PENDAHULUAN
Bahasa memiliki fungsi umum sebagai alat komunikasi yang dipakai oleh
satu individu dengan individu lain untuk berinteraksi. Interaksi yang dilakukan
dapat secara lisan atau tulisan, tergantung kepada apa yang ingin disampaikan.
Dalam hal ini, bahasa dipandang sebagai media untuk menyalurkan pesan,
gagasan, ide, dan konsep yang sebelumnya berada di dalam pikiran seseorang
yang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi bahasa yang
dapat didengar atau diterima oleh lawan tutur. Ketika dibahasakan, lawan tutur
dapat memahami apa yang disampaikan oleh seorang penutur. Proses tersebut
Pentingnya peran bahasa juga dikemukakan oleh Wardhaugh (1986: 3-8) yang
pemakainya. Perilaku berbahasa seorang individu juga tidak dapat dilepaskan dari
perilaku sosialnya. Tidak hanya itu, status sosial seseorang dapat dilihat dari
bahasa yang dipakai. Selain itu, pemakaian bahasa atau pola-pola bahasa juga
Pateda (1987: 11) menyatakan bahwa bahasa dipakai sebagai media untuk
1
2
itu misalnya ketika seseorang ingin membeli beberapa macam barang, tetapi
jumlah uang yang dibawa tidak mencukupi. Ada banyak solusi yang bisa diambil,
misalnya dengan hanya membeli beberapa barang sesuai dengan jumlah uang,
berbeda menyebabkan adanya kontak bahasa. Berkaitan dengan hal ini, Foley
ciri-ciri kebahasaan satu bahasa oleh bahasa yang lain atau keduanya saling
melakukan adaptasi. Dalam ilmu sosial, kondisi ini dinamakan asosiatif, yaitu
apabila salah satu komunitas melakukan adaptasi terhadap komunitas lain, atau
kedua komunitas saling melakukan adaptasi, salah satu adaptasi itu berupa
masyarakat bilingual atau multilingual. Kondisi ini ditunjang oleh faktor sosial
frekuensi yang tinggi. Di samping itu, sikap keterbukaan terhadap bahasa lain
individu tidak hanya dapat menguasai bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) saja,
tetapi juga dapat menguasai bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua (B2). Bahkan, tidak jarang masyarakat suatu daerah yang di
samping menguasai bahasa etniknya juga dapat menguasai bahasa etnik lain yang
masing, situasi ini disebut juga dengan situasi diglosik. Lebih lanjut,
adanya pemilahan fungsi yang jelas antara bahasa High (H) dan Low (L). Bahasa
High dipakai untuk memperbincangkan hal-hal yang bersifat standar, resmi, dinas,
Karena adanya kontak bahasa yang terjadi secara terus-menerus, pemilahan fungsi
berkaitan dengan keberadaan bahasa dengan fungsi pemakaiannya, hal lain yang
tidak kalah penting adalah bagaimana masyarakat tersebut memakai bahasa untuk
berkomunikasi. Dalam masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih etnik yang
berbeda, ada beberapa bahasa etnik yang hidup berdampingan, selain bahasa
nasional yang juga dikuasai oleh kedua etnik. Sikap keterbukaan yang dimiliki
4
oleh anggota etnik terhadap etnik lain dapat menyebabkan terjadinya transfer
kebudayaan, yang di dalamnya termasuk bahasa. Hal itu pulalah yang menjadikan
hukum, seni, religi, atau bahasa. Etnografi yang mengambil fokus pada bahasa
bahasa sebagai pemakaian kode tutur dalam kehidupan sosial. Jika terdapat lebih
dari satu kode tutur, seorang penutur akan melakukan pemilihan kode tutur yang
sesuai dengan situasi pada saat tuturan diutarakan. Pemilihan kode tutur ini dapat
dipandang sebagai perilaku kehidupan sosial, dalam hal ini adalah perilaku
berbahasa. Pemilihan kode tutur (speech code choice) atau yang umum dikenal
dengan pemilihan bahasa (language choice) muncul pada situasi diglosia yang
pasif. Kondisi ini mendukung masyarakat secara umum atau seorang penutur
secara khusus mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur, sehingga dalam
pada mitra tutur yang berbeda bahasa pertamanya (Sumarsono, 2009: 201-204).
Pemilihan kode tutur sebagai bagian dari perilaku sosial penutur tidak lepas
sudah diketahui oleh penutur yang bersangkutan. Misalnya, penutur secara sadar
5
memakai kode tutur bahasa Indonesia dalam kegiatan rapat, dan memakai bahasa
ibu untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarganya. Dalam hal ini, penutur
menyadari bahwa pada ranah pemerintahan, kode tutur yang harus dipakai adalah
bahasa nasional, dan pada ranah keluarga, kode tutur yang dipakai adalah bahasa
ibu. Selain kedua ranah yang telah disebutkan tersebut, terdapat ranah-ranah
lainnya yang diperhatikan oleh penutur ketika melakukan pemilihan kode tutur.
