PRESUS Ca Cervix IB EGY
PRESUS Ca Cervix IB EGY
LAPORAN KASUS
1.2 ANAMNESIS
(Diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 26 Juli 2017, 14.15 WIB)
Keluhan Utama
Keputihan sejak bulan mei dan semakin banyak.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku keputihan sejak bulan mei kemarin dan semakin
banyak disertai terasa perut nyeri sampai ke pinggang. Pasien juga
mengaku saat berhubungan terasa nyeri dan pasien punya riwayat
perdarahan saat bersenggema kurang lebih 1 tahun yang lalu. Pasien
masuk dari poliklinik onkologi RSGS yang merupakan rujukan dari RS
Husada dan telah dilakukan pemeriksaan histopatologi tanggal 06/06/2017
dengan hasil jaringan yang diperiksa condong ke Karsinoma sel skuamosa
tidak berkeratin berdiferensiasi sedang-buruk DD/Adenokarsinoma. Pasien
1
dirujuk untuk dilakukan penanganan selanjutnya dikarenakan RS tsb
memiliki fasilitas yang minimal.
Riwayat Haid
Menarche 15 tahun, siklus teratur 28 hari, lama 5 hari, nyeri haid tidak
ada. jumlahnya 3 kali ganti pembalut/hari.
Riwayat KB
KB Suntik, lama pemakaian 1 tahun, keluhan perdarahan
Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali tahun 2009, usia saat menikah 23 tahun
Riwayat Persalinan
1. 09/10/2011, bidan, 9 bulan, normal, Perempuan, BB 3000 PB 50
cm, sehat
2. 13/01/2017, dokter, 9 bulan, SC, Laki-laki, BB 2800 PB 45 cm,
sehat
2
Nadi : 84 kali/menit, reguler
Pernafasan : 20 kali/menit
Suhu tubuh : 36 0C (axilla)
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
Jantung : BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Paru : Vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Abdomen : membuncit, bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
Status Ginekologis
Inspeksi : Vulva/Uretra tenang, perdarahan (-)
Inspekulo : portio kemerahan, flour (+) fluksus (-)
VT: (+) massa eksofitik di cervix ukuran 5x4x3cm, vagina (-),
parametrium (-)/(-)
3
Hemoglobin 10,9 12.0 - 16.0 g/dL
Hematokrit 35 37 47 %
Eritrosit 4.5 4.3 6.0 juta/L
Leukosit 9090 4,800 10,800 /L
Trombosit 399000 150,000400,000 /L
MCV 77 80 96 fL
MCH 24 27 32 pg
MCHC 31 32 36 g/dL
KOAGULASI
Waktu perdarahan 200 1 - 3 menit
Waktu pembekuan 400 1 - 6 menit
KIMIA KLINIK
SGOT 14 < 35 U/L
SGPT 12 < 40 U/L
Albumin 4,3 3,5 - 5,0 g/dl
Ureum 11 20 50 mg/dL
Kreatinin 0,6 0,5 1.5 mg/dL
Glukosa Darah (Puasa) 81 70 - 100 mg/dL
Natrium 144 135 - 147 mmol/L
Kalium 4,3 3,5 - 5,0 mmol/L
Klorida 109 95 - 105 mmol/L
4
MCV 76 80 96 fL
MCH 25 27 32 pg
MCHC 33 32 36 g/Dl
5
1.10 FOLLOW UP
27 Juli 2017 jam 06.30 WIB
S O
Nyeri perut sampai ke pinggang, KU baik, CM
makan dan minum baik, BAK dan TD: 100/70 Nadi: 88x/m P: 16x/m
BAB normal Hemodinamik stabil
St. Generalis dbn
St. Ginekologis
Inspeksi : v/u tenang, perdarahan
(-)
A P
P2 Ca Cx Std IB2 Rencana operasi hari
6
- GV hari ke3
- Pemasangan kateter 3 hari
7
1.12 ANALISA KASUS
Pasien baru masuk dari poli onkologi kebidanan dengan P2 Ca
Cervix Stadium IB2. Pasien sebelumnya merupakan rujukan dari RS
Husada dan telah dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pasien dirujuk
karena RS tersebut memiliki fasilitas yang minimal untuk dilakukan
penanganan selanjutnya dan pasien direncanakan untuk dilakukan
histerektomi radikal tanggal 27 Juli 2017 di RSGS.
Pada pemeriksaan tanda vital dan status generalis dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status ginekologi inspeksi didapatkan
Vulva/Uretra tenang, perdarahan (-); pada pemeriksaan inspekulo
didapatkan portio kemerahan, flour (+) fluksus (-); dan pemeriksaan VT
didapatkan (+) massa eksofitik di cervix dengan ukuran 5x4x3cm, vagina
(-), parametrium (-)/(-).
Pada pemeriksaan histopatologi yang dilakukan di RS Husada
tanggal 06 Juni 2017 didapatkan hasil condong ke Karsinoma sel
skuamosa tidak berkeratin berdiferensiasi sedang-buruk
DD/Adenokarsinoma.
