Anda di halaman 1dari 25

ANESTESI LOKAL

PADA PEDIATRI
Dr. I.G.A.G. Utara Hartawan, SpAn, MARS
ANESTESI LOKAL PADA PEDIATRI

PENDAHULUAN

Anestesia lokal memiliki arti hilangnya sensasi sementara, dimana sensasi yang
dimaksud adalah sensasi nyeri pada salah satu bagian tubuh, yang disebabkan adanya
pemberian obat anestetik secara topikal atau obat anestetik yang diinjeksikan. Kriteria lain
dari yang disebut dengan anestesi lokal adalah hilangnya sensasi nyeri tanpa disertai dengan
menurunnya kesadaran. Anestetik lokal bekerja pada serabut saraf dengan cara meninhibisi
influks dari ion natrium sehingga impuls saraf tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Teknik dari pemberian anestetik lokal merupakan pertimbangan yang sangat penting
pada pasien pediatrik. Contoh teknik yang dapat diterapkan saat sebelum pemberian anestetik
lokal adalah penggunaan terminologi yang sesuai dengan umur dan tidak menakut-nakuti
pasien, distraksi, anestetik topikal, teknik injeksi yang baik, analgesia/anxiolisis oksigen atau
nitous oksida.
Banyak jenis anestetik lokal yang ada dan dapat digunakan pada pasien pediatrik,
namun anestetik lokal dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu golongan ester
(procaine, benzocaine, tetracaine) dan golongan amida (lidocaine, mepivacaine, prilocaine,
articaine). Anestetik lokal merupakan vasodilator, dan akan diserap menuju ke sirkulasi,
dimana efek sistemik sangat bergantung pada kadar di plasma darah. Pemberian
vasokonstriktor (seperti epinefrin) dapat dilakukan sebagai tambahan pada anestetik lokal
untuk mengkonstriksi pembuluh darah pada daerah injeksi. Lambatnya kecepatan absorbsi
dari anestetik lokal menuju aliran darah akan menurunkan kemungkinan terjadinya toksisitas
dan akan memperpanjang durasi kerja dari anestetik lokal pada daerah tersebut. Epinefrin
dikontraindikasikan pemberiannya pada pasien hipertiroidisme.
Dosis sebaiknya dipertahankan pada rentang minimum pada pasien yang menerima
pengobatan antidepresan trisiklik. Pasien dengan penyakit kardiovaskular yang signifikan,
disfungsi tiroid, diabetes, atau sensitivitas terhadap sulfite, dan pada pasien yang menerima
pengobatan monoamine oxidase inhibitor, antidepresan trisiklik, atau phenothiazine akan
membutuhkan konsultasi medis untuk menentukan perlu tidaknya tambahan vasokonstriktor
pada anestetik lokal.
Jika anestetik lokal diinjeksikan pada area yang sedang mengalami infeksi, maka mula
kerja dari anestetik lokal akan melambat dan bahkan tidak muncul. Proses inflamasi pada
area yang sedang mengalami infeksi akan menyebabkan penurunan pH dari jaringan
ekstraselular (pH < 7). Hal ini akan menghambat kerja dari anestetik lokal karena hanya ada
sedikit dari bentuk basa bebas anestetik lokal tersebut yang dapat menyebrangi selubung saraf
untuk mencegah terjadinya konduksi dari impuls listrik.

ANATOMI DAN FISIOLOGI PEDIATRI

Anak tidaklah sama dengan orang dewasa, khususnya mengenai fisiologi dan anatomi.
Berikut adalah kesimpulan secara umum dari karakteristik anak dan neonatus yang
membedakannya dengan orang dewasa: (John F. Butterworth, David C. Mackey, 2013)

Sistem Respirasi
Bila dibandingkan dengan orang dewasa, otot interkostal pada anak dan neonatus lebih
lemah, begitu juga dengan diafragma. Ventilasi pada naka masih belum efisien, dimana costae
lebih horizontal dan lebih lembut, dan abdomen yang protuberans. Laju nafas akan lebih
tinggi pada neonatus dan akan berkurang secara bertahap saat menginjak dewasa. Volume
tidal dan dead space per kilogram cenderung konstan selama perkembangan. Adanya jalan
nafas yang lebih sedikit dan lebih kecil akan menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas.
Alveolus akan matang secara sempurna pada masa anak akhir (sekitar usia 8 tahun).

