Anda di halaman 1dari 22

Mini Project

PENDEKATAN PRINSIP KEDOKTERAN KELUARGA


PADA PENDERITA EPILEPSI

Oleh:
dr. I Kadek Krisna Aditya, S.Ked
dr. Mahadian Ismail Nasution

Pembimbing:
dr. I Gusti Gede Widia

DALAM RANGKA MENJALANI


PROGRAM DOKTER INTERNSIP
PUSKESMAS RENDANG
PERIODE 11 NOVEMBER 2016 7 MARET 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah, kami bisa menyelesaikan tugas dalam bentuk mini project yang berjudul
PENDEKATAN PRINSIP KEDOKTERAN KELUARGA PADA PENDERITA
EPILEPSI.
Mini project ini kami buat sebagai syarat kelulusan dalam rangka Mengikuti Program
Internsip Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Badan PPSDM Kesehatan 2016-2017,
dimana dalam penyusunan mini project ini tentunya tidak terlepas dari bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah berjasa membantu kami yaitu:
1. dr. Kompyang Gautama, Sp. A sebagai Ketua Internsip Dokter Indonesia (KIDI)
Provinsi Bali.
2. Ni Komang Ayu Trisnahari, SKM, M.Kes sebagai Kepala Puskesmas Rendang.
3. dr. I Gusti Gede Widia sebagai pembimbing kami selama menyelesaikan mini project
ini.
4. Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian mini project ini.
Kami menyadari bahwa mini project yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
diharapkan guna menyempurnakan ke depannya. Akhir kata, semoga mini project ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan untuk kita semua.

Rendang, Februari 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan ...................................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 5
BAB III Metode ............................................................................................................ 20
BAB IV Hasil ................................................................................................................ 23
BAB V Diskusi ............................................................................................................. 32
BAB VI Simpulan dan Saran ........................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 36
LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang dapat mengenai seluruh
usia. Di dunia, 50 juta orang menderita epilepsi dan sebanyak 85% berada di
negara berkembang. Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi
membuktikan keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi
epilepsi di dunia berkisar antara 23-190 tiap 100.000 penduduk tiap tahun dan
bahkan dapat lebih tinggi pada anak-anak, yaitu antara 25-840 tiap 100.000
penduduk tiap tahunnya. Insidensi ini lebih tinggi pada negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju (WHO, 2012).
Epilepsi merupakan suatu kondisi medis, namun seseorang yang menderita
epilepsi juga harus mengatasi berbagai konsekuensi sosial yang timbul (Hills,
2007). Penderita epilepsi merasakan berbagai pelanggaran dan pembatasan dari
hak sipil dan hak asasi manusia mereka, seperti dalam mendapatkan akses
terhadap jaminan kesehatan, surat izin mengemudi, pekerjaan, perjanjian hukum,
dan bahkan pernikahan. Diskriminasi terhadap penderita epilepsi di tempat kerja
dan dalam hal untuk memperoleh pendidikan merupakan hal umum yang sering
dialami para penderita epilepsi (WHO, 2012). Sebuah penelitian di Bengal
menunjukkan hanya 35,9% orang tua yang memperbolehkan anak epilepsi untuk
memperoleh pendidikan di sekolah yang sama seperti anak-anak lainnya
(Bhattacharya, 2007).
Sebagian besar anak dengan epilepsi bersikap baik di sekolah dan mampu
secara kognitif, tetapi mereka lebih sering mengalami masalah dalam
pembelajaran, pencapaian prestasi, dan penurunan daya kognitif, sehingga mereka
membutuhkan perhatian khusus. Oleh karena itu, perilaku guru terhadap epilepsi
penting dalam meningkatkan prestasi sekolah dan perkembangan kemampuan
sosial siswa. Guru yang salah persepsi atau mempunyai sedikit pengetahuan
tentang epilepsi dapat meningkatkan risiko masalah akademik dan sosial siswa
(Institute of Medicine, 2012). Sebuah penelitian komunitas tentang pengetahuan,
sikap, dan persepsi guru mengenai epilepsi di Nigeria menunjukkan adanya