Selain melakukan pemilihan kode tutur berupa variasi tunggal berdasarkan ranah
pemakaiannya, pemilihan kode tutur juga dapat berupa alih kode (code-mixing)
dan (code switcing). Dalam satu peristiwa tutur, seorang penutur melakukan
pemilihan kode tutur terhadap salah satu kode tutur karena mempertimbangkan
beberapa hal yang dalam penelitian ini dipandang sebagai faktor-faktor penentu
Pemilihan kode tutur yang dilakukan dalam penelitian ini berkaitan dengan
keseluruhan kode tutur yang terdapat dalam suatu masyarakat. Kode-kode tutur
tersebut dipakai sesuai dengan situasi tutur yang berlangsung. Situasi tutur
Selain itu, tidak jarang para penutur mengambil serpihan-serpihan kode tutur lain
dalam suatu peristiwa tutur, hal ini merupakan bentuk peristiwa campur kode.
kebudayaan atau etnik yang berbeda. Beragam etnik yang hidup dalam satu
masyarakat tutur cukup menarik dikaji dalam rangka melihat pemilihan kode tutur
yang dilakukan. Gambaran fenomena ini dapat dilihat pada masyarakat Desa Sako
6
merupakan desa pemekaran yang baru menjadi desa pada tahun 2010, sebelumnya
desa ini merupakan sebuah dusun dengan nama yang sama. Luas Desa Sako lebih
kurang 35 KM, yakni sekitar 24 % dari luas wilayah Kecamatan Pangean yang
luasnya lebih kurang 145,32 KM. Jumlah penduduk Desa Sako adalah 1.760 jiwa
dengan 525 Kepala Keluarga (KK) (Pangean dalam Angka 2013). Masyarakat
Desa Sako merupakan masyarakat dengan kombinasi empat etnik yang berbeda,
yakni (1) Melayu Kuantan (60 %), (2) Jawa (20 %), (3) Minangkabau (15 %), dan
(4) Batak (5 %). Etnik Melayu Kuantan merupakan penduduk asli, sementara tiga
multietnik tersebut, perlu dipaparkan secara ringkas mengenai sejarah Desa Sako.
Dalam buku Sejarah Kebudayaan Pangean (Said, 2002: 16) dijelaskan bahwa
pada abad XIV, Sako sebagai bagian dari daerah Pangean masih merupakan hutan
belantara karena belum ada penduduk yang menetap di daerah itu. Penduduk yang
memilih tinggal di daerah pinggir sungai Kuantan, karena sungai Kuantan sangat
pinggir sungai Kuantan). Awal abad XIX, daerah Sako mulai dirambah oleh
penduduk Kenegerian Pangean untuk membuka lahan perkebunan karet. Sejak itu
Sako mulai dihuni oleh etnis Melayu Kuantan yang berada di wilayah Kenegerian
Pangean.
7
oleh pemerintah pada masa Orde Baru menyebabkan banyaknya penduduk pulau
Jawa yang dipindahkan ke pulau Sumatera. Salah satu daerah transmigrasi adalah
daerah PT-PT dan Sungai Langsat yang berada di barat daerah Sako (daerah PT-
banyak yang kemudian pindah ke daerah Sako dengan membeli lahan sendiri.
Bahkan tidak jarang yang menjual lahan di daerah transmigrasi untuk kemudian
menetap di daerah Sako. Para transmigran yang merupakan etnis Jawa mulai
kebutuhan hidup. Sejalan dengan itu, di bidang pariwisata, tradisi pacu jalur yang
senang merantau dan berdagang ini awalnya merupakan pedagang musiman yang
datang ketika musim pacu jalur berlangsung, lambat laun etnis Minangkabau ini
mulai menetap dan menjadi penduduk Kuantan Singingi, termasuk di Desa Sako.
khususnya dan Riau pada umumnya telah menjadikan daerah ini sebagai daerah
pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO (crude palm oil) minyak sawit
kawasan pabrik. Di Desa Sako, banyak berdatangan masyarakat etnis Batak yang
berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kebanyakan dari mereka bekerja
warga. Sebagaimana halnya etnis Jawa, banyak di antara etnis Batak yang
melakukan pernikahan antaretnik. Interaksi sosial yang sedemikian rupa tentu saja
menghadapkan penutur pada pemilihan kode tutur yang sesuai dengan situasi tutur
dalam berbagai ranah . Pemilihan kode tutur yangemakaian. Pemilihan kode tutur
yang menjadi fokus kajian dalam hal ini berkaitan dengan kode tutur apa saja
yang dipakai oleh masyarakat multietnik di Desa Sako, bagaimana pola pemilihan
kode tutur, dan faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur tersebut.