Sistem Kardiovaskular
Cardiac output pada anak dan neonatus sangat bergantung pada laju jantung. Walaupun
laju jantung basal pada anak lebih besar daripada dewasa, namun adanya aktivasi sistem saraf
parasimpatik, overdosis anestetik, atau hipoksia akan dengan cepat memicu terjadinya
bradikardia yang akan menyebabkan turunnya cardiac output.
Sistem saraf simpatis dan refleks baroreseptor belum matang secara sempurna. Sistem
kardiovaskular anak juga menunjukkan respons yang masih belum sempurna terhadap
katekolamin eksogen.

Metabolisme dan Regulasi Temperatur


Pasien pediatrik memiliki luas permukaan per kilogram yang lebih besar dibandingkan
dengan dewasa. Metabolisme dan parameter lainnya (konsumsi oksigen, produksi CO2,
cardiac output, dan ventilasi alveolar) lebih berhubungan dengan luas pemukaan tubuh
dibandingkan dengan berat badan.
Kulit yang lebih tipis, kandungan lemak yang rendah, dan area permukaan tubuh yang
luas akan menyebabkan hilangnya panas tubuh karena lingkungan pada neonatus.

Ginjal dan Gastrointestinal


Fungsi ginjal akan mendekati normal pada usia 6 bulan, namun hal tersebut bisa
memanjang sampai dengan usia 2 tahun. Neonatus memiliki insidensi yang lebih tinggi untuk
terjadinya refluks gastroesofageal. Liver yang belum matang juga akan mempengaruhi proses
konjugasi obat. (John F. Butterworth, David C. Mackey, 2013)
FARMAKOLOGI ANESTETIK LOKAL

Ada dua faktor yang mempengaruhi proses farmakologi dari obat-obatan pada anak,
yaitu: (AAPD, 2009)
1. Imaturitas dari beberapa jalur enzim dan adanya penggantian oleh jalur biokimia
lainnya.
2. Peningkatan progresif pada area permukaan tubuh yang terjadi akibat adanya proses
tumbuh kembang.
Namun pada praktek sehari-hari, luas permukaan tubuh sulit untuk dihitung sehingga
pemberian dosis obat sesuai dengan berat badan pasien.

FARMAKODINAMIK ANESTETIK LOKAL


Molekul anestesi lokal terdiri dari tiga komponen dasar blok: aromatik lipofilik
(cincin benzena), amina tersier hidrofilik, dan rantai intermediate yang menghubungkan
keduanya. Hubungan kimia yang berada diantara rantai intermediate dan cincin aromatik
membedakan anestesi lokal menjadi ester dan amida. Amida bersifat lebih stabil dan
memiliki reaksi alergi yang lebih rendah dibandingkan ester. (Gede Mangku, 2009)
Selain dari perbedaan pada jalur metabolismenya (aminoester dihidrolisa oleh
kolinesterase plasma dan aminoamide didegradasi oleh karboksiesterase hepatik) dan dari
insiden alerginya, anggota masing-masing kategori tersebut memiliki perbedaan yang kecil
pada karakteristik biofisikalnya.. (Barash,2013)
Gambar 1. Struktur dari dua prototype anestesi lokal, aminoester procaine dan aminoamide lidocaine

