkait.

Khusus :

1. Tercapainya penurunan angka kesakitan.


2. Terlaksananya talalaksana diare sesuai standar.
3. Diketahuinya situasi epidemiologi dan besarnya masalah penyakit diare di masyarakat,
sehingga dapat dibuat perencanaan dalam pencegahan, penanggulangan maupun
pemberantasannya di semua jenjang pelayanan.
4. Terwujudnya masyarakat yang mengerti, menghayati dan melaksanakan hidup sehat melalui
promosi kesehatan kegiatan pencegahan sehingga kesakitan dan kematian karena diare dapat
dicegah.
5. Tersusunnya rencana kegiatan Pengendalian Penyakit Diare di suatu wilayah kerja yang
meliputi target, kebutuhan logistik dan pengelolaannya.

C. Kebijakan

Pedoman ini diharapkan dapat a) melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar, baik di Sarana Kesehatan
maupun masyarakat/rumah tangga, b) melaksanakan Surveilans Epidemiologi dan Penanggulangan KLB Diare, c)
mengembangkan pedoman pengendalian penyakit diare, d) meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas
dalam pengelolaan program yang meliputi aspek manajerial dan tehnis medis, e) mengembangkan jejaring lintas
program dan sektor di pusat, propinsi dan kabupaten/kota, f) meningkatkan pembinaan tehnis dan monitoring untuk
mencapai kualitas pelaksanaan pengendalian penyakit diare secara maksimal, dan g) melaksanakan evaluasi untuk
mengetahui hasil kegiatan program dan sebagai dasar perencanaan selanjutnya.

D. STRATEGI

1. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana Kesehatan melalui Lima
Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE)
2. Meningkatkan tatalaksana penderita diare di rumah tangga yang tepat dan benar
3. Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB Diare
4. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
E. KEGIATAN

1. Tatalaksana Penderita Diare


2. Surveilans Epidemiologi
3. Promosi Kesehatan
4. Pencegahan Diare
5. Pengelolaan Logistik
6. Pemantauan dan Evaluasi

BAB II
TATALAKSANA KASUS DIARE
A. TUJUAN

1. Mencegah dehidrasi
2. Mengobati dehidrasi
3. Mencegah gangguan nutrisi dengan memberikan makan selama dan sesudah diare
4. Memperpendek lamanya sakit dan mencegah diare menjadi berat

B. PEMBAGIAN DIARE
B.1. Diare Akut Cair

1. Batasan

Diare akut adalah buang air besar yang frekuensinya lebih dari 3 kali per hari dengan konsistensi cair dan
berlangsung kurang dari 7 hari.

Diare akut adalah buang air dengan konsistensi cair yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3
kali atau lebih) per hari dan berlangsung kurang dari 7 hari.

Pada neonatus yang mendapat ASI, diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi lebih sering (biasanya 5-6
kali per hari) dengan konsistensi cair.

2. Etiologi

Secara klinis penyebab diare akut dibagi dalam 4 kelompok, tetapi yang sering ditemukan di lapangan ataupun klinis
adalah diare yang disebabkan infeksi terutama infeksi virus. Untuk mengenal penyebab diare akut digambarkan
dalam bagan berikut:

PENYEBAB PENYAKIT DIARE AKUT


Infeksi masih merupakan penyebab utama diare. Pada penelitian yang dilakukan oleh IRSN dan Litbangkes pada
pasien anak di 6 Rumah Sakit disebabkan terutama oleh Rotavirus dan Adenovirus (70%) sedangkan infeksi karena
bakteri hanya 8,4%

Kerusakan vili usus karena infeksi virus (rotavirus) mengakibatkan berkurangnya produksi enzim laktase sehingga
menyebabkan malabsorpsi laktosa.

Diare karena keracunan makanan disebabkan karena kontaminasi makanan oleh mikroba misalnya: clostridium
botulinum, Stap. Aureus dll (lihat Lampiran 2.1).

DTA terjadi karena penggunaan antibiotika selama 3 sampai 5 hari yang menyebabkan berkurangnya flora normal
usus sehingga ekosistem flora usus didominasi oleh kuman patogen khususnya clostridium difficile. Angka kejadian
DTA berkisar 20-25%.

3. Epidemiologi

Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada anak
berumur kurang dari 5 tahun (balita). Di negara berkembang, sebesar 2 juta anak meninggal tiap tahun karena diare,
dimana sebagian kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Parashar, 2003). Berdasarkan laporan WHO,
kematian karena diare di negara berkembang diperkirakan sudah menurun dari 4,6 juta kematian pada tahun 1982
menjadi 2 juta kematian pada tahun 2003 (WHO, 2003), Di Indonesia, angka kematian diare juga telah menurun
tajam. Berdasarkan data hasil survei rumah tangga, kematian karena diare diperkirakan menurun dari 40% pada
tahun 1972 hingga 26,9% pada tahun 1980, 26,4% tahun 1986 hingga 13% tahun 2001 dari semua kasus kematian.
Walaupun angka kematian karena diare telah menurun, angka kesakitan karena diare tetap tinggi baik di negara
maju maupun negara berkembang. Di Indonesia, dilaporkan bahwa tiap anak mengalami diare sebanyak 1,3 episode
per tahun (Depkes, 2003). Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2002 2003, prevalensi diare
pada anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun di Indonesia adalah: laki-laki 10,8 % dan perempuan 11,2 %.
Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6 11 bulan (19,4%), 12 23 bulan (14,8%), dan 24 35
bulan (12,0%) (Biro Pusat Statistik, 2003).

Kesakitan balita karena diare makin meningkat sehingga dikhawatirkan terjadi peningkatan kasus Gizi buruk

B.2. Patofisiologi

1. Diare sekretorik

Disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang terjadi akibat gangguan absorpsi natrium oleh
vilus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida tetap berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan
elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair. Diare sekretorik ditemukan pada diare yang disebabkan oleh infeksi
bakteri akibat rangsangan pada mukosa usus oleh toksin, misalnya toksin E.coli atau V.cholera 01.

2. Diare Osmotik

Mukosa usus halus adalah epitel berpori yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit dengan cepat untuk
mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dan cairan ekstrasel. Oleh karena itu, bila di lumen usus
terdapat bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap akan menyebabkan diare, Bila bahan tersebut adalah
larutan isotonik, air atau bahan yang larut maka akan melewati mukosa usus halus tanpa diabsorpsi sehingga terjadi
diare.

B.3. Prinsip Tatalaksana Penderita Diare

Prinsip tatalaksana penderita diare adalah LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang terdiri atas :

1. Oralit dengan Osmolaritas Rendah

Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan Oralit. Bila tidak tersedia,
berikan minuman lebih banyak cairan rumah tangga yang mempunyai osmolaritas rendah yang dianjurkan seperti air
tajin, kuah sayur dan air matang.

Macam cairan yang digunakan bergantung pada:

1. Kebiasaan setempat dalam mengobati diare


2. Tersedianya cairan sari makanan yang cocok
3. Jangkauan pelayanan kesehatan

Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas kesehatan atau sarana
kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat.

2. Zinc
Di negara berkembang, umumnya anak sudah mengalami defisiensi Zinc. Bila anak diare, kehilangan Zinc bersama
tinja, menyebabkan defisiensi menjadi lebih berat.

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Lebih dari 300 macam enzim dalam tubuh
memerlukan zinc sebagai kofaktornya, termasuk enzim superoksida dismutase (Linder, 1999). Enzim ini berfungsi
untuk metabolisme radikal bebas superoksida sehingga kadar radikal bebas ini dalam tubuh berkurang. Pada proses
inflamasi, kadar radikal bebas superoksida meningkat, sehingga dapat merusak berbagai jenis jaringan, termasuk
jaringan epitel dalam usus (Cousins et al, 2006). Zinc juga berefek dalam menghambat enzim iNOS (inducible
nitric oxide synthase), dimana ekspresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel
usus. Zinc juga berperan dalam epiteliasisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama
sebagian besar kejadian diare. Kerusakan morfologi epitel usus antara lain terjadi pada diare karena rotavirus yang
merupakan penyebab terbesar diare akut (Wapnir, 2000).

Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat Gizi burukarahan diare, mengurangi
frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan
berikutnya (Black, 2003). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa zinc mempunyai efek protektif terhadap diare
dan menurunkan kekambuhan diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot studi menunjukkan bahwa zinc
mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat, 1998, Soenarto, 2007). Berdasarkan bukti ini, semua anak
dengan diare harus diberi zinc segera saat anak mengalami diare.

Zinc diberikan pada setiap diare dengan dosis, untuk anak berumur kurang dari 6 bulan diberikan 10 mg ( tablet)
zinc per hari, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 6 bulan diberikan 1 tablet zinc 20 mg. Pemberian zinc
diteruskan sampai 10 hari, walaupun diare sudah membaik. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kejadian diare
selanjutnya selama 3 bulan ke depan.

Cara pemberian tablet zinc:

Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang, atau ASI.

3. Pemberian ASI / makanan

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap
kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi
ASI. Anak yang minum susu formula diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi
yang telah mendapat makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna sedikit demi sedikit tetapi
sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan
berat badan anak

4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi

Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare yang memerlukannya (8,4%). Antibiotik
hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah (sebagian besar karenashigellosis), suspek kolera, dan
infeksi-infeksi di luar saluran pencernaan yang berat, seperti pneumonia. Walaupun demikian, pemberian antibiotik
yang irasional masih banyak ditemukan. Sebuah studi melaporkan bahwa 85% anak yang berkunjung ke Puskesmas
di 5 propinsi di Indonesia menerima antibiotik (Dwiprahasto, 1998).

Antibiotika Yang Digunakan Dalam Pengobatan Kolera

Antibiotikaa
(diberikan selama 3 hari) Anak-anak

Doxycline
Dosis tunggal 4mg/kgBB/hari

Tetracycline
4 x sehari 12,5 mg/kg BB

Trimethoporim (TMP)
TMP 5 mg/kg BB
dan
Sulfamethoxazole (SMX)
SMX 25 mg/kgc
2 x sehari

Obat-obatan anti-diare tidak boleh diberikan pada anak dengan semua macam diare karena terbukti tidak
bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi
ataupun meningkatkan status gizi anak, sebagian menimbulkan efek samping berbahaya, terkadang berakibat fatal.
Obat antiprotozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

5. Pemberian Nasihat

Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasihat tentang :

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah.

1. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan:

Diare lebih sering!


Muntah berulang!
Sangat haus!
Makan atau minum sedikit!
Timbul demam!
Tinja berdarah!
Tidak membaik dalam 3 hari!

B.4. Prosedur Tatalaksana Penderita Diare

1. Riwayat penyakit
Berapa lama anak diare?
Berapa kali diare dalam sehari?
Adakah darah dalam tinja?
Apakah ada muntah? Berapa kali ?
Apakah ada demam?
Makanan apa yang diberikan sebelum diare?
Jenis makanan dan minuman apa yang diberikan selama sakit?
Obat apa yang sudah diberikan?
Imunisasi apa saja yang sudah didapat?
Apakah ada keluhan lain?
2. Menilai Derajat Dehidrasi

Tabel Penilaian Derajat Dehidrasi

A B C
PENILAIAN
Bila ada 2 tanda atau lebih

Lihat :
Keadaan Umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai atau

tidak sadar

Mata Normal Cekung Cekung

Rasa Haus (beri air Minum biasa, Haus,ingin minum Malas minum atau
minum) Tidak Haus banyak tidak bisa minum

Raba : Kembali sangat


Turgor Kulit Kembali cepat Kembali lambat Lambat (lebih dari 2
detik)

Tentukan Derajat Dehidrasi Ringan- Dehidrasi berat


Tanpa dehidrasi Sedang (dehidrasi
Dehidrasi tidak berat)

Rencana Pengobatan Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C


Catatan : Hati-hati dalam mengartikan cubitan kulit, karena :
pada penderita yang gizinya buruk, kulitnya mungkin saja kembali dengan lambat walaupun
dia tidak dehidrasi
pada penderita yang obesitas (terlalu gemuk), kulitnya mungkin saja kembali dengan cepat
walaupun penderita mengalami dehidrasi.

3. Menentukan Rencana Pengobatan

Berdasarkan hasil penilaian derajat dehidrasi gunakan Bagan rencana pengobatan yang sesuai :

1. Rencana terapi A untuk penderita diare tanpa dehidrasi di rumah


2. Rencana terapi B untuk penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang (tidak berat) di
Sarana Kesehatan untuk diberikan pengobatan selama 3 jam
3. Rencana terapi C untuk penderita diare dengan dehidrasi berat di Sarana Kesehatan dengan
pemberian cairan Intra Vena.

1. A. DIARE BERMASALAH

Diare bermasalah terdiri dari diare berdarah, kolera, diare berkepanjangan (prolonged diarrhea), diare persisten/
kronik dan diare dengan malnutrisi.

C.1. DIARE BERDARAH

1. Batasan
Diare berdarah atau disentri adalah diare dengan darah dan lendir dalam tinja dapat disertai dengan adanya
tenesmus.

Disentri berat adalah diare berdarah dengan komplikasi.

2. Etiologi dan Epidemiologi

Diare berdarah dapat disebabkan oleh kelompok penyebab diare, seperti oleh infeksi bakteri, parasit, alergi protein
susu sapi, tetapi sebagian besar disenteri disebabkan oleh infeksi bakteri. Penularannya secara fekal oral, kontak
dari orang ke orang. Infeksi ini menyebar melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan biasanya terjadi pada
daerah dengan sanitasi dan hygiene perorangan yang buruk.

Di Indonesia penyebab disenteri adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter jejuni, Escherichia coli(E.coli),
dan Entamoeba histolytica. Disenteri berat umumnya disebakan oleh Shigella dysentriae, Shigella
flexneri, Salmonella dan Entero Invasive E.coli (EIEC).