Untuk memahami hal tersebut, berikut ini dapat diperhatikan peristiwa tutur 1
Peristiwa Tutur 1
Ranah : Keluarga
Kode Tutur : Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia
Lokasi : Rumah
Partisipan : A (40 tahun / Perempuan) dan B (18 tahun /Laki-laki)
yang dilakukan dalam ranah keluarga. Kedua kode tutur yang dimaksud adalah
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penutur A yang merupakan ibu dari penutur B
berbicara memakai bahasa Jawa kepada anaknya, begitu pun penutur B kepada
penutur A, atau anak kepada ibunya. Namun kemudian, penutur A beralih kode ke
yakni menjemput adiknya di sekolah. Hal itu dilakukan karena pada kalimat
segera melakukan apa yang diminta. Dalam hal ini, pemakaian kode tutur bahasa
tutur 1 tersebut, dapat dikatakan terdapat dua kode tutur yang dipakai, yakni
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Keduanya memakai kode tutur bahasa Jawa,
memakai kode tutur bahasa Jawa. Dalam hal ini, faktor penentu alih kode yang
dilakukan adalah faktor tujuan dan kehendak tutur, yakni mempertegas perintah.
10
Selanjutnya, pola pemilihan yang melibatkan tiga kode tutur dapat dilihat
pada peristiwa tutur 2 yang terjadi dalam ranah jual-beli berikut ini.
Peristiwa Tutur 2
Ranah : Jual-beli
Kode Tutur : Bahasa Minangkabau, Bahasa Batak, dan Bahasa Indonesia
Lokasi : Pasar
Partisipan : A (30 tahun/Laki-laki/Penjual I), B (35 tahun/Perempuan/
Pembeli I), C (50 tahun/Perempuan/ Pembeli II), dan D (32
tahun/Perempuan/ Penjual II)
A : Lima belas, lima belas, lima belas, sarung bantal, yang bantal tidur, bantal
guling, tinggal pilih, macam model, macam warna, macam ukuran!
B : Berapa?
A : Lima belas, Bu, kasih murah aja. Dipilih aja, Bu, banyak modelnya!
C : Harga ma i. Cuba orui pitu pulu,dua!
Mahal harganya, coba kurang dua puluh, dua!
B : Olo, Mak.
Ya, Bu.
Sepuluh, ya?
A : Uni, ibu ko minta sapuluah ciek, ba a?
Kak, ibu ini minta sepuluh satu, bagaimana?
D : Agiehlah!
Kasihlah!
A : Ambil berapa, Bu?
B : Kalau mau, empat.
A : Ya, ambillah.
Indonesia, bahasa Batak, dan bahasa Minangkabau yang dilakukan oleh penutur A
dan D yang beretnik Minangkabau, dan penutur B dan C yang beretnik Batak.
kode tutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini terlihat penutur B menanyakan harga
harga barang yang dijualnya juga memakai kode tutur bahasa Indonesia. Penutur
C yang pada saat yang sama ikut bersama penutur B sebagai pembeli merasa
bahwa barang yang akan dibeli tersebut cukup mahal, sehingga ia menyarankan
kepada penutur B agar menawar harga tersebut. Agar tidak diketahui oleh penutur
yang pantas untuk menawar barang yang dibeli, yakni dengan mengutarakan
Batak juga, yakni dengan menjawab Olo, Mak, kemudian kembali memakai kode
tutur bahasa Indonesia untuk menawar barang kepada penutur A. Apa yang
dilakukan oleh penutur C kepada penutur B juga dilakuan oleh penutur A kepada
minta sapuluah ciek, ba a?. Hal itu dilakukan agar kedua pembeli tidak mengetahui jika
terjadi diskusi antara kedua penjual mengenai harga barang yang dijual. Penutur D
percakapan berlangsung hingga akhir dengan tetap memakai kode tutur bahasa Indonesia.
Pemilihan kode dengan pola-pola tertentu ini dapat diamati dalam berbagai ranah
oleh berbagai fakto penentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dikaji
mengenai kode-kode tutur apa, bagaimana pola-pola pemilihan kode tutur, dan
faktor apa saja yang menentukan pemilihan terhadap kode-kode tersebut. Lebih
lanjut, ketiga fokus kajian ini dituangkan dalam subbab rumusan masalah.
1. Kode tutur apa saja yang terdapat dalam masyarakat multietnik di Desa Sako
3. Faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam
dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
tutur, ilmu sosiolinguistik ini dapat berkembang di Indonesia. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi salah satu tambahan sumber pustaka bagi penelitian
selanjutnya yang mengangkat kajian mengenai masyarakat dan bahasa, atau kajian
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menghasilkan model analisis
yang lain. Selain itu, dengan mengetahui gambaran kebahasaan pada masyarakat
tertarik untuk mengkaji bahasa dan masyarakat di daerah ini. Manfaat praktis
bahasa, baik bahasa Melayu Kuantan, maupun bahasa-bahasa lain yang ada di
14
Bahasa yang dipakai oleh masyarakat untuk berinteraksi dalam semua aspek
kehidupan merupakan wujud pemakaian bahasa yang nyata. Oleh karena itu,
bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Dalam berbagai peristiwa tutur dalam ranah
pemerintahan, masyarakat etnik Jawa Sunda ini sering melakukan alih kode atau
menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Fenomena alih kode dan campur
15
kode dipaparkan dalam berbagai peristiwa tutur yang terjadi hampir dalam setiap
multilingual yang mampu menguasai bahasa Mandar, bahasa Banjar, dan bahasa
Indonesia. Kajian pemilihan bahasa yang dilakukan dibatasi pada ranah keluarga
dan ranah jual-beli. Deskripsi wujud kode tutur, pola pemilihan bahasa dan faktor
baik berupa bahasa, ragam, maupun tingkat tutur. Deskripsi mengenai varietas-
varietas bahasa, pola pemilihan, dan faktor yang mendasari pemilihan bahasa
Pada tahun 2008, kajian mengenai pemilihan bahasa kembali dilakukan oleh
yakni pemilihan bahasa Bajo dan bahasa Sasak yang dilakukan oleh masyarakat
bahasa Bajo, bahasa Sasak, atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Selain
itu, alih kode dan campur kode juga terjadi antara ketiga bahasa tersebut.
