Oleh:
dr. I Kadek Krisna Aditya, S.Ked
dr. Mahadian Ismail Nasution
Pembimbing:
dr. I Gusti Gede Widia
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah, kami bisa menyelesaikan tugas dalam bentuk mini project yang berjudul
PENDEKATAN PRINSIP KEDOKTERAN KELUARGA PADA PENDERITA
EPILEPSI.
Mini project ini kami buat sebagai syarat kelulusan dalam rangka Mengikuti Program
Internsip Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Badan PPSDM Kesehatan 2016-2017,
dimana dalam penyusunan mini project ini tentunya tidak terlepas dari bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah berjasa membantu kami yaitu:
1. dr. Kompyang Gautama, Sp. A sebagai Ketua Internsip Dokter Indonesia (KIDI)
Provinsi Bali.
2. Ni Komang Ayu Trisnahari, SKM, M.Kes sebagai Kepala Puskesmas Rendang.
3. dr. I Gusti Gede Widia sebagai pembimbing kami selama menyelesaikan mini project
ini.
4. Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian mini project ini.
Kami menyadari bahwa mini project yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
diharapkan guna menyempurnakan ke depannya. Akhir kata, semoga mini project ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan untuk kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
kekurangan yang berarti dalam pengetahuan umum tentang epilepsi. Sebanyak
29,2% responden menganggap epilepsi adalah penyakit menular dan 40%
beranggapan bahwa anak dengan epilepsi tidak seharusnya berada di kelas biasa
(Mustapha, Odu, dan Akande, 2012).
Di Indonesia, yang merupakan negara berkembang, terdapat paling sedikit
700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru
setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).
Penelitian tentang insidensi epilepsi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2004-2008
menunjukkan kasus terbesar sebanyak 30,02% terjadi pada usia 5-14 tahun atau
usia sekolah (Putri, 2009).
Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak tidak
hanyaoleh orang perorang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan
olehseluruh anggota masyarakat.Untuk mewujudkan keadaan sehat tersebut
banyak upaya yang harus dilaksanakan
Secara umum pelayanan kesehatan dibagi 2 yaitu pelayanan kesehatan
personal atau pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan kedokteran keluarga adalah termasuk dalam pelayanan kedokteran
dimana pelayanan dokter keluarga ini memiliki karakteristik tertentu dengan
sasaran utamanya adalah keluarga.
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit, dimana
tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan
umur atau jenis kelamin pasien juga tidak boleh organ tubuh atau jenis penyakit
tertentu.
Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak
hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian
dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila perlu aktif
mengunjungi penderita atau keluarganya (IDI 1982).
2
1.2 Deskripsi Masalah
Masalah yang kami sorot kali ini yaitu masih tingginya angka Epilepsi di
Puskesmas Rendang. Selain itu timbulnya kejang yang berulang pada pasien
Epilepsi juga sering. Pasien-pasien epilepsi juga belum memahami tentang
penyakit tersebut. Selain itu, oleh karena beberapa hal, pasien-pasien epilepsi
tidak rutin untuk kontrol atau memeriksakan kesehatannya ke puskesmas. Untuk
itu di puskesmas yang merupakan tingkat pelayanan kesehetan primer, prinsip
kedokteran keluarga perlu diterapkan.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan tentang penyakit Epilepsi kepada penderita
dan kepada keluarga penderita di dusun Baler Pasar, desa Menanga.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memberikan pengetahuan kepada penderita dan keluarga terhadap
penyakit Epilepsi sehingga dapat mengurangi angka kekambuhan
Epilepsi dengan meningkatnya pengetahuan melalui program
penyuluhan.
2. Memberikan pengetahuan apa yang harus dilakukan keluarga penderita
epilepsi jika penderita epilepsi mengalami kejang
3.
1.4 Manfaat
1. Bagi Puskesmas Rendang:
Hasil mini project ini dapat digunakan sebagai bahan informasi yang
dapat membantu tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang
optimal di Puskesmas Rendang.
2. Bagi pendidikan :
Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi program mini project
selanjutnya.
3
3. Bagi masyarakat :
Mendapatkan wawasan pengetahuan, sikap, dan perilaku yang lebih baik
tentang hipertensi sehingga dapat mengurangi angka hipertensi di Dusun
Baler Pasar Desa Menanga.
4. Bagi penulis :
Sebagai pengalaman yang sangat berharga dan dapat menambah
wawasan penulis mengenai pendekatan prinsip kedokteran keluarga
kepada penderita epilepsi Dusun Baler Pasar Desa Menanga.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epilepsi
2.1.1. Definisi
5
menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan
jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas (Engel Jr, 2006).
2.1.2. Epidemiologi
6
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum
diketahui. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun
insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220
juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami
bangkitan dan membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang (Hawari, 2011).
2.1.3 Etiologi
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang
mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak
akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia
waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik,
malformasi congenital pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena
birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit
serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic,
awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini semakin
sedikit.
Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.