Pasien dilakukan pembedahan tanggal 27 Juli 2017 dengan tindakan
Histerektomi total dan salpingektomi bilateral, dimana uterus dipotong
setinggi 2 cm dari portio; Ovarium kanan digantung setinggi T-12,
Ovarium kiri terdapat kista simple dilakukan kistektomi dan dilakukan
limfadenektomi pelvik bilateral.
Selama 5 hari dirawat dan telah dilakukan pembedahan keadaan
umum pasien dan tanda-tanda vital pasien stabil. Pasien direncanakan
pulang dan dianjurkan kontrol kembali pada hari selasa 01 Agustus 2017.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Histologi Serviks
Serviks merupakan bagian dari uterus yang terletak di sepertiga
bagian bawah uterus. Serviks uteri terdiri atas: (1). Pars vaginalis servisis
uteri yang dinamakan porsio; (2) pars supravaginalis servisis uteri adalah
bagian serviks yang berada di atas vagina. Saluran yang terdapat pada
serviks disebut kanalis servikalis berbentuk sebagai saluran lonjong
dengan panjang 2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh kelenjar-kelenjar serviks,
berbentuk sel-sel toraks bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum
seminis. Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut osteum uteri
internum, dan pintu di vagina disebut ostium uteri eksternum.1
9
mukus yang berfungsi membasahi kanalis servikalis dan sel yang bersilia
yang berfungsi membersihkan lendir pada endoserviks. Epitel kedua yaitu
epitel skuamosa, epitel skuamosa ini menutupi ektoserviks, terdiri dari
empat lapis sel.2
10
Gambar 2 Proses metaplasia sel epitel4
Jika terdapat mutagen pada serviks seperti HPV atau bahan lain yang
mengandung DNA pada saat fase aktif atau fase awal dari metaplasia,
maka sel-sel metaplastik dapat berubah menjadi sel-sel yang berpotensi
ganas, dengan demikian dapat terjadi kelainan epitel yang disebut
displasia.
11
Karsinoma serviks adalah salah satu keganasan pada wanita,
menempati urutan pertama di negara-negara sedang berkembang, termasuk
Indonesia dan sebagai penyebab kematian utama.5
Banyak kasus baru yang ditemukan setiap tahunnya dan hampir 80 %
terjadi di negara berkembang. Menurut dr. Fielda Djuita, SpRad (K) Onk.
Rad dari bagian Instalasi Radioterapi RS Kanker Dharmais, Jakarta,
karsinoma serviks merupakan keganasan pertama pada wanita pada
periode 1995 2002. Dari data 13 pusat patologi di Indonesia, angka
kejadian karsinoma serviks mencapai 28,7 %. Jumlah pasien di RS Kanker
Dharmais, pada tahun 1995 2002, angka kejadiannya mencapai 1259
pasien. Sedangkan pada periode 2003 2004, angkanya sudah mencapai
402 pasien. Sedangkan data Departemen Kesehatan menyebutkan di
Indonesia terdapat 90 100 kasus baru karsinoma serviks per 100.000
penduduk. Setiap tahunnya terjadi 200.000 kasus baru karsinoma serviks
di Indonesia. Sebagian besar kasus terdiagnosis pada stadium invasif lanjut
dengan keadaan umum dan sosial ekonomi relatif rendah dan disertai oleh
berbagai penyulit.5
Berbeda dengan negara maju seperti Amerika Serikat, didapatkan data
pada tahun 2007 terdapat 11.150 kasus baru dan angka kematian mencapai
3670. Angka kejadian berbeda pada negara maju seperti Belanda.
Insidensi karsinoma serviks mencapai 10 12 kasus baru tiap 100.000
wanita tiap tahun. Kematian oleh karsinoma serviks adalah 5,8 tiap
100.000 wanita tiap tahun. Dengan kata lain, di Belanda tiap tahun
mencapai 325 wanita meninggal sebagai akibat karsinoma serviks.5
Seharusnya angka penderita penyakit ini bisa ditekan bila lebih
awal diketahui adanya karsinoma serviks. Masalahnya lebih dari 70%
penderita datang terlambat memeriksakannya ke dokter. Padahal
keterlambatan pemeriksaan bisa berpengaruh pada harapan hidup, selain
biaya yang dibutuhkan lebih besar.6
12
Berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara lesi pra kanker dan kanker serviks dengan aktivitas seksual dini.
Khususnya sebelum umur 16 tahun. Faktor risiko ini dihubungkan dengan
adanya karsinogen yang bekerja pada zona transformasi serviks yang
sedang berkembang, yang merupakan fase yang paling berbahaya bila
terpapar dalam 5 10 tahun terus menerus.4
Berdasarkan hasil penelitian, faktor risiko yang diduga terkait dengan
berkembangnya karsinoma serviks:
1. Infeksi humanpapillomavirus (HPV) dipercaya terlibat dalam
5
perkembangan karsinoma serviks. HPV merupakan faktor etiologi
terbesar pada karsinoma serviks. Tetapi tidak semua lesi preinvasif
akan berkembang menjadi keganasan. Karsinoma serviks mempunyai
ciri berkembang dalam 10 15 tahun setelah infeksi awal HPV sampai
terjadi HSIL, bahkan karsinoma serviks.7
Menurut Retnowardani (1996), perubahan keganasan epitel normal
dapat terjadi karena:
a. Pasien terinfeksi oleh HPV, protein virus menyebabkan inaktivasi
fungsi normal dari protein P53, dimana protein berfungsi utnuk
menekan proses proliferasi sel.