Penelitian ini mengkaji pemilihan bahasa dalam ranah keluarga, lingkungan, dan
mengenai pemilihan bahasa dalam ranah pendidikan dan ranah kerja di Pusat
Bahasa, Budaya, dan Agama UIN Sunan Kalijaga. Deskripsi mengenai wujud
kode tutur, alih kode dan campur kode dan fungsi keduanya, serta faktor-faktor
bahasa oleh masyarakat multilingual secara nyata. Hal itu dapat dilihat dari
dengan cakupan ranah yang diteliti, penelitian ini meneliti semua ranah
sebagaimana yang dilakukan oleh Rohkman (2003) dan Sariono (2007). Akan
tetapi, penelitian ini memiliki perbedaan dengan kedua penelitian tersebut terkait
dengan kombinasi kode tutur yang diteliti, yakni bahasa Indonesia, Jawa, Melayu
Kuantan, Minangkabau, dan Batak. Hal itu pulalah yang membedakan dengan
dan pemilihan kode tutur. Istilah pemilihan kode tutur tidak dapat dilepaskan
dengan bilingualisme dan multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur
17
kode. Berikut ini secara runtut akan dijelaskan mengenai teori-teori yang
Bahasa yang dipakai oleh manusia untuk berinteraksi satu sama lain dapat
dikaji secara internal dan eksternal. Secara internal, bahasa dikaji berdasarkan
struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologis, morfologis, dan
sintaksis. Kajian semacam ini dapat dilakukan dalam disiplin linguistik tanpa
bahasa secara eksternal turut melibatkan faktor-faktor lain yang berada di luar
bahasa dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa oleh penutur dalam kelompok
sosial masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004: 1). Kajian secara eksternal ini tentu
saja tidak hanya melibatkan teori dan prosedur linguistik semata, melainkan juga
melibatkan teori dan prosedur ilmu lain. Dalam kaitannya dengan masyarakat,
sedangkan objek linguistik adalah bahasa. Oleh karena itu, ilmu yang menggarap
yang menyarankan agar adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran
dengan status sosial pada tahun 1952 (Chaer dan Agustina, 2004: 5). Istilah
18
sosiolinguistik ini sering disamakan dengan sosiologi bahasa. Mengenai hal itu,
dengan konteks sosial saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, Holmes
menyampaikan makna sosial. Lebih lanjut, Holmes dan Pride (dalam Sumarsono,
penegasan bahwa bahasa tidak dapat berdiri sendiri, bahasa adalah bagian dari
antara bahasa dan masyarakat, kedua hal ini dikaji oleh dua disiplin ilmu yakni
California, Los Angeles, tahun 1964 dirumuskan tujuh dimensi masalah dalam
19
sosiolinguistik. Tujuh dimensi yang dirumuskan tersebut yaitu: (1) identitas sosial
dari penutur; (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses
komunikasi; (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi; (4) analisis
sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial; (5) penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur terhadap perilaku bentuk-bentuk ujaran; (6) tingkatan variasi
dalam ragam linguistik; dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik
misalnya tegur sapa. Dalam hal ini, fokus kajiannya adalah individu yakni pada
tindak tutur (speech act) yang terjadi dalam kelompok-kelompok primair menurut
ilmu sosiologi, tindak tutur itu dimodifikasi oleh berbagai variabel, seperti status
dan luas. Lebih lanjut, Sumarsono mengutip pendapat Roger Bell mengenai
kedua hal ini, sosiolinguistik mikro menekankan perhatian pada interaksi bahasa
mengenai hal ini, Suwito (1982: 4-5) mengemukakan bahwa sosiolinguistik yang
hanya melihat bahasa dari segi penuturnya saja. Dalam proses interaksi, penutur
kapan, mengenai masalah apa, dalam situasi bagaimana, dan sebagainya. Lebih
lanjut, Chaer dan Agustina (2004: 5) juga mengungkapkan dua manfaat kajian
pengetahuan bagaimana cara memakai bahasa. Manfaat ini sejalan dengan yang
language, to whom, when, and to what end. Pengetahuan bahasa yang dimiliki
bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus dipakai ketika berbicara dengan orang
kesulitan dalam mengajarkan ragam bahasa baku karena dalam buku tersebut juga
pengajar dapat menjelaskan bahwa dalam berbahasa terdapat ragam baku dan
nonbaku.