1
kekurangan yang berarti dalam pengetahuan umum tentang epilepsi. Sebanyak
29,2% responden menganggap epilepsi adalah penyakit menular dan 40%
beranggapan bahwa anak dengan epilepsi tidak seharusnya berada di kelas biasa
(Mustapha, Odu, dan Akande, 2012).
Di Indonesia, yang merupakan negara berkembang, terdapat paling sedikit
700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru
setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).
Penelitian tentang insidensi epilepsi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2004-2008
menunjukkan kasus terbesar sebanyak 30,02% terjadi pada usia 5-14 tahun atau
usia sekolah (Putri, 2009).
Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak tidak
hanyaoleh orang perorang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan
olehseluruh anggota masyarakat.Untuk mewujudkan keadaan sehat tersebut
banyak upaya yang harus dilaksanakan
Secara umum pelayanan kesehatan dibagi 2 yaitu pelayanan kesehatan
personal atau pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan kedokteran keluarga adalah termasuk dalam pelayanan kedokteran
dimana pelayanan dokter keluarga ini memiliki karakteristik tertentu dengan
sasaran utamanya adalah keluarga.
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit, dimana
tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan
umur atau jenis kelamin pasien juga tidak boleh organ tubuh atau jenis penyakit
tertentu.
Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak
hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian
dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila perlu aktif
mengunjungi penderita atau keluarganya (IDI 1982).

2
1.2 Deskripsi Masalah
Masalah yang kami sorot kali ini yaitu masih tingginya angka Epilepsi di
Puskesmas Rendang. Selain itu timbulnya kejang yang berulang pada pasien
Epilepsi juga sering. Pasien-pasien epilepsi juga belum memahami tentang
penyakit tersebut. Selain itu, oleh karena beberapa hal, pasien-pasien epilepsi
tidak rutin untuk kontrol atau memeriksakan kesehatannya ke puskesmas. Untuk
itu di puskesmas yang merupakan tingkat pelayanan kesehetan primer, prinsip
kedokteran keluarga perlu diterapkan.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan tentang penyakit Epilepsi kepada penderita
dan kepada keluarga penderita di dusun Baler Pasar, desa Menanga.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memberikan pengetahuan kepada penderita dan keluarga terhadap
penyakit Epilepsi sehingga dapat mengurangi angka kekambuhan
Epilepsi dengan meningkatnya pengetahuan melalui program
penyuluhan.
2. Memberikan pengetahuan apa yang harus dilakukan keluarga penderita
epilepsi jika penderita epilepsi mengalami kejang
3.
1.4 Manfaat
1. Bagi Puskesmas Rendang:
Hasil mini project ini dapat digunakan sebagai bahan informasi yang
dapat membantu tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang
optimal di Puskesmas Rendang.
2. Bagi pendidikan :
Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi program mini project
selanjutnya.

3
3. Bagi masyarakat :
Mendapatkan wawasan pengetahuan, sikap, dan perilaku yang lebih baik
tentang hipertensi sehingga dapat mengurangi angka hipertensi di Dusun
Baler Pasar Desa Menanga.
4. Bagi penulis :
Sebagai pengalaman yang sangat berharga dan dapat menambah
wawasan penulis mengenai pendekatan prinsip kedokteran keluarga
kepada penderita epilepsi Dusun Baler Pasar Desa Menanga.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epilepsi
2.1.1. Definisi

Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum


terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi
yang berbeda-beda ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada
perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang
pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanak-
kanak dan setelah usia 60 tahun (WHO, 2012).
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani dan Latin untuk kejang dan
mengambil alih (WHO, 2005). Epilepsi berasal dari kata Yunani, epilambanmein,
yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh
jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci.
Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi.
Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan
penderita epilepsi dalam kehidupan normal.
Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil
alih. Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya
agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan
(Lowenstein, 2010).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan
sebagai kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh
penyebab yang akut (Markand, 2009).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan
atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok
sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya
muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan

5
menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan
jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas (Engel Jr, 2006).