Jadi, berdasarkan ikatan kimia, obat anestesi lokal dibagi menjadi: (Gede
Mangku,2009)
Derivat ester, terdiri dari derivat asam benzoat, misalnya kokain, dan derivat asam
para amino benzoat misalnya prokain dan klorprokain. Derivat ester sebagian besar
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase (plasma kolinesterase). Enzim ini dibentuk di
hati, dan ditemukan di seluruh sistem vaskular dan di cairan serebrospinal. Karena
distribusi yang luas dari enzim ini, degradasi plasma dari anestesi lokal ester biasanya
cepat. Cairan serebrospinal kekurangan enzim esterase, jadi terminasi dari tindakan
injeksi intratekal anestesi lokal ester bergantung pada absorbsinya ke dalam darah. P-
aminobenzoic acid (PABA), metabolit dari anestesi lokal ester, berhubungan dengan
reaksi alergi.
Derivat amida, misalnya lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain, dan etidokain.
(Barrash,2013) Derivat amida dimetabolisme oleh enzim mikrosomal di hati dan
rantai amida dipecah melalui dealkalisasi diikuti oleh hidrolisis.
Potensi
Durasi dan
dan
Generik (pemilik) Cincin Struktur rantai Amin pKa ikatan
kelarutan
protein
lipid
Amida CH3 C4H9 ++++ 8,1 ++++
Bupivakain (Marcaine)
dan levobupivakain NHCO N
CH3
Etidokain (Duranest) CH3 C2H5 ++++ 7,7 ++++
NHCOCH N
C2H5
CH3 C3H7
Lidokain (Xylocaine) CH3 C2H5 ++ 7,8 ++
NHCOCH2 N

CH3 C2H5
Mepivakain (Carbocaine) CH3 CH3 ++ 7,6 ++
NHCO N

CH3
Prilokain (Citanest) CH3 H ++ 7,8 ++
NHCOCH N
CH3 C3H7

Ropivakain CH3 C3H7 ++++ 8,1 ++++


NHCO N

CH3
Ester Cl C2H5 + 9,0 +
Kloroprokain N
(Nesacaine)* H2N COOCH2CH2 C2H5
Kokain C2H5 CH ++ 8,7 ++
COOCH CH2 NCH3
CH2
CH CH
COOCH3
Prokain H2N COOCH2CH2 C2H5 + 8,9 +
N
C2H5
Tetrakain (Pontocaine) H9C4 CH3 COOC2CH2 CH3 ++++ 8,2 +++
N N
H CH3
Tabel 1. Sifat fisikokimia anestetik local (Morgan, 2013)
*
Kloroprokain dimetabolisme terlalu cepat untuk mengukur kelarutan lipid atau ikatan protein. Obat ini
memiliki onset kerja yang cepat meskipun dengan pKa tinggi.

Obat-obat anestesi lokal adalah obat basa lemah dan dalam tubuh berada dalam
keadaan kation dan dalam keadaan tak bermuatan. Pembagian kedua bentuk tersebut dapat
dihitung menggunakan Konstanta Disosiasi (pKa) dan persamaan Henderson-Haselbach :

Log [kation/tak bermuatan] = pKa Ph dalam tubuh


Obat anestesi lokal pKa Obat anestesi lokal pKa Obat anestesi lokal pKa
Benzocaine 3.5 Ropivacaine 8.1 Procaine 8.9
Mepivacaine 7.7 Bupivacaine 8.1 Chloroprocaine 9.1
Lidocaine 7.8 Tetracaine 8.4 Hexylcaine 9.3
Etidocaine 7.9 Cocaine 8.6 Procainamide 9.3
Prilocaine 7.9 Dibucaine 8.8 Piperocaine 9.8
Tabel 2. Konstanta disosiasi masing-masing obat anestesi lokal