21
utama yang dikaji dalam rangka mengidentifikasi pemakaian bahasa oleh penutur
bahasa yang berlaku dalam lingkup masyarakat tersebut (Suwito, 1982: 18).
Sementara itu, Chaer dan Agustina (2004: 36) mengemukakan bahwa batasan
masyarakat tutur itu tidak hanya sekelompok orang yang menuturkan bahasa yang
sama, tetapi juga sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam
sebagai sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi
dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur
yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan (Wijana, 2011: 46).
tidak bisa persis disamakan dengan sekelompok orang yang berbicara bahasa yang
sama, misalnya penutur bahasa Spanyol yang ada di Texas dan di Argentina tidak
(kode) yang sama, dan beberapa pasangan suami istri pada beberapa masyarakat
tutur di Pasifik Selatan memakai bahasa yang berbeda ketika berkomunikasi satu
sama lain. Saville-Troike (2003: 19) membedakan masyarakat yang hard shelled
jaringan sosial tertutup, yang ditandai dengan minimnya interaksi dengan orang
22
Masyarakat Mongolia, dan Jepang pada masa lalu merupakan contoh masyarakat
Perubahan unsur kebahasaan terjadi melalui proses internal karena kontak bahasa
sosial terbuka, yang ditandai dengan interaksi dengan orang luar yang bersifat
interaksi yang melintas batas bangsa atau suku bangsa dapat terjadi dengan mudah
dan bersifat dua arah. Masyarakat Inggris, Belanda, dan Jerman dapat dimasukkan
sebagai masyarakat yang soft shelled karena interaksi antarketiga bangsa itu
terjadi melalui bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat tutur
memakainya. Bahasa Indonesia yang dipakai oleh orang Jawa berbeda dari bahasa
Indonesia yang dipakai oleh orang Bali, Minangkabau, Madura, dan sebagainya.
penelitian ini merupakan masyarakat yang shoft shelled yang ditandai dengan
pemakaian kode tutur bahasa Indonesia, bahasa Melayu Kuantan, bahasa Jawa,
etnik lain, tidak tertutup kemungkinan dipengaruhi oleh kode tutur yang dipakai
Situasi tutur merupakan situasi yang berkaitan dengan tuturan, baik yang
bersifat komunikatif maupun yang tidak komunikatif (Hymes, 1972: 56). Situasi
kaidah pertuturan mengacu pada situasi komunikatif itu. Situasi masjid misalnya,
pernikahan, dan sebagainya. Peristiwa percakapan (satu tipe peristiwa tutur) yang
yang terjadi dalam rapat di kantor pemerintah. Dalam situasi shalat Jumat,
Situasi tutur membatasi isi pesan (topik). Di pesta pernikahan misalnya, isi
pesan tentunya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pesta itu: pengantinnya,
bisnis tentu saja tidak terkait dengan situasi pesta. Artinya, manakala ada
partisipan pesta yang terlibat percakapan bisnis, maka partisipan itu sedang tidak
berada dalam situasi pesta. Hal yang sama juga terjadi pada seorang dosen yang
harus menjawab panggilan telepon pada saat ia sedang memberi kuliah. Meskipun
meninggalkan situasi kuliah pada saat ia menjawab telepon, dan sebagai gantinya
24
ia telah berpindah pada situasi tertentu yang diacu oleh percakapan telepon itu.
Situasi itu bisa berupa situasi bisnis, persahabatan, atau yang lain.
pesta yang berbeda dengan norma sopan santun pada situasi menonton bersama
keras di lapangan sepak bola. Jika hal yang sama dilakukan di pesta pernikahan,
percakapan itu akan dinilai sebagai percakapan yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak tahu adat dan sopan santun. Mereka tidak memiliki kompetensi
Situasi tutur dapat disejajarkan dengan konsep ranah. Fishman (1972: 24)
laku yang sesuai yang terjadi bersama-sama. Ranah disejajarkan dengan spheres
sebagai berikut. Lingkup situasi tutur cenderung lebih sempit dan kongkret
jauh lebih luas cakupannya daripada situasi tutur shalat Jumat, tetapi ranah
sebuah peristiwa tutur, karena dalam sebuah peristiwa tutur, ada komponen-
keseluruhan perangkat komponen (tutur) yang utuh, yang dimulai dengan tujuan
umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang sama,
yang secara umum memakai varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone
yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam latar yang sama
(Saville-Troike, 2003: 36). Batasan itu dengan jelas mengungkapkan bahwa yang
terjadi perubahan atau terdapat perbedaan dalam salah satu atau lebih komponen
tutur, maka peristiwa tutur itu sudah berbeda dan berubah. Peristiwa tutur
berwatak komunikatif (Sumarsono dan Pratana, 2002: 320). Oleh karena itu,
peristiwa tutur dianggap sebagai unit dasar untuk tujuan deskriptif (Saville-
satuan-satuan analisis yang berupa peristiwa tutur. Situasi tutur bermanfaat dalam
menyusun klasifikasi data, karena dalam tiap situasi tutur dimungkinkan untuk
beberapa ahli, Salah satunya adalah J.A. Fishman (Chaer dan Agustina, 2004: 5)
yang merumuskan komponen tutur dengan istilah who speak, what language, to
yaitu (1) partisipan (who speak dan to whom), atau orang-orang yang terlibat
dalam sebuah peristiwa tutur, yakni penutur dan mitra tutur, (2) instrumen (what
language) atau alat, yaitu berkaitan dengan bahasa yang dipakai dalam peristiwa
tutur, (3) latar (when), yaitu waktu peristiwa tutur tersebut terjadi, dan (4) topik,
26
tema, atau tujuan (to what end), yaitu maksud yang ingin dicapai dalam peristiwa
tutur.
