Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

I. Pendahuluan
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
(bakteri,jaringan nekrotik dan sel darah putih) ( Smelltzer.,at al, 2001).Abses perianal adalah
infeksi pada ruang pararektal. Abses ini kebanyakan akan mengakibatkan fistula (Smeltzer &
Bare, 2001). Abses anorektal merupakan infeksi yang terlokalisasi dengan pengumpulan nanah
pada daerah anorektal. Organisme penyebab biasanya adalah Escherichia coli, stafilokokus, atau
streptokokus (Price & Wilson, 2005).
Abses perianal adalah infeksi pada jaringan lunak di sekitar lubang anus dengan
pembentukan abses rongga sekret. Abses anorektal merupakan suatu pengumpulan nanah yang
disebabkan masuknya bakteri ke ruangan di sekitar anus dan rektum (Gunawan, 2010). Dari
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses anorektal atau abses perianal adalah
rongga yang berisi nanah atau pus yang terletak pada anorektal yang disebabkan oleh infeksi
bakteri atau jamur.
Lokasi klasik abses anorectal tercantum dalam urutan penurunan frekuensi adalah sebagai
berikut: perianal 60%, ischiorectal 20%, intersphincteric 5%, supralevator 4%, dan submukosa
1%.
Kejadian puncak dari abses anorektal adalah di dekade ketiga dan keempat kehidupan.
Pria lebih sering terkena daripada wanita, dengan dominasi laki-perempuan 2:01-3:01. Sekitar
30% dari pasien dengan abses anorektal laporan riwayat abses serupa yang baik diselesaikan
secara spontan atau intervensi bedah diperlukan.
II. Anatomi dan Fisiologi
Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut
dimulai dari : rongga mulut, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum, anus.2,3
a. Mulut (oris)
Rongga mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh tulang rahang
dan langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-otot pipi, serta sebelah
bawah oleh rahang bawah.
1) Gigi (dentis)
Fungsi : berperan dalam proses mastikasi (pengunyahan).
Bagian-bagian gigi adalah sebagai berikut:
a) Mahkota gigi : dilapisi oleh email dan di dalamnya terdapat dentin (tulang
gigi).
b) Tulang gigi : terletak di bawah lapisan email.
c) Rongga gigi : berada di bagian dalam gigi. Di dalamnya terdapat pembuluh
darah, jaringan ikat, dan jaringan saraf.
2) Lidah (lingua)
Lidah berfungsi untuk membantu mengunyah makanan yakni dalam hal
membolak-balikkan makanan dalam rongga mulut, membantu dalam menelan
makanan, sebagai indera pengecap, dan membantu dalam berbicara.
Sebagai indera pengecap, pada permukaan lidah terdapat badan sel saraf perasa
(papila). ada tiga bentuk papila, yaitu:
a) Papila fungiformis
b) Papila filiformis.
c) Papila serkumvalata
3) Kelenjar Ludah
Kelenjar ludah menghasilkan saliva. Saliva mengandung enzim ptyalin atau
amylase dan ion natrium, klorida, bikarbonat, dan kalium.
Fungsi saliva adalah :
a) melarutkan makanan secara kimia
b) melembabkan dan melumasi makanan
c) mengurai zat tepung menjadi polisakarida dan maltose
d) zat buangan
e) zat antibakteri dan antibody

Kelenjar ludah terdiri atas tiga pasang sebagai berikut:


a) Kelenjar sublingual adalah kelenjar saliva yang paling kecil, terletak di bawah
lidah bagian depan.
b) Kelenjar submandibular terletak di belakang kelenjar sublingual dan lebih
dalam.
c) Kelenjar parotid adalah kelenjar saliva paling besar dan terletak di bagian atas
mulut depan telinga.

b. Esofagus (kerongkongan)
Esofagus merupakan saluran sempit berbentuk pipa yang menghubungkan faring
dengan lambung (gaster). Yang panjang kira-kira 25 cm, diameter 2,5 cm. pH
cairannya 5-6. Fungsi : menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak
peristalsis.