Sebagian besar anestesi lokal umumnya memiliki pKa yang berkisar antara 8,0-9,0
maka bagian terbesar dalam cairan tubuh pada pH fisiologis adalah bentuk kation. Semakin
tinggi konstanta disosiasi suatu obat, semakin sedikit obat tersebut berada dalam keadaan tak
bermuatan. Padahal justru bentuk tak bermuatan yang dengan cepat dapat terdifusi dalam sel
saraf. Maka, semakin tinggi konstanta disosiasi suatu obat, semakin lambat onset kerja obat
bersangkutan.(Miller,2010)
Amida tersier yang ditemukan pada anestesi lokal mampu menerima proton,
walaupun pada keadaan afinitas yang rendah. Oleh karenanya, komponen ini diklasifikasikan
sebagai basa lemah. Pada pH fisiologis, anestesi lokal pada larutan berada pada
keseimbangan antara bentuk kationik yang terprotonisasi dan bentuk netral yang larut lemak.
Rasio dari dua bentuk tersebut bergantung pada pKa atau konstanta disosiasi dari anestesi
lokal dan pH jaringan sekitar. Rasio dengan konsentrasi tinggi dari bentuk yang larut lemak
menyediakan jalan masuk ke dalam sel, yang mana jalur utama untuk masuk adalah dengan
adsorbsi pasif dari bentuk larut lemak melalui membran sel. Secara klinis, alkalisasi dari
larutan anastesi meningkatkan rasio dari bentuk larut lemak dibanding bentuk kationik,
sehingga memfasilitasi jalur masuk ke dalam sel. Sekali berada dalam sel, keseimbangan
dicapai kembali antara kationik dan bentuk netral, dan tampaknya bentuk kationik lebih poten
untuk aktifitasnya pada kanal natrium. (Barash,2013)
% Ionized Koefisien Partisi
Anestesi Lokal pKa % Protein Binding
(pada pH 7.4) (Solubilitas Lipid)
AMIDE
Bupivacaine 8.1 83 3,420 95
Etidocaine 7.7 66 7,317 94
Lidocaine 7.9 76 366 64
Mepivacaine 7.6 61 130 77
Prilocaine 7.9 76 129 55
Ropivacaine 8.1 83 775 94
ESTER
Chlorprocaine 8.7 95 810 N/A
Procaine 8.9 97 100 6
Tetracaine 8.5 93 5,822 94
Tabel 3. Psikokimiawi penggunaan klinis anestesi lokal