b. Pasien tidak terinfeksi oleh HPV tetapi mengalami mutasi gen p53
sehingga menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.8
Sexual activity
HPV exposure
13
Glandular
Intraepitelial lesion
Low Grade : High Grade : (adenocarcinoma in situ)
High- and High-risk HPVs
low risk High-risk HPVs
HPVs 16, 18, 45
Rare
Smoking, oral contraceptives, high parity, altered
immune status, Host gene alterations, time
14
diduga mempercepat perkembangan progresifitas lesi. Hal ini tentu
berhubungan dengan kadar hormon yang terkandung dalam
kontrasepsi oral.
4. Secara epidemiologi, perokok mempunyai kontribusi dalam
perkembangan karsinoma serviks, dengan risiko 2 kali dibandingkan
yang bukan perokok.
5. Paritas meningkatkan insiden karsinoma serviks lebih merupakan
refleks dari aktivitas seksual dan waktu saat kontak seks pertama kali
daripada akibat trauma persalinan. Pada wanita dengan paritas 6 atau
lebih mempunyai risiko menjadi karsinoma serviks 2,5 kali
dibandingkan dengan wanita dengan paritas 2 atau kurang.
6. Eversio epitel kolumner selama kehamilan menyebabkan dinamika baru
metaplasitk epitel yang imatur sehingga meningkatkan risiko
transformasi sel. Penelitian lain melaporkan terjadinya penurunan
kekebalan seluler pada wanita hamil, disamping dibuktikan bahwa
pada kehamilan, progesteron dapat menginduksikan onkogen HPV
menjadi tidak stabil sehingga terjadi integrasi DNA virus ke dalam
genom host yang kemudian menjadi keganasan. Kombinasi antara
meningkatnya ekspresi HPV dan menurunnya kekebalan dari zona
transformasi serviks dapat menjelaskan meningkatnya risiko
karsinoma serviks.9
15
Adenocarcinoma timbul dari tipe sel dalam endocervikal dan
terjadi 5-20% dari semua kanker serviks. Insidensi terjadinya
adenocarcinoma pernah meningkat pada 20-30 tahun yang lalu. Terutama
terjadi pada wanita yang berumur dibawah 35 tahun, dan tingkat
kejadiannya meningkat menjadi dua kali lipat dari tahun 1970 sampai
dengan pertengahan tahun 1980an. Bentuk histologiknya adalah well-
differentiated mucinous carcinoma, papillary adenocarcinoma, dan bentuk
clear-cell dimana mengandung glikogen dan bukan mucin. Beberapa lesi
tersebut dapat merangsang timbulnya endometrial carcinoma. Pada bentuk
ini mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya poorly-
differentiated dan subtipe histologik yang lebih agresif pada
adenocarcinoma serviks yang mempunyai prognosis lebih buruk jika
dibandingkan dengan squamous cell carcinoma.10,11
Bentuk-bentuk lainnya yang jarang adalah termasuk didalamnya
variasi dari SCC dan adenocarcinoma, mixed carcinoma, small-cell
carcinoma yang mirip dengan neuroendokrin tumor yang dapat terjadi
dimana saja, sarcoma, lymphoma, melanoma dan tumor metastasik. Paling
sering terjadi metastase dari endometrium, pada beberapa pasien dengan
penyebaran dan tumor yang besar pada serviks untuk menemukan asal lesi
menjadi sulit. Sumber metastasis yang lainnya adalah ovarium, colon dan
payudara. Tumor metastasik pada serviks biasanya dapat diketahui pada
pasien yang memang sebelumnya sudah diketahui adanya lokasi
keganasan primer.10
Sekitar 90% kanker serviks adalah squamous cell carcinoma.
Sisanya adalah sekitar 10% terdiri dari adenocarcinoma dan sarcoma. Pada
umumnya Ca serviks timbul pada squamocolumnar junction. Sekitar 1/3
kasus terdapat pada daerah endoserviks, biasanya pada wanita > 35 tahun.
16
dan CIN II, sedangkan stadium kanker digunakan klasifikasi CIN III dan
FIGO I-IV.
Karsinoma serviks invasif terjadi jika tumor menembus epitel masuk
kedalam stroma serviks. Invasi dapat terjadi pada beberapa tempat sekitar
serviks.12
Derajat penilaian CIN adalah bila neoplasma berbatas pada epitel dan
perkembangannya masih ringan. Perubahan pra kanker yang tidak sampai
melibatkan seluruh lapisan epitel serviks, disebut displasia. Dalam hal ini
CIN I sesuai dengan displasia ringan, CIN II dengan displasia sedang dan
CIN III mengenai displasia berat maupun karsinoma insitu. Tidak ada
gejala yang spesifik untuk kanker serviks, perdarahan merupakan satu-
satunya gejala nyata. Penetapan derajat CIN dilakukan dengan
menetapkan histologik tingkat diferensiasi, kelainan inti dan aktivitas
mitotiknya.