c. Lambung (gaster)
Lambung merupakan organ berbentuk J yang terletak di bawah rusuk terakhir sebelah
kiri. Yang panjangnya 20 cm, diameternya 15 cm, pH lambung 1-3,5. Lambung
terdiri atas kardiak, fundus, badan lambung, antrum, kanal pylorus, dan pylorus.
1) Getah lambung mengandung:
a) Asam klorida (HCl). Berfungsi sebagai desinfektan, mengasamkan makanan
dan mengubah pepsinogen menjadi pepsin.
b) Rennin, merupakan enzim yang berfungsi mengendapkan kasein (protein susu)
dari air susu.
c) Pepsin berfungsi mengubah protein menjadi polipeptida.
d) Lipase, berfungsi untuk mencerna lemak.
2) Adapun fungsi lambung adalah:
a) Penyimpan makanan
b) Memproduksi kimus
c) Digesti protein
d) Memproduksi mucus
e) Memproduksi glikoprotein
f) Penyerapan

d. Usus halus (Intestinum tenue)


Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan
yang panjangnya sekitar 6 m berdiameter sekitar 2,5 cm. sedangkan pHnya 6,3 7,6.
Dinding usus halus terdiri atas tiga lapis, yaitu tunica mucosa, tunica muscularis, dan
tunika serosa. Tunica muscularis merupakan bagian yang menyebabkan gerakan usus
halus.
1) Fungsi usus halus :
a) Mengakhiri proses pencernaan makanan. Proses ini diselesaikan oleh enzim
usus dan enzim pangkreas serta dibantu empedu dalam hati.
b) Usus halus secara selektif mengabsorbsi produk digesti.
2) Usus halus dibedakan menjadi tiga bagian,yaitu:
a) Deudenum (usus dua belas jari). Deudenum panjangnya sekitar 25 cm,
diameternya 5 cm.
b) Jejunum (usus kosong). Panjangnya sekitar 1 m sampai 1,5 m, diameternya 5
cm.
c) Ileum (usus belit/usus penyerapan). Panjangnya sekitar 2 m sampai 2,5 m,
diameternya 2,5 cm.
3) Kelenjar-kelenjar usus menghasilkan enzim-enzim pencernaan, yaitu :
a) Peptidase, berfungsi mengubah peptide menjadi asam amino
b) Sukrase, berfungsi mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa
c) Maltase, berfungsi mengubah maltose menjadi glukosa
d) Laktase, berfungsi mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa

e. Usus besar (colon)


Usus besar adalah saluran yang berhubung dengan bagian usus halus (ileum) dan
berakhir dengan anus. Yang panjangnya sekitar 1,5 m dan diameternya kurang lebih
6,3 cm. pH nya 7,5-8,0.
1) Fungsi dari usus besar adalah :
a) Mengabsorbsi 80 % sampai 90 % air dan elektrolit dari kimus yang tersisa dan
mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat.
b) Memproduksi mucus
c) Mengeksresikan zat sisa dalam bentuk feses.
2) Usus besar dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
a) Caecum. Merupakan pembatas antara ileum dengan kolon.
b) Kolon. Pada kolon terjadi gerakan mencampur isi kolon dengan gerakan
mendorong. Pada kolon ada tiga divisi yaitu :
Kolon asendens; yang merentang dari coecum sampai ke tepi bawah hati
disebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
Kolon transversum ; merentang menyilang abdomen ke bawah hati dan
lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah
pada fleksura spienik.
Kolon desendens; merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi
kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rectum.
c) Rectum. Merupakan tempat penampungan sementara feses sebelum dibuang
melalui anus. Yang panjangnya 12-13 cm.

f. Anus
Anus merupakan lubang pada ujung saluran pencernaan. Pada anus terdapat dua
macam otot, yaitu:
1) Sfingter anus internus; bekerja tidak menurut kehendak.
2) Sfingter anus eksterus; bekerja menurut kehendak.
Proses pengeluaran feses di sebut defekasi. Setelah rektum terenggang karena terisi
penuh, timbul keinginan untuk defekasi.2,3

III. Etiologi
1. Infeksi Mikrobial
Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan
kematian sel dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik
yaitu suatu sintesis kimiawi yang merupakan awal radang atau melepaskan endotoksin
yang ada hubunganya dengan dinding sel
2. Reaksi hipersensitivitas.
Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
3. Agen Fisik
Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih
(frostbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi
terjadinya proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi
spesifik yang mengiritasi dan langsung menyebabkan radang
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya
makanan pada dearah yang bersangkutan. Menyebabkan kematian jaringan yang
merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah tepi infeksi sering
memperlihatkan suatu respon radang akut.