Angka kejadian disenteri sangat bervariasi dibeberapa negara. Di Bangladesh selama 10 tahun (1974-1984) angka
kejadian disenteri berkisar antara 19,3%-42%. Di Thailand di laporkan disenteri merupakan 20% dari pasien rawat
jalan di rumah sakit anak di Bangkok. Di Indonesia dilaporkan dari hasil survei evaluasi tahun 1989-1990 diperoleh
angka kejadian disenteri sebesar 15%. Hasil survei pada balita di rumah sakit di Indonesia menunjukan proporsi
spesies Shigella sebagai etiologi diare :S. dysentriae 5,9%, S. flexneri 70,6%, S. boydii 5,9%, S. sonei 17,6%.
(Pakai hasil penelitian terbaru) Hasil penelitian Litbangkes dan Namru II tahun 2005-2007 shigella sonei 12%,
shigella flexneri 13%. . Meskipun proporsi S. dysentriae rendah, tetapi kita harus selalu waspada, karena S.
dysentriae dapat muncul sebagai epidemi karena higiene sanitasi lingkungan dan perorangan belum baik . Epidemi
ini juga dapat disebabkan oleh Shigella dysentriae yang telah resisten terhadap berbagai antibiotika. Proporsi
penderita dengan disenteri di Indonesia di laporkan berkisar antara 5-15%. Proporsi disentri berat belum diketahui.
Hasil survailans tahun 2005-2007 terhadap anak yang menderita diare di rumah sakit tipe A di Yogyakarta
ditemukan Shigella flexneri sebesar 1,5%, dan S. sonei sebesar 0,4%,,dimanaShigella merupakan bakteri
penyebab diare disenteri tertinggi (Putnam et al., 2007).

1. 1. Patogenesis

Faktor risiko yang menyebabkan beratnya disentri antara lain: gizi kurang, usia sangat muda, tidak mendapat ASI,
menderita campak dalam 6 bulan terakhir, mengalami dehidrasi, serta penyebab disentrinya, misalnya Shigella,
yang menghasilkan toksin dan atau multiple drug resistent.

Pemberian spasmolitik memperbesar kemungkinan terjadinya megakolon toksik. Pemberian antibiotika dimana
kuman penyebab telah resisten terhadap antibiotika tersebut akan memperberat manifestasi klinis dan
memperlambat sekresi kuman penyebab dalam fases penderita.

Shigella menghasilkan sekelompok eksotoksin yang dinamakan Shiga-toxin (St). kelompok toksin ini mempunyai 3
efek : neurotosik, sitotosik, dan enterotoksik. Beberapa bakteri enterik lain menghasilkan toksin dengan efek yang
sama, dinamakan Shiga like toxin (Slt). Toksin ini mempunyai dua unit yaitu unit fungsional yang menimbulkan
kerusakan dan unit pengikat yang menentukan afinitas toksin terhadap reseptor tertentu. Perbedaan unit inilah yang
menetapkan bentuk komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang muncul akibat toksin bersifat dose related. Dapat
dimengerti, kalau kita berhadapan dengan infeksi yang lebih besar Shiga-toxin ini dapat menimbulkan kerusakan
yang lebih berat kalau bekerja sama dengan endotoksin: lipopolisakarida (LPS) bakteri. Paparan lebih awal terhadap
LPS lebih mempercepat dan memperberat kerusakan, dalam arti kata lebih memperbesar kemungkinan munculnya
komplikasi.

Disamping itu infeksi Shigella dysentriae dan Shigella flexneri telah dibuktikan menurunkan imunitas, antara lain
disebabkan peningkatan aktifitas sel T supresor dan penekanan kemampuan fagositosis makrofag.
Infeksi Shigella menimbulkan kehilangan protein melalui usus yang tercermin dengan munculnya hipoalbuminemia,
juga disertai penurunan nafsu makan. Patogenesis penyakit ini akan mempermudah munculnya KEP(Gizi buruk) dan
infeksi sekunder.
1. 2. Gambaran Klinis

Diare pada disenteri umumnya diawali oleh diare cair, kemudian pada hari kedua atau ketiga baru muncul darah,
dengan maupun tanpa lendir, sakit perut yang diikuti munculnya tenesmus, panas disertai hilangnya nafsu makan
dan badan terasa lemah. Pada saat tenesmus terjadi, pada kebanyakan penderita akan mengalami penurunan
volume diarenya dan mungkin tinja hanya berupa darah dan lendir.Pada kondisi seperti ini perlu dipikirkan
kemungkinan invaginasi terutama pada bayi.

Gejala infeksi saluran napas akut dapat menyertai disenteri. Disenteri dapat menimbulkan dehidrasi, dari yang ringan
sampai dengan dehidrasi berat, walaupun kejadiannya lebih jarang jika dibandingkan dengan diare cair akut.
Komplikasi disenteri dapat terjadi lokal di saluran cerna, maupun sistemik.

1. 3. Komplikasi pada Saluran Cerna

1. Perforasi

Perforasi terjadi akibat vaskulitis atau ulkus transmural dan biasanya terjadi pada anak dengan KEP(Gizi buruk)
berat. Angka kejadian perforasi kecil. Pada penelitian di Bangladesh pada 173 kasus disenteri yang diotopsi
didapatkan hanya 3 kasus yang mengalami perforasi. Diagnosis ditegakkan secara klinis dan dibantu dengan
pemeriksaan radiologis berdasarkan temuan udara bebas intraperitoneal, serta ditemukannya tanda-tanda peritonitis.

1. Megakolon Toksik

Megakolon toksik biasanya terjadi pada pankolitis. Diduga Shiga-toxin yang bersifat neurotoksik berperan penting
dalam mempengaruhi motilitas usus, dimana terjadi penurunan motilitas kolon yang berat diikuti oleh distensi usus
yang berat. Keadaan ini terjadi terutama di sekitar ulkus transmural sehingga disebut multiple ulcers. Distensi dan
penurunan motilitas akan menyebabkan overgrowth bacteria/ bakteri tumbuh lampau, ballooning effect (usus
menggelembung), sehingga seluruh lapisan dinding menipis, terjadi penyempitan pembuluh darah yang
menimbulkan anoksia, melumpuhkan fungsi usus, serta memperlemah mekanisme pertahanan, sehingga gabungan
pankolitis dan megakolon toksik sering menimbulkan gejala sepsis.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis. Di Bangladesh dilaporkan 3% dari penderita disenteri yang
meninggal di rumah sakit dan diotopsi disertai dengan gejala ileus paralitik, sehingga harus dipikirkan sebagai
diagnosis banding megakolon toksik.

1. 4. Komplikasi Sistemik

1. Hipoglikemia

Komplikasi ini lebih sering terjadi pada Shigellosis dibanding penyebab disenteri lain. Hipoglikemia sangat berperan
dalam menimbulkan kematian. Hipoglikemia terjadi karena gagalnya proses glukoneogenesis. Secara klasik,
manifestasi klinis hipoglikemia adalah kaki tangan berkeringat dingin, takikardi dan letargi. Hipoglikemia berat dapat
menimbulkan perubahan kesadaran dan kejang. Tetapi gejala ini akan tersamar kalau ditemukan komplikasi lain. Jadi
pada tiap disenteri dengan komplikasi harus diperiksa kadar glukosa darahnya. Diagnosis ditegakkan melalui
pengukuran kadar gula darah.

1. Hiponatremia

Komplikasi ini juga banyak terjadi pada Shigellosis dibanding penyebab lain. Hiponatremia muncul akibat gangguan
reabsorpsi natrium di usus. Kematian pasien dengan hipoglikemia lebih sering dibanding hiponatremia. Manifestasi
klinis hiponatremia adalah hipotonia dan apati, kalau berat dapat menimbulkan kejang. Tetapi gejala ini juga akan
tersamar kalau ditemukan komplikasi lain. Jadi, pada tiap disentri dengan komplikasi harus diperiksa kadar natrium
darahnya. Sebaiknya sekaligus diperiksa juga kadar kalium darahnya.

1. Sepsis

Komplikasi ini paling sering menyebabkan kematian dibanding komplikasi lainnya. Data dari ICCDR,B menunjukkan
bahwa 28,8% dari 239 kasus kematian akibat Shigellosis meninggal karena sepsis. Pengertian sepsis saat ini telah
berubah. Dulu sepsis didefinisikan sebagai bakteremia yang disertai gejala klinis. Sekarang bakteremia tidak lagi
merupakan persyaratan diagnosis sepsis.

Bila ditemukan manifestasi umum infeksi yang disertai gangguan fungsi organ multipel (Sistemic Inflamatory
Response Syndrome/SIRS) yang dapat ditimbulkan oleh mediator kimiawi, endotoksin, eksotoksin atau
septikemianya sendiri. Manifestasi umum/gangguan fungsi organ multipel ini dapat berupa hiperpireksia, cutis
marmoratae (akibat distensi kapiler), menggigil, gaduh gelisah,dan proteinuria. Yang paling menonjol terjadinya
gangguan sirkulasi yang menimbulkan syok septik.

Gangguan fungsi organ multipel (MOD) ini akan berlanjut menjadi gagal organ multipel (MOF), syok menjadi
irreversibel. MOF hampir selalu diikuti kematian. Syok septik sangat sulit ditangani. Untuk mencegah kematian kita
harus mengambil tindakan intensif pada tahap awal, dimana baru muncul tanda umum infeksi dan gangguan fungsi
organ awal. Bakteremia pada disenteri dengan sepsis jarang yang disebabkan langsung oleh Shigella/kuman
penyebab disenteri lain. Lebih banyak disebabkan invasi bakteri enterik. Jadi dalam memilih antibiotika, disamping
memberikan antibiotika yang dapat membunuh penyebab disentrinya, kita juga harus memberikan antibiotika yang
dapat mengatasi bakteri enterik yang berinvasi ini.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis gejala umum infeksi serta gangguan fungsi organ multipel, dibantu
dengan temuan pemeriksaan penunjang: leukopenia atau leukositosis, disertai hitung jenis yang bergeser ke kiri,
adanya granulasi toksik, trombositopenia, anemia dan C-Reactive Protein positif. Juga terjadi gangguan faktor
pembekuan: penurunan kadar protombin, fibrinogen, faktor VIII, serta manifestasi Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) dan bakteremia.

1. Kejang dan Ensefalopati

Kejang yang muncul pada disenteri tentu saja dapat berupa kejang demam sederhana (KDS). Tetapi kejang dapat
merupakan bagian dari ensefalopati, dengan kumpulan gejala: hiperpireksia, penurunan kesadaran dan kejang, yang
dapat membedakannya dengan KDS. Ensefalopati muncul akibat ST/SLT. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan
klinis.

1. Sindrom Uremik Hemolitik

Sindrom ini ditandai dengan trias anemia hemolitik akibat mikroangiopati, gagal ginjal akut dan trombositopenia.
Anemia hemolitik akut ditandai dengan ditemukannya fragmentosit pada sediaan apus. Gagal ginjal akut ditandai
oleh oliguria, perubahan kesadaran, peningkatan kadar ureum dan kreatinin. Trombositopenia dapat menimbulkan
gejala perdarahan spontan. Manifestasi perdarahan juga dapat disebabkan oleh mikroangiopati, yang dapat berlanjut
menjadi Disseminated Intravasculair Coagulation (DIC). Kematian dapat disebabkan oleh terjadinya gagal ginjal
akut dan gagal jantung.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis serta pemeriksaan penunjang untuk memastikan adanya
trombositopenia, anemia hemolitik akut, serta peningkatan kadar ureum/kreatinin. Pada keadaan yang berat bisa
menyebabkan kematian karena gagal ginjal.

1. Pneumonia
Komplikasi Pneumonia bisa juga terjadi pada disenteri terutama yang disebabkan oleh Shigella karena penurunan
daya tahan tubuh menurun sehingga terjadi super infeksi. Dari laporan ICDDR,B pada penderita yang meninggal
karena disenteri, 32% ditemukan pneumonia setelah dilakukan otopsi.

1. g. Kurang Energi Protein/KEP (Gizi buruk)

Disentri terutama karena Shigella bisa menyebabkan gangguan gizi atau KEP pada anak yang sebelumnya gizi
kurang. Hal ini bisa terjadi karena asupan yang kurang, pemakaian kalori yang meningkat karena proses radang dan
hilangnya nutrien, khususnya protein selama diare (Protein Lossing Enteropathy). KEP sendiri mempermudah
terjadinya disenteri. Disenteri yang terjadi selama atau sesudah menderita campak sangat cepat menimbulkan gizi
buruk.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran berat badan serta kadar albumin darah secara berkala sehingga
dapat menggambarkan derajat progresifitas timbulnya KEP

1. 5. Indikasi Rawat Inap

Disenteri dengan faktor risiko menjadi berat merupakan indikasi rawat inap, antara lain anak dengan gangguan gizi
berat, umur kurang dari satu tahun, menderita campak pada enam bulan terakhir, disentri disertai dehidrasi berat dan
disenteri yang datang sudah dengan komplikasi.

1. 6. Tatalaksana Disenteri

Secara umum disenteri dikelola sama dengan kasus diare lain sesuai dengan acuan tatalaksana diare akut. Aspek
khusus penatalaksanaan disenteri adalah beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang masih sensitif
terhadap Shigella menurut pola setempat atau di negara tersebut. Obat lini pertama untuk disenteri adalah
Cotrimoksasol atau Ciprofloxaxin tergantung sensitifitas setempat sedangkan lini kedua adalah Cefixime.

Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dimana S. flexneri yang terbanyak, antibiotik yang sensitif (100%) antara lain
adalah siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, seftriakson, dan azitromisin. Trimetropim yang dulu disarankan
sebagai lini pertama sudah tidak sensitif (0%) lagi (Putnam et al, 2007). Sedangkan penelitian di Jakarta pada bulan
Juli hingga Oktober 2005 menunjukkan bahwaShigella sonnei dan Shigella flexneri sensitif terhadap
siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, dan sefiksim; sedangkan kotrimoksazol, kolistin, dan tetrasiklin sudah
mengalami resistensi (Elvira et al., 2007). Asam nalidiksat tidak banyak beredar di pasaran. Dosis siprofloksasin
untuk anak-anak adalah 15 mg/kgBB 2x perhari selama 3 hari, peroral. (WHO, 2005).

Penderita dipesan untuk kontrol kembali jika:

1. Tidak membaik selama 2 hari


2. Muncul tanda-tanda komplikasi yang mencakup panas tinggi, kejang, penurunan kesaradan,
tidak mau makan, menjadi lemah.

Pada kunjungan ulang, penderita yang tidak membaik pada hari kedua, antibiotik diganti pilihan kedua. Bila 2 hari
pemakaian antibiotik lini ke2 tidak membaik, maka antibiotik diganti dengan Metronidasol. Jika membaik antibiotik
diteruskan sampai 5 hari. Jika dalam 2 hari tidak membaik dengan Metronidasol, rujuk dan evaluasi ke Pusat
Rujukan yang lebih lengkap

Langkah diagnosis yang dapat dilakukan adalah :

1. Jika tidak membaik dengan ketiga antibiotik yang telah diberikan pikirkan penyebab lain yaitu:
alergi protein susu sapi, campylobacter jejuni dan Invaginasi.
1. Melakukan pemeriksaan mikroskopik tinja. Trofozoid Entamoeba atau Giardia mendukung
diagnosis Amubiasis atau Giardiasis. Leukosit dalam jumlah yang banyak (10/LPB) atau makrofag
mendukung diagnosis Shigella atau bakteri invasif lain. Telur Trichiuris, mengarahkan kita pada
peranan Trichiuris sebagai penyebab disentri, walaupun telur Trichiuris hanya ditemukan pada
penderita diare dengan jumlah kecil.