Selain Fishman, salah satu ahli yang terkenal dengan komponen tuturnya
adalah Dell Hymes dalam tulisan berjudul Models of Interaction of Language and
Social Life (Sumarsono, 2009: 335). Hymes merumuskan delapan komponen tutur
1. S (setting and scene), berkaitan dengan latar waktu dan tempat atau situasi
tempat dan waktu ketika peristiwa tutur itu terjadi. Setting dapat diartikan
sebagai waktu atau tempat sebuah peristiwa tutur berlangsung. Sementara itu,
scene berkaitan dengan waktu dan tempat atau situasi psikologis penutur pada
tutur, bisa pembicara dan pendengar, pengirim dan penerima pesan, atau
penyapa dan orang yang disapa. Hal itu tergantung kepada bentuk
3. E (ends: purposes and goal), ends dapat dibedakan menjadi dua, yakni
outcomes atau purposes yang berkaitan dengan hasil, dan goals berkaitan
4. A (act sequence), berkaitan dengan bentuk dan isi pesan (messege form and
pembicaraan.
27
Cara tersebut dapat berupa nada pada saat menghasilkan tuturan, atau gerak
tubuh dan isyarat. Misalnya, penyampaian materi seminar yang kaku dan
atau register apa yang dipakai dalam peristiwa tutur. Adapun media dapat
menunjukkan bahwa dalam sebuah peristiwa tutur, ada banyak faktor yang
yang terkenal dengan SPEAKING yang bermakna wicara ini juga mempunyai
2. A (actes), berkaitan dengan pesan (messege form) atau isi pesan (messege
content)
28
4. L (locale), berkaitan dengan latar (setting) dan suasana (scene) peristiwa tutur
berlangsung.
speech).
dirumuskan oleh Dell Hymes, seperti komponen tutur yang dirumuskan oleh
sebagai berikut:
2. O2 merupakan orang ke-2 (lawan tutur orang ke-1). Faktor kedua yang
menentukan bentuk tutur yang keluar dari mulut seseorang penutur ialah
orang kedua atau lawan berbicara penutur itu. Hal yang perlu diperhatikan
Suatu tuturan akan berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi
lebih formal.
atau telepon. Hal ini juga akan mempengaruhi bentuk tuturan yang muncul
dalam percakapan.
9. C adalah cita rasa tutur. Cita rasa tutur ini meliputi kapan akan dipakai
10. A adalah adegan tutur yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat dan
11. R merupakan register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Bentuk
wacana pidato akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang lazim, yaitu
12. A adalah aturan atau norma kebahasaan. Ada sejumlah norma yang harus
status, dan yang lainnya yang bersifat pribadi sehingga hal ini dapat
Pemilihan kode tutur (speech code choice) bisa disamakan dengan istilah
agar mendapatkan istilah netral untuk merujuk pada kode yang berupa bahasa,
dialek, atau ragam. Hal itu dilakukan mengingat kode-kode tutur yang diteliti
dalam penelitian ini belum dibuktikan secara ilmiah sebagai bahasa yang berbeda.
terdapat kosakata yang sama atau hanya berbeda satu fonem. Ibrahim (1993: 59)
Artinya, ketika kode tutur yang dipakai dalam masyarakat itu hanya satu bahasa,
(multilingual). Seorang penutur mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur
yang ketika berkomunikasi dengan orang lain, ia akan melakukan pemilihan kode
tutur yang sesuai. Pada situasi ini, seorang penutur dapat melakukan alih kode
sesuai dengan situasi saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, hal-hal yang
multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur kode akan diuraikan sebagai
berikut.
Dua hal yang yang tidak dapat dilepaskan dalam pemilihan kode tutur
terjadi karena adanya kontak bahasa. Pada masyarakat terbuka, para anggota
kontak bahasa. Kontak antardua kebudayaan yang berbeda merupakan awal dari
untuk memakai dua bahasa secara bergantian. Einar Haugen (1966) kemampuan
seseorang menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain.
disebabkan oleh sulitnya menentukan batasan seorang yang dapat disebut sebagai
terhadap dua bahasa tanpa melihat tingkat kemampuannya sama atau tidak.