7
Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut
dan epilepsy mioklonik.7
Gambar 2.1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia (diadaptasi dari
berbagai sumber termasuk Hauser dan Annegers serta Engel dan Pedley)
Sumber: (Ropper dan Brown, 2005)
2.1.4. Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
8
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
9
bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang
hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-
angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px
bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan
kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan
ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1
menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa
predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi
lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu
saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang
klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan
atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh
kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan
jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak
kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan
kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau
bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya
terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
10
Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah :3
1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal
spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak
anak (Kojenikows Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik klonik pada saat
terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
11
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk
di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
12
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
2.1.5. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi
ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk
ion-ion menerobos membran neuron.
13
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
14
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ),
dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila
natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
15
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa
aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat
yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada
GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan
inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi
pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak
secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan
manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan
neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan
eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor,
vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor
inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul
epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap
kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan
yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati
selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
16
sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia
atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat
trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat
mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga
menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya
grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun
demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme
yang sama.
17
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan
epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik
kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa
hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus,
hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras
thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan
aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada
korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion
(pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus,
benign familial neonatal convulsions.
18
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga
terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika
terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with
febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan
kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi
yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.
19
Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf
yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan
jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari
presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor
NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan
epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain
kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya
dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi
lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari
resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium,
kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi
neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan
listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal
ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi
dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang
20
dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai
sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di
hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses
belajar.
2.1.6 GEJALA
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa
djvu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
a. Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di
jelaskan.
b. Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
c. Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
d. Halusinasi
21
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa : merasa sakit perut , baal, kunang kunang , telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air
besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan
merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
2.1.7 Diagnosis
2.1.7.1 Anamnesis
22
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
23
midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang
berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai
koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenungdan kalau tak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai
setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran
atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh
karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh
atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis
bangkitan ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang
penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-
laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.
Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai
dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot
yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah
dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche
Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).9
24
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus
terletak di gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu
bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu
anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron
sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.
Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini
sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan
bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi
yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini
dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya
berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang
sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran
antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi
yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik
sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme
membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan
aneh.
25
2.1.7.3 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku,
runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah
pemeriksaan foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
26
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
27
Gambar Pembentukan EEG
28
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi
2.1.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang
optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka
kesakitan dan kematian.10
29
(Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene,
Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status
epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital
atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium
berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa
obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan
obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang.
Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara
tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada
kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-
4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa
menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data
penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita
epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan
obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai
antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein
SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di
sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam
mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai
antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian
30
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai
antikonvulsan.
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien
dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan
pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen
31
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
32
anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat sekitarnya.
b. Yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan memberikan
perhatian kepada penderita secara lengkap dan sempurna, jauh melebihi jumlah
keseluruhan keluhan yang disampaikan.
c. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal serta
mengobati penyakit sedini mungkin.
d. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya.
e. Yang menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama
dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan. (Arlinda, 2003)
33
h. Akan dapat dicegah pemakaian pelbagai peralatan kedokteran canggih yang
memberatkan biaya kesehatan. (Azwar, 1995)
34
macamnya. Yang terpenting adalah dari sudut pengorganisasiannya. Dalam arti
pelbagai jenis pelayanan kedokteran yang dikenal, harus berada dalam suatu
pengorganisasian yang utuh. Sedangkan pengertian pelayanan berkesinambungan
ada dua macam, yaitu :
Berkesinambungan dalam arti pemenuhan kebutuhan pasien
Seseorang yang berada dalam keadaan sehat membutuhkan pelayanan pening
katan derajat kesehatan dan pencegahan penyakit. Tetapi apabila telah jatuh sakit
ia membutuhkan pelayanan pengobatan. Sedangkan bagi yang telah sembuh dari
penyakit, mungkin memerlukan pelayanan pemulihan. Kesemua jenis pelayanan
kedokteran yang dibutuhkan ini harus tersedia secara berkesinambungan.
b. Berkesinambungan dalam arti waktu penyelenggaraan
Pelayanan berkesinambungan yang dimaksudkan disini adalah Pelayanan yang
harus tersedia pada setiap saat yang dibutuhkan. Pelayanan kedokteran yang tidak
tersedia pada setiap saat, bukanlah pelayanan kedokteran berkesinambungan
2. Sasaran Pelayanan
Sasaran pelayanan dokter keluarga adalah kelurga sebagai suatu unit.
Pelayanan dokter keluarga harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan
kesehatan keluarga sebagai satu kesatuan, harus memperhatikan pengaruh
masalah kesehatan yang dihadapi terhadap keluarga dan harus memperhatikan
pengaruh keluarga terhadap masalah kesehatan yang dihadapi oleh setiap anggota
keluarga. (Arlinda, 2003)
35
BAB III
METODE
36
3.6 Evaluasi
Evaluasi kegiatan dengan menanyakan kembali tentang materi yang telah
disampaikan kepada penderita dan keluarga penderita serta menjawab pertanyaan
yang disampaikan oleh penderita dan keluarga penderita Epilepsi.
37