2.1.2. Epidemiologi

WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal


dari 108 negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang
dengan epilepsi per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata
orang dengan epilepsi per 1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika
mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23
di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka
rata-rata sebanyak 9,97 (WHO, 2005).
Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan
keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara
maju adalah 24-53 per 100.000 populasi. Terdapat beberapa studi kejadian
epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada yang cukup prospektif. Mereka
menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi. Tingkat insidensi tinggi di negara
berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi parasit terutama
neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan
karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang penting
karena epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju,
insidensi di kalangan orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak.
Hal ini diakibatkan karena meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular.
Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih baik dan pengendalian infeksi dapat
mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat insidensi di dunia lebih
besar pada pria dibandingkan wanita (WHO, 2005).

6
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum
diketahui. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun
insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220
juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami
bangkitan dan membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang (Hawari, 2011).

2.1.3. Etiologi
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1. Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik
(hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi biotinidase,
fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik,
spasme infantil, Sindroma West.
3. Anak (6 bulan 3 tahun)
Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia, infeksi,
trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obat-obatan.
4. Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi, thrombosis
arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma Lennox Gastaut, Rolandic
epilepsi.
5. Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi mioklonik
juvenile, trauma, obat-obatan.
6. Dewasa muda (18-25 tahun)
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8. Usia lanjut (>60 tahun)
Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit degeneratif,
trauma. Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin adalah penyebab

7
kejang di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolik
yang berat. Pada negara tropis dan subtropis, infeksi parasit pada sistem saraf
pusat adalah penyebab umum kejang.

Gambar 2.1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia (diadaptasi dari
berbagai sumber termasuk Hauser dan Annegers serta Engel dan Pedley)
Sumber: (Ropper dan Brown, 2005)

2.1.4. Klasifikasi
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against
Epilepsi (1981):
A. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
1. Motorik
2. Sensorik
3. Otonom
4. Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
1. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1. Parsial sederhana menjadi
umum tonik-klonik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik-
klonik

B. Bangkitan umum

8
a. Absans (lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik

C. Tak tergolongkan

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989 (Rudzinski dan Shih, 2011):
A. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik (primer)
1. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
3. Primary reading epilepsy
b. Simtomatik (sekunder)
1. Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak (Sindrom Kojewnikow)
2. Epilepsi lobus temporalis
3. Epilepsi lobus frontalis
4. Epilepsi lobus parietalis
5. Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik

B. Umum
a. Idiopatik (primer)
1. Kejang neonatus familial benigna
2. Kejang neonatus benigna
3. Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
4. Epilepsi absans pada anak
5. Epilepsi absans pada remaja
6. Epilepsi mioklonik pada remaja

9
7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
8. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
b. Kriptogenik atau simtomatik
1. Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia)
2. Sindroma Lennox Gastaut
3. Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik
4. Epilepsi dengan absans mioklonik
c. Simtomatik
1. Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
2. Etiologi atau sindroma spesifik
- Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme

C. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan


a. Serangan umum fokal
1. Kejang neonatal
2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3. Sindroma Taissinare
4. Sindroma Landau Kleffner
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

D. Epilepsi berkaitan dengan situasi


a. Kejang demam
b. Berkaitan dengan alkohol
c. Berkaitan dengan obat-obatan
d. Eklamsi
e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

10
2.1.5. Patofisiologi

Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis

Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang


berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan
neuron.
- Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe,
jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau
perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap
Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali
kejang.
- Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan
fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion,
perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat
terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun
sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+.

11
- Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang
sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan
neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.

2. Mekanisme epileptogenesis

- Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar
K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+
akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan
keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl-
inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi.
Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah
neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal
pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting
pada epileptogenesis.
- Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi
GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
o GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal)
pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari
pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien
ini mengalami penurunan inhibisi.
o Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan
kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang.
Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama
kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus
yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat
ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).