1. Melakukan pemeriksaan darah tepi. Leukositosis mendukung diagnosis Shigellosis atau


kemungkinan adanya infeksi sistemik (infeksi diluar saluran cerna).

1. Biakan Tinja. Lakukan biakan untuk Shigella, Salmonella, Camphylobacter dan E. coli pathogen.

Giardasis diberi metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari.

Infeksi Campylobacter diobati dengan eritromisin 10 mg/kgBB maksimum 500 mg per dosis
setiap 6 jam selama 5-7 hari.

Infeksi Salmonella diobati dengan kloramfenikol 50-75 mg/kgBB/hari maksimal 2 gram per hari
dibagi 4 dosis.

Infeksi Clostridium difficile diobati dengan metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis selama 7-10 hari.

Lakukan tatalaksana LINTAS Diare

1. 7. Penanganan Komplikasi

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 55 mg/dl pada Gizi buruk. Jika penderita tidak sadar, berikan 1
ml/kgBB, 10% glukosa intravena dengan drip selama 15 menit. Apabila tidak mempunyai glukosa intravena, maka
berikan 50 ml air gula lewat pipa nasogastrik.

Apabila anak sadar dan dapat menelan, beri 50 ml air peroral. Periksa kadar gula darah setelah 30 menit pemberian
gula di atas, bila masih rendah ulangi pemberian di atas, bila sudah normal, ulangi setelah 2 jam, apabila rendah,
maka ulangi lagi pemberiannya

1. Hiponatremia

Jika kadar Na kurang dari 120 meq/dl dilakukan intervensi khusus berupa pemberian NaCl 3%.

Jumlah kebutuhan Na dalam meq adalah :

(Kadar Na normal Kadar Na sekarang) x 0,3BB(kg)


(135 -120) x 0,3 x 15 kg =67,5 meq

1000 ml NaCl 3% mengandung 532 meq NaCl, sehingga jumlah NaCl 3% (dalam ml) yang dibutuhkan sama dengan
kebutuhan NaCl (dalam meq) = 67,5/532x1000ml= 126,8ml.
Untuk memudahkan perhitungan kebutuhan NaCl 3% adalah 67,5 dikalikan 2.

Cairan diberikan habis dalam waktu 2 jam. Jika kadar Na lebih dari 120 mg%, hiponatremia dapat diatasi dengan
pemberian oralit, atau cairan intravena dengan kadar Na yang relatif tinggi, misalnya Ringer Laktat atau NaCl
fisiologis.

c. Sepsis

Antibiotika harus diberikan secara parenteral. Harus diingat, spektrum antibiotik yang dipakai disamping untuk
membunuh Shigella, sekaligus ditujukan pada bakteri enterik. Pilihan antibiotika yang dapat dipakai adalah (dimulai
dari yang paling sederhana dan relatif lebih murah) :

Kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena 3 kali sehari dan gentamisin 5 mg/kgBB/hari,
dua kali sehari.
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari, intravena sekali sehari.
Seftazidim 100 mg/kg/BB/hari, intravena dua kali sehari.
Difenem 30 mg/kgBB/hari, intravena tiga kali sehari.

Pilihan tiga pertama sebaiknya ditambah dengan metronidazol (untuk kuman anaerob) yang diberikan secara drip
dengan dosis 8 mg/kgBB/hari.

Jika disertai dengan syok dan atau ensefalopati diberikan kortikosteroid, berupa deksametason dengan dosis 1-
3mg/kgBB/hari intravena. Semua penderita syok diberi oksigen. Syok diatasi dengan terapi cairan :

Ringer Laktat 20 ml/kgBB dalam 30 menit sampai 1 jam pertama.


Bila tekanan darah membaik, diteruskan dengan Ringer laktat dekstrosa 5% atau Ringer
dekstrosa untuk memenuhi kebutuhan cairan, sambil diobservasi, sehingga kecepatan pemberian
cairan dapat disesuaikan.
Bila tidak ada perbaikan, diberikan plasma atau plasma expander 10-20 ml/kgBB serta RL-
dekstrosa 10-20 ml/kgBB dalam 1 jam.
Bila tekanan darah belum membaik sebaiknya kecepatan cairan disesuaikan dengan tekanan
vena sentralis. Bila kita tidak mampu melakukannya, terapi cairan RL dekstrosa diteruskan.

d. Kejang dan Ensefalopati

Kejang biasanya karena kejang demam

Atasi demam dengan memberikan parasetamol 10 mg/kgBB/dosis.

Jika kejang lebih dari lima menit, maka mulai terapi.

Apabila hanya ada diazepam, berikan diazepam 0,3 mg/kgBB intravena atau 0,4 mg/kgBB per-
rektum (lewat dubur), tunggu 10 menit, jika masih kejang, ulangi dosis diazepam diatas dan tunggu
10 menit; jika masih kejang dan pernafasan baik, ulangi dosis diazepam dengan pengawasn ketat
terhadap pernafasannya.

Apabila hanya ada fenobarbital, berikan dosis loading 15 mg/kgBB intravena atau; tunggu 30
menit, jika masih kejang berikan dosis kedua yaitu 10 mg/kgBB intravena atau ensefalopati tidak
memerlukan antibiotika tambahan. Antibiotika yang diberikan untuk shigellosis-nya dapat diberikan
secara parenteral. Berikan kortikosterid, berupa deksametason dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari
intravena dibagi dalam 3 dosis.
Bila obat di atas tidak berhasil pikirkan kejang persisten, dan komplikasi-komplikasi lain yang
bisa memicu hipoglikemi, hiponatremi, hipernatremi, ensefalopati dan HUS (Hemolitic Uremic
Syndrome)/ Sindrom Uremik Hemolitik

e. Megakolon Toksik

Penderita megakolon toksik dikelola sebagai penderita sepsis. (Lihat sepsis). Tindakan paliatif yang penting adalah
melakukan dekompresi, berupa pemasangan pipa dari anus dilanjutkan pengisapan secara berkala. Makanan enteral
sementara waktu dihentikan. Pemberian makanan secara parenteral dengan adekuat

1. Sindrom Uremik Hemolitik

Anemia/perdarahan diatasi dengan transfusi, termasuk transfusi trombosit sesuai kebutuhan. Untuk mengatasi gagal
ginjal sebaiknya penderita segera dikirim ke RS yang mampu melakukan dialisis peritoneal serta pemeriksaan kadar
elektrolit serum dan analisa gas darah secara berkala. Sambil menunggu rujukan, dapat dibantu dengan pengaturan
asupan cairan serta melakukan forced diuresisdengan furosemid dengan dosis 2 mg/kgBB perkali secara
intravena. Antibiotika yang dipakai sebaiknya antibiotika yang tidak nefrotoksik, salah satu contoh adalah seftriakson.

1. Perforasi

Perforasi diatasi dengan laparatomi. Antibiotika sama dengan yang diberikan pada sepsis, tetapi selalu digabung
dengan metronidazol 8-15 mg/kgBB/hari intravena diberikan secara drip.

1. Pneumonia

Pneumonia diatasi berdasar Standar Pelayanan Medik (SPM) yang berlaku. Antibiotika harus sekaligus dapat
mengatasi shigellosis. Jika belum multiple drug resistent dapat diberikan ampisilin 100 mg/kgBB/hari intravena 3 kali
sehari dan gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari 2 kali sehari.

C.2. KEP (GIZI BURUK)

KEP (Gizi Buruk) yang telah terjadi diatasi sesuai SPM yang berlaku. Yang tak kalah penting adalah mencegah
terjadinya gizi buruk, sehubungan dengan kehilangan protein, penurunan nafsu makan dan kemampuan makan
penderita.

Secara umum acuan pemberian makanan pada kasus disentri adalah :

Beri makanan sedikit-sedikit tapi sering dengan high density diet (TKTP)
Anak dibujuk dan diberi perhatian khusus agar makan dalam jumlah yang cukup.
Pemberian makanan ekstra, minimal sampai dua minggu setelah sakit.
Biasanya nafsu makan sudah kembali 1-2 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat.

C.3. DIARE BERGIZI BURUK PANJANGAN (PROLONGED DIARRHEA)

Diare bergizi buruk panjangan, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 7 hari dan kurang dari 14 hari. Penyebab
diare bergizi buruk panjangan berbeda dengan diare akut. Pada keadaan ini kita tidak lagi memikirkan infeksi virus
melainkan infeksi bakteri, parasit, malabsorpsi, dan beberapa penyebab lain dari diare persisten. Tatalaksana sama
dengan diare persisten

C.4. DIARE PERSISTEN / DIARE KRONIK

1. Batasan

Diare persisten/Diare kronik adalah diare dengan atau tanpa disertai darah, dan berlangsung selama 14 hari atau
lebih. Bila sudah terbukti disebabkan oleh infeksi disebut sebagai diare persisten.

1. Etiologi dan Epidemiologi

Sesuai dengan batasan bahwa diare persisten dan diare kronik adalah diare akut yang menetap, dengan sendirinya
etiologi diare persisten dan diare kronik merupakan kelanjutan dari diare akut.

Faktor risiko berlanjutnya diare akut menjadi diare persisten adalah :

Usia bayi kurang dari 6 bulan.


Tidak mendapat ASI
Gizi buruk
Diare akut dengan etiologi bakteri invasif

Tatalaksana diare akut yang tidak tepat :

Memakai antibiotika yang tidak tepat


Memuasakan penderita
Imunokompromise antara lain AIDS, keganasan

1. Patogenesis

Titik sentral patogenesis diare persisten /diare kronik adalah kerusakan mukosa usus. Pada tahap awal kerusakan
mukosa usus disebabkan oleh etiologi diare akut. Berbagai faktor, melalui interaksi timbal balik mengakibatkan
lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya menyebabkan penyembuhan kerusakan mukosa terhambat, tetapi juga
menimbulkan kerusakan/atrofi mukosa yang lebih berat. Keadaan ini dapat menyebabkan gangguan absorbsi,
kehilangan protein (Protein lossing enterophaty), gangguan imunitas mukosa usus yang memacu lingkaran setan
diare, Gizi buruk dan infeksi

Faktor-faktor yang memicu terjadinya lingkaran setan tersebut atara lain :

1. Berlanjutnya paparan etiologi infeksi. Misal : infeksi Giardia yang tidak terdeteksi.
Infeksi Shigellayang multiple drug resistent.

1. Infeksi intestinal sekunder. misalnya superinfeksi dari patogen lain dan jamur.

1. Infeksi parenteral sering terjadi sebagai penyakit penyerta misalnya campak, OMA (otitis
media akuta), ISK (infeksi saluran kencing) dan pneumonia.

1. Bakteri tumbuh lampau (bacterial over growth/bakteri tumbuh berlebihan) di usus halus
menyebabkan AAD Metabolit hasil penghancuran makanan oleh bakteri serta dekonjugasi dan
dehidroksilasi garam empedu bersifat toksik terhadap mukosa. Gangguan metabolisme garam
empedu menimbulkan gangguan penyerapan lemak. Bakteri tumbuh lampau berkompetisi dengan
enterosit mendapatkan mikronutrien, misalnya vitamin B12.

1. Gangguan gizi yng terjadi sebelum sakit, yang diperberat oleh berkurangnya asupan,
bertambahnya kebutuhan, serta kehilangan nutrien melalui usus. Gangguan gizi tidak hanya
mencakup makronutrien yang dapat menimbulkan KEP(GIZI BURUK), tetapi juga defisiensi
mikronutrien seperti Zinc, termasuk vitamin, elektrolit dan trace elements.

1. Menurunnya imunitas yang disebabkan oleh protein lossing enteropathy pada shigellosis, GIZI
BURUK, kurang mikronutrien (vitamin A, zinc dan cuprum).

1. Malabsorpsi yang sering terjadi adalah malabsorpsi laktosa. Sebagian besar diikuti intoleransi
laktosa.

1. Pada diare lebih mudah terjadi penyerapan molekul makro. Molekul makro ini memacu
sensitisasi dan dapat menimbulkan reaksi alergi.

1. Pada diare persisten yang berlangsung lama akan menyebabkan terjadinya gangguan
keseimbangan elektrolit dan hipoglikemia.

1. Langkah Diagnosis

1. Dehidrasi

Derajat dehidrasi pada diare persisten ditetapkan sesuai dengan acuan tatalaksana diare akut. Namun demikian,
perlu berhati-hati pada diare persisten yang disertai Gizi buruk dan penyakit penyerta, dapat mengganggu penilaian
indikator derajat dehidrasi.

Perlu dilakukan juga pemeriksaan kadar Na, K, Ca serta kadar glukosa, jika sarana tersedia dilakukan pemeriksaan
analisa gas darah secara berkala.

1. Malabsorpsi dan Nutrisi

Status gizi ditetapkan berdasarkan klinis dan antropometri. . Kekurangan vitamin A dan Zinc dapat memperpanjang
lama (durasi) diare, tetapi manifestasi nya subklinik tetapi sudah terjadi defisiensi sistem imun mukosa. Memeriksa
kadar mikronutrien ini relatif sukar dan mahal, sehingga dalam praktik, tanpa pemeriksaan lebih dulu, semua
penderita dengan diare persisten diberi suplementasi mikronutrien tertentu.Hal ini disebabkan ok tingginya
defisiensi mikronutrien sering terjadi di negara berkembang ok asupan yang kurang dan diare yang lama

1. Kemampuan makan dinilai dari , keadaan umum pada waktu sakit serta pengamatan cara
pemberian makan :

Apakah sepenuhnya makanan dapat diberikan secara enteral, atau partial enteral nutrition,
atau total parenteral nutrition.
Apakah nutrisi enteral yang diberikan : cair, saring, lunak atau biasa.

1. Makan melalui NGT

1. Kemampuan pencernaan anak dinilai berdasarkan riwayat makan sewaktu sehat, dan selama
sakit, dihubungkan dengan manifestai klinis yang muncul sampai dugaan apakah ada intoleransi
terhadap jenis makanan tertentu.

