Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERAN DOKTER MUDA DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL

SELAMA BERTUGAS DI BAGIAN BEDAH

Penyusun:

Yohanes Adiputra, S.Ked

2016.04.2.0183

SMF ILMU BEDAH

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang .............................................................................................................. 1

BAB II........................................................................................................................................ 3
2.1 Definisi infeksi nosokomial .......................................................................................... 3

2.2 Epidemiologi infeksi nosokomial ................................................................................. 3

2.3 Etiologi infeksi nosokomial .......................................................................................... 4

2.4 Faktor yang mempengaruhi perkembangan infeksi nosokomial .................................. 5

2.5 Cara transmisi infeksi nosokomial ............................................................................... 7

2.6 Kriteria diagnosis .......................................................................................................... 8

2.8 Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial .......................................... 15

BAB III .................................................................................................................................... 16


3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 16

3.2 Saran ........................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 17

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena atas rahmat-Nya penulisan

makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Makalah yang berjudul Peran Dokter Muda dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial

Selama Bertugas di Bagian Bedah ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan

program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah

Surabaya yang dilaksanakan di SMF Ilmu Bedah di RSU Haji Surabaya.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr.

dr. Bambang Arianto, Sp.B, FINACS yang selalu membimbing dan memberikan saran pada

penulisan responsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini

sehingga penulis sangat mengharapkan masukan dari berbagai pihak. Semoga makalah ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surabaya, 1 Agustus 2017

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Dokter muda adalah sarjana lulusan perguruan tinggi pendidikan dokter yang

menjalankan profesi disarana kesehatan yang telah ditetapkan. Rumah sakit menjadi

sarana pasien untuk mencari kesembuhan, namun rumah sakit juga merupakan depot

bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung

yang berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan

rumah sakit, seperti udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis maupun non

medis.

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan

dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini

menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Infeksi nosokomial itu

sendiri dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh seseorang selama di rumah

sakit.

Selama 10-20 tahun belakang ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk

mencari masalah utama meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial dan di

beberapa negara, kondisinya justru sangat memprihatinkan. Keadaan ini justru

memperlama waktu perawatan dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal

akibat resistensi kuman, serta penggunaan jasa di luar rumah sakit. Karena itu di

negara-negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih

diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien di rumah sakit.

Perawatan pasien dilakukan pada fasilitas kesehatan yang sangat lengkap


hingga rumah sakit dengan fasilitas dasar. Meskipun terjadi kemajuan dalam
kesehatan masyarakat dan perawatan rumah sakit, infeksi terus berkembang pada
pasien rawat inap dan juga mempengaruhi staf rumah sakit. Infeksi nosokomial

1
mempengaruhi lebih dari 2 juta pasien setiap tahunnya di Amerika Serikat. Di
Indonesia sendiri, suatu penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta
pada tahun 2004, menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang
baru selama dirawat. Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh
dunia.
Banyak faktor yang mendorong terjadinya infeksi di antara pasien rumah
sakit, seperti penurunan imunitas pasien, peningkatan prosedur medis dan teknik
invasif, dan transmisi terhadap bakteri resisten obat di antara pasien rumah sakit yang
penuh, serta pengendalian infeksi yang buruk akan mempermudah penularan. Hal ini
akan menyebabkan waktu atau perawatan yang lebih lama atau bahkan kematian
penderita. Rumah sakit juga akan merugi karena masa perawatan menjadi lebih
panjang sehingga hunian rumah sakit. Perusahaan atau orang yang menanggung biaya
perawatan penderita merugi karena kehilangan waktunya yang produktif selama
dirawat di rumah sakit.
Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolak
ukur mutu pelayanan rumah sakit. Inti dari pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial adalah mencegah penyebaran mikroba patogen, di antaranya melalui
perilaku atau kebiasaan petugas yang terakit dengan layanan medis, termasuk dokter
muda. Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat penting,
terutama di rumah sakit pendidikan, mengingat dokter muda berinteraksi langsung
dengan pasien dalam melaksanakan kegiatan sehari hari, termasuk tindakan medis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi infeksi nosokomial


Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang diperoleh dari rumah sakit dimana
infeksi tersebut tidak diderita pasien saat masuk ke rumah sakit.
Suatu infeksi dapat disebut infeksi nosocomial menurut Depkes 2003 bila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda-tanda klinik
infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut.
3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam
sejak mulai dirawat.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
5. Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda-tanda infeksi, tetapi
terbukti bahwa infeksi didapat penderita pada waktu

2.2 Epidemiologi infeksi nosokomial


Di Indonesia, masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang
cukup serius. Pada negara maju, kejadian infeksi ini diperkirakan 5% dan angka ini
makin tinggi di negara berkembang. Penelitian yang dilakukan WHO menunjukkan
bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur
Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial
dengan Asia Tenggara sebanyak 10%.
Pada penelitian yang dilakukan National Infection Surveillance (NNIS) dan
Center Disease Control and Prevention, didapatkan 5 6 kasus infeksi nosokomial
dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit. Pada beberapa penyakit yang berat, infeksi
nosokomial meningkatkan angka kematian menjadi 2x lipat.
The journals of infections control nursing (1996) menunjukkan bahwa kira
kira 20% pasien rumah sakit terkena infeksi dan 10% nya merupakan infeksi
nosokomial dengan lokasi pada saluran kemih (30%), luka operasi (20%), saluran
pernafasan (20%), dan lain-lain (30%).

3
2.3 Etiologi infeksi nosokomial
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme
yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari
pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah
sakit disebabkan karena faktor eksternal, yaitu melalui makanan, udara, dan benda
atau bahan tidak steril.
a. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang
sehat, seperti Escherichia coli yang paling banyak dijumpai sebagai penyebab
infeksi saluran kemih. Bakteri lain seperti bakteri patogen lebih berbahaya dan
menyebabkan infeksi bai secara sporadik maupun endemik. Contohnya adalah
sebagai berikut :
Anaerobik gram positif : Clostridium pada gangrene
Bakteri gram positif : Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di
kulit dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru, tulang,
jantung, dan infeksi pembuluh darah serta seringkali telah resisten
terhadap antibiotika.
Bakteri gram negatif : Enterobacteriaceae, seperti Escherichia coli,
Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering kali ditemukan
di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran
pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif bertanggug
jawab sekitar setegah dari semua infeksi di rumah sakit.
Serratia marcescens menyebabkan infeksi serius pada luka bekas
jahitan, paru, dan peritoenum.

b. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial oleh berbagai macam virus, seperti
virus hepatitis B dan virus hepatitis C dengan media penularan tranfusi, dialisis,
suntikan, dan endoskopi. RSV, rotavirus, dan enterovirus ditularkan dari kontak
tangan ke mulut atau rute fecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui
pemakaian jarum, suntik, dan tranfusi darah. Virus lain yang menyebabkan

4
infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, ebola, influenza, virus herpes
simpleks, dan virus varicella-zoster.
c. Parasit dan jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dari orang dewasa ke
anak anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat
antibiotika bakteri dan obat imunosupresan, seperti Candida albicans, Aspergillus
spp, Cryptococcus neoformans, dan Cryptosporidium.

Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi


dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari
luka operasi, dan septikemia.

2.4 Faktor yang mempengaruhi perkembangan infeksi nosokomial


1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di
rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak
selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi
tergantung pada karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat
antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius. Penyakit yang
didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme
yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang
menyebabkan penyakit pada orang normal.

2. Respon dan toleransi tubuh pasien


Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh
pasien adalah usia, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan
malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan imunosupresan dan steroid,
intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh
terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit
kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan
AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi
dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat

5
immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi,
kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.

3. Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung


Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung
dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan
baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang
diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen
kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan
tangan yang menyebabkan terjadinya infeksi silang.

4. Resistensi antibiotika
Banyak mikroorganisme yang kini menjadi resisten. Meningkatnya
resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap pasien
yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri ditransmisikan antar pasien dan
faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri. Penyebab utamanya karena
penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika
yang tidak optimal, terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu
singkat, dan kesalahan diagnosa.
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen
yang resisten terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi
kuman terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-
besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi.

5. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi
dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi
dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang
tidak diganti-ganti. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan
mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa ekstravasasi infiltrat,
penyumbatan, flebitis, trombosis, kolonisasi kanul, septikemia, dan supurasi.
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi
kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui

6
venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada
tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang
hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan
mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes
obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter
merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.

2.5 Cara transmisi infeksi nosokomial


Penularan infeksi nosokomial dapat terjadi melalui beberapa jalur. Penularan
dapat terjadi secara kontak, melalui common vehicle, udara dan inhalasi, atau melalui
perantara vektor.
a. Penularan secara kontak
Penularan dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung, dan
droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi berhubungan langsung
dengan penjamu. Sebagai contoh adalah person to person pada penularan infeksi
virus hepatitis A secara fekal-oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila
penularan membutuhkan objek perantara, seperti benda mati. Hal ini dapat terjadi
karena benda mati itu terkontaminasi oleh mikroorganisme.

b. Penularan melalui common vehicle


Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman dan
dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari 1 penjamu. Contohnya adalah darah
/ produk darah, cairan intravena, obat obatan, dan sebagainya.

c. Penularan melalui udara dan inhalasi


Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat
kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan melalui
saluran pernafasan.
Droplet : partikel droplet > 5 m melalui batuk, bersin, bicara,
jarak sebar pendek, tidak bertahan lama di udara, deposit pada
mukosa konjungtiva, hidung, mulut contoh : Difteria, Pertussis,
Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib), Virus
Influenza, mumps, rubella.

7
Airborne : partikel kecil ukuran < 5 m, bertahan lama di udara,
jarak penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium
tuberculosis, virus campak, Varisela (cacar air), spora jamur

d. Penularan dengan perantara vektor


Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Penularan
eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang
menempel pada tubuh vektor, misalnya shigella dan salmonela oleh lalat.
Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vektor dan
dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk,
atau tidak terjadi perubahan biologis, seperti Yersenia pestis pada flea.

2.6 Kriteria diagnosis


Infeksi nosokomial disebut juga sebagai Hospital aqcuired infection apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijmupai tanda tanda klinis infeksi
tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut.
c. Tanda tanda infeksi baru timbul sekurang kurangnya 3x24 jam sejak mulai
dirawat.
d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda tanda infeksi, tetapi terbukti
bahwa infeksi didapat penderita pada waktu perawatan sebelumnya dan belum
pernah dilaporkan sebagai indeksi nosokomial.

2.7 Pengendalian infeksi nosokomial


Untuk meniadakan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang dirawat
di rumah sakit, perlu diperhatikan beberapa hal yang pokok dalam kewaspadaan
universal. Kewaspadaan universal adalah suatu konsep penanggulangan infeksi
dimana strategi pelaksanaannya dititikberatkan pada pengendalian penyeberangan
infeksi yang terjadi melalui darah dan cairan tubuh secara universal tanpa memandang
status infeksi dan pasien. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan
tubuh sangat potensial menularkan penyakit. Prinsip utama prosedur kewaspadaan

8
universal kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu, ruangan, dan streilisasi
peralatan. Kegiatan pokok kewaspadaan universal adalah :
1. Cuci tangan
Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting yang
dapat dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman.
Mencuci tangan adalah tindakan aktif, singkat dengan menggosok
bersamaan semua permukaan tangan dengan memakai sabun, yang
kemudian diikuti dengan membasuhnya dibawah air hangat yang mengalir.
Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang
menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada saat
itu. Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat
pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme
yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan
lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah
memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh
pemakaian sarung tangan. Aspek terpenting dari mencuci tangan adalah
pergesekan yang ditimbulkan dengan menggosok tangan bersamaan
mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir dan pergesekan yang
dilakukan secara rutin.
Ada beberapa sarana cuci tangan yaitu sebagai berikut:
a. Air Mengalir Sarana utama untuk cuci tangan adalah ketersediaan
air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak penampung
yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut maka
mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis atau
kimiawi saat cuci tangan akan bersih dan tidak menempel lagi di
permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau
dengan cara mengguyur dengan gayung. Namun cara mengguyur
dengan gayung memiliki risiko cukup besar untuk terjadinya
pencemaran, baik melalui gagang gayung ataupun percikan air
bekas cucian kembali ke bak penampungan air bersih. Air kran
bukan berarti harus dari PAM, namun dapat diupayakan secara
sederhana degan tangki berkran di ruang pelayanan atau perawatan

