Anda di halaman 1dari 45

BAGIAN ILMU KARDIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal Wall Onset 4


Hours, KILLIP I

OLEH :
Aulia Azizah Kosman C 111 13 101

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Pendrik Tandean, Sp.PD-KKV, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Aulia Azizah Kosman C111 13 101

Judul Laporan Kasus: ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal


Wall Onset 4 Hours, KILLIP I

telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Kardiologi dan


Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2017

Supervisor Pembimbing

dr. Pendrik Tandean, Sp.PD-KKV, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Pujidan syukurkami panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat-Nya


kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ST Elevation
Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal Wall Onset 4 Hours, KILLIP I.
Sepanjang penyusunan laporan kasus ini, beberapa pihak-pihak
yangmemberikan kontribusi baik sumbangan waktu, ide, tenaga, dan dukungan
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada yang
dapat kami sampaikan kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua pihak
yang telah membantu, khususnya kepada pembimbing kami, dr. Pendrik Tandean,
Sp.PD-KKV, FINASIM.
Kami menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
laporan kasus selanjutnya. Terima kasih.

Makassar, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman sampul ..................................................................................................... 1


Halaman pengesahan .............................................................................................. 2
Kata Pengantar ....................................................................................................... 3
Daftar Isi................................................................................................................. 4
BAB I Pendahuluan ............................................................................................... 5
BAB II Laporan Kasus ........................................................................................... 7
BABIII Diskusi Kasus......14
Daftar Pustaka ..................................................................40

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian nomor satu di dunia.
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses
penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (unstable angina/UA), infark
miokard tanpa elevasi segmen ST (non-ST elevation myocardial
infarction/NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardialinfarction/STEMI) (Douglas,2010).
Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Sindroma
Koroner Akut (SKA). Faktor risiko SKA meliputijenis kelamin (pria sedikit lebih
tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun dan wanita >55 tahun), riwayat keluarga
dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor risiko yangdimodifikasi. Faktor risiko
yang dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia,diabetes melitus, gaya hidup
sedentari, dan merokok (Jeff C,2010).
Sindroma Koroner Akut (SKA) adalahistilah yang digunakan untuk
kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi
akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah
unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI),
dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) (PERKI, 2014).
Salah satu komplikasi SKA adalah aritmia berupa fibrilasi atrial (AF). AF
dilaporkan telah memperberat kejadian AMI pada 6-21% pasien rawat inap.
Secara klinis, timbulnya AF penting karena laju ventrikel yang cepat dan ireguler
selama aritmia dapat menyebabkan gangguan lebih lanjut sirkulasi koroner dan
fungsi ventrikel disamping konsekuensi aktivasi neurohormonal.Beratnya
komplikasi AF berupa thrombosis dan emboli serebral menyebabkan perlunya
penanganan segera untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas (Alwi,
2006).
Infark miokard adalah kematian sel miosit jantung yang disebabkan proses
iskemia akibat dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-

5
otot jantung. Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti
oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark
bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Thygesenet al., 2009).
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari
3 kriteria, yaitu riwayat nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi
(EKG), dan peningkatan marka jantung. Nyeri dada terjadi lebih dari 20 menit dan
tidak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu
elevasi segmen ST, gelombang Q yang besar, dan inversi gelombang T (Rhee et
al., 2011).
STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area
infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG (Guyton dan Hall, 2007). Keadaan
ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya (PERKI, 2014).

6
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M.T.
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 55 tahun (1-1-1962)
Alamat : Tinanggea
Pekerjaan : PNS
Status : Sudah menikah
Tanggal Masuk RS : 27 Juni 2017
No. Rekam Medis : 805671
Perawatan : CVCU Bed 7

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada kiri menjalar ke lengan kiri sejak 4 jam yang lalu
disertai keringat dingin. Nyeri dada baru pertama kali dirasakan saat
istirahat, durasi >30 menit dan semakin lama semakin memberat. Riwayat
nyeri sebelumnya tidak ada. Sesak napas tidak ada
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi tidak ada
Riwayat nyeri dada disangkal
Riwayat sesak napas sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus tidak ada
Riwayat penyakit lain disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung pada keluarga ada pada saudara kandung.

7
Riwayat Hipertensi pada keluarga disangkal
Riwayat Diabetes Melitus disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : ada sejak 21 tahun yang lalu 1 bks/hari
Riwayat minum alkohol : tidak ada
6. Faktor Risiko
Tidak dapat dimodifikasi : laki-laki, 55 tahun
Dapat dimodifikasi : Merokok

C. PEMERIKSAAN FISIS
1. Status generalis
Keadaan umum: Sakit sedang/Gizi Baik/Compos mentis(GCS 15
E4M6V5)
Status Antropometri
Tinggi Badan : 175 cm
Berat Badan : 65 kg
Indeks Massa Tubuh : 21,22 kg/m2
2. Tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 81 kali per menit
Pernapasan : 20 kali per menit
Suhu : 36.70C
3. Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+3cm H2O, limfadenopati (-), Pembesaran
gondok (-)
4. Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus
simetris kesan normal
Perkusi : Paru kiri : Sonor