Penetapan adanya intoleransi dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain :


Pemeriksaan pH tinja
Pemerisaan gula tinja dengan tablet clinic test (uji klinik) atau tes Benedict
Pemeriksaan mikroskopik tinja untuk melihat butir lemak.
Steatokrit

Terdapat serangkaian pemeriksaan lain, misalnya lactose loading test/uji intoleransi laktosa danhydrogen
breath test/ uji hidrogen pernafasan, yang relatif lebih sukar dilakukan.Dianjurkan untuk dirujuk ke Rumah Sakit
rujukan yang lebih tinggi

Dalam praktek, adanya intoleransi baik yang disebabkan alergi protein ditegakkan melalui uji withdrawal
(avoidance) dan challenging (henti dan tantang) pemberian makanan. Kelainan yang muncul pada uji tersebut
tidak hanya dinilai berdasarkan manifestasi klinis, tetapi juga berdasarkan pemeriksaan penunjang.

Dari rangkaian langkah diagnosis ini kita dapat sampai pada kesimpulan apakah keadaan penderita :

Intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa ditemukan pada lebih dari 80% diare persisten,
sehingga dalam penanggulangan diare persisten, jika tidak memakai ASI, pada tahap awal selalu
diberikan makanan yang rendah atau bebas laktosa.
Alergi protein susu sapi.
Alergi protein susu kedelai
Intoleransi lemak (Steatorrhoe)

1. Penyebab Infeksi

Bila pada tatalaksana diare akut kita tidak dituntut untuk menelusuri jenis kuman penyebab diare maka pada diare
persisten kita harus mencari faktor penyebab ini dengan aktif. Langkah diagnosis yang dapat dilakukan adalah :

Mempelajari perjalanan penyakit, dengan harapan dapat mengarahkan kita pada kemungkinan
etiologi.
Melakukan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik tinja. Temuan
trofozoit Entamoeba atauGiardia mendukung diagnosis amoebiasis atau giardiasis.> lihat di depan
Temuan lekosit dalam jumlah banyak () 10/LPB) atau makrofag mendukung
diagnosis Shigellaatau bakteri invasif yang lain. Infeksi cacing tertentu,
misalnya Strongyloides atau Trichiurisdiperkirakan dapat menimbulkan diare.
Melakukan pemeriksaan darah tepi. Leukositosis mendukung infeksi bakteri invasif, khususnya
shigellosis (lht depan). Eosinofilia mendukung adanya infestasi parasit.
Biakan tinja, dimintakan biakan untuk kuman enteric pathogen, antara
lain Shigella, Salmonella,Campylobacter, Yersinia ,E. Coli dan kuman patogen lain.

C.4. Penyakit Penyerta

Diare persisten sering disertai penyakit penyerta. Diagnosis ditegakkan sesuai dengan SPM.

a. Indikasi Rawat Inap

Bayi muda yang berumur kurang dari 2 bulan


Mengalami dehidrasi
Menderita Gizi buruk
Menderita infeksi berat
Indikasi berdasarkan penyakit penyerta lain
Penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan sesuai dengan jenis, bentuk
dan jumlah yang direkomendasikan.
b. Tatalaksana

Tatalaksana diare persisten meliputi rehidrasi, nutrisi dan pengobatan penyakit penyerta.

1. Rehidrasi

Oralit efektif untuk sebagian besar penderita dengan diare persisten. Pada sebagian kecil penderita, mungkin terjadi
gangguan absorpsi monosakarida (glukosa), sehingga diare menjadi berat. Pada kasus-kasus demikian dilakukan
rehidrasi secara intravena. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit diatas sesuai dengan Tatalaksana Diare
cair akut dan Disentri.

1. Nutrisi

Sasaran akhir ditujukan untuk menjamin tumbuh kembang yang optimal dengan mengkonsumsi diet yang sesuai
dengan umur berdasar pada kondisi klinik yang normal. Untuk itu kita harus mengupayakan regenerasi mukosa usus
dengan mematahkan lingkaran setan yang memperberat kerusakan mukosa usus. Pasokan nutrien yang adekuat,
baik dalam jumlah maupun komposisinya, merupakan langkah kunci untuk mencapainya. Pada diare persisten perlu
ditekankan adanya malabsorpsi ganda dan berat, sehingga usaha pemberian nutrisi harus disesuaikan dengan
kemampuan/kapasitas digesti dan absorpsi saluran cerna. Pemberian nutrisi optimal akan memacu regenerasi
mukosa, meningkatkan kapasitas digesti dan absorpsi, sehingga akan memperluas pilihan jenis, bentuk, dan cara
pemberian makanan. Kemajuan dalam terapi nutrisi parenteral, sangat membantu penanganan diare persisten.
Tetapi harus diingat, nutrisi enteral harus lebih diutamakan, karena lebih murah, efek sampingnya lebih sedikit, dan
yang paling penting, ternyata rehabilitasi mukosa jauh akan lebih cepat dan sempurna kalau diberi nutrisi intra
luminal, yang hanya dapat dipasok melalui nutrisi enteral.

Banyak acuan dan cara pemberin makanan pada penderita diare persisten. Makanan akan diberikan dalam bentuk
padat atau cair, alami atau hidrolisat atau produk nutrisi elemental sintesis; kontinyu atau intermiten; diberian secara
oral atau melalui pipa lambung atau pemberian nutrisi parenteral secara perifer atau sentral. Nutrisi enteral harus
merupakan prioritas walaupun terjadi peningkatan volume dan frekuensi defekasi. Keadaan ini dapat ditolelir
sepanjang keseimbangan nutrisi tetap positif.

1. Nutrisi Enteral

Langkah pertama adalah menetapkan pilihan jenis makanan yang diberikan. Faktor yang dipertimbangkan :

Umur anak
Kebiasaan makan sebelum dan selama sakit
Kemampuan pencernaan anak

Acuan yang dipakai :

Jika anak mendapat ASI, ASI harus tetap diberikan karena efek imunologis dan efek anti infeksi
dari ASI.. Kalau anak tidak dapat menyusui, ASI dapat diperas.
Laktosa tidak dianjurkan untuk diberikan pada diare persisten,. Pada bayi yang tidak minum
ASI diberikan susu rendah atau bebas laktosa.
Apabila anak sudah dapat mengkonsumsi bahan makanan biasa, pilihan yang dianjurkan
adalah:

1. Sumber karbohidrat yang mudah diserap (polimer glukosa): beras, gandum, mie,bihun, umbi-
umbian dan roti, tepung sagu dan tapioka.
2. Sumber protein yang mudah dicerna : daging ayam, tempe, atau telur
3. Sumber lemak yang mudah dicerna (MCT/Middle Chain Trigliserida) : minyak sayur.

Langkah berikutnya adalah menentukan bentuk makanan, apakah cair, saring, lunak, atau biasa. Bentuk yang dipilih
disamping tergantung jenis makanan yang akan diberikan, juga mengikuti pilihan cara pemberian makanan, yang
dapat berupa: melalui mulut (makan sendiri, disendokkan)

Bayi yang berumur lebih dari 6 bulan, diberikan makan 6-8 kali sehari, segera setelah bisa makan. Kebanyakan
mengalami anoreksia selama 1-2 hari sampai infeksi dapat ditanggulangi. Dalam hal ini mereka membutuhkan
makanan lewat pipa lambung. Dua macam makanan dapat merupakan pilihan untuk diare persisten :

Gunakan susu sebagai sumber protein hewani. Berikan tidak lebih dari 3.7 g laktosa/kgBB/hari.
Kurang lebih 70% dari anak-anak akan membaik dengan diet ini. Jika anak tidak membaik dalam
tujuh hari, atau apabila diare atau dehidrasi memberat, hentikan diet dan berikan diet kedua.
Kedua pilihan diet tersebut paling sedikit mengandung 70 kkal/100g, dan yang mengandung
minimal 10% dari kalori yang diberikan oleh protein.

Contoh :

Campurkan 40 g nasi (5 sendok teh penuh) yang terbuat dari 15 g beras dengan:

85 ml susu segar (2/5 cangkir)

3,5 g minyak (3/4 sendok teh)

3 g gula/glukosa (2/3 peres sendok the)

Tambahkan air sampai 200 ml (satu cangkir penuh)

Berikan 200 ml/kgBB/hari

Diet rendah tepung dan bebas laktosa


Gunakan telur, ayam atau ikan sebagai sumber protein

Contoh :

Campurkan 8 g nasi (1 sendok teh penuh)

dibuat dari 3 g beras dengan :

64 g telur (2 telur kecil) atau 12 g ayam atau ikan cincang

4 g minyak (1 sendok teh)

3 g gula/glukosa (2/3 peres sendok teh)

Tambahkan air sampai 200 ml. Jika menggunakan telur mentah, masaklah terlebih dahulu.

Berikan 200 ml/kgBB/hari selama tujuh hari.

Bubur tempe juga bisa diberikan apabila tersedia atau bisa dibuat sendiri dengan cara sebagai berikut:

Bahan:

Beras 40 g gelas
Tempe 50 g 2 potong
Wortel 50 g gelas
Cara membuat:

Buatlah bubur. Sebelum matang masukkan tempe dan wortel.

Setelah matang diblender (atau dihancurkan dengan saringan) sampai halus.

Bubur tempe siap disajikan.

Supplemen multivitamin dan mineral.

Semua anak dengan diare kronis/persisten perlu diberi supplemen multivitamin dan mineral setiap hari selama dua
minggu. Ini harus bisa menyediakan berbagai macam vitamin dan mineral yang cukup banyak, termasuk minimal dua
RDAs (Recommended Daily Allowance) folat, vitamin A, magnesium dancopper.

Sebagai panduan, satu RDA untuk anak sampai umur 1 tahun adalah:

folat 50 micrograms
zinc 10 mg
vitamin A 400 micrograms
zat besi 10 mg
copper 1 mg
magnesium 80 mg.

Monitoring

Perawat harus memeriksa hal-hal dibawah ini setiap hari:

berat badan
suhu badan
asupan makanan
frekunsi BAB

Sonde lambung

Pada anak yang kondisinya relatif lemah dan kemampuan pencernaannya sangat terbatas, nutrisi dapat diberikan
melalui sonde lambung.

Nutrisi Parenteral

Nutrisi parenteral adalah suatu teknik untuk memberikan nutrisi yang diperlukan tubuh melalui intravena. Nutrien
yang diberikan terdiri dari air, elektrolit, glukosa, , asam amino, lemak, mineral, vitamin dan trace elements. Nutrisi
parenteral mempunyai komplikasi yang dapat disebabkan oleh faktor metabolik, mekanik atau infeksi. Bila
dilaksanakan dengan hati-hati, komplikasi dapat ditekan serendah mungkin. Nutrisi parenteral dapat diberikan secara
sentral atau perifer, total atau parsial tergantung pada keadaan klinik penderita.

Pertumbuhan dan kenaikan berat badan bayi dan anak yang mendapatkan nutrisi parenteral secara sentral sama
seperti bayi yang minum ASI atau susu formula standar. Dengan adanya nutrisi parenteral angka kematian pada
diare persisten menurun dari 70%-90% menjadi kurang dari 10%. Pelaksanaan nutrisi parenteral total secara rinci
tidk dibicarakan disini, karena merupakan topik yang luas dan mendalam yang memerlukan tatalaksana tersendiri.
Lazimnya di Indonesia baru dapat dilaksanakan di sarana pelayanan tersier.

Secara umum terapi nutrisi parenteral parsial lebih mungkin dilaksanakan. Prosedur ini tetap sangat membantu,
karena pada kasus berat dengan kemampuan perencanaan sangat minimal, dengan menggabung terapi nutrisi
enteral dan parenteral kita dapat memberikan pasokan nutrien yang lebih adekuat. Dengan demikian diharapkan
rehabilitasi mukosa usus akan lebih baik sehingga kemampuan pencernaan akan meningkat. Dengan kemampuan
pencernaan yang meningkat, porsi makanan enteral dapat ditingkatkan sedangkan porsi parenteral dikurangi dan
akhirnya dihentikan.

Sebagai pegangan untuk melaksanakan terapi nutrisi parenteral parsial ini dapat digunakan patokan berikut :

1. Kebutuhan air :
BB 0-10 kg : 100 ml/kgBB
BB 11-20 kg : 1000 ml + 50 ml x (BB 10)
BB > 20 kg : 1500 ml + 20 ml x (BB 20)

1. Kebutuhan kalori
BBLR : 150 kkal/kgBB
BB 0-10 kg : 100 kkal/kgBB
BB 11-20 kg : 1000 kkal + 50 kkal x (BB 10)
BB > 20 kg : 1500 kkal + 20 kkal x (BB 20)

Sumber kalori berupa :

20-30% dalam bentuk lemak. Lemak yang tersedia di pasaran dengan konsentrasi 10% 1,1
kkal per ml, 20% 2,2 kkal/ml. Sebagai ilustrasi : memberikan lemak 10% 20 ml/kgBB sudah
memenuhi 22% kebutuhan kalori anak di bawah 10 kg.

Karbohidrat dalam bentuk dekstrosa. Untuk mencegah phlebitis pada pemberian intravena
perifer, sebaiknya kadarnya tidak lebih dari 10%. Kalori 4 kkal/g. Sebagai ilustrasi, dengan
memberikan glukosa 10% 50cc/kgBB, kita baru memberikan 20 kkal/kgBB (20% dari kebutuhan
anak dibawah 10 kg).

Pada tahap awal diberikan bertahap untuk memacu pembentukan insulin endogen agar tidak
terjadi hiperglikemia.

Kebutuhan asam amino :


BBLR 2,5 3 g/kgBB
Usia 0 1 tahun : 2,5 g/kgBB
Usia 2 13 tahun : 1,5 2 g/kgBB

Kebutuhan mikronutrien :
Kalium 1,5 2,5 meq/kgBB
Natrium 2,5 3,5 meq/kgBB

Tubuh tetap membutuhkan mikronutrien lain, baik berupa vitamin maupun trace elements yang dapat diberikan
secara enteral maupun parenteral.
Kebutuhan natrium dan Kalium dapat diberikan secara intravena. Dalam menetapkan kadar elektrolit cairan yang kita
pakai kita harus memperhatikan defisit yng telah terjadi, dan kehilangan yang sedang berlangsung. Juga harus
diperhitungkan elektrolit yang dapat diberikan secara oral.

Dengan menilai pasokan nutrien secara enteral, dan mengacu pada pegangan di atas kita dapat menetapkan jenis
dan kecepatan cairan nutrisi parenteral parsial melalui vena perifer yang akan kita pakai. Tentu kita harus
mempelajari komposisi cairan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein yang tersedia di pasar.