9
kesehatan agar mudah dijangkau oleh para petugas kesehatan yang
memerlukannya.
b. Sabun dan Deterjen Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme
tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme
dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga
mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah terhalau
oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan
meningkatnya frekuensi cuci tangan. Namun dilain pihak, dengan
seringnya menggunakan sabun atau deterjen maka lapisan lemak
akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah.
Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang untuk tumbuhnya
kembali mikroorganisme.
c. Larutan Antiseptik Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba
topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk
menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada kulit.
Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk
digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik memiliki
keragaman dalam hal efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada
kulit setelah dipakai sesuai dengan keragaman jenis antiseptik
tersebut dan reaksi kulit masing-masing individu. Kulit manusia
tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah
penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal
terutama kuman transien.

Prosedur cuci tangan adalah sebagai berikut:


a. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air
mengalir.
b. Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat busa
secukupnya tanpa percikan.
c. Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan,
gosokan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan
sebaliknya, gosok kedua telapak tangan dengan jari saling mengait,
gosok kedua ibu jari dengan cara menggenggam dan memutar,
gosok telapak tangan. Proses berlangsung selama 10-15 detik.

10
d. Bilas kembali dengan air sampai bersih.
e. Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih atau tisu
atau handuk katun kain sekali pakai.
f. Matikan kran dengan kertas atau tisu.
g. Pada cuci tangan aseptik/ bedah diikuti larangan menyentuh
permukaan yang tidak steril.

Gambar 2.1 Enam Langkah Mencuci Tangan

11
Gambar 2.2 Lima Saat Mencuci Tangan

b. APD (Alat Pelindung Diri)


Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang digunakan untu
melindungi diri dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari
pekerjaan maupun dari lingkungan kerja dan berguna dalam usaha untuk
mencegah dan mengurangi kemungkinan cidera atau cacat, dan terdiri dari
berbagai jenis APD di rumah sakit yaitu sarung tangan, masker, penutup
kepala, gaun pelindung dan sepatu pelindung.
1) Sarung Tangan
2) Masker
3) Alat pelindung mata
4) Topi
5) Gaun pelindung
6) Apron
7) Pelindung kaki

12
Gambar 2.3 Alat Perlindungan Diri Tenaga Medis

c. Keselamatan Menggunakan Jarum Suntik


Keselamatan menggunakan jarum suntik sebaiknya menggunakan tiap-
tiap jarum dan spuit hanya sekali pakai, tidak melepas jarum dari spuit
setelah digunakan, tidak menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan
jarum sebelum dibuang dan membuang jarum dan spuit di wadah anti
bocor. Apabila jarum dan spuit sekali pakai tidak tersedia dan perlu
memasang kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan satu
tangan dengan cara:
Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh,
kemudian angkat tangan anda.
Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan
jarum untuk menyekop tutup tersebut dengan penutup di
ujung jarum, putar spuit tegak lurus sehingga jarum dan
spuit mengarah ke atas.

13
Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung
jarum sepenuhnya, peganglah spuit ke arah atas dengan
pangkal dekat pusat (dimana jarum itu bersatu dengan spuit
dengan satu tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk
menyegel tutup itu dengan baik).

d. Sterilisasi Alat
Dekontaminasi adalah langkah pertama dalam mensterilkan instrumen
bedah/tindakan, sarung tangan dan peralatan lainnya yang kotor
(terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan tangan misalnya,
merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan klorin 0,5 %
atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh HBV
dan HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani
sewaktu pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain
didekontaminasi, kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat
disterilisasi atau didisinfeksi tingkat tinggi. Proses yang dipilih untuk
pemrosesan akhir bergantung pada apakah instrumen ini akan
bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang terkelupas
atau jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.

e. Isolasi pasien
Tempatkan pasien yang mengkontaminasi lingkungan atau yang tidak
dapat menjaga higiene lingkungan dalam ruangan tersendiri. Bila fasilitas
isolasi tidak memadai, berikut ini petunjuk pokok yang bisa digunakan :

1) Untuk mengontrol kontak pernapasan :