8
Paru kanan : Sonor
Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
Auskultasi : Bunyi pernapasan: vesikuler,
Bunyi tambahan: ronki +/+ basal paru, wheezing -/-
5. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis
sinistra
Batas jantungkanan : ICS IV Linea parasternalis
dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea aksilaris
anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung : S I/II regular, murmur tidak ada
6. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
7. Pemeriksaan Ekstremitas
Extremitas hangat
Edema pretibial -/-
Edema dorsum pedis -/-

9
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi (27/06-2017)

Interpretasi:
Ritme : sinus rhytm2
Heart Rate : 75 bpm
Regularitas : reguler
P wave : Normal, upright, 0.08s
PR Interval : Normal 0.16s
QRS complex :
Axis : Normoaxis
Interval : 0.08s
ST Segmen : ST elevasi pada lead V1-V3
Gelombang T : T normal
Kesimpulan :
Sinus rhytme, HR 75 bpm, normoaxis, acute anteroseptal wall myocardial
infraction

10
2. Laboratorium
Test Result Normal Value
WBC 11.2 [10^3/mm3] 4.0 - 10.0
RBC 5.18 [10^6/mm3] 4.50 - 6.50
HGB 14.9 g/dl 14.0 - 18.0
HCT 42.8 % 40.0 - 54.0
PLT 278 [10^3/mm3] 150 400
MCV 82.6 80.0 97.0
MCH 28.8 26.5 33.5
MCHC 34.8 31.5 35.0
HBA 1c 6.3 4-6%
HBs Ag Non-reactive Non-reactive
(ICT)
Ureum 21 mg/dl 10 50
Creatinine 0.66 mg/dl < 1.1
SGOT 43 U/L < 38
SGPT 31 U/L < 41
CK 382.10 U/L < 167
CK-MB 72 U/L < 25
Troponin I 0.45 mg/ml < 0.01
Natrium 140 mmol/l 136-145
Kalium 3.7 mmol/l 3.5-5.1
Klorida 109 mmol/l 97-111
GDP 135 mg/dl 110
PT 9.7 detik 10-14 detik
APTT 21 detik 22.0 30.0 detik
INR 0.91 --

11
E. RESUME

Nyeri dada kiri menjalar ke lengan kiri sejak 4 jam yang lalu disertai
keringat dingin. Nyeri dada baru pertama kali dirasakan saat istirahat, durasi >30
menit dan semakin lama semakin memberat. Riwayat nyeri sebelumnya tidak ada.
Sesak napas tidak ada. Batuk tidak ada. BAK lancar, BAB lancar.
Riwayat hipertensi tidak ada, riwayat penyakit jantung tidak ada, riwayat
diabetes melitus tidak ada, riwayat penyakit jantung dalam keluaga ada yaitu
kakak laki-laki, riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada.
Dari pemeriksaan fisis, pasien sakit sedang, gizi cukup, compos mentis
(E4M6V5). Tanda vital didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 81 kali per
menit, suhu 36.7 derajat celsius dan pernapasan 21 kali per menit. Status
antropometri didapatkan normal(gizi baik). Jugular venous pressure : R+2 cm
H2O pada posisi 30. Pada pemeriksaan thoraks bunyi pernapasan vesikuler,
ronkhi ada dikedua basal paru, S1-S2 murni regular tidak ada bising. Dari
pemeriksaan EKG didapatkan kesimpulan ritme sinus, regular, normoaksis, ST-
elevasi sadapan lead V1, V2 dan V3. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan pada CK: 382,10 U/L, CK-MB: 72 U/L, Troponin I: 0,45 mg/ml.

F. DIAGNOSIS
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) anteroposterior wall onset 4
hours, KILLIP I.

G. TERAPI
1. Bed rest
2. Oxygen 3 LPM via Nasal Kanule
3. NaCl 0,9% 500cc/24j/intravena
4. Aspilet 80mg/24jam/oral
5. Clopidogrel 75mg/24jam/oral
6. Arixtra 2,5mg/24jam/subcutan
7. Cedocard 2mg/jam/syringe pump

12
8. Captopril 12,5mg/8jam/oral
9. Atorvastatin 40mg/24jam/oral
10. Concor 1,25mg/24jam/oral
11. Lansoprazole 30mg/24jam/intravena

13
BAB 3
DISKUSI

1. Definisi
Sindrom koroner akut adalah salah satu manifestasi klinis penyakit jantung
koroner yang utama dan sering mengakibatkan kematian. Sindrom koroner akut
terjadi karena terjadinya pengurangan oksigen akut atau subakut dari miokardium.
Hal ini terjadi karena robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya
proses inflammasi, trombosis, vasokonstriksi dan embolisasi (Thygesen, K., et all,
2007 ).

2. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner
Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevationmyocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segmentelevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung


yang menyebabkan sel otot jantung mati(Guyton, 2007).Infark miokard dengan
elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total
pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi
untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi
koroner perkutan primer (PERKI, 2014).