Abses dan fistula Perirectal merupakan gangguan anorektal yang timbul didominasi dari
obstruksi kriptus dubur. Infeksi dari hasil sekresi kelenjar sekarang statis di nanah dan
pembentukan abses dalam kelenjar dubur. Biasanya, abses bentuk awalnya dalam ruang
intersphincteric dan kemudian menyebar di sepanjang ruang potensial yang berdekatan. 4

IV. Patofisiologi
Sjamsuhidajat., et al (1998), mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke
dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin. Bakteri
melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara spesifik
mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding
sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan
tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen
fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan.
Kematian jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi.
Infeksi hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan,
kemerahan merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan
akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke
mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu
bersifat lokal. Namun, peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen
yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga
produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi.
Pada peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke
seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir
mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan
leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam
ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang mengikuti fase hiperemia menyebabkan
meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam
jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan
hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga
ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi
jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa
mediator kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan
merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan
menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas.
Inflamasi terus terjadi selama masih ada perusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan
jaringan bisa diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi
resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga
debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel
jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus
menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti
dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini
disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase
penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila perusakan jaringan
berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang
merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan
sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat meningkatkan
risiko penyebaran infeksi.

V. Gejala Klinis
Abses dapat terjadi pada berbagai ruang di dalam dan sekitar rektum. Seringkali
mengandung sejumlah pus berbau menyengat dan nyeri. Apabila abses terletak superficial, maka
akan tampak bengkak, kemerahan, dan nyeri tekan. Abses yang terletak lebih dalam
memgakibatkan gejala toksik dan bahkan nyeri abdomen bawah, serta deman. Sebagian besar
abses rectal akan mengakibatkan fistula (Smeltzer & Bare, 2001).
Abses di bawah kulit bisa membengkak, merah, lembut dan sangat nyeri. Abses yang
terletak lebih tinggi di rektum, bisa saja tidak menyebabkan gejala, namun bisa menyebabkan
demam dan nyeri di perut bagian bawah (Healthy of The Human, 2010).
Pasien dengan abses perianal biasanya mengeluhkan ketidaknyamanan perianal kusam
dan pruritus. Nyeri perianal mereka sering diperburuk oleh gerakan dan tekanan perineum
meningkat dari duduk atau buang air besar. Pemeriksaan fisik menunjukkan eritematosa, kecil,
didefinisikan dengan baik, berfluktuasi, subkutan massa di dekat lubang anus.
Pasien dengan abses iskiorektalis sering hadir dengan demam sistemik, menggigil, dan
sakit parah dan kepenuhan perirectal konsisten dengan sifat lebih maju dari proses ini. Tanda-
tanda eksternal yang minimal dan dapat mencakup eritema, indurasi, atau fluctuancy. Pada
pemeriksaan dubur digital (DRE), massa, berfluktuasi indurated mungkin ditemui. Penilaian fisik
yang optimal dari suatu abses iskiorektalis mungkin memerlukan anestesi untuk mengurangi
ketidaknyamanan pasien yang dinyatakan akan membatasi tingkat pemeriksaan.
Pasien dengan abses intersphincteric hadir dengan nyeri rektum dan kelembutan
menunjukkan terlokalisasi pada Dre. Pemeriksaan fisik mungkin gagal untuk mengidentifikasi
abses intersphincteric. Meskipun jarang, abses supralevator menyajikan sebuah tantangan
diagnostik yang sama. Akibatnya, kecurigaan klinis abses intersphincteric atau supralevator
mungkin memerlukan konfirmasi melalui dihitung (CT) scan tomografi, magnetic resonance
imaging (MRI), atau ultrasonografi dubur. Penggunaan modalitas terakhir adalah terbatas untuk
mengkonfirmasikan adanya abses intersphincteric.4