Tempatkan pasien di ruang terpisah atau sejauh mungkin dari
pasien-pasien lain.
Pakailah masker atau kain penutup hidung dan mulut bila
berdekatan dengan pasien.
Instruksikan pada pasien untuk menutup mulut saat batuk.
2) Untuk mengontrol kontak langsung :
Luka harus segera tertutup

14
Cucilah tangan dengan baik sebelum dan sesudah setiap
kontak dengan pasien
Buanglah pembalut, sputum dan cairan tubuh dengan cara yang
aman
3) Untuk mengontrol kontak tak langsung :
Jauhkanlah benda-benda yang berhubungan dengan pasien
isolasi dari pasien-pasien lain.
Cuci semua peralatan dan linen dengan baik
Cucilah tangan dengan baik sebelum dan sesudah setiap kontak
dengan pasien
4) Untuk mengontrol kontak melalui vektor :
Pakailah kelambu atau kawat nyamuk untuk kamar pasien pada
musim nyamuk.
Cegah adanya air tergenang di seluruh fasilitas medis

2.8 Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial


Upaya dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat vital. Upaya
upaya yang dapat dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial adalah
sebagai berikut :
a. Menerapkan kewaspadaan universal dalam semua tindakan.
b. Imunisasi dan menjaga kesehatan untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
c. Profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan aseptik,
sterilisasi, dan desinfeksi dengan benar.
d. Manajemen setelah terpapar sumber infeksi.

15
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Pengertian dari infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang didapat atau
timbul pada waktu pasien dirawat di rumah sakit. Terjadinya infeksi nosokomial akan
menimbulkan banyak kerugian bagi penderita, seperti semakin lamanya perawatan,
rasa sakit yang dirasakan lebih lama, dan masalah biaya pengobatan.
Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat penting,
mengingat dokter muda berinteraksi langsung setiap hari dengan pasien saat
melakukan pemeriksaan dan tindakan medis. Upaya yang dapat dilakukan dokter
muda dalam mencegah infeksi nosokomial adalah menerapkan kewaspadaan universal
dalam semua tindakan, yang meliputi cuci tangan, penggunaan APD (Alat
Perlindungan Diri), manajemen keselamatan penggunaan jarum suntik, sterilisasi alat,
dan isolasi pasien. Selain itu, dokter muda juga sebaiknya melakukan imunisasi untuk
meningkatkan daya tahan tubuh, bekerja secara profesionalisme dalam menerapkan
prinsip septik dan aseptik, sterilisasi, dan desinfeksi, serta manajemen setelah terpapar
sumber infeksi.
Dengan upaya tersebut, diharapkan infeksi nosokomial dapat dicegah dan
peningkatan pelayanan kesehatan dapat tercapai sesuai tujuan mencapai kesehatan
yang optimal.

3.2 Saran
1. Perlu pembelajaran lebih lanjut mengenai infeksi nosokomial kepada dokter muda
sebelum memulai tugasnya di rumah sakit.
2. Perlu pelatihan tindakan septik, aseptik, sterilisasi, dan desinfeksi.
3. Penerapan kewaspadaan universal dalam semua tindakan medis.
4. Imunisasi bagi dokter muda sebelum memulai tugas di rumah sakit.

16
DAFTAR PUSTAKA

Babb, JR. Liffe, AJ. Pocket Reference to Hospital Acquired infection. Science Press
limited, Cleveland Street, London; 2000

Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd


edition. World Health Organization. Department of Communicable disease,
Surveillance and Response; 2002

Light RW. 2001.Infectious disease, noscomial infection. Harrisons Principle of


Internal Medicine 15 Edition.-CD Room; 2001

Parhusip, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi NosokomialSerta


Pengendaliannya Di BHG. UPF. Paru RS. Dr. Pirngadi/Lab. Penyakit Paru
FK-USU Medan.

Soeroso dr. H Santoso, SpA (K), 2010, Kewaspadaan Universal Pencegahan Infeksi
Nosokomial, http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=16, diakses
tanggal 20 November 2015

WHO. 2003. Health Care Worker Safety.


http://www.who.int/injection_safety/toolbox/docs/en/AM_HCW_Safety.pdf,
diakses tanggal 22 November 2015

17

Anda mungkin juga menyukai