Dalam hal ini, seorang penutur bisa saja lebih tinggi kemampuannya dalam
lebih rendah dari bahasa kedua tidak mempengaruhi status seseorang sebagai
bahasa, multilingual berkaitan dengan kemampuan terhadap lebih dari dua bahasa.
1.6.5.2 Diglosia
satu dampak dari adanya kontak bahasa. Diglosia dapat didefinisikan sebagai
situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa mempunyai ranah
Istilah diglosia pernah dipakai oleh seorang Perancis bernama Marcais, namun
istilah diglosia baru populer ketika Ferguson pada tahun 1958 menggunakannya
33
Istilah itu juga kemudian yang dipakai oleh Ferguson dalam tulisannya yang
Dalam interaksi sosial, diglosia akan muncul jika ada dua kode berbeda
yang keduanya secara jelas menunjukkan fungsi yang berbeda. Ferguson (dalam
hal, yakni (1) dalam masyarakat diglosia terdapat dialek utama (ragam tinggi),
ragam rendah, atau dialek lain, (2) dialek utama (ragam R) dapat berupa dialek
standar atau dialek standar regional, (3) dialek yang bukan dialek utama memiliki
tertulis, dipelajari pada pendidikan formal, dan tidak dipakai dalam percakapan
diungkapkan oleh Holmes (1992: 32), yaitu (1) dua variasi dari satu bahasa yang
sama, yang satu merupakan variasi L (low), dan yang lainnya merupakan variasi
H (high), (2) masing-masing variasi mempunyai fungsi yang berbeda, dan (3)
Batasan yang diungkapkan oleh kedua tokoh di atas dirasakan sempit untuk
menjelaskan diglosia, oleh karena itu, Fasold (Chaer dan Agustina, 2004: 101)
memberikan batasan yang lebih luas. Menurutnya, diglosia tidak hanya terbatas
pada perbedaan fungsi variasi atau dialek dalam satu bahasa, tetapi juga dapat
mencakup dua bahasa atau lebih. Perluasan konsep diglosia oleh Fasold ini
disebut diglosia luas (broad diglosia). Konsep ini memunculkan istilah diglosia
34
ganda dalam bentuk yang disebut double operlapping diglosia, double nested
dengan sebuah bahasa yang memiliki fungsi ganda, pada satu situasi berfungsi
sebagai H, dan pada situasi yang lain berfungsi sebagai L. Double nested diglosia
berkaitan dengan situasi ketika pada masyarakat bilingual terdapat dua bahasa
yang keduanya dapat berfungsi sebagai H atau L, tetapi variasi-variasi pada ragam
itu juga berstatus sebagai H dan L. Istilah linear polyglosia berkaitan dengan
verbal repertoir dari masyarakat tutur yang kemudian pola statusnya diurutkan
Pada saat berkomunikasi dengan orang lain, penutur sering kali dihadapkan
dengan pemilihan kode-kode yang sesuai diterapkan dalam sebuah peristiwa tutur.
repertoir seorang penutur. Secara umum, terdapat dua bentuk pemilihan kode
dalam pemakaian bahasa, yakni alih kode (code switching) dan campur kode
dialek, atau ragam bahasa. Pemakaian istilah kode lebih tepat karena peristiwa
alih code dan campur kode tidak hanya terjadi pada dua bahasa yang berbeda,
tetapi juga dapat terjadi pada dua dialek atau dua ragam yang berbeda dalam satu
bahasa. Kode dapat diartikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapannya khas
sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan
bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh suatu masyarakat bahasa
Bentuk pemilihan kode tersebut dapat berupa variasi tunggal, alih kode, atau
pemilihan bahasa ke dalam tiga bentuk, yakni (1) alih kode (code-mixing), (2)
campur kode (code switcing), dan (3) variasi dalam bahasa yang sama (variation
bahasa. Batas yang tegas antara peristiwa alih kode dengan campur kode sulit
batas alih kode dengan campur kode. Ada yang mengidentifikasikan alih kode dan
campur kode berdasar kriteria intrabahasa, yakni jenis satuan lingual yang
dilibatkan dalam masing-masing peristiwa kebahasaan itu, dan ada pula yang
satu persoalan lagi, yakni campur kode atau peralihan seringkali sulit dibedakan
peristiwa campur kode juga melibatkan satuan lingual klausa dan kalimat, dua
satuan lingual yang seharusnya merupakan tempat terjadinya peristiwa alih kode.
merupakan percampuran dua bahasa yang disengaja tanpa membuat perubahan isi
tentang kriteria disengaja dan tidak disengaja dalam peristiwa alih kode.