Terapi Medikamentosa
1. Obat antidiare

Sama dengan kebijakan pada diare akut, kita tidak memakai obat anti diare pada diare persisten.

Ada beberapa obat telah diujicobakan pada anak dengan diare kronis, misalnya obat antikolinergik, bile
salt sequestering agent, preparat enzim pankreas, penghambat prostaglandin, dan dilaporkan menunjukan
khasiat dalam memperingan diare. Tetapi, sebagai pegangan umum, tidak dianjurkan memakai obat-obat ini pada
diare persisten yang merupakan kelanjutan dari diare akut.

1. Antibiotika
Pemberian antibiotika secara rutin tidak diperlukan. Tetapi antibiotika diberikan sesuai indikasi (lihat butir C langkah
diagnostik) atau apabila ada infeksi non-intestinal seperti pneumonia, infeksi saluran kencing atau sepsis.

1. Terapi zinc
Disesuakan tatalaksana diare akut diberikan 14 hari

1. Penyakit Penyerta
Penyakit penyerta ditanggulangi sesuai dengan standar penyakit penyertanya.

C.5. GIZI BURUK

1. Batasan

Gizi buruk yang dimaksud adalah Gizi buruk tipe marasmus atau kwarsiorkor, yang secara nyata mempengaruhi
perjalanan penyakit dan tatalaksana diare yang muncul.

Diare yang terjadi pada GIZI BURUK cenderung lebih berat, lebih lama dan dengan angka kematian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan diare pada anak dengan gizi baik. Walaupun pada dasarnya tatalaksana diare pada GIZI
BURUK sama dengan pada anak dengan status gizi baik, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Perlu
dipahami perubahan morfologis dan fisiologis saluran cerna pada GIZI BURUK pengaruhnya terhadap perjalanan
klinik diare dan penyesuaian yang perlu dilakukan pada tatalaksananya.

2. Etiologi

Pada dasarnya spektrum etiologi diare pada GIZI BURUK sama dengan yang ditemukan pada diare yang terjadi
pada anak dengan gizi baik. Tetapi sehubungan dengan berkurangnya imunitas pada GIZI BURUK, kemungkinan
munculnya diare akibat kuman yang oppurtinistik menjadi lebih besar. Demikian pula peranan penyebab malabsorpsi
menjadi lebih besar.

1. Patogenesis

Patogenesis diare pada GIZI BURUK mirip pada diare persisten, yaitu bertumpu pada kerusakan mukosa. Bedanya,
jika pada diare persisten kerusakan mukosa terjadi pada mukosa sehat, pada GIZI BURUK kerusakan mukosa terjadi
pada mukosa yang telah atropik dan mengalami metaplasi. Sehingga dampak patofisiologisnya menjadi lebih besar
dan pemulihannya menjadi lebih sulit dan lama. Faktor-faktor yang berinteraksi timbal balik, sehingga menimbulkan
lingkaran setan, yang menghambat rehabilitasi kerusakan mukosa sebagaimana halnya pada diare persisten juga
ditemukan pada diare dengan GIZI BURUK. Yaitu :

Berlanjutnya paparan etiologi infeksi.


Infeksi intestinal sekunder..
Infeksi parenteral, baik sebagi komplikasi maupun sebagai penyakit penyerta
Bakteri tumbuh lampau di usus halus.
Malnutrisi makronutrien dan mikronutrien
Menurunnya imunitas, sistemik dan lokal
Malabsorpsi.
Alergi.

Interaksi faktor-faktor yang berperan pada lingkaran setan ini jauh lebih berat dibandingkan pada diare persisten
yang terjadi pada anak dengan gizi baik. Berdasarkan kondisi khusus ini beberapa hal perlu diperhatikan, antara lain,
bahwa pada anak dengan GIZI BURUK :

Telah terjadi atrofi mukosa usus halus dan insufiensi pankreas. Kita harus mengantisipasi
penatalaksanaan yang lebih rumit dan penyembuhan yang lebih lambat. Misalnya harus lebih
waspada terhadap kemungkinan bertambah beratnya diare akibat pemberian makanan.

Lebih sering terdapat kurang mikronutrien, seperti asam folat, besi, seng, magnesium dan
vitamin A.

Pada anak GIZI BURUK cenderung terjadi hipoglikemia karena cadangan glikogen yang
terbatas dan adanya gangguan fungsi hati dalam glukoneogenesis. Implikasinya adalah penderita
jangan dipuasakan.

Pada anak dengan GIZI BURUK biasanya telah terjadi deplesi kalium dan akan bertambah
buruk dengan adanya diare. Implikasinya adalah memberikan kalium secukupnya pada terapi
rehidrasi dan terapi nutrisi.

Pada anak GIZI BURUK terdapat retensi cairan dan merendahnya cadangan kapasitas jantung
dan sirkulasi. Anak dengan GIZI BURUK sangat sensitive terhadap kelebihan pemberian natrium
yang dengan cepat dapat menimbulkan hipervolumia, udem paru dan gagal jantung. Implikasinya
kita harus sangat membatasi pasokan Na baik secara parenteral maupun secara enteral.

Karena gangguan sistem imunitas, pada anak dengan GIZI BURUK mudah terjadi infeksi.
Implikasinya antara lain jangan terlalu cepat memutuskan pemberian terapi rehidrasi parenteral
bila pemberian terapi rehidrasi oral atau melalui pipa nasogastrik masih memungkinkan.

Harus diperhatikan penyakit infeksi penyerta yang mungkin ada, seperti misalnya sepsis, bronkopneumonia,
faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dam lain-lain. Disamping itu infeksi berat pada GIZI BURUK sering tidak
disertai gejala klinik yang klasik. Gejala klasik infeksi adalah demam tetapi pada Gizi buruk sering muncul gejala
hipotermi. Penanggulangan penyakit penyerta sangat menentukan keberhasilan penanggulangan diare maupun GIZI
BURUK-nya sendiri.

Terdapat kesulitan dalam menentukan status hidrasi pada pasien GIZI BURUK yang menderita diare karena tanda-
tanda klinik untuk menentukan dehidrasi tidak dapat dipercaya, seperti turgor misalnya.

1. Langkah Diagnosis

Langkah diagnosis diare pada GIZI BURUK sejalan dengan langkah diagnosis pada diare persisten. Rincian
pelaksanaanya mengacu pada langkah diagnosis Tatalaksana Kasus Diare Persisten.

1. Dehidrasi

GIZI BURUK dan penyakit penyerta yang menyertainya menganggu penilaian indikator derajat dehidrasi, sehingga
tingkat kesalahan menjadi lebih besar. Di lain pihak akibat merendahnya cadangan, anak menjadi lebih berisiko
terhadap kelebihan pemeberian cairan. Frekuensi dan kualitas denyut nadi, produksi urin, dan hemaktokrit mungkin
dapat digunakan untuk memantau status dehidrasi. Langkah pengamanan yang diambil adalah : membatasi jumlah
cairan rehidrasi yang direncanakan, dan melakukan observasi yang lebih ketat selama proses rehidrasi.

Pada GIZI BURUK kita mungkin berhadapan dengan syok septik yang dapat muncul bersama atau tanpa dehidrasi.
Syok pada GIZI BURUK yang terjadi tanpa dehidrasi atau syok yang belum hilang setelah dehidrasi teratasi
dianggap sebagai syok septik.

Penetapan derajat dehidrasi dilanjutkan dengan penelusuran pemeriksaan kadar Na, K dan Ca serta kadar glukosa.
Jika tersedia tentu dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah secara berkala.

1. Nutrisi
Status gizi ditetapkan berdasarkan klinis dan antropometri yaitu BB/PB.
Kurang mikronutrien, seperti vitamin A dan seng lebih sering ditemukan. Manifestasi klinis
kurang mikronutrien ini juga relatif lebih sering ditemukan. Semua penderita GIZI BURUK dengan
diare diberi suplementasi mikronutrien tertentu.

Kemampuan makan anak. Kita harus dapat menyimpulkan cara dan bentuk pemberian
makanan.
1. Apakah sepenuhnya dapat diberikan makanan enteral, atau memerlukan makanan parenteral.
2. Apakah bentuk makanan enteral yang diberikan : cair, saring, lunak atau biasa.

e. Penyakit Penyerta

GIZI BURUK hampir selalu disertai penyakit penyerta. Manifestasi klinis sering tidak lengkap atau sesuai dengan
yang muncul pada anak dengan gizi baik. Diagnosis ditegakkansesuai SPM. Lakukan langkah diagnostik lebih lanjut
atas indikasi, untuk menyingkirkan kemungkinan tuberkulosis primer. Meskipun tidak ada kelainan urinalisis, kita
melakukan biakan urin pada semua kasus GIZI BURUK

f. Tatalaksana

Semua penderita diare pada GIZI BURUK dirawat inap. Ada yang membagi tatalaksana GIZI BURUK menjadi 3
tahapan Tahapan resusitasi

Tahapan realimentasi
Tahapan rehabilitasi

Pada tahapan resusitasi dilakukan penanggulangan gangguan fungsi vital tubuh. Penanggulangan gangguan fungsi
pernapasan dan fungsi serebal secara intensif belum dapat dilakukan di semua rumah sakit. Kegiatan utama
penyelamatan lebih bertumpu pada resusitasi ganguan sirkulasi serta mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit
dan asam basa yang menyertainya. Kegiatan ini lebih kurang sejalan dengan langkah penanggulangan dehidrasi.

Pada tahapan realimentasi secara bertahap kita menilai dan memberikan makanan yang sesuai yang dapat ditolerir
anak, untuk sampai pada makanan optimal yang akan diberikan pada tahapan penyembuhan.

Pada tahapan rehabilitasi kita melakukan langkah-langkah pendidikan dan bimbingan serta langkah preventif dan
promotif lainnya, sehingga ibu dapat merawat anaknya dan diharapkan tetap tumbuh kembang optimal. Dalam
praktek tahapan-tahapan ini tidak terpisah dan berdiri secara ekslusif, misalnya kita sudah dapat memulai langkah
pembinaan dari awal. Kita harus mencari dan mengobati penyakit penyerta begitu keadaan memungkinkan.

g. Perawatan penderita
Ada sepuluh langkah pokok dalam penanganan anak diare dengan GIZI BURUK (Child Health Dialogue, 1996) :

1. Atasi hipoglikemia
2. Atasi hipotermia
3. Atasi dehidrasi
4. Koreksi gangguan elektrolit
5. Terapi infeksi
6. Koreksi kurang mikronutrien (vitamin & mineral)
7. Mulai pemberian makanan secara hati-hati
8. Kejar pertumbuhan
9. Stimulasi, bermain, dan asuhan kasih sayang
10. Persiapan tindak lanjut setelah penderita pulang

Langkah kesembilan dan sepuluh merupakan langkah penting yang sering dilupakan dalam pelayanan medik, yang
sangat menentukan dalam kualitas hidup anak.

1. Hipoglikemia dan Hipotermia

Hipoglikemia dan hipotermia merupakan pencetus memburuknya keadaan umum anak dengan GIZI BURUK yang
dapat berlanjut menjadi kematian. Kadar glukosa darah anak harus diperiksa dan kalau terdapat hipoglikemia maka
ditangani secara intensif. Semua anak dengan hipotermia (suhu rektal 35,5 C atau kurang ) harus diperiksa dan
kalau terdapat hipoglikemia. Jika tidak tersedia sarana pemeriksaan glukosa darah, semua anak dengan GIZI
BURUK pada tahap awal harus dianggap menderita hipoglikemia. Kita harus sudah melakukan tindakan koreksi jika
kadar glukosa darah < 3 mmol/l (55 mg/dl). Sehubungan dengan acuan membatasi pemberian cairan parenteral
hipoglikemia dikoreksi dengan pemberian glukosa 10% atau sukrosa 10% secara enteral sebanyak 50 ml ; diberikan
setiap 30 menit selama 2 jam. Kalau perlu dapat diberikan setiap 30 menit selama 2 jam dinilai kembali kadar
glukosa darah.

Cairan rehidrasi parenteral harus mengandung glukosa. Makanan harus diberikan sesegera mungkin. Kalau pasokan
nutrien masih terbatas, kadar gula darah diperiksa secara berkala.

Anak harus dirawat dalam lingkungan yang hangat dan diselimuti. Kalau memungkinkan dirawat
padacouvouse BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).

Infeksi sekunder mudah terjadi, dan kalau terjadi di rumah sakit dalam bentuk infeksi nosokomial yang sulit diobati.
Karena itu perawatan yang intensif sangat penting. Misalnya memperhatikan hygiene mulut dan daerah perineum.
Kebersihan tempat tidur sangat penting diperhatikan.

1. Rehidrasi

Pada dehidrasi ringan/sedang, tetap upayakan memberikan terapi rehidrasi oral, apabila tidak mungkin cairan
diberikan melalui pipa nasogastrik sampai anak bisa minum.

Untuk rehidrasi atau untuk mencegah dehidrasi gunakan larutan oralit standar yang telah dimodifikasi, karena oralit
mengandung terlalu banyak natrium dan terlalu sedikit kalium untuk anak dengan GIZI BURUK. Modifikasi tersebut
dinamakan cairan ReSoMal.

Pada larutan tersebut didapatkan kadar natrium 45 mmol dan kalium 40 mmol. Jangan menggunakan infus kecuali
dalam keadaan syok untuk mencegah kelebihan cairan dan beban jantung yang terlalu berat.
Untuk rehidrasi, berikan cari berapa ml/kgBB:

ml/kgBB cairan ReSoMal setiap 30 menit dalam 2 jam peroral atau pipa nasogastrik, kemudian
ml/kgBB setiap jam untuk untuk 4-10 jam berikutnya

Jumlah yang sesungguhnya yang harus diberikan ditentukan sebanyak anak mau, jumlah dan volume tinja yang
keluar dan apabila ada, muntahan yang keluar.

Mulailah pemberian makanan secepatnya setelah dehidrasi teratasi. Monitor keadaan setiap 30 menit pada dua jam
pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam berikutnya. Disini termasuk mengukur nadi, pernapasan, buang air
kecil, buang air besar dan muntah. Apabila kecepatan napas dan nadi tetap tinggi maka dipikirkan adanya infeksi,
gagal jantung dan kelebihan cairan yang masuk.

Apabila ada tanda-tanda tersebut maka pemberian cairan dihentikan dan dievaluasi 1 jam kemudian.