17
IA2 T1a2, N0, M0
IB T1b, N0, M0
IB1 T1b1, N0, M0
IB2 T1b2, N0, M0
II T2, N0, M0
IIA T2a, N0, M0
IIB T2b, N0, M0
III T3, N0, M0
IIIA T3a, N0, M0
IIIB T1, N1, M0
T2, N1, M0
T3a, N1, M0
T3b, any N, M0
IVA T4, any N, M0
IVB Any T, Any N, M1
18
NX : Bila tidak memungkinkan untuk menilai kelenjar limfa regional.
Tanda -/+ ditambahkan untuk tambahan ada/tidak adanya informasi
mengenai pemeriksaan histologik, jadi NX + atau NX
N0 : Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada limfografi
N1 : Kelenjar limfa regional berubah bentuk sebagaimana ditunjukkan
oleh cara-cara diagnostik yang tersedia (misalnya limfografi, CT
scan pangggul)
N2 : Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul
dengan celah bebas infiltrat diantara massa ini dengan tumor
M0 : Tidak ada metastase berjarak jauh
M1 : Terdapat metastase berjarak jauh, termasuk kelenjar limfa diatas
bifurkasio arteri iliaka komunis
19
IIA Tidak ada perluasan kedalam parametrium
IIB Jelas ada perluasan ke parametrium
III Karsinoma telah meluas sampai dinding pelvis, pada
pemeriksaan rektal tidak terdapat ruangan bebas karsinoma
antara tumor dan dinding pelvis; tumor tumbuh sampai
sepertiga bagian bawah vagina. Adanya hidronefrosis atau
ginjal yang tidak berfungsi cocok dalam stadium ini, kecuali
disebabkan karena kelainan lain
IIIA Tidak ada perluasan sampai dinding pelvis, tetapi
pertumbuhan terus sampai sepertiga bagian bawah vagina
IIIB Perluasan sampai dinding pelvis atau hidronefrosis atau
ginjal yang tidak berfungsi
IV Karsinoma telah meluas sampai diluar pelvis minor atau
secara klinis telah tumbuh kedalam mukosa kandung
kencing atau rektum
IVA Pertumbuhan tumor tembus dalam organ-organ
sekelilingnya
IVB Perluasan ke organ-organ jarak jauh
2.6 Gejala dan Tanda Klinis Karsinoma Serviks
Perdarahan abnormal pervaginam merupakan gejala tersering dari
karsinoma serviks dan dapat timbul dalam bentuk leukore yang disertai
bercak darah atau perdarahan ringan. Leukore yang terjadi umumnya
sanguin atau purulen, berbau dan tidak gatal. Riwayat perdarahan setelah
koitus perlu ditanyakan dalam anamnesis. Perdarahan intermenstrual
merupakan gejala yang paling umum dari Ca invasif, atau perdarahan
premenopause maupun postmenopause. Perlu ditanyakan mengenai status
obstetri dan ginekologi pasien saat pemeriksaan (apakah pasien telah
menikah), bagaimana kebiasaan pasien (apakah pasien merokok, sering
bergonta-ganti pasangan) serta ditentukan bagaimana status ekonomi
penderita.Akibat perdarahan pervaginam yang berulang, dapat terjadi
anemia. Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala-gejala yang disebabkan
oleh metastasis jauh.6,10,11,13,14
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan serviks masih terlihat
normal pada lesi premaligan. Jika terjadi progresifitas penyakit secara
lokal, maka dapat ditemukan tanda klinis. Kanker yang infiltratif akan
menyebabkan pembesaran, iregularitas dan konsistensi serviks menjadi
lembek dan bahkan dapat ditemukan perluasan ke parametrium.12
20
2.7 Diagnosis Kanker Serviks
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari
pasien, penegakan diagnosis juga dapat melibatkan
1. Pemeriksaan radiologis
a. Intra Venous Pyelography
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya penyebaran Ca
serviks yang lanjut biasanya ditemukan metastase dan biasanya
terjadi obstruksi di uretra bagian terminal.14
b. Barium enema
Dengan barium enema kita dapat mendeteksi adanya kelainan pada
usus misalnya kanker kolon atau divertikulitis yang memungkinkan
adanya rencana terapi, dengan alasan tersebut diatas maka barium enema
seringkali termasuk evaluasi untuk pasien dengan Ca serviks yang
berumur 40 tahun lebih atau pasien dengan penyakit yang lanjut.14
c. Foto thorax dan foto skeletal
Pemeriksaan foto thorak diperlukan untuk melihat adanya
metastase ke paru-paru. Metastase ke tulang biasanya jarang pada pasien-
pasien dengan Ca primer, dan biasanya simtomatik.14
d. Computerized Axial Tomography (CT-Scan)
CT scan sangat berguna untuk mendeteksi penyebaran secara
hematogen maupun penyebaran ke nodus lympaticus pada aorta.
Kemampuan CT scan dalam mendeteksi invasi ke parametrium atau ke
vesica urinaria sangat terbatas karena kadar perbedaan dari jaringan pelvis
yang mengalami proses keganasan dengan yang normal sangat sedikit.