Anestetik lokal dengan pKa paling dekat dengan pH fisiologis akan memiliki
konsentrasi basa tidak terionisasi yang lebih tinggi yang dapat melewati membran sel saraf,
dan secara umum memiliki onset yang lebih cepat. Setelah berada di dalam sel, basa tidak
terionisasi mencapai ekuilibrium dengan bentuk terionisasinya. Onset kerja anestetik lokal
pada sediaan serabut saraf yang diisolasi secara langsung berhubungan dengan pKa. Namun
demikian, onset kerja klinis tidak harus identik untuk anestetik lokal dengan pKa yang sama.
Faktor lain, seperti penurunan difusi melalui jaringan penyambung, dapat mempengaruhi
onset kerja secara in vivo. Suatu pengecualian yang penting adalah onset kloroprokain yang
relatif cepat, yang memiliki pKa yang tinggi. (Morgan, 2013)
Onset kerja bergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan dalam lemak dan
konsentrasi relatif bentuk larut-lemak yang tidak terionisasi (B) dan bentuk larut-air yang
terionisasi (BH+), yang ditunjukkan oleh pKa. Pengukuran ini dilakukan pada pH di mana
jumlah obat yang terionisasi dan tidak terionisasi adalah sama. Obat yang kurang larut dalam
lemak umumnya memiliki onset yang lebih cepat. (Morgan, 2013)
Durasi kerja secara umum berhubungan dengan kelarutan dalam lemak. Anestetik
lokal dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki durasi kerja yang lebih panjang,
kemungkinan karena mereka cenderung lebih sedikit dibersihkan oleh aliran darah. (Morgan,
2013)
Kepentingan bentuk terionisasi dan tidak terionisasi memiliki banyak implikasi klinis.
Larutan anestetik lokal disediakan secara komersial sebagai garam hidroklorida larut-air (pH
6-7). Karena epinefrin tidak stabil pada lingkungan basa, larutan anestetik lokal yang
mengandung epinefrin yang tersedia secara komersial dibuat dalam keadaan lebih asam (pH
4-5). Sebagai akibat langsungnya, sediaan ini memiliki konsentrasi basa bebas yang lebih
rendah dan onset yang lebih lambat dibandingkan ketika epinefrin ditambahkan saat
pemakaian. Begitu juga, rasio basa terhadap kation ekstraselular menurun dan onset menjadi
terlambat ketika anestetik lokal disuntikkan ke dalam jaringan yang asam (misal, terinfeksi).
Walaupun kontroversial, beberapa peneliti telah melaporkan bahwa alkalinisasi pada larutan
anestetik lokal (terutama sediaan komersial yang mengandung epinefrin) dengan penambahan
natrium bikarbonat (misal, 1 mL natrium bikarbonat 8,4% per 10 mL lidokain 1%) akan
mempercepat onset, memperbaiki kualitas blokade, dan memperpanjang blokade dengan
meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia. Yang menarik, alkalinisasi juga mengurangi
rasa nyeri selama infiltrasi subkutan. (Morgan, 2013)
Potensi berhubungan dengan kelarutan dalam lemak, yaitu, kemampuan molekul
anestetik lokal untuk menembus membran, suatu lingkungan yang hidrofobik. Secara umum,
potensi dan kelarutan dalam lemak meningkat sesuai peningkatan jumlah total atom karbon
dalam molekul (ukuran molekul). Lebih spesifik, potensi meningkat dengan penambahan
halida pada cincin aromatik (2-kloroprokain yang berlawanan dengan prokain). Terdapat
berbagai cara pengukuran potensi anestetik lokal yang analog dengan konsentrasi alveolar
minimal (minimum alveolar concentration, MAC) pada anestetik inhalasi, namun tidak
satupun yang digunakan secara klinis. Pengukuran potensi relatif ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, termasuk ukuran, jenis, dan mielinasi serabut; pH (pH asam mengantagonis
blokade); frekuensi stimulasi saraf; dan konsentrasi elektrolit (hipokalemia dan hiperkalsemia
mengantagonis blokade). (Morgan, 2013)

Bupivacaine Chlorprocaine Lidocaine Mepivacaine Prilocaine Repivacaine


Saraf
3.6 N/A 1 2.6 0.8 3.6
Perifer
Spinal 9.6 1 1 1 1 N/A
Epidural 4 0.5 1 1 1 4
Tabel 4. Potensi relative obat lokal anestesi pada aplikasi klinis yang berbeda-beda

Kelarutan dalam lemak dari anastesi lokal ditentukan oleh derajat dari substitusi grup
alkil pada grup amida dan cincin benzene. Di laboratorium, hal tersebut diukur oleh koefisien
partisi pada oktanol, pelarut hidrofobik, dan zat-zat dengan oktanol tinggi : koefisien partisi
buffer lebih larut lemak. Terdapat korelasi positif antara potensi obat anestesi lokal dan
oktanolnya : koefisien partisi buffer; zat yang sangat larut lemak lebih poten dan cenderung
memiliki durasi aksi yang lebih lama dibanding yang kurang larut lemak. Sifat vasodilator
dari obat anestesi lokal mungkin mengganggu redistribusi ke jaringan sekitarnya. Potensi
relatif dari anestesi lokal ditentukan untuk penggunaan klinis yang beragam. (Barash, 2013)

Pembagian obat anestesi lokal secara umum:


Berdasarkan potensi dan lama kerja atau durasi: (Gde Mangku,2009)
Potensi rendah dan durasi singkat
Prokain: potensi 1 dan durasi 60-90 menit
Klorprokain: potensi 1 dan durasi 30-60 menit

Potensi dan durasi sedang


Mepivakain: potensi 2 dan durasi 120-240 menit
Prilokain: potensi 2 dan durasi 10-240 menit
Lidokain: potensi 2 dan durasi 90-200 menit

Potensi kuat dan durasi panjang


Tetrakain: potensi 8 dan durasi 180-600 menit
Bupivakain