Untuk mencegah dehidrasi apabila anak menderita diare cair :

Berikan makanan secepatnya


Segera ganti sebanyak cairan yang keluar dengan ReSoMal
Teruskan pemberian ASI

Bila diperlukan rehidrasi parenteral pada keadaan dehidrasi berat dengan syok, cairan parenteral sebanyak 200
ml/kg BB diberikan dalam waktu 24 jam dengan rincian : 60 ml/kgBB diberikan selama 4-8 jam pertama, dan sisanya
diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya. Gunakan cairan parenteral dengan kandungan kalium tinggi, misalnya
larutan Darrow-Glukosa 10%. Pantau dengan ketat pemberian cairan untuk mencegah kelebihan cairan dengan
perhatian khusus pada tanda udem dan produksi urin.

Tanda awal udem paru akibat kelebihan cairan apabila dalam waktu setengah jam:

Bertambahnya frekuensi napas 5 kali dalam semenit


Bertambahnya hitung nadi 30 kali dalam semenit

Karena itu hitung napas dan hitung nadi harus dilakukan tiap setengah jam.

Ronki basah kasar tak nyaring merupakan tanda nyata udem paru

Jika syok tidak teratasi dengan rehidrasi parenteral, kita harus memikirkan syok septik. Syok septik diatasi sesuai
dengan standar. Cara mengatasi GIZI BURUK dengan syok yang dianjurkan oleh WHO :

Berikan Ringer laktat dekstrosa 5% 15 ml/kgBB dalam 1 jam. Dinilai apakah ada perbaikan
nadi dan frekuensi napas.

Jika terdapat perbaikan nadi dan frekuensi napas, ulangi pemberian cairan yang sama satu jam
lagi. Kemudian pindah ke rehidrasi oral.

Jika tidak membaik, anak dianggap menderita syok septik, diberi cairan yang sama dengan
kecepatan 4 ml/kgBB/jam sambil mempersiapkan pemberian darah sebanyak 10 ml/kgBB yang
diberikan dalam 3 jam. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian formula starter.
Sesuai dengan acuan rehidrasi intravena yang dianjurkan di atas, jika syok masih belum
teratasi dengan pemberian cairan rehidrasi setelah 4 jam pertama, kita dapat mengadopsi anjuran
WHO ini, dengan menambahkan pemberian darah, dengan catatan kita harus sangat berhati-hati
memberikan alokasi cairan untuk 20 jam berikutnya, agar tidak terjadi hipervolumia.

Bila memungkinkan, periksa secara berkala analisis gas darah (pH dan defist basa). Jika
asidosis belum dapat teratasi melalui basa yang terdapat pada cairan rehidrasi, dapat dilakukan
koreksi tambahan dengan perhitungan sebagai berikut.

Kebutuhan basa dalam meq = (deficit basa) x 1/3 x berat badan (kg)

Di pasar tersedia cairan natrium bikarbonat 7,5% atau 8,54%, dimana 1 ml dapat dianggap mengandung satu meq
ion bikarbonat. Larutan bikarbonat bisa diberikan secara bolus, dengan menyuntikkannya perlahan-lahan secara
intravena, setelah diencerkan dengan glukosa 5% atau ditambahkan pada cairan rehidrasi. Jika tidak tersedia sarana
pemeriksaan defisit basa, sedangkan anak dilakukan koreksi berdasarkan asumsi terdapat defisit basa sebesar 5
meq/dl.

1. Nutrisi

Sama halnya dengan Tatalaksana Diare Persisten, sasaran akhir adalah untuk menjamin tumbuh kembang yang
optimal, dalam arti bahwa anak dapat mengkonsumsi diet yang lazim sesuai dengan umurnya berdasarkan kondisi
klinik yang normal. Langkah terapi nutrisi diet persisten dapat digunakan sebagai acuan terapi nutrisi diare pada GIZI
BURUK berat. Dalam hal ini pemberian suplemantasi mikronutrien menjadi suatu keharusan. Langkah-langkah terapi
mengacu pada Tatalaksana Kasus Diare Persisten.

Harus diingat bahwa upaya regenarasi mukosa usus lebih sulit dan lama karena kita berhadapan dengan mukosa
yang telah atropik. Jadi kita harus mengantisipasi upaya penyesuaian pemberian makanan yang lebih bertahap dan
lebih lama, diikuti dengan upaya pemulihan yang lebih lama pula.

Dalam Tatalaksana Kasus GIZI BURUK acuan WHO, pada tahap awal dapat diberikan starter dalam bentuk
makanan cair dengan komposisi :

Susu skim 25 g
Gula 100 g
Minyak sayur 30 g
Larutan suplementasi mineral 20 ml
Tambahkan air menjadi 1000 ml
Kandungan kalori 75 kkal/dl

Kemudian diteruskan dengan formula catch up dengan komposisi :

Susu skim 80 g 90 g
Gula 50 g 65 g
Minyak sayur 60 g 75 g
Larutan suplementasi meineral 20 ml 20 ml
Tambahkan air menjadi 1000 ml 1000 ml
Kandungan kalori 100 kkal/dl 135 kkal/dl

Catatan: Gula dapat diganti dengan tepung beras yang sudah dimasak. Keuntungannya adalah osmolaritas lebih
rendah.

1. Terapi medikamentosa
Obat antidiare
Sama dengan kebijakan pada diare akut, kita tidak memakai obat antidiare pada diare persisten

Antibiotika
Indikasi pemberian antibiotika pada diare akut diterapkan pada diare pada GIZI BURUK berat, tentunya dengan
memperhatikan penelusuran aktif penyebab infeksi diare pada GIZI BURUK berat.

Semua penderita GIZI BURUK berat yang keadaan umumnya tidak membaik setelah koreksi hipoglikemia,
hipotermia dan dehidrasi, harus diperkirakan menderita infeksi sekunder dan diberikan antibiotika. Antibiotika
pilihannya adalah :

Kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari, i.v. 3 kali sehari dan gentamisin 5 mg/kgBB/hari, dua
kali sehari
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari, i.v. sekali sehari
Seftazidim 100 mg/kgBB/hari, i.v., dua kali sehari

Semua kasus dianggap menderita syok septik diberi antibiotika yang adekuat. Antibiotika yang dipakai sejalan
dengan acuan pada Tatalaksana Kasus Disentri Berat. Pemberian antibiotika untuk penyakit penyerta disesuaikan
dengan standar.

1. Stimulasi, bermain dan asuhan kasih sayang

Pada GIZI BURUK terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku.

Sejak awal perawatan berikan asuhan Gizi burukerawatan yang:

Penuh kasih sayang


Menyediakan permainan dan kegiatan fisik segera setelah anak mampu melakukannya
Memberikan suasana lingkungan menyenangkan dan ceria
Mendorong keterlibatan ibu dalam perawatan yang memungkinkan, seperti memandikan,
memberi makan dan bermain.

1. Persiapan tindak lanjut setelah pulang

Langkah ini sudah merupakan awal dari persiapan tindak lanjut setelah pulang. Sehingga di rumah, para ibu atau
yang mengasuh lainnya mempunyai Gizi burukercayaan serta dapat melakukannya jika sudah di rumah. Anak dapat
dipulangkan apabila sudah mencapai 90% berat badan perpanjang badan. Anak sangat mungkin masih mempunyai
berat badan yang rendah menurut umur, karena menderitastunting (kerdil), ibu/keluarga :

Memberikan makanan tinggi kalori dan nutrien paling sedikit lima kali sehari.

Bermain dengan anak dengan cara yang memperbaiki perkembangan mental anak.

Diingatkan untuk mengikuti program imunisasi dan pemberian vitamin A. Jika belum
mendapatkan supaya diberikan sebelum anak dipulangkan, untuk menghindari missed
opportunity atau kehilangan kesempatan memperoleh imunisasi.

1. Penyakit penyerta

Penyakit penyerta ditanggulangi sesuai dengan standar yang berlaku. Perlu diingat, keberhasilan penanggulangan
diare pada GIZI BURUK berat juga ditentukan oleh keberhasilan penanggulangan penyakit yang menyertainya.
C.6. DIARE DENGAN PENYAKIT PENYERTA

1. 1. Pendahuluan

Anak yang menderita diare (diare akut atau diare persisten) mungkin juga disertai dengan penyakit lain. Tatalaksana
penderita tersebut selain berdasarkan acuan baku tatalaksana diare juga tergantung dari penyakit yang menyertai.

1. Penyakit yang sering terjadi bersamaan dengan diare :


2. Infeksi saluran napas (bronkhopneumonia, bronkhiolitis, dll)
3. Infeksi sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis, dll)
4. Infeksi saluran kemih
5. Infeksi sistem lain (sepsis, campak, dll)
6. Kurang gizi (GIZI BURUK berat, kurang vitamin A, dll)

Penyakit yang dapat disertai dengan diare tetapi lebih jarang terjadi :

Penyakit jantung yang berat/gagal jantung


Penyakit ginjal/gagal ginjal

1. 2. Tatalaksana

Dalam penatalaksanaannya harus dipertimbangkan :

Kemampuan untuk makan minum peroral


Fungsi dan kemampuan sistem sirkulasi
Cadangan jantung yang rendah, misalnya pada pneumonia berat (akibatnya terjadi risiko cor
pulmonale akut) atau GIZI BURUK berat (akibat atropi dan hipoksia otot jantung).
Dehidrasi terjadi pada seluruh kompartemen cairan : intravaskular, ekstraselular dan
intraselular). Sedangkan kita memberikan cairan rehidrasi melalui kompartemen intravaskular.
Dibutuhkan waktu bagi cairan menyebar ke kompartemen lain. Jadi kita seperti berhadapan dengan
hipervolumia temporer. Berkurangnya cadangan kardiovaskular menyebabkan rehidrasi cepat
menjadi berbahaya sehingga kita harus menyesuaikan kecepatan pemberian cairan rehidrasi (lihat
Tatalaksana Diare dengan GIZI BURUK Berat).

1. 3. Penyakit atau keadaan yang memerlukan restriksi cairan

Seperti pada ensefalitis atau dekompensasi kordis.

Kita harus memperhitungkan jumlah cairan yang kita beri berdasarkan pada asumsi tertentuMisalnya pada dehidrasi
berat diperkirakan berdasarkan kehilangan cairan 12,5% dari berat badan. Akan tetapi dapat saja pada kasus
tertentu kehilangan cairan hanya 10%, sehingga kalau kita melakukan rehidrasi berdasarkan rumus, mungkin anak
akan mendapat cairan sedikit lebih banyak dari yang dibutuhkan. Pada umumnya anak dapat mentolerir kelebihan
ini. Tetapi pada keadaan khusus, kelebihan ini dapat berbahaya. Langkah penyesuaian yang diambil antara lain
memberikan cairan atau 80% dari perhitungan, diikuti dengan observasi yang lebih ketat. Tentu kita juga harus
memperlambat kecepatan pemberian cairan rehidrasi.

1. 4. Fungsi Ginjal

Dapat dimengerti bahwa gangguan fungsi ginjal mengharuskan kita menyesuaikan jumlah, komposisi elektrolit dan
asam basa pemberian cairan
1. 5. Interaksi perjalanan penyakit

Pada GIZI BURUK berat telah tercermin interaksi perjalanan penyakit diare dan penyakit lain. Misalnya pada
meningitis bakterial yang diobati dengan seftriakson, sefalosporin ysng dieliminasi melalui empedu, dapat
menimbulkan gangguan ekosistem usus dan memperberat diare.

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, langkah penyesuaian dapat mencakup :

a. Terapi cairan

Kebutuhan cairan anak dalam keadaan diare dalam 24 jam dapat dipilah menjadi :

Untuk mengatasi kehilangan cairan yang sedang berlangsungon going losses (mencegah
dehidrasi). Jumlahnya sekitar 25-50 ml/kgBBKadar natrium-nya sekitar 50 mmol. Ditambah basa
(Bic nat) dan kalium.

Untuk rehidrasi. Komposisinya lebih kurang sama dengan komposisi cairan ekstra selular
(kadar natrium sekitar 140 mmol). Cairan yang hilang saat ini Jumlahnya pada dehidrasi berat 100
-125 ml/kgBB. Ditambah suplementasi untuk mengatasi defisit kalium dan basa.

Untuk memenuhi kebutuhan. Jumlahnya sekitar 100 ml/kgBB. Kadar natrium sesuai kebutuhan, sekitar 30 mmol dan
kalium 20 mmol. Pada anak dengan diare tanpa gangguan penyakit penyerta cairan rehidrasi diberikan dalam bentuk
oralit secara oral atau Ringer laktat secara intravena. Cairan pencegah dehidrasi dalam bentuk oralit atau cairan
rumah tangga secara oral. Pemenuhan kebutuhan diberikan dalam bentuk makan minum seperti biasa.

Jika akibat penyakit penyerta anak tidak mungkin minum peroral, maka ketiga kelompok cairan tersebut diatas harus
diberikan secara intravena. Jumlahnya pada dehidrasi berat sekitar 250 ml/kgBB. Pada dehidrasi yang lebih ringan
jumlahnya tentu harus disesuaikan. Komposisi natrium yang harus diberikan sekitar 60-75 mmol. Sejalan dengan
kebuthan suplementasi kalium dan basa, cairan yang kira-kira mendekati komposisi yang dibutuhkan adalah cairan
Darrow-glukosa.

Karena umumnya kita juga harus memeperlambat kecepatan pemberian cairan, sebagai acuan kita dapat memakai
rumus lama yang diajukan oleh Soetedjo, yaitu 60 ml pada empat jam pertama, sisanya diberikan dalam 20 jam
berikutnya

Jika kita berhadapan dengan risiko overhidrasi yang lebih besar, atau penyakit penyertanya mengharuskan dilakukan
restriksi pemberian cairan, jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 75% 80% dari perhitungan.

Di samping itu diperlukan pengawasan yang lebih ketat untuk dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian yang
cepat dan tepat. Penderita diawasi setiap 30 menit. Hal yang perlu diperhatikan : kemajuan hidrasi, jumlah dan
frekuensi diare serta keadaan anak seusai penyakit penyertanya bila perlu kecepatan pemberian cairan dapat
dinaikkan/status hidrasi anak.

Berdasarkan hasil penilaian ini jumlah sisa cairan/24 jam yang harus diberikan dapat disesuaikan.