14
3. Faktor Risiko

Faktor risiko biologis infark miokard:

Tidak dapat diubah

a. Umur
Kerentanan terhadap aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Namun demikian jarang timbul penyakit serius
sebelum umur 40 tahun, sedangkan mulai usia 40-60 tahun insiden
miokard infark meningkat 5 kali lipat. Hal ini terkait dengan kemungkinan
terjadinya atherosclerosis yangmakin besar, terkait dengan deposit lemak
serta elastisistas pembuluh darah yang makin menurun seiring dengan
bertambahnya umur(Price, 2012).
b. Jenis kelamin
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki kecenderungan 5-6 kali dibanding
perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Namun, setelah
wanita menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan asumsi
faktor esterogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan
menurunkan kadar LDL-C, meningkatkan HDL-C serta trigliserida.
Disparitas ini akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, dengan
wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu wanita cenderung lebih
mendapati PJK yang lebih kompleks karena pertambahan umur yang lebih
tua disertai lebih banyak faktor komorbiditas (Price, 2012).
c. Genetik
Terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria brakhialis,
pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media(Price,
2012).

Dapat diubah
a. Merokok
Merokok lebih dari satu pak rokok sehari meningkatan resiko dua kali lipat
terhadap penyakit aterosklerosis koroner daripada mereka yang tidak
merokok. Asap rokok mengandung zat radikal bebas yang bersifat

15
oksidatif dan dapat merusak pembuluh darah. Hal ini akan memperbesar
kemungkinan terjadinya penurunan elastisitas maupun kesehatan dari
jantung, yang bisa juga menjadi premature tidak lagi mengacu pada
umur(Jackson, 2008).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah menjadi resiko independen dalam penyakit
jantung coroner. Framingham menyatakan bahwa terdapat peningkatan
resiko dua kali lipat pada orang dengan tekanan darah lebih dari 160/95
mmHg dibandingkan dengan orang yang normotensi. Dengan kondisi
hipertensi, diketahui bahwa beban usaha serta kontraksi jantung telah
meningkat untuk mengompensasi kondisi di perifer yang kemungkinan
telah mengalami atherosclerosis(Jackson, 2008).
c. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia memungkinan
timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi sel otot polos
pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, fosfolipid,
peningkatan kadaar LDL-C dan kadar HDL-C yang rendah (Jackson,
2008).
d. Dislipidemia
Dislipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl dan tinggi apabila
mencapai >160 mg/dl.dan kadar HDL-C rendah (<40 mg/dl. Risiko
aterogenik yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat teroksidasi dan
menimbulkan deposisi di sirkulasi pembuluh darah. Sedangkan kadar
kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan resiko karena faktor
protektif dari HDL yang rendah seiring dengan kadarnya yang kurang
(Jackson, 2008).
e. Obesitas
Makanan dengan kalori yang tinggi kalori, lemak total, lemak jenuh, gula
dan garan berperan dalam terjadinya hyperlipidemia dan obesitas yang
secara langsung meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen. Hal
ini diperberat dengan gaya hidup pasif (sedentary lifestyle) yang berperan
dalam resistensi insulin, peningkatan resiko gagal jantung setara dengan

16
hiperlipidemia. Seseorang yang dengan sedentary lifestyle memiliki resiko
30-50% lebih besar untuk mengalami hipertensi (Jackson, 2008).
f. Hiperhomosisteinemia
Kadar homosistein atau asam amino alamiah tubuh yang tinggi (>15
mmol/L) berkaitan dengan disfungsi endotel dan gangguan fungsi
trombosit serta vasodilator dinding pembuluh darah. Defisiensi asam folat
dan vitamin B6,B12 berperan dalam hiperhomosisteinemia (Jackson,
2008)..

4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya ACS terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama,
bahkan dapat mencapai lebih dari 20 tahun. Awalnya berupa pembentukan
aterosklerosis yang kemudian mengalami rupture dan menyebabkan terjadinya
pembentukan thrombus. Lebih dari 90% sindrom koroner akut terjadi karena
adanya mekanisme ini. Selain karena adanya pembentukan thrombus,
UA/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen
miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau karena pengurangan
suplai (pengurangan diameter lumen vascular oleh thrombus, vasospasme atau
hipotensi). Mekanisme lain menyebabkan sindrom koroner akut dapat disebabkan
sindrom vaskulitis, emboli koroner, anomaly congenital pembuluh darah koroner,
trauma atau aneurisma koroner, spasme berat arteri koroner, peningkatan
viskositas darah, diskeksi spontan arteri koroner (Rhee J.W., Sabatine S.M., dan
Lily S.L, 2011).
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi jejas
vaskular, di mana jejas ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak
aterosklerosis mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau
sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi

17
ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner (Sudoyo,2006). Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada
STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap terapi
trombolitik(David,2015).

Gambar 1. Gejala STEMI

Pembentukan plak atheroma

Gambar 2. Proses terbentuknya Plak Atheroma

Plak atheroma diawali dengan adanya akumulasi dari lipoprotein pada


tunika intima. Kemudian terjadi oksidasi dan glikasi dari lipoprotein. Hal ini
menyebabkan stress oksidatif yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan
sitokin. Sitokin tersebut meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi yang
mengikat leukosit dan molekul kemoatraktan (seperti MCP-1/ monocyte
chemoattractan protein 1) yang menyebabkan migrasi leukosit ke tunika intima.