12
2.1.6. Gejala Klinis

Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang


berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua
hemisfer otak terlibat secara bersamaan.

13
2.2 Kedokteran Keluarga
2.2.1 Definisi Dokter Keluarga dan Pelayanan Dokter Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak
hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian
dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila perlu aktif
mengunjungi penderita atau keluarganya.
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit, dimana
tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan
umur atau jenis kelamin pasien juga tidak boleh organ tubuh atau jenis penyakit
tertentu. (Azwar, 1995).
2.2.2 Karakteristik Dokter Keluarga
Karakteristik Dokter Keluarga antara lain:
a. yang melayani penderita tidak hanya sebagai orang perorang melainkan sebagai
anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat sekitarnya.
b. Yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan memberikan
perhatian kepada penderita secara lengkap dan sempurna, jauh melebihi jumlah
keseluruhan keluhan yang disampaikan.
c. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal serta
mengobati penyakit sedini mungkin.
d. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya.
e. Yang menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama
dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan. (Arlinda, 2003)

2.2.3 Manfaat Kedokteran Keluarga


Manfaat Kedokteran keluarga antara lain:
a. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia
seutuhnya, bukan hanya terhadap keluhan yang disampaikan.

14
b. Akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan penyakit dan dijamin
kesinambungan pelayanan kesehatan.
c. Apabila dibutuhkan pelayanan spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan
terarah, terutama ditengah-tengah kompleksitas pelayanan kesehatan saat ini.
d. Akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu sehingga
penanganan suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan pelbagai masalah
lainnya.
e. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanani maka segala
keterangan tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan ataupun
keterangan keadaan sosial dapat dimanfaatkan dalam menangani masalah
kesehatan yang sedang dihadapi.
f. Akan dapat diperhitungkan pelbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit, termasuk faktor sosial dan psikologis.
g. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan tatacara yang
lebih sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan meringankan biaya
kesehatan.
h. Akan dapat dicegah pemakaian pelbagai peralatan kedokteran canggih yang
memberatkan biaya kesehatan. (Azwar, 1995)

2.2.4 Ruang Lingkup Kedokteran Keluarga


Ruang lingkup pelayanan dokter keluarga mencakup bidang amat luas
sekali. Jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam :
1. Kegiatan yang dilaksanakan
Pelayanan yang diselenggarakan oleh dokter keluarga harus memenuhi syarat
pokok yaitu pelayanan kedokteran menyeluruh (comprehensive medical services).
Karakteristik:
A. Jenis pelayanan yang diselenggarakan mencakup semua jenis pelayanan
kedokteran yang dikenal di masyarakat. Dua antaranya yang dipandang penting
adalah :
Ditinjau dari kedudukannya dalam sistem kesehatan
Jika ditinjau dari kedudukannya dalam sistem kesehatan, pelayanan kedokteran
dibedakan atas tiga macam. Ketiga macam pelayanan tersebut adalah pelayanan

15
kedokteran tingkat pertama (primary medical care), pelayanan kedokteran tingkat
kedua (secondary medical care), serta pelayanan kedokteran tingkat ketiga
(tertiary medical care). Pelayanan kedokteran menyeluruh adalah pelayanan
kedokteran yang mencakup ketiga tingkat pelayanan kedokteran diatas.
Ditinjau dari peranannya dalam mencegah penyakit
Jika ditinjau dari peranannya dalam mencegah penyakit, pelayanan kedokteran
dibedakan atas lima macam. Kelima macam pelayanan kedokteran tersebut adalah
peningkatan derajat kesehatan (health promotion), pencegahan khusus (specific
protection), diagnosis dini dan pengobatan tepat (early diagnosis and promt
treatment), pembatasan cacat (disability limitation), serta pemulihan kesehatan
(rehabilitation), pelayanan Kedokteran menyeluruh adalah pelayanan kedokteran
yang mencakup kelima macam pelayanan kedokteran diatas.