Adanya keadaan asimetris pada rongga pelvis dapat digunakan untuk
kriteria umum adanya penyebaran dan merupakan tanda potensial adanya
tumor yang meluas ke nodus lympaticus. 12,14
e. Lymphangiography
21
Evaluasi nodus lympaticus dengan limphangiograpi memberi hasil
positif palsu 20-40% dan negatif palsu 10-20%. Cara ini sekarang jarang
digunakan, karena fungsinya digantikan dengan USG.14
f. Ultrasonography
Ultrasonography mempunyai 2 dasar yang digunakan untuk
mengevaluasi pasien yang menderita Ca cervix. Evaluasi ginjal dan traktus
urinarius bagian atas dengan USG merupakan prosedur yang baik dan
prosedur ini seringkali lebih dipakai sebagai pengganti Intravenous
pyelogram. Dengan lebih berkembangnya probe yang bisa digunakan
untuk pemeriksaan transrectal dan transvaginal, USG juga bisa digunakan
untuk mengevaluasi ukuran dari lesi yang ada di cervix dan penyebaran
tumor sampai ke parametrium atau organ-organ yang ada disekitarnya.14
Invasi ke dinding Vesica urinaria dapat dideteksi dengan USG
transvaginal yaitu dengan menempatkan transduser diantara forniks
anterior vagina dan dinding Vesica urinaria pada arah sagital. Gerakan dari
dinding Vesica urinaria dapat dinilai dengan kemampuan USG
transvaginal yang memotong corpus uteri ketika probe menekan Vesica
urinaria pada forniks anterior.14
g. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Kemampuan multiplanar pada MRI yaitu secara sempurna dapat
memvisualisasikan cervix dan jaringan sekitarnya yang kadang sulit
dibedakan oleh CT / USG. Terdapat perbedaan secara klinik diantara
stadium IB, IIA dan IIB. Masing-masing penting dibedakan karena
stadium Ca IIA (tanpa invasi ke parametrium) biasanya diterapi dengan
pembedahan dimana Ca IIB (dengan invasi ke parametrium) biasanya
diterapi dengan radioterapi.14
h. Laparoscopy
Pemeriksaan ini untuk melihat keadaan rongga abdomen untuk
melihat adanya perluasan ke nodus lympaticus para aorta atau ke organ-
organ peritoneal lainnya.14
i. Isotope bone scan
22
Pemeriksaan ini untuk melihat adanya perluasan ke tulang,
meskipun hal ini jarang.15
2. Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi yang dapat dilakukan untuk skrining
karsinoma serviks adalah pap smear yang akan dibahas selanjutnya.
3. Tes DNA HPV (PCR)
Tes ini merupakan alat penapis nonvisual, karena sampel diperiksa
dengan cara polimerisasi PCR (Polymerase Chain Reaction). Tes ini dapat
mendeteksi adanya karsinoma serviks pada stadium dini (lesi pra kanker).
HPV dapat dideteksi dengan cara apusan lendir serviks kemudian
dimasukkan dalam media cair untuk pemeriksaan.16
Di negara maju tes DNA HPV merupakan pemeriksaan rutin
serviks. Biaya pemeriksaan yang relatif mahal menjadi kendala mengapa
tes ini tidak populer di negara berkembang.16
2.8 Prosedur Diagnosis Karsinoma Serviks
2.8.1. Schiller test
Tes Schiller merupakan cara pemeriksaan yang sederhana
berdasarkan kenyataan bahwa sel-sel epitel berlapis gepeng dari porsio
yang normal mengandung glikogen, sedangkan sel-sel abnormal tidak. 3,4
Apabila permukaan porsio dipulas dengan larutan lugol (grams iodine
solution), maka epitel porsio yang normal menjadi berwarna coklat tua,
sedang daerah-daerah yang tidak normal berwarna kurang coklat dan
tampak pucat. Porsio dioles dengan kapas yang dicelup dalam larutan
lugol; atau lebih baik lagi larutan lugol disemprotkan pada porsio dengan
semprit 10 ml dan jarum panjang, sehingga porsio tidak perlu diusap. 6,12
Tes Schiller hanya dapat dipakai apabila sebagian besar porsio
masih normal, dan pula hasil positif tidak memberi kepastian akan adanya
tumor ganas karena daerah-daerah yang pucat dapat pula disebabkan oleh
adanya kelainan lain, misalnya erosion, servisitis, jaringan parut,
leukoplakia dan lain-lain. Namun demikian, dalam keadaan tertentu tes
Schiller masih mempunyai tempat dalam diagnosis karsinoma seviks uteri.
23
Terutama pada kolposkopi dan biopsy, pencarian tumor lebih dapat
diarahkan.6,12
24
tampak opak, kadang-kadang digambarkan sebagian merah bercampur
abu-abu kotor, atau putih kusam.11
Cahaya yang dipantulkan dari stroma epitel normal akan tampak
merah muda. Pada epitel yang abnormal (atipik) didapatkan ketebalan
yang bertambah dan perubahan struktur epitel akan menyebabkan cahaya
yang dipantulkan tampak opak, terutama sesudah pemberian asam asetat.