36
Dalam penelitian ini, definisi alih kode dan campur kode mengacu definisi
sebagai berikut. Alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua bahasa atau
lebih, beberapa variasi dalam bahasa yang sama, atau beberapa gaya bahasa dalam
masyarakat tutur bilingual (Hymes dalam Rahardi, 2001: 21). Sementara itu,
Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) mendefinisikan alih kode sebagai
Pateda, 1987: 86) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan peralihan kode,
yaitu (1) siapa yang berbicara dan pendengar, (2) pokok pembicaraan, (3) konteks
verbal, (4) bagaimana bahasa dihasilkan, dan (5) lokasi. Misalnya, A dan B adalah
dua orang mahasiswa dengan bahasa ibu yang sama, yaitu bahasa Sunda.
Indonesia, itu pun dilakukan dengan ragam santai. Ketika C yang berasal dari
juga ketika teman-teman yang lain datang. Akan tetapi, ketika dosen masuk,
percakapan hanya dilakukan dengan bahasa Indonesia ragam formal. Ilustrasi ini
dapat menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh A dan B karena
lain itu umumnya berupa kata, tetapi dapat juga berupa kelompok kata atau frasa.
Jika wujud pengambilan unsur itu berupa kata, gejala itu bisa disebut
peminjaman. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara alih kode
dan campur kode adalah ada tidaknya tujuan atau keperluan yang ingin dicapai
oleh penutur.
Agustina, 2004: 3). Sumber data penelitian ini adalah berbagai peristiwa tutur
yang terjadi dalam masyarakat tutur Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten
Kuantan Singingi Provinsi Riau. Kombinasi masyarakat Desa Sako yang terdiri
yang terjadi dalam masyarakat multilingual itu dapat dilihat dalam berbagai
berbagai peristiwa tutur. Oleh karena itu populasi penelitian ini adalah semua
peristiwa tutur yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Sako yang tersebar
di tiga dusun yakni dusun I, dusun II, dan dusun III. Sampel penelitian ini adalah
sebagai data utama untuk mengetahui kondisi kebahasaan masyarakat Desa Sako.
Di samping itu, data dalam penelitian ini juga diambil dengan metode cakap atau
wawancara. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tiga tahap
38
yakni: (1) tahap penyediaan atau pengumpulan data; (2) tahap analisis data; dan
yaitu berbagai peristiwa tutur yang terjadi dalam berbagai ranah dalam
masyarakat Desa Sako. Data dikumpulkan dengan metode simak dan metode
cakap sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahsun (2012: 242). Metode simak
penelitian ini berusaha mendapatkan data yang sesuai dengan situasi sebenarnya
dengan konteks yang lengkap, teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik simak
bebas libat cakap. Dalam hal ini, peneliti hanya berperan sebagai pengamat, tanpa
terlibat secara langsung dalam peristiwa tutur. Pengamatan yang dilakukan juga
disertai dengan merekam dan mencatat hal-hal yang relevan seperti perilaku
partisipan dalam peristiwa tutur. Pencatatan hal-hal yang relevan ini juga
merupakan pelaksanaan teknik lanjutan dari metode simak, yakni teknik catat.
Ranah :
Kode Tutur :
Lokasi :
Partisipan :
A : ........................
B : ........................
A : ........................
B : ........................
Data pemilihan kode tutur ......
berbagai peristiwa tutur juga yang dikumpulkan dilengkapi dengan nomor data
peristiwa tutur, ranah dan lokasi terjadinya peristiwa tutur, dan partisipan yang
terlibat dalam peristiwa tutur yang meliputi informasi jenis kelamin dan usia.
proses pengklasifikasian data. Data berupa berbagai peristiwa tutur dalam bahasa
Melayu Kuantan, Jawa, Minangkabau, dan Batak yang telah dituliskan ke dalam
melakukan wawancara dengan para penutur yang ada di Desa Sako. Wawancara
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan bentuk analisis
pengklasifikasian data yang sesuai dengan rumusan masalah. Analisis data juga
data yang dilakukan adalah analisis deskriptif kualitatif yang berusaha memerikan
penelitian.
dengan metode komparatif konstan atau yang dikenal dengan metode padan
(Mahsun, 2012: 259). Metode padan adalah metode analisis yang menghubung-
padan yang dipakai untuk menganalisis data berupa berbagai peristiwa tutur
demikian, dalam penelitian ini juga tidak mengabaikan metode padan intralingual.
Metode padan intralingual dipakai untuk menganalisis data yang berkaitan dengan
data. Dalam penelitian ini, analisis data disajikan secara formal dan informal
secara formal adalah penyajian hasil analisis dengan memakai gambar, tabel,
grafik, dan sebagainya. Sementara itu, penyajian hasil analisis secara informal
adalah penyajian hasil analisis data memakai kata-kata. Lebih lanjut mengenai
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, masing-masing bab
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang memuat
kebahasaan. Bab III berisi deskripsi pola-pola pemilihan kode tutur dalam
masyarakat multietnik Desa Sako. Bab IV berisi deskripsi peristiwa alih kode dan
campur kode dalam masyarakat multietnik Desa Sako. Bab V berisi deskripsi
faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur. Bab VI berisi kesimpulan dan saran.