B. Tata cara pelayanan tidak diselenggarakan secara terkotak-kotak ataupun


terputus-putus melainkan diselenggarakan secara terpadu (integrated) dan
berkesinambungan (continu). Pengertian pelayanan terpadu disini banyak
macamnya. Yang terpenting adalah dari sudut pengorganisasiannya. Dalam arti
pelbagai jenis pelayanan kedokteran yang dikenal, harus berada dalam suatu
pengorganisasian yang utuh. Sedangkan pengertian pelayanan berkesinambungan
ada dua macam, yaitu :
Berkesinambungan dalam arti pemenuhan kebutuhan pasien
Seseorang yang berada dalam keadaan sehat membutuhkan pelayanan pening
katan derajat kesehatan dan pencegahan penyakit. Tetapi apabila telah jatuh sakit
ia membutuhkan pelayanan pengobatan. Sedangkan bagi yang telah sembuh dari
penyakit, mungkin memerlukan pelayanan pemulihan. Kesemua jenis pelayanan
kedokteran yang dibutuhkan ini harus tersedia secara berkesinambungan.
b. Berkesinambungan dalam arti waktu penyelenggaraan
Pelayanan berkesinambungan yang dimaksudkan disini adalah Pelayanan yang
harus tersedia pada setiap saat yang dibutuhkan. Pelayanan kedokteran yang tidak
tersedia pada setiap saat, bukanlah pelayanan kedokteran berkesinambungan

16
C. Pusat perhatian pada waktu menyelenggarakan pelayanan kedokteran tidak
memusatkan perhatiannya hanya pada keluhan dan masalah kesehatan yang
disampaikan penderita saja, melainkan pada penderita sebagai manusia seutuhnya.
D. Pendekatan pada penyelenggaraan pelayanan tidak didekati hanya dari
satu sisi saja, melainkan dari semua sisi yang terkait (comprehensive approach)
yaitu sisi fisik, mental dan sosial (secara holistik).

2. Sasaran Pelayanan
Sasaran pelayanan dokter keluarga adalah kelurga sebagai suatu unit.
Pelayanan dokter keluarga harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan
kesehatan keluarga sebagai satu kesatuan, harus memperhatikan pengaruh
masalah kesehatan yang dihadapi terhadap keluarga dan harus memperhatikan
pengaruh keluarga terhadap masalah kesehatan yang dihadapi oleh setiap anggota
keluarga. (Arlinda, 2003)

17
BAB III
METODE

3.1 Jenis Kegiatan


Jenis kegiatan mini project ini adalah melakukan kunjungan terhadap
penderita penyakit Epilepsi serta memberikan pengetahuan kepada penderita dan
keluarga penderita Epilepsi

3.2 Tempat dan Waktu


Pelaksanaan mini project berlokasi di Dusun Baler Pasar Desa Menanga
Rendang pada tanggal 11 Februari 2017 pukul 11.00-13.00.

3.3 Sasaran Kegiatan


Sasaran kegiataan mini project ini adalah penderita dan keluarga penderita
Epilepsi.

3.4 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data melalui data primer, yaitu anamnesis atau wawancara
kepada penderita Epilepsi dan juga pemeriksaan fisik pada penderita epilepsi.

3.5 Langkah langkah Pelaksanaan Mini Project


1. Mencari masalah kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Rendang. Ditemukan bahwa berdasarkan data menunjukkan kasus
Epilepsi cukup banyak di Rendang.
2. Mencari referensi mengenai Epilepsi dan intervensi yang dapat
dilakukan.
3. Menyusun materi yang akan disampaikan kepada penderita dan keluarga
penderita Epilepsi
4. Menganalisis data primer yang sudah didapatkan sebelumnya, lalu
menghubungkan dengan prinsip pendekatan kedokteran keluarga.
Penyusunan laporan

18
3.6 Evaluasi
Evaluasi kegiatan dengan menanyakan kembali tentang materi yang telah
disampaikan kepada penderita dan keluarga penderita serta menjawab pertanyaan
yang disampaikan oleh penderita dan keluarga penderita Epilepsi.

19

Anda mungkin juga menyukai