Gambaran opak ini akan tampil sebagai bercak putih.11
2.8.3 Kolposkopi
Pemeriksaan ini dilakukan pada wanita yang telah menjalani
pemeriksaan pap smear dengan hasil ditemukan hasil sitologi abnormal,
atau sel atipik yang dicurigai adanya keganasan (class III atau lebih)
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ini. 11,14
Indikasi dilakukan kolposkopi adalah :
1. Adanya hasil pap smear yang abnormal atau tes HPV (+)
2. Secara klinis abnormal atau kecurigaan dari gambaran serviks
3. Perdarahan intermenstrual atau postcoital bleeding
4. Adanya neoplasia vulva atau vagina
Dengan metode ini pasien dapat diklasifikasikan: 10,13
- Yang memiliki gambaran normal transformation zone (very low
risk of cervical neoplasia)
- Gambaran abnormal transformation zone (high risk of cervical
neoplasia)
- Hasil yang tidak memuaskan (membutuhkan hasil evaluasi
laboratorium lebih lanjut)
Lesi dengan jarak kapilaritas yang luas, densitas putih pada epitel,
serta epitel yang tajam, memberikan hasil yang lebih berat daripada
gambaran yang kurang dari yang disebutkan.10
Gambaran permukaan yang irreguler sebaiknya diduga suatu
karsinoma meskipun condiloma dapat seperti itu. Sedangkan dambaran
pembuluh darah yang atipikal, tajam, membentuk sudut, bercabang,
25
ataupun diameter yang irreguler dapat dicurigai sebagai indikator
kemungkinan kanker yang invasif.10
2.8.4 Servikografi
Diperkenalkan pertama kali oleh Adolf Stafl, 1981. Tehnik ini
menggunakan kamera tangan (hand held) dengan fokus campuran 35 mm.
Dibuat fotografi serviks setelah terlebih dahulu diolesi dengan asam
asetat.15
Hasil yang dilaporkan dapat berupa mulut rahim normal, atipik
(ada kelainan tapi tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan) dan positif
(memerlukan lanjutan pemeriksaan kolposkopi untuk biopsi terarah
sebagai diagnostik pasti). 15
Kelebihannya adalah tidak menimbulkan nyeri pada pasien,
tersedia hasil dokumentasi berupa foto/slide, dan cukup akurat.
Kekurangannya adalah memerlukan peralatan khusus dan fasilitas untuk
mencetak, jadi lebih mahal daripada tes Pap. Sensitivitas dan spesifisitas
servikografi 85% dan 80%. Bila digabung dengan Tes Pap akurasinya
makin tinggi.15
26
Papanicolaou dan cara pelaporan hasil pemeriksaan sitologi berdasarkan
Bethesda (The Bethesda System).13
Cara pembacaan menurut papanicolaou dibagi menjadi :10,11,13
a. Class I (normal)
Tidak ditemukan sel atipik maupun sel yang abnormal
b. Class II (atypical)
Terdapat sel atipik tapi tidak dicurigai adanya keganasan
c. Class III (suggestive for cancer)
Terdapat sel atipik dan dicurigai adanya keganasan.
d. Class IV (strongly suggestive for cancer)
Sel tersangka kuat untuk keganasan
e. Class V (conclusive for cancer)
Terbukti keganasan
Tabel 2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Sitologi
Pap Classes Description Bethesda 2001
I Normal Normal and variants
II Reactive Changes Reactive Changes
Atypia ASC, ASG
Koilocytosis Low Grade SIL
III CIN I Mild dysplasia Low Grade SIL
III CIN II Moderate dysplasia High Grade SIL
III CIN III Severe dysplasia High Grade SIL
IV Ca in situ, suspicious High Grade SIL
V Invasive Microinvasion (<3mm)
Frankly invasive (>3mm)
CIN = cervical intraepithelial neoplasia, SIL = squamous
intraepithelial lesion
27
dengan memeriksa sekret cervical saja menurunkan hasil negatif palsu
menjadi 45%, dan dengan memeriksa sekret endocervical saja yang
diambil dengan lidi kapas atau aspirator menurunkan hasil negatif palsu
4%. Bila pemeriksaan skrining deteksi kanker serviks dilakukan dengan
memeriksa sediaan cervical dan endocervical maka tidak didapatkan hasil
negatif palsu.13
Oleh sebab itu untuk mendapatkan hasil pemeriksaan skrining
apusan pap yang akurat, lokasi pengambilan sekret harus tepat, yaitu untuk
sekret cervical harus diambil dari seluruh permukaan portio serviks dan
untuk sekret endocervical harus diambil dari mukosa endoserviks,
sedangkan sekret vaginal tidak bermanfaat sama sekali untuk pemeriksaan
skrining karena nilai negatif palsunya sangat besar.18
Disamping itu alat pengambil sekret yang digunakan juga
berpengaruh terhadap representatif tidaknya sekret yang diambil, terutama
untuk sekret endocervial yang pada umumnya masih diambil dengan lidi
kapas yang sebenarnya sudah tidak memadai lagi karena sekret yang
didapat sering hanya mengandung sedikit sel endocervical atau kadang-
kadang hanya terdiri atas mukus saja tanpa mengandung sel endocervical.