18
Selanjutnya akan terjadi stimulasi macrophage colony stimulating factor yang
menyebabkan ekspresi dari reseptor scavenger. Reseptor ini memediasi uptake
modified lipoprotein yang menyebabkan terbentuknya foam cells. Foam cells
merupakan sumber dari sitokin, molekul efektor seperti anion superoksida dan
matrix metalloproteinase. Kemudian akan terjadi migrasi sel otot polos dari tunika
media ke tunika intima yang akan menyebabkan peningkatan ketebalan intima.
Pada stage akhir dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis (Guyton, 2007).

Pembentukan thrombus

Pembentukan thrombus dari plak atherosklerotik melibatkan proses rupture


plak yang akan memaparkan elemen darah terhadap substansi trombogenik dan
disfungsi endotel sehingga kehilangan fungsi vasodilatasi dan antotrombotik.
Rupturnya plak merupakan pemicu utama. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-
faktor yang mengurangi stabilitas plak, stress fisik (Guyton, 2007).

Gambar 3. Komposisi Plak Atheroma

Komposisi dari plak atheroma dipengaruhi oleh mekanisme sintesis dan


degradasi. Sintesis sel otot polos membuat formasi fibrous cap disamping kolagen
dan elastin. Foam sel meningkatkan aktivasi dan enzim proteolitik seperti matrix
metalloproteinase yang mendegradasi kolagen dan elastolitik katepsin. Derivate
dari sel limfosit T juga merusak fibrous cap. Plak dengan fibrous cap yang tipis
mudah menjadi rupture jika ada stress yang tinggi baik secara spontan maupun
saat aktivitas fisik (Guyton, 2007).

19
Gambar 4. Proses Rupturnya Plak Atheroma

Setelah terjadi rupturnya plak akan terjadi pemaparan platelet terhadap


lapisan kolagen subendotelial sehingga platelet terkativasi dan menjadi
beragregasi. Mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi. Mekanismenya
dapat dilihat pada gambar di bawah. Disfungsi endotel akan menyebabkan
penurunan produksi vasodilator dam antiplatelet (Guyton, 2007).

20
Gambar 5. Mekanisme terbentuknya thrombus koroner

5. Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari
anamnesis,pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto
polos dada,diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkansebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA,
dan DefinitifSKA. Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri
dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 1 mm, minimal pada 2
sadapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T
yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim (Siswanto, 2009).
a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung.
Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta
faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga (Siswanto, 2009).
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun

21
STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada
pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien
IMA. Sifat nyeri dada angina sbb:
Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk,
diperas, dan dipelintir
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
Keluhanini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten
(>20 menit).
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan
Gejala penyerta: mual, muntah, nyeri abdominal, sesak napas, diaphoresis,
sinkop, cemas dan lemas.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerahpenjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion),
sesaknapas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang
sulitdiuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda(25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes,
gagalginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal
dapatmuncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalenjika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayatpenyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi
nitratsublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA (PERKI, 2014).

b. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior
memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi)

22
dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas
parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua.
Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat
sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub.
Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca
STEMI(Siswanto, 2009).

c. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeridada atau keluhan lain yang mengarah
kepada infark harus menjalanipemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawatdarurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknyadirekam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepadainfark dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkampada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapatmungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien diruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhanangina timbul kembali(Siswanto, 2009).
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukupbervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (20 menit)
maupuntidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombangT(Siswanto, 2009).
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapanyang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMIuntuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Padasadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada
usiadan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada
priausia 40 tahun adalah 0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah 0,25
mV.Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3,
tanpa memandang usia, adalah 0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai

23
ambangelevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah 0,05 mV, kecuali
priausia <30 tahun nilai ambang 0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang
disadapan V7-V9 adalah 0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal,
sadapanyang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi,
dapatdijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior
(elevasidi V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersamadengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien
tersebutadalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG
yangdiagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum
hasilpemeriksaan marka jantung tersedia(Siswanto, 2009).
Tabel 1: Lokasi Infark berdasarkan sadapan EKG
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V3-V4
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V1-V4
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V3-V6 dan I dan
Avl
4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V5-V6 dan inversi
gelombang T/elevasi ST/gelombang
Q di I dan Avl
5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, aVF, dan
V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, dan aVF
7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3
8 Posterior Elevasi segmenST dan/atau
gelombang Q di V7-V9

24
9 RV Elevasi segmen ST di precordial
Infraction lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada
infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam
beberapa jam pertama infark.

G
ambar
6. ST
Elevas
i

Se
bagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi
gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard
gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-gelombang
Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST.
pasien tersebutbiasanya mengalami angina tidak stabil atau non-
STEMI(Siswanto, 2009).
Berikut perbedaan tampilan EKG infark miokardium pada UA/NSTEMI dan
STEMI:

25
Gambar 7. Kelainan EKG pada UA dan NSTEMI

Sedangkan pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di


bawah ini:

Gambar 8. Evolusi EKG pada STEMI

d. Perubahan enzimatik
Nekrosis dari sel miokardium akan menyebabkan rupturnya sarkolema yang
menyebabkan leakage dari makromolekul intrasel ke dalam aliran darah. Molekul
tersebut antara lain Troponin dan CKMB. Troponin adalah protein regulasi otot
yang mengontrol interaksi antara aktin dan myosin. Terdiri atas 3 unit yaitu TnC,
TnI dan TnT. TnI dan TnT mempunyai struktru yang unik sehingga lebih spesifik.
Namun troponin dapat dideteksi dalam darah pada keadaan acute cardiac strain
atai infalamasi. Troponin serum mulai meningkat 3-4 jam setelah onset dengan
puncak pada 18-36 jam kemudian akan menurun perlahan sampai 10-14 hari. cTn
T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
CKMB merupakan bentuk penyimpanan endogen dari ikatan fosfat berenergi
tinggi. Dapat ditemukan di jantung, uterus, prostat, usus, diafragma dan lidah.
Serum CKMB akan meningkat 3-8 jam setelah infark dengan puncaknya pada 24
jam dan akan kembali ke kadar normal 48-72 jam. Pemeriksaan lainnya:
mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH). Reaksi
nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi
dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit
dapat mencapai 12.000-15.000/Ul (Siswanto, 2009).

26
Gambar 9: Waktu timbulnya berbagai jenis Biomarker jantung
(Dikutip dari Bertrand ME, et al. Eur Heart J 2002;23:1809
1840)

6. Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang
ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline)(Sudoyo, 2010).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada(Sudoyo, 2010) (Fauci, 2010).
a. Tatalaksana awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan
lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama
tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain(Sudoyo,
2010) (Fauci, 2010) (Antman et al, 2008).
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2. Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi

27
3. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta
pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh
tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini(Sudoyo,
2010) (Fauci, 2010).
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan
managemen STEMI serta ada kendali komando medis online yang bertanggung
jawab pada pemberian terapi(Sudoyo, 2010) (Fauci, 2010) (Antman et al, 2008).
b. Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI(Sudoyo, 2010) (Fauci, 2010) (Antman et
al, 2008).
Tatalaksana umum
Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama(Fuster et al, 2011).
Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, nitrogliserin juga dapat menurunkan kebutuhan
oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark
atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
nitrogliserin intravena. Nitrogliserin intravena juga diberikan untuk
mengendalikan hipertensi atau edema paru (Fuster et al, 2011).
Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan

28
dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total
20 mg. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada sangat penting karena
nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokontriksi dan
meningkatkan beban jantung (Fuster et al, 2011).

Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg(Fuster et al, 2011).

Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR <
0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50
mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12
jam(Sudoyo, 2010) (Antman et al, 2008).

c. Tatalaksana di rumah sakit


ICCU
Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12
jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg,
atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering mengakibatkan
konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat
tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti

29
dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari)(Sudoyo, 2010) (Antman et al,
2008).

Terapi pada pasien STEMI


Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna(Sudoyo, 2010).
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit(Sudoyo, 2010) (Antman et al, 2008)..
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark
miokard dan menurunkan angka kematian(Sudoyo, 2010).
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.Jika
terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan(Sudoyo, 2010).

Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik
(terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah

30
ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang
mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana,
hanya di beberapa rumah sakit(Sudoyo, 2010) (Fauci, 2010).

Gambar 10: Langkah-langkah reperfusi


Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya adalah
merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin(Sudoyo, 2010)
(Fauci, 2010).
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik
tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG
datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.

31
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :2
Tabel 2: Kontraindikasi terapi fibrinolitik

Berikut yang termasuk obat fibrinolitik:


Streptokinase: merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup
harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah(Sudoyo,
2006) (Fauci, 2010).
Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to
Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30
hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun,
tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan intrakranial
sedikit lebih tinggi(Sudoyo, 2006) (Fauci, 2010).
Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus lebih
mudah karena waktu paruh yang lebih panjang(Sudoyo, 2006) (Fauci, 2010).
Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesisfisitas
fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1).
Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3
flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA(Sudoyo,
2006) (Fauci, 2010).

32
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti perdarahan
(Sudoyo, 2006) (Fauci, 2010).

Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) /
Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor,
dan Angiotensin Receptor Blocker(Antman et al, 2008).

Anti agregasi trombosit


Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23%
dan infark non fatal sebesar 49% (Juwana, 2009).
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6
bulan pada kelompok abciximab dan stenting (Juwana, 2009) (Budi Siswanto,
Bambang, et al, 2009).

Anti Coagulant
Standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated heparin
(UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin
dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan
memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.Dosis yang
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus
inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).Activated partial thromboplastin
time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali (Sudoyo, 2006).

33
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama
dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan (Sudoyo, 2006).
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang
menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik (Budi Siswanto, Bambang, et al, 2009)
(Antman et al, 2008).
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang
mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan
kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal,
dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok
pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun
tertinggi (18%) (Budi Siswanto, Bambang, et al, 2009)..

Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat
yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam
jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen
miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius (Sudoyo, 2006).
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma) (Sudoyo,
2006).

Inhibitor ACE

34
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan
manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat
beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian
infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti
klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan
dinding global, atau pasien hipertensif (Sudoyo, 2006).
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di
atas 100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan
gagal jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti
captopril 6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg (Fuster et al, 2011).

Antagonis Kalsium
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium secara
rutin. Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada
penderita dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah mendapatkan
nitrat dan penyekat beta(Fuster et al, 2011).