Sebagai pegangan praktis dapat dipakai acuan berikut :


a. Penderita dengan dehidrasi tidak berta yang dapat minum

Dilakukan rehidrasi dengan oralit : 75 ml/kgBB, diberikan dalam 4 jam


Selama periode ini ASI diteruskan. Bila bayi < 6 bulan dan tidak mendapat ASI, berikan juga air
masak 100-200 ml
Setelah 3-4 jam, harus diselingi dengan pemberian makanan

Bila telah tercapai rehidrasi, selanjutnya penderita diberikan oralit tiap kali diare sebanyak5-10ml/kg BB/diare.

1. Penderita dengan dehidrasi berat yang tak dapat minum

Rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena, dengan larutan Darrow glukosa sebanyak :

Untuk anak berumur < 12 bulan

Jam pertama : 15 ml/kgBB


5 Jam berikutnya : 60 ml/kgBB

Untuk anak berumur > 12 bulan

Jam pertama : 15 ml/kgBB


3,5 Jam berikutnya : 60 ml/kgBB

1. Penderita dengan dehidrasi berat

Rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena, dengan larutan Darrow glukosa sebanyak :

Untuk anak berumur < 12 bulan

Jam pertama : 20 ml/kgBB


5 Jam berikutnya : 80 ml/kgBB

Untuk anak berumur > 12 bulan

Jam pertama : 20 ml/kgBB


3,5 Jam berikutnya : 80 ml/kgBB

Setelah 4 jam (untuk anak besar) atau 6 jam (untuk bayi) dilakukan penilaian kembali. Bila telah rehidrasi, pemberian
cairan intravena diteruskan 100 ml/kgBB/18 jam.atau anak besar dalam 20 jam

1. Terapi nutrisi

Kita tetap berpegangan pada patokan tidak memuasakan anak dengnan diare. Jika pemberian makanan secara
enteral tidak dapat dilakukan, maka kita harus memberikan nutrisi parenteral. Cara yang digunakan dapat
dianalogikan dari cara yang diuraikan pada Tatalaksana Diare Persisten. Sesuai dengan kemajuan keadaan umum
anak, kita harus memberikan makanan secara oral begitu keadaan memungkinkan. Tentu saja kita harus
memperhatikan kebutuhan terapi nutrisi khusus sesuai dengan penyakit penyerta yang dihadapi.

1. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa untuk menanggulangi penyakit penyerta tentu harus diberikan seoptimal mungkin. Bila
diperlukan pemberian antibiotika, perlu dipertimbangkan penggunaan antibiotika yang tidak menimbulkan efek
samping yang memperburuk diare. Begitu pula kita harus mempertimbangkan dampak pemakaian obat yang
mempunyai efek samping terhadap traktus gastrointestinal.
1. B. SARANA REHIDRASI

Sarana rehidrasi dapat digolongkan menurut tempat pelayanan, yaitu di Puskesmas, disebut pojok upaya rehidrasi
oral (URO) atau lebih dikenal nama pojok oralit dan di rumah sakit disebut kegitan pelatihan diare (KPD).

D.1. POJOK ORALIT

Pojok oralit didirikan sebagai upaya terobosan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat/ibu
rumah tangga, kader, petugas kesehatan dalam tatalaksana penderita diare. Pojok oralit juga merupakan sarana
rujukan penderita diare, baik yang berasal dari kader maupun masyarakat. Melalui pojok URO diharapkan dapat
meningkatkan Gizi burukercayaan masyarakat dan petugas terhadap tatalaksana penderita diare, khususnya dengan
upaya rehidrasi oral.

a. Fungsi

mempromosikan upaya-upaya rehidrasi oral (URO)


memberi pelayanan penderita diare
memberikan pelatihan kader (Posyandu)

b. Tempat

Pojok oralit adalah bagian dari suatu truangan di Puskesmas (di sudut ruangan tunggu pasien) dengan 1-2 meja
kecil. Seorang petugas puskesmas dapat mempromosikan RO Gizi burukada ibu-ibu yang sedang menungu giliran
untuk suatu pemeriksaan. Bila seseorang penderita memerlukan URO, maka penderita tersebut dapat duduk di kursi
dibantu oleh ibu/keluarganya untuk melarutkan dan meminum oralit selama waktu observasi 3 jam.

c. Sarana Pendukung

Tenaga pelaksana : dokter dan paramedis terlatih


Prasarana :
1. Tempat pendaftaran
2. Ruang tunggu, sebagai tempat pojok oralit yang dilengkapi dengan :meja, termos es, ceret,
oralit 200 ml, sendok, handuk, baskom, tempat cuci tangan, ember, hoster, untuk penyuluhan dan
tatalaksana penderita diare, termasuk cara melarutkan dan cara menyimpannya.
3. Kamar periksa yang dilengkapi dengan sarana penyuluhan penyakit diare atau kamar periksa
yang tersedia di Puskesmas.

d. Cara Membuat Pojok Oralit

1. Pilihan lokasi untuk Pojok Oralit

Dekat tempat tunggu (ruang tunggu), ruang periksa, serambi muka yang tidak berdesakan.
Dekat dengan toilet atau kamar mandi
Menyenagkan dan baik ventilasinya

2. Pengaturan model di Pojok Oralit

Sebuah meja untuk mencampur larutan oralit dan menyiapkan larutan


Kursi atau bangku dengan sandaran, dimana ibu dapat duduk dengan nyaman saat
memangku anaknya.
Sebuah meja kecil dimana ibu dapat menempatkan gelas yang berisi laritan oralit
Oralit paling sedikit 200 bungkus
3 buah botol/gelas ukur yang dapat mengukur berbagai macam gelas yang dipunyai ibu
3 buah gelas
3 buah sendok
2 buah pipet (mungkin lebih memudahkan untuk dipakai, daripada sendok untuk beberapa
bayi)
Pamflet (yang menerangkan Gizi burukada ibu, bagaimana mengobati atau merawat anak
diare), untuk dibawa pulang ke rumah
Sabun untuk cuci tangan
Waskom (untuk cucui tangan)
Media penyuluhan

Media penyuluhan dalam bentuk poster yang menarik tentang pengobatan dan pencegahan diare penting diketahui
oleh ibu. Selama duduk di Pojok Oralit sangat bermanfaat bagi mereka untuk belajar mengenai Upaya Rehidrasi Oral
serta hal-hal yang penting lainnya, misal : pemberian ASI, perbaikan makanan tambahan, penggunaan air yang
bersih, mencuci tangan dengan penggunaan jamban, juga termasuk poster tentang imunisasi

e. Kegiatan Pojok Oralit

1. Penyuluhan URO
Memberikan demonstrasi tentang bagaimana mencampur larutan oralit dan bagaimana cara
memberikannya.
Menjelaskan cara mengatasi kesulitan dalam memberikan larutan oralit bila ada muntah.
Memberikan dorongan Gizi burukada ibu untuk memulai memberikan makanan pada anak atau
ASI pada bayi (Puskesmas perlu memberikan makanan pada anak yang tinggal sementara di
fasilitas pelayanan).
Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan pengobatan selama anaknya di rumah dan
mentukan indikasi kapan anaknya dibawa kembali ke Puskesmas.
Petugas kesehatan perlu memberikan penyuluhan Gizi burukada pengunjung Puskesmas
dengan menjelaskan tatalaksana penderita diare di rumah serta cara pencegahan diare.

1. Pelayanan penderita

Setelah penderita diperiksa, tentukan diagnosis dan derajat rehidrasi di ruang pengobatan, tentukan jumlah cairan
yang diberikan dalam 3 jam selanjutnya dan bawalah ibu ke Pojok URO untuk menunggu selama diobservasi serta :

Jelaskan manfaat oralit dan ajari ibu membuat larutan oralit.


Perhatikan ibu waktu memberikan oralit
Perhatikan penderita secara periodik dan catat keadaannya (pada catatan klinik penderita
diare rawat jalan) setiap 1-2 jam sampai penderita teratasi rehidrasinya (3-6 jam)
Catat/ hitung jumlah oralit yang diberikan.
Berikan pengobatan terhadap gejala lainnya seperti penurunan panas dan antibiotika untuk
mengobati disentri dan kolera

D.2. Kegiatan Pelatihan Diare (KPD)

1. Fungsi

KPD didirikan sebagi upaya penanggulangan diare dengan fungsi :

Pusat pengobatan diare, terutama upaya rehidrasi oral (URO).


Pusat untuk latihan mahasiswa kedokteran dan peserta latihan lain

2. Tempat
Lokasi KPD ditempatkan dimana:

Petugas sering lalu lalang, sehingga mereka dapat mengamati kemajuan anak

Dekat dengan sumber air


Dekat dengan WC dan tempat cuci tangan
Menyenangkan dan berventilasi baik

1. Sarana Pendukung

1. Tenaga pelaksana dokter dan paramadis terlatih

1. Prasarana :

Sebuah meja yang dilengkapi dengan ceret, oralit, gelas, sendok, handuk, baskom, tempat
cuci tangan, ember dan poster.
Kamar periksa yang dilengkapi dengan sarana penyuluhan penyakit diare atau kamar periksa
yang sudah ada
Logistik : Oralit, Cairan RL, Infuse set, Wing needle, Antibiotika yang diperlukan.

1. Kegiatan

1. Pelayanan derita

Setelah diperiksa, ditentukan diagnosis dan derajat dehidrasi serta tentukan jumlah cairan yang dibutuhkan,
kemudian berikan rehidrasi sesuai derajat dehidrasinya. Bila penderita dehidrasi, lakukan observasi selama 3 jam
sambil memberikan penyuluhan tentang :

Jelaskan manfaat oralit dan cara membuatnya


Perhatikan ibu waktu memberikan oralit
Menjelaskan cara-cara mengatasi kesulitan dalam memberikan larutan oralit bila muntah
Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan pengobatan selama anaknya diare dirumah.

1. Pelatihan
Melaksanakan pelatihan untuk staf RSU yang bersangkutan
Melatih mahasiswa fakultas kedokteran dan Gizi burukerawatan

1. Penelitian

Beberapa KPD digunkan untuk melaksanakan penelitian.

BAB III
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
Surveilans epidemiologi penyakit diare adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap
penyakit diare dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit diare agar dapat
melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.

1. A. Tujuan
Diketahuinya situasi epidemiologi dan besarnya masalah penyakit diare di masyarakat, sehingga dapat dibuat
perencanaan dalam pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya di semua jenjang pelayanan.

1. B. Pengertian

1. Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari kejadian penyakit yang menimpa sekelompok
penduduk (Epi artinya atas, Demos artinya penduduk, Logos artinya ilmu).

1. Surveilans adalah pengamatan yang cermat dan terencana terhadap suatu penyakit melalui
pengumpulan data epidemiologis secara terus menerus dan pengkajian tersebut secara dini dan
menemukan cara penyelesaian secara tepat.

1. Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang biasa pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

1. Kejadian Luar Biasa (KLB)

Yaitu kejadian kesakitan atau kematian yang menurut pengamatan epidemiologis dianggap terjadi peningkatan yang
bermakna pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu, dengan salah satu kriteria sebagai berikut :

1. Jumlah penderita dan atau kematian penderita diare di suatu daerah meningkat 2 kali lipat
atau lebih dalam suatu periode (harian/mingguan/bulanan).
2. Peningkatan jumlah penderita dan atau kematian/CFR karena diare dalam periode tertentu
(mingguan/bulan) dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu.
3. Terdapat satu atau lebih penderita atau kematian karena diare dengan gejala suspek kolera
dalam satu wilayah.
4. Apabila ada penderita/kematian karena diare yang dari usap duburnya diketahui kuman vibrio
cholera.

1. Prosedur Surveilans

1. Ada tiga cara pengumpulan data diare, yaitu melalui :

a.1. Laporan rutin

Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit melalui SP2TP (LB), SPRS (RL), STP dan rekapitulasi diare. Karena
diare termasuk penyakit yang dapat menimbulkan wabah maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk dapat
membuat laporan rutin perlu pencatatan setiap hari (register) penderita diare yang datang ke sarana kesehatan,
posyandu atau kader agar dapat dideteksi tandatanda akan terjadinya KLB/wabah sehingga dapat segera dilakukan
tindakan penanggulangan secepatnya. Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas RR/Diare di Puskesmas kemudian
dilaporkan ke Tingkat Kabupaten/Kota melalui laporan bulanan (LB) dan STP setiap bulan.

Petugas/Pengelola Diare Kabupaten/Kota membuat rekapitulasi dari masing-masing Puskesmas dan secara rutin
(bulanan) dikirim ke tingkat Propinsi dengan menggunakan formulir rekapitulasi Diare. Dari tingkat Propinsi direkap
berdasarkan kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan dikirim ke Pusat (Subdit Diare, Kecacingan & ISPL) dengan
menggunakan formulir rekapitulasi Diare (lihat Lampiran 3.1).

a.2. Laporan KLB/wabah


Setiap terjadi KLB/wabah harus dilaporkan dalam periode 24 jam (W1) dan dilanjutkan dengan laporan khusus
(lihat Lampiran 3.2) yang meliputi :

1) Kronologi terjadinya KLB

2) Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya

3) Keadaan epidemiologis penderita

4) Hasil penyelidikan yang telah dilakukan

5) Hasil penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut

a.3. Pengumpulan data melalui studi kasus

Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun sekali, misalnya pada pertengahan atau akhir tahun. Tujuannya
untuk mengetahui base line data sebelum atau setelah program dilkaksanakan dan hasil penilaian tersebut dapat
digunakan untuk perencanaan di tahun yang akan datang.

1. Pengolahan, analisis dan interpretasi

Data-data yang telah dikumpulkan diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel-tabel atau grafik, kemudian dianalisis
dan diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya dilakukan berjenjang dari Puskesmas hingga Pusat, sehingga kalau terdapat
permasalahan segera dapat diketahui dan diambil tindakan pemecahannya.

1. Penyebarluasan hasil interpretasi

Hasil analisis dan interpretasi terhadap data yang telah dikumpulkan, diumpan balikkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan yaitu kepada pimpinan di daerah (kecamatan hingga Dinkes Propinsi) untuk mendapatkan
tanggapan dan dukungan penangganannya

C. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)

1. Definisi :

SKD adalah salah satu kegiatan dari Surveilan Epidemilogi yang kegunaannya untuk mewaspadai gejala akan
timbulnya KLB Diare.

1. Tujuan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) diare adalah :

1. Menumbuhkan sikap tanggap terhadap adanya perubahan dalam masyarakat yang berkaitan
dengan kesakitan dan kematian.

1. Mengarahkan sikap tanggap tersebut terhadap tindakan penanggulangan secara cepat dan
tepat untuk mengurangi /mencegah kesakitan / kematian.

1. Memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat.

1. Tahap Pelaksanaan

Pengamatan SKD KLB mencakup :


a. Pengamatan ditujukan pada :

1) Jumlah Penderita berdasarkan tempat, waktu dan orang.,

2) Kesehatan Lingkungan

3) Perilaku masyarakat

4) KLB diare sebelumnya

5) Perubahan kondisi : iklim ( climate change ), pengungsian, bencana alam, musim (musim buah dsb),
perpindahan penduduk, pesta/kenduri.

1. Sumber informasi :

1) Pencatatan dan pelaporan rutin

2) Masyarakat

3) Mass Media

4) Instansi/ lembaga terkait, misalnya BMG dan LSM.

5) Hasil Survey/studi kasus.

c. Indikator

1) Meningkatnya jumlah penderita diare berdasarkan waktu (minggu) tempat (desa) dan orang .

2) Kesehatan lingkungan

a) Cakupan penggunaan jamban <80%

b) Cakupan penggunaan air bersih <80%

c) Cakupan pengelolaan sampah <80%

d) Cakupan penggunaan SPAL <80%

e) Cakupan laik penyehatan TPM < 80%

3) Perilaku masyarakat :

a) Cakupan cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar < 80%.

b) Merebus air untuk minum

c) Membuang sampah pada tempatnya

4) KLB diare sebelumnya :

a) Frekuensi KLB berdasarkan wilayah

b) Waktu (bulan) terjadinya KLB

c) Lama KLB berlangsung

d) Kelompok umur, pekerjaan

e) Tindakan penanggulangan KLB

f) Faktor risiko (sumber dan cara penularan)

1. Tindak lanjut SKD KLB


1) Tingkat Puskesmas, yang meliputi :

a) Pengamatan terhadap kasus dan factor resiko

b) Refreshing dan pelatihan kader/masyarakat

c) Menyiapkan stok oralit (logistik) dan mendistribusikan ke Posyandu

d) Perbaikan sarana kualitas air bersih dan sanitasi melalui desinfeksi, perbaikan konstruksi dan pembuatan sara
baru sebagai percontohan

e) Perbaikan kualitas air dan lingkungan melalui inspeksi sanitasi (IS) dan pengambilan sample

f) Penyuluhan kesehatan intensif secara kelompok dan keliling dalam hal pencegahan dan pembuatan media
sederhana

g) Desiminasi informasi kepada kepala wilayah dan kepala desa

h) Menyiapkan carry and blair dan pengambilan spesimen tinja (rectal swab), dan segera dikirim ke Laboratorium

2) Tingkat Kabupaten/Kota

a) Pelatihan/refreshing tenaga Puskesmas + masyarakat (pengusaha dan penjual makanan)

b) Pemeriksaan bakteriologis terhadap air, makanan dan peralatan makanan

c) Memberikan masukan kajian data kepada pengambil keputusan untuk mendapatkan dukungan politis, dana,
produk, hokum, dan lain-lain

d) Perencanaan logistik (oralit, cairan ringer laktat, antibiotika, regensia,media transport)

e) Produksi media cetak sederhana

f) Penyuluhan melalui mass media, cetak, elektronik

g) Desiminasi informasi lintas sector terkait

h) Menyiapkan tim penanggulangan bila terjadi KLB diare

3) Tingkat Propinsi

a) Melatih petugas Kabupaten/Kota

b) Membantu pemenuhan kebutuhan logistik (membuat buffer stok)

c) Menyusun juknis sesuai spesifikasi masing-masing

d) Menetapkan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan criteria daerah untuk kesehatan lingkungan

e) Memberi masukan kajian data kepada pengambil keputusan

f) Memproduksi media penyuluhan elektronik + cetak dan menyebar luaskan ke lokasi KLB

g) Intensifikasi penyuluhan melalui berbagai media massa

h) Menyusun perencanaan menyeluruh di daerah sesuai kompetensinya

i) Menyiapkan tim penanggulangan bila terjadi KLB diare

4) Tingkat Pusat

a) Menyusun pedoman

b) Menyusun norma standar prosedur dan kriteria serta indikator


c) Menyusun perencanaan program (logistik, pengamatan, pencegahan, penyuluhan)

d) Melakukan kajian melalui studi khusus

e) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan SKD

D. Pengorganisasian

1. Pengorganisasian SKD KLB diare dilakukan mulai dari tingkat Puskesmas, Kabupaten/kota,
Propinsi, lintas batas dan Pusat.

Pengorganisasian sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari :

1. Tingkat Puskesmas dengan ketentuan :

1) Pelaksanaan SKD KLB dikoordinir oleh Kepala Puskesmas

a) Petugas P2M, terutama petugas diare

b) Petugas kesehatan lingkungan

c) Petugas pencatatan dan pelaporan (RR)

2) Fungsi dan Peranan

a) Melakukan analisis terhadap penderita diare dari kunjungan Puskesmas per mingguan

b) Melakukan analisis terhadap kesehatan lingkungan pada lokasi/desa yang cakupannya rendah

c) Melakukan pengamatan intensif di desa yang pada periode sebelumnya (minggu, bulan periode yang sama
tahun lalu) terjadi peningkatan kasus/KLB diare.

d) Membuat laporan mingguan mengenai keadaan penderita diare di wilayahnya dan melaporkan kepada
Kabupaten/Kota.

1. Tingkat Kabupaten/Kota dengan ketentuan :

1) Pelaksanaan, dikoordinir oleh Kepala Dinas Kesehatan, dibantu oleh pengelola program terkait dalam KLB
diare (surveillans, diare, Kesling promosi kesehatan) atau disesuaikan dengan struktur/organisasi setempat.

2) Fungsi dan Peranan :

a) Melakukan analisis laporan mingguan penyakit diare

b) Melakukan telaah dan kajian terhadap factor resiko yang ada dari aspek kualitas kesehatan lingkungan dan
perilaku masyarkat

c) Menyusun rencana tentang logistik dan kegiatan pencegahan yang ditujukan terhadap factor risiko dan
tatalaksana penderita serta penyuluhan

d) Membuat laporan untuk penanggung jawab tingkat propinsi dan deseminasi informasi kepada pihak sektor
terkait serta membuat rekomendasi untuk kepala Daerah Kabupaten/Kota.

e) Mengembangkan pelatihan petugas dan masyarakat dengan dana yang bersumber DIP Kabupeten/Kota atau
APBD Kabupaten/Kota.
f) Menyusun rencana kerjasama lintas program dan lintas sektor secara berkala

1. Tingkat Propinsi :

1) Pengelola program terkait antara lain Kesehatan Lingkungan,

Pengendalian penyakit diare, Surveilans dan Promosi Kesehatan atau di sesuaikan dengan struktur organisasi
kesehatan setempat.

2) Fungsi Dan Peranan :

a) Melakukan analisis terhadap daerah rawan KLB dan faktor risikonya serta pemetaan.

b) Melakukan penyusunan kegiatan untuk bantuan logistik, pengamatan dan perbaikan kualitas kesehatan
lingkungan.

c) Mengembangkan metode dan media penyuluhan yang tepat untuk daerah sasaran.

d) Mengembangkan pelatihan bagi petugas Kabupaten/Kota.

e) Menyusun Petunjuk Teknis untuk pengamatan kasus dan faktor risiko.

f) Melakukan dan mengirimkan hasil kajian/pelaporan ke Pusat.

g) Melakukan disminasi informasi bagi instansi terkait dan advokasi untuk pimpinan daerah.

h) Menyusun dan mengembangkan standar dan kriteria daerah.

i) Menyusun pertemuan berkala LP/LS di tingkat Propinsi.

1. Lintas Batas daerah yang mengalami KLB di wilayah Puskesmas, Kabupaten/Kota


dan Propinsi lain, yang ditunjuk sebagai penanggung jawab atau koordinator.

1. Menyampaikan kajian kegiatan yang dilakukan secara berjenjang sampai kejadian diare sudah
dinyatakan aman atau terkendali.
2. Melakukan pertemuan dengan penanggung jawab dari wilayah yang berbatasan.
3. Menyusun kesepakatan bersama dalam pengamanan penderita, antisipasi atau kesiapsiagaan
di wilayah masing-masing.
4. Menyusun kesepakatan untuk sistim informasi tentang kondisi diare di wilayah masing-masing.

1. 3. Tingkat Pusat :

1. Pelaksana, terdiri dari:


1) Direktorat Epim dan Kesmas cq Subdit Surveilans sebagai koordinator.

2) Direktorat P2ML cq Subdit Diare, Kecacingan & ISPL (teknis)

3) Direktorat PL

4) Pusat Promosi Kesehatan

5) Pusat Penanggulangan Krisis

1. Fungsi dan Peranan


1) Melakukan kajian terhadap KLB yang terjadi di daerah.

2) Menyusun dan mengembangkan pedoman tknis untk SKD-KLB

3) Mengembangkan pelatihan bagi petugas propinsi

4) Menyusun dan mengembangkan norma, standar, prosedur, kriteria tatalaksana kasus dan kesehatan
lingkungan.
5) Melakukan diseminasi informasi bagi pihak dan instansi terkait.

6) Melaksanakan studi kasus mengkaji karakteristik daerah rawan KLB.

7) Menyusun pertemuan berkala LP/LS tingkat Pusat.

1. E. Manajemen KLB Diare

Manajemen KLB/Wabah diare dapat dibagi tiga fase yaitu pra-KLB/Wabah, saat KLB/Wabah dan pasca KLB/Wabah.

1. 1. Pra-KLB/Wabah

Persiapan yang perlu diperhatikan pada pra KLB/Wabah adalah:

1. Kab/Kota, Propinsi dan Pusat perlu membuat surat edaran atau instruksi kesiapsiagaan di
setiap tingkat
2. Meningkatkan kewaspadaan (SKD) di wilayah Puskesmas terutama di Desa rawan KLB
3. Mempersiapkan tenaga dan logistik yang cukup di Puskesmas, Kabupaten/Kota dan Propinsi
dengan membentuk Tim TGC.
4. Meningkatkan upaya promosi kesehatan
5. Melaksanakan pemeriksaan usap dubur secara berkala
6. Meningkatkan kegiatan lintas program dan sektor

1. 2. Saat KLB/Wabah
Kegiatan saat KLB :

1. Penyelidikan KLB

Tujuan :

1) Memutus rantai penularan

2) Menegakkan diagnosa penderita yang dilaporkan

3) Mengidentifikasi etiologi diare.

4) Memastikan terjadinya KLB Diare

5) Mengetahui distribusi penderita menurut waktu, tempat dan orang.

6) Mengidentifikasi sumber dan cara penularan penyakit diare

7) Mengidentifikasi populasi rentan

Tahapan penyelidikan KLB :

a) Mengumpulkan, mengolah dan menganalisis informasi termasuk faktor risiko yang ditemukan. (contoh formulir
investigasi KLB Diare terlampir)

b) Membuat kesimpulan berdasarkan :

2). Faktor tempat yang digambarkan dalam suatu peta (spotmap) atau tabel tentang :

(1) Kemungkinan faktor risiko yang menjadi sumber penularan.

(2) Keadaan lingkungan biologis (agen, penderita), fisik dan sosial ekonomi.

(3) Cuaca

(4) Ekologi
(5) Adat kebiasaan

(6) Sumber air minum dan sebagainya.

2). Faktor waktu yang digambarkan dalam grafik histogram yang menggambarkan hubungan waktu (harian), masa
tunas serta agen. Setelah dibuat grafiknya dapat diinterpretasikan :

(1) Kemungkinan penyebab KLB

(2) Kecenderungan perkembangan KLB

(3) Lamanya KLB

3) Faktor orang yang terdiri dari : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, suku bangsa, adat
istiadat, agama/kepercayaan dan sosial ekonomi.

1. Penanggulangan KLB

b.1. Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC)

TCG terdiri dari unsur lintas program dan lintas sektor

b.2. Pembetukan Pusat Rehidrasi (Posko KLB Diare)

Pusat Rehidrasi dibentuk dengan maksud unuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan
pengobatan. Pusat Rehidrasi dipimpin oleh seorang dokter dan dibantu oleh tenaga kesehatan yang dapat
melakukan tatalaksana kepada penderita diare. Tempat yang dapat dijadikan sebagai Pusat Rehidrasi adalah tempat
yang terdekat dari lokasi KLB diare dan terpisah dari pemukiman.

Tugas-tugas di Pusat Rehidrasi :

1) Memberikan pengobatan penderita diare sesuai dengan Tatalaksana standar serta mencatat perkembangan
penderita

2) Melakukan pencatatan penderita : nama, umur, jenis kelamin, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala,
diagnosa/klasifikasi dan lain-lain.

3) Mengatur logistik obat obatan dan lain lain

4) Pengambilan usap dubur penderita sebelum diterapi

5) Penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarganya

6) Memberikan pengobatan preventif sesuai standar

7) Menjaga agar Pusat Rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (dengan mengawasi pengunjung, isolasi dan
desinfeksi)

8) Membuat laporan harian/mingguan penderita diare baik rawat jalan maupun rawat inap.

a) Penemuan penderita Diare secara aktif untuk mencegah kematian di masyarakat, dengan kegiatan :

(1) Penyuluhan intensif agar penderita segera mencari pertolongan

(1) Mengaktifkan Posyandu sebagai Pos Oralit

(2) Melibatkan Kepala Desa/RW/RT atau tokoh masyarakat untuk membagikan oralit kepada warganya yang diare

b) Analisis tatalaksana penderita untuk memperoleh gambaran :


(1) Ratio pengunaan obat (oralit, Zinc, RL, antibiotika)

(2) Proporsi derajat dehidrasi

(3) Proporsi penderita yang dirawat di Pusat Rehidrasi.

(4) Dan lain-lain

e) Pemutusan rantai penularan meliputi :

1) Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan yang mencakup : air bersih, jamban, pembuangan sampah dan air
limbah.

2) Promosi kesehatan yang mencakup : pemanfaatan jamban, air bersih dan minum air yang sudah dimasak,
pengendalian serangga/lalat

Untuk melaksanakan penanggulangan KLB dapat menggunakan formulir penanggulangan KLB (terlampir).

c. Pasca KLB

Setelah KLB/wabah tenang, beberapa kegiatan yang perlu dilakukan :

1. Pengamatan intensif masih dilakukan selama 2 minggu berturut-turut, untuk melihat


kemungkinan timbulnya kasus baru
2. Perbaikan sarana lingkungan yang diduga penyebab penularan
3. Promosi kesehatan tentang PHBS

Anda mungkin juga menyukai