Bila menggunakan cyto-brush cukup representatif karena pengambilan
sekret dengan alat ini lebih banyak mengandung sel endocervical daripada
dengan lidi kapas. 18
Kesalahan dalam proses pembuatan sediaan seringkali terletak
pada kelalaian pembuatnya yang membiarkan sediaan kering diudara
terbuka karena lupa tidak segera memfiksasi sediaan yang telah dibuat
dengan alkohol 95% atau hair spray. Hal ini menyebabkan defek
pengeringan pada sel yang terkandung dalam sediaan, sehingga
menyulitkan intepretasi sediaan sitologi. 18
Kesalahan lain mungkin terjadi saat pembacaan sediaan tes Pap.
Tes Pap tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya dasar dalam
menegakkan lesi keganasan serviks. Pemeriksaan tes Pap hanyalah
28
menapis dari sel-sel serviks wanita yang tampak sehat tanpa gejala dan
kemudian dilakukan tindak lanjut.14
2.8.8 Konisasi
Konisasi memungkinkan untuk pengambilan seluruh daerah jaringan
yang abnormal dan mendapatkan jumlah jaringan serviks yang maksimal
untuk diperiksa adanya Ca invasif. Setelah daerah serviks terlihat,
umumnya dengan kolposkopi diambillah spesimen jaringan berbentuk
kerucut (panjang sekitar inci, lebar inci) dari kanalis
endoserviks.11,13,14
Indikasi dilakukannya konisasi serviks adalah : 12
29
1. Jika squamocolumnar junction tidak dapat dinilai, sedangkan lesi
sudah melebar sampai ke endoserviks atau hasil kuretase
endoserviks terdapat kelainan.
2. Adanya persangkaan mikroinvasif
karsinoma.
3. Kolposkopi tidak memberi hasil yang jelas.
4. Tidak tampak adanya lesi makroskopis
sekalipun dengan pewarnaan Schiller test.
Konisasi dapat dilakukan dengan Cold Conization yang berbeda
dengan Hot conization, dimana pada Hot conization, konisasi
dilakukan dengan elektrokauter dan dilakukan pada saat peradangan.
Kekurangannya adalah bahwa dengan Hot conizasi akan merusak
jaringan sehingga tidak cocok untuk pemeriksaan secara
histopatologik. Keuntungan Cold conization adalah perdarahan lebih
sedikit.12
2.8.10 Sistoskopi
Bila dengan pemeriksaan IVP memperlihatkan adanya massa,
maka Vesica urinaria harus diperiksa dengan sistoskopi, dimana sebuah
30
tabung dengan lensa dimasukkan ke Vesica urinaria sampai ke Urethra
untuk melihat adanya penyebaran dari kankernya.14
2.9 Terapi
Kanker serviks invasiv bermetastase secara limfogen dan
perkontinuatum. Pengobatan pasien dengan kanker serviks dibutuhkan
bukan hanya mengambil jaringan serviks saja, melainkan jaringan sekitar
dan KGB nya. Terapi ini meliputi histerektomi radikal dan limfadenektomi
pelvis, radiasi dengan kemoterapi atau terapi kombinasi.10,12,13
31
Tipe Keterangan
Histerektomi
Tipe I Histerektomi ekstrafasial dengan mengangkat semua
jaringan uterus tanpa pemotongan sampai ke cervix
Tipe II A.uterina diligasi. Lig.uterosacral dan cardinal dipisahkan
dari tengah keluar dan menempelkannya di dinding
samping pelvis dan sakrum. 1/3 atas vagina di reseksi
Tipe III A.uterina diligasi dari asalnya a.iliaca interna. Lig.
Uterosakral dan cardinal dipotong dan ditempelkan ke
dinding samping pelvis dan sakrum. Setengah bagian atas
vagina dipotong
Tupe IV Ureter dipotong dari lig.vesicouterina, a.vesicalis superior
dikorbankan dan bagian vagina dipotong
Tipe V Termasuk reseksi bagian dari kandung kencing atau
bagian ureter distal, dan reimplantasi ureter ke kandung
kencing
32
tersebut. Untuk radiasi primer kanker serviks, external beam radiasi biasa
digunakan dan dikombinasi dengan iradiasi intracavitary. Dari 5 penelitian
menunjukkan keuntungan radiasi menggunakan kemoterapi platinum
dibandingkan dengan radiasi tunggal.10,12,13
Keadaan khusus:
Stage IA1
Diagnosis definitif dari kanker mikroinvasiv squamous cell dapat
ditegakkan dengan konisasi. Pasien dapat diterapi dengan histerektomi
abdominal yang simpel atau histerektomi vaginal. Untuk wanita muda
yang masih ingin punya keturunan, konisasi saja dapat diterima bila ca
mikroinvasiv squamous cell dengan kedalamna < 3mm dan tidak
didapatkan invasi ke runag limphovaskuler. Jika dengan kuretase
didapatkan tepi dan endoserviks (+), resiko berulang dapat meningkat
sebesar 33%. Staging FIGO tidak berguna dengan keadaan invasi, yang
biasanya terjadi pada 10% pasien staging IA1. Pasien ini mempunyai
sedikit resiko tetapi signifikan untuk metastase KGB ke parametrium dan
KGB pelvis. Pasien ini dapat diobati seperti staging IA2.10,12,13
Radical Trachelectomy
Selama dekade terakhir, radikal trachelectomy menjadi alternatif
radikal histerektomi untuk pasien tertentu; pasien wanita muda dengan
stage awal (IA2/IB1 kecil) yang masih menginginkan keturunan.