Antitrombotik
Menurut John (2008) heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated
heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberika 5000
unit bolus dilanjutkan dengan 1000 unit/jam. Dosis heparin kemudian diteruskan
sesuai pemeriksaan aPTT (target aPTT 1,5-2 x nilai normal) (Fuster et al, 2011).

Antagonis Reseptor Glykoprotein IIb/IIIa

35
Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant
fibrinolitik. Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka
harapan hidup (Fuster et al, 2011).

7. Komplikasi
Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk (Sudoyo, 2006).

Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.2Kegagalan pompa yang dapat berujung pada remodeling, yang dapat
menjadi gagal jantung ditandai dengan tanda-tanda seperti dyspnea, terdapat suara
jantung ketiga, ronkhi pulmonal, dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi
ejeksi. Marker jantung berupa BNP (Brain Natriuretic Peptide) mengindikasikan
stress miokardium. Derajat gagal jantung setelah infark dapat dilihat berdasarkan
klasifikasi Killip (1 ; asimptomatik, 2; terdapat ronki basah kasar, distensi vena
jugularis, 3; edema paru, 4; syok kardiogenik)(Sudoyo, 2006).

Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel (Sudoyo, 2006).50% syok
kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% dalam 24 jam. Tanda-tanda syok

36
kardiogenik seperti, hipotensi, bukti cardiac output rendah (takikardia saat
istirahat), perubahan status metal, olguria, ekstremitas dingin dan kongesti
paru(Sudoyo, 2006).

Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi (Sudoyo, 2006).

Hipotensi

Jika tekanan darah sistolik menetap <90 mmHg, dapat terjadi karena
hipovolemia atau manifestasi dari iskemia miokard yang menyebabkan gangguan
irama. Hipotensi berkelanjutan dapat menyebabkan urin output berkurang,
gangguan akut ginjal(Sudoyo, 2006).

Kongesti Paru

Ditandai dengan adanya dyspnea dengan ronkhi basah paru dibasal.


Didapati perbaikan dengan pemberian diuretic atau vasodilator(Sudoyo, 2006).

Aritmia

Aritmia dan gangguan konduksi jantung serig ditemukan dalam beberrapa


jam pertama setelah infark miokard. Awitan fibrilasi atrium sebesar 28%,
ventrikel takikardia yang tidak belanjut,, blok AV derajat tinggi 10% (30 detak
permenit selama 5 detik), sinus bradikardi 7% dan henti sinus sebesar 5% (5
detik). Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat merupakan manifestasi
klinis akibat iskemia miokard, kegagalan pompa jantung, hipoksia, gangguan
elektrolit (hypokalemia) dan gangguan asam basa(Sudoyo, 2006)..

Perikarditis

Gejala pericarditis adalah rasa tajam terkait dengan postur dan pernapasan.
Hilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi,parasetamol ataupun kolkhisin.
Dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST biasanya ringan dan
progresif(Sudoyo, 2006).

37
Thrombus ventrikel kiri

Insidennya berkurang karena terapi reperfusi, obat-obatan antitrombotik.


Penelitian menyatakan bahwa hamper seperempat infar miokard anterior memiliki
trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi. Pemberian anti koagulan pada pasien
dengan abnormalitas gerakan dinding anterior besar mengurangi terjadinya
trombus mural(Sudoyo, 2006).

Gambar 11. Komplikasi Miokard Infark (Sudoyo, 2006)

8. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA (David,
2015):
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik
Tabel 3.Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)

38
I Tak ada tanda gagal 6
jantung
II +S3 dan atau ronki 17
basah
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung


dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Tabel 4. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut
Kelas Indeks Kardiak PCWP Mortalitas
(L/min/m2) (mmHg) (%)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

9. AV BLOK
a. Definisi

Gangguan pada nodus AV dan atau sistem konduksi menyebabkan


kegagalan transmisi gelombang P ke ventrikel (Davey, 2005). AV block
merupakan komplikasi infark miokard yang sering terjadi (Boswick, 1988).

b. Klasifikasi

. 1. Block AV Derajat Satu

Block AV derajat satu merupakan derajat yang paling ringan. Pada jenis
ini, impuls yang dibentuk disimpul SA mengalami perlambatan disimpul AV.
Karena itu, istilah block AV pada kondisi ini sebenarnya kurang tepat, karena
yang terjadi adalah perlambatan (delay), bukan block. Pada derajat satu, block

39
biasanya terjadi di simpul AV. Pada umumnya durasi kompleks QRS yang
mengikuti masih sempit kecuali bila terjadi aberansi. Interval PR tampak konstan
tanpa episode dropped beat. Karena itu interval RR juga tampak teratur.

Pemanjangan interval ini antara lain disebabkan konsumsi obat-obatan (


seperti penyekat reseptor beta, antagonis kalsium, amiodaron dan digoksin),
penyakit jantung koroner. Meskipun jarang, pemanjangan interval PR (0,21-0,22
det) kadang masih akan ditemukan pada individu tanpa kelainan struktural apa-
apa di jantung. Pasien sering kali tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Blok
AV derajat satu biasanya tdak memerlukan tindakan apa-apa.

Kriteria diagnostiknya adalah :

1) Setiap gelombang P di ikuti oleh QRS ( tidak ada episode dropped beat).

2) Interval PR > 0,2 detik. Pemanjangan interval ini konstan dari beat ke beat.

2. Block AV derajat dua

Tahun 1899, karel frederik Wenckebach, menjelaskan sebuah fenomena


timbulnya sebuah ketidakteraturan denyut nadi karena block parsial di atrium
ventrikular junction. Akibat blok parsial ini , terjadi pemanjangan progresif waktu
konduksi di jantung. Fenomena ini kemudian disebut sebagai fenomena
Wenckebach. Pada bulan juli 1923 woldemar mobitz untuk pertama kali membagi
block AV derajat dua menjadi dua tipe yaitu

1) Tipe I ( mobitz tipe I atau Wenckebach phenomenon)

Pada mobitz tipe I impuls yang datang dari atrium lebih sulit melawati simpul
AV. Pada EKG tampak pada interval PR memanjang progresif hingga suatu saat
gelombang P tidak diteruskan menjadi kompleks QRS karena simpul AV masih
refrakter (Wenckebach phenomenon). Dengan demikian, depolarisasi dari atrium
tidak lagi diteruskan ke ventrikel atau dropped beat. Setelah dropped beat ini
terjadi, masa refrakter simpul AV telah selesai. Dengan kata lain simpul AV telah
siap untuk menerima dan meneruskan impuls yang baru dari atrium. Karena itu
saat ada impuls yang baru datang, simpul AV kembali dapat meneruskannya ke
distal dengan interval PR lebih pendek dibanding sebelum terjadinya dropped
beat. Siklus baru akan di mulai kembali interval PR perlahan-lahan kembali
memanjang hingga suatu saat kembali terjadi dropped beat demikian seterusnya.

40
Interval PR perlahan-lahan akan tampak memendek hingga terjadinya block.
Karena adanya fenomena ini kompleks QRS akan tampak seperti mengelompok
seperti adanya block. Bila menemukan fenomena seperti ini kita dapat mencurigai
terjadinya block wenckebach sebelum menyelidiki hubungan antara gelombang P
dan kompleks QRS.

Tidak semua block derajat ini memperlihatkan pemanjangan interval PR yang


jelas. Pada sebagian kasus pemanjangan interval ini terjadi perlahan hingga
terjadinya dropped beat. Meskipun demikian , kita akan selalu melihat bahwa
interval PR setelah dropped beat akan selalu lebih pendek dibanding sebelum
episode block.

Pada block AV derajat dua tipe I lokasi block biasanya masih berada disimpul
AV atau bagian atas regio junctional atau supra his. Biasanya kompleks QRS juga
akan normal (sempit). Hemodinamik masih akan normal. Pasien-pasien seperti ini
akan tetap asimtomatik bertahun-tahun tanpa mengalami perburukan derajat.

Pada kasus block wenckebach terdapat kriteria sebagai berikut :

a) Interval PR memanjang progresif hingga suatu saat mengalami block.

b) Interval RR memendek hingga gelombang P mengalami block.

c) Interval RR diantara gelombang P yang mengalami block lebih pendek dari


jumlah dua interval PP.

Mobitz tipe satu dapat timbul karena konsumsi obat-obat tertentu seperti
digoksin atau penyakat reseptor beta. Block ini cukup sering terjadi pada infark
miokard inferior akibat gangguan suplai darah ke simpul AV. Selain itu, juga
dapat terjadi pada miokarditis, proses sklerodegeneratif yang melibatkan nodus
AV dan tonus vagal yang tinggi (seperti saat tidur, muntah, atlet terlatih).

2) Tipe II ( mobitz tipe II)

Tipe ini mengindikasikan terjadinya kerusakan struktural permanen berkas


cabang akibat infark miokardium anterior luas atau proses degeneratif luas sistem
konduksi. Lokasi block biasanya terdapat dibawah bekas his atau infra his. Lokasi
block di simpul AV sangatlah jarang karena itu sebagian besar akan disertai oleh
block berkas cabang.

41
Pada mobitz tipe II tidak di dapatkan pemanjangan progresif interval PR yang
membedakannya dari mobitz tipe I. Interval PR akan konstan, bisa memanjang
atau normal. Yang khas adalah terdapat block intermiten gelombang P dengan
rasio yang bervariasi (3:2,4:3,dll). Durasi QRS sering kali lebar yang menandakan
lokasi block di distal berkas his.

Kriteria diagnosa mobitz tipe II yaitu :

a) Block intermiten gelombang P

b) Pada gelombang P yang diteruskan menjadi kompleks QRS (conducted),


interval PR akan konstan (bisa normal atau memanjang).

c) Pada umumnya morfologi QRS merupakan block berkas cabang.

3. Block AV 2:1

Block AV 2:1 merupakan kondisi yang khusus. Pada block AV rasio 2:1 (
2 gelombang P dengan 1 QRS), sangat sulit ditentukan apakah termasuk block
mobitz tipe I atau tipe II. Pada tipe I harus ada pemanjangan proresif interval PR
sedangkan pada tipe II harus ada bukti bahwa interval PR konstan.

4. Block AV derajat tiga (Block AV total)

Pada block AV total seluruh impuls dari supraventrikel gagal diteruskan


ke ventrikel akibat adanya block di AV junction. Akibatnya aktifitas ventrikel
tidak lagi distimulasi oleh pacu jantung(pace maker) normal yaitu simpul SA,
melainkan dari sumber atau fokus yang berada distal terhadap lokasi block, bisa di
AV jantung atau lebih distal seperti berkas cabang. Fokus ini disebut subsidiary
pacemaker. Karena itu baik aktifitas atrium dan ventrikel akan tampak berjalan
sendiri-sendiri. Tidak ada hubungan konstan atau koordinasi antara gelombang P
dan kompleks QRS ( independent satu sama lain). Interval PP dan RR tampak
teratur, kecuali ekstra sistol. Pada pasien dengan irama dasar fibrilasi atrium atau
kepak atrium (atrial flutter), terjadinya block AV Total dapat dikenali jika respon
ventrikel menjadi teratur.

Dalam interpretasi perlun disebutkan irama yang mengambil alih. Dengan


demikian , kriteria block AV total adalah :

42
a) Tidak terdapat hubungan antara aktifitas atrium (gelombang P) dan ventrikel
(komplek QRS).

b) Laju gelombang P biasanya lebih cepat dari laju QRS.

c) Irama ventrikel dipertahankan oleh irama junctional atau idioventrikular.

Gejala yang ditimbulkan oleh blok AV derajat adalah perasaan adanya


detup jantung kuat, pusing pusing sampai terjadi sinkope ( serangan Adam-stokes
). Paesien blok AV derajat 3 akibat penyakit degeneratif mutlak memerlukan
pemasangan pacu jantung permanen.

Pada keadaan sinkope, pemberian atropin I.V dosis 0,5 mg adalah pilihan
utama. Pilihan lain adalah infus isoprenalin 2 ug/menit kemudian dosis dinaikkan
secara bertahap sampa laju jantung mencapai 50-60 kali/menit. Apabila blok
disebabkan karena inflamasi jungsion AV akibat miokarditis, maka pemberian
kortikosteroid dapat membantu.

Blok AV pada derajat 3 akibat infark miokard inferior biasanya bersifat


sementara dan menghilang setelah terjadi reperfusiyang adekuat. Namun apabila
terjadi gangguan hemodinamik maka perlu seger diberikan atropin IV 0,5 mg
kemudian pemasangan pacu jantung sementara di RS yang memiliki fasilitas itu.
Apabila pemberian atropin beberapa kali tidak memberi respon, maka dapat
dicoba antagonis reseptor adenosin yaitu aminofilin IV dengan dosis 120 mg,
kemudian dilanjutkan dengan drips ( 0,2 mg/kgbb/jam ) selama 24 jam dapat
membantu. Perlu diketahui disini adalah bahwa aminofilin dapat menurunkan TD
dan kadang-kadang dapat mempresipitasi adanya suatu takikardi.

43
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard dengan ST Elevasi. Dalam: Sudoyono, W.A.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
PenyakitDalam FKUI, 1741-1742.
Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the ACC/AHA
2004 guidelines for the management of the patients with ST- elevation
myocardial infarction : a report of the American College of Cardiology
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2008;51:210
247.
David, L.C., S. Jamshid, et al. 2015. Acute Coronary Syndrome. Medscape
Douglas, M.,2005. The Pathophysiology of Acute Coronary Syndromes.
Washington University School of Medicine: 1-6.
Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrisons Principles of Internal Medicine.
New South Wales: McGraw Hill. 2010.
Guyton, A.C. dan Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
kesembilan. EGC. Jakarta
Jackson G. Acute Coronary Syndrome. New York: Oxford Press; 2008. p 4-10.
Jeff C, Christopher M, James L. The Relationship Between Depression, Anxiety
and Cardiovascular Outcomes in Patients with Acute Coronary Syndromes.
Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2010;64:1528.
Juwana YB, Wirianta J, Ottervanger JP, et al. Primary coronary intervention for
ST-elevation myocardial infarction in Indonesia and the Netherlands: a
comparison. Neth Heart J [Internet]. 2009 Nov [cited 2015 Aug 20]; 17(11):
418421.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2014. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi ketiga. Centra Communications.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI [Internet]. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI ; 2015 [cited 2015 August 20]. Available from
:http://www.depkes.go.id/article/print/15021800003/situasi-kesehatan-
jantung.html

44
Rhee J.W., Sabatine S.M., Lily S.L., 2011. Acute Coronary Syndromes. Dalam:
Pathophysiology of Heart Diseases. Edisi kelima. Lippincott Williams &
Wilkins, Wolters Kluwer. Philadelphia: 161-189.
Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Thygesen, K., et all., 2007. Universal Definition of Myocardial infarction.
Circulation 116:2634-2653.
World Health Organization Noncommunicable Disease Country Profiles
[Internet]. Geneva : World Health Organization; 2014[cited 2015 Aug 21].
Available from: http://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf
Budi Siswanto, Bambang, dkk. 2009. Pedoman tatalaksana Penyakit
Kardiovaskuler di Indonesia. Perhimpunan dokter spesialis kardio vaskuler
Indonesia. hal. 87-93

45

Anda mungkin juga menyukai