VI. Diagnosis
Pemeriksaan colok dubur dibawah anestesi dapat membanru dalam kasus-kasus tertentu,
karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat menghalangi penilaian terhadap
pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi terhadap asbeb ischiorektal yang
optimal dapat dilakukan dengan hanya menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan adanya
obat anestesi, fistula dapat disuntikkan larutan peroksida untuk memfasilitasi visualisasi
pembukaan fistula internal. Bukti menunjukkan bahwa penggunaan visualisasi endoskopik
(transrektal dan transanal) adalah cara terbaik untuk mengevaluasi kasus yang kompleks abses
perianal dan fistula. Dengan teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula
dapat jelas divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama efektifnya seperti
fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi secara endoskopik
adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan kelainan perirektal karena rendahnya
risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak terganggu. Evaluasi secara endoskopik setelah
pembedahan juga efektif untuk memeriksa respon pasien terhadap terapi.1,5

Pemeriksaan Laboratorium
Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi
pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali pada pasien tertentu, seperti individu dengan
diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh yang rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap
terjadinya sepsis bakteremia yang dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus tersebut,
evaluasi laboratorium lengkap adalah penting.1

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi jarang diperlukan pada evaluasi pasien dengan abses anorektal,
namun pada pasien dengan gejala klinis abses intersfingter atau supralevator mungkin
memerlukan pemeriksaan konfirmasi dengan CT scan, MRI, atau ultrasonografi dubur. Namun
pemeriksaan radiologi adalah modalitas terakhir yang harus dilakukan karena terbatasnya
kegunaannya. USG juga dapat digunakan secara intraoperatif untuk membantu mengidentifikasi
abses atau fistula dengan lokasi yang sulit.1

VII. Penatalaksanaan
MRI abses
ischiorektal

Pada kebanyakan pasien dengan abses anorektal, terapi medikamentosa dengan antibiotik
biasanya tidak diperlukan. Namun, pada pasien dengan peradangan sistemik, diabetes, atau
imunitas rendah, antibiotik wajib diberikan.
Abses anorektal harus diobati dengan drainase sesegera mungkin setelah diagnosis
ditegakkan. Jika diagnosis masih diragukan, pemeriksaan di bawah anestesi sering merupakan
cara yang paling tepat baik untuk mengkonfirmasi diagnosis serta mengobati. Pengobatan yang
tertunda atau tidak memadai terkadang dapat menyebabkan perluasan abses dan dapat
mengancam nyawa apabila terjadi nekrosis jaringan yang besar, atau bahkan septikemia.
Antibiotik hanya diindikasikan jika terjadi selulitis luas atau apabila pasien
immunocompromised, menderita diabetes mellitus, atau memiliki penyakit katub jantung.
Namun, pemberian antibiotik secara tunggal bukan merupakan pengobatan yang efektif untuk
mengobati abses perianal atau perirektal.
Kebanyakan abses perianal dapat didrainase di bawah anestesi lokal di kantor, klinik, atau
unit gawat darurat. Pada kasus abses yang besar maupun pada lokasinya yang sulit mungkin
memerlukan drainase di dalam ruang operasi. Insisi dilakukan sampai ke bagian subkutan pada
bagian yang paling menonjol dari abses. Dog ear" yang timbul setelah insisi dipotong untuk
mencegah penutupan dini. Luka dibiarkan terbuka dan Sitz bath dapat dimulai pada hari
berikutnya.5

VIII. Komplikasi
Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal. Kelenjar
intersfingterik terletak antara sfingter internal dan eksternal anus dan seringkali dikaitkan dengan
pembentukan abses. Fistula anorektal timbul oleh karena obstruksi dari kelenjar dan/atau kripta
anal, dimana ia dapat diidentifikasi dengan adanya sekresi purulen dari kanalis anal atau dari
kulit perianal sekitarnya. Etiologi lain dari fistula anorektal adalah multifaktorial dan termasuk
penyakit divertikular, IBD, keganasan, dan infeksi yang terkomplikasi, seperti tuberkulosis.
Klasifikasi menurut Parks dan persentase fistula anorektal adalah:
1. Intersfingerik 70%
2. Transfingterik 23%
3. Ekstrasfingterik 5%
4. Suprasfingterik 2%6

Anda mungkin juga menyukai