Lymphadenektomi dibutuhkan setelah reseksi serviks. Kehamilan
berikutnya melalui SC dapat terjadi pada setengah dari prosedur ini.
Infertil dan keguguran trimester ke 2 meningkat 25% setelah prosedur
ini.10,12,13
Bulking Ca Cervix
Terapi ini dilakukan pada stage IB2 dan IIA yang luas (bulking).
Tetapi terapi ini masih dalam perdebatan.
33
1. Terapi radiasi primer dengan kemoterapi konkomitan dan pilihan
lanjutan untuk histerektomi ekstrafasial
Terapi radiasi dianjurkan unutk pasien dengan bulking ca cervix,
biasanya ditambah kemoterapi. Tumor memiliki daerah yang hipoksia
yang tidak berespon baik dengan radiasi, dan 15-35% menjadi
menyebar ke panggul. Dengan histerektomi lanjutan setelah radiasi,
dapat mengurangi penyebaran ke panggul 2-5%.
2. Histerektomi radikal primer dan limfadenektomi, diikuti radiasi dengan
kemoterapi berdasar adanya penemuan patologis
3. Neoadjuvan kemoterapi diikuti radikal histerektomi dan limfadenektomi
dan kemoradiasi lanjutan berdasar adanya penemuan patologis.10,12,13
2.9.3. Stage IV B
Terapi yang sesuai adalah kemoterapi. Karena pada stage ini sudah
menyebar luas dan sudah gagal terapi dengan bedah radikal ataupun terapi
radiasi. Kemoterapi yang dipakai : cisplatin, ifosfamid, paclitaxel dan
vinorelbin. Ada sedikit keuntungan dengan kombinasi kemoterapi yaitu
cisplatin dan paclitaxel 31% atau cisplatin-ifosfamid 36%. Jika pasien
teraba massa pada daerah supraklavikuler kiri, dapat diobati dengan terapi
radiasi dengan kemoterapi, baik dengan atau tanpa reseksi.10,12,13
34
Sebuah operasi besar ginekologi yang membuang kandung
kencing, rektum, vagina sampai uterus jika belum histerektomi. Operasi in
harus diikuti dengan prosedur rekonstruktif dari masing-masin gorgan. 5-
survival yang dapat rekuren adalah 30-40%.10,12,13
35
BAB III
KESIMPULAN
36
Klasifikasi dari kanker serviks berdasar klasifikasi FIGO, AJCC,
TNM. Penanganan kaker serviks juga berdasar klasifikasi tersebut, selain
itu diperhatikan pula keadaan pasien mengenai usia dan keinginan
mempunyai keturunan. Pada stadium awal sebaiknya segera dilakukan
tindakan pembedahan sebelum kanker dapat menyebar ke organ sekitar
maupun sistemik. Sedangkan semakin beratnya stadium, terapi lebih
ditujukan terhadap iradiasi atau kemoterapi bahkan hanya berupa palliative
care pada stadium terminal.
DAFTAR PUSTAKA
37
8. Retnowardani A. Peran pemeriksaan DNA HPV dalam uji saring
kanker serviks. Forum Diagnostikum: 1996.3.1-11.
9. Cox JT. Epidemiology of cervical intraepitelial neoplasm, The role
of Human Papillomavirus. Bailliere clinb Obstet gynaecol, 1995 (9):
1-37.
10. Krivak, Thomas C, McBroom JW, Elkas JC. Cervical and Vaginal
Cancer. In: Novaks Gynecology. Berek. Jonathan S. 13th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia. USA. 2002.p.1199-1237.
11. Laila N. IVA (Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat). Dalam Buku
Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Edisi pertama. Jakarta: Yayasan
Bina Sarwono Prawirohardjo; 2006.h.110-121.
12. Holschneider. Christine H. Premalignant & Malignant Disorders of
the Uterine Cervix. In: Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis
and Treatment. DeCherney. Alan H., and Nathan Laurent. 9 th edition.
Mc Graw Hill. New York. 2003. p.894-913.
13. Fu Yao S, Robert ME. Pathology of Cervical Carcinoma. In:
Gynecology and Obstetrics. Sciarra. Revised edition. J.B. Lippincott
Company. Philadelphia. USA. 1995.p.1-20.
14. Delmore J, Horbelt D. Cervical Cancer. In: Obstetrics &
Gynecology Principles for Practice. Ling, Frank W, and Duff P.
International edition. New York: McGraw Hill; 2001.p.1264-1278.
15. http://www.emedicine.com/med/topic324.htm diunduh tanggal 30
Juli 2017.
16. Suwiyoga IK. Tes HPV sebagai Skrining Alternatif Kanker
Serviks. Cemin Dunia Kedokteran No. 151, 2006.
17. Setiawan, et al. Kamus Kedokteran Dorland Ed 29. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 2002.H.1051.
18. Lestadi J. Penuntun Diagnostik Praktis Sitologi Hormonal Apusan
PAP. Jakarta: Widya Medika; 1995.h.4-15.
19. http://www.hopkinsmedicine.org/cervicaldysplasia diunduh tanggal
30 Juli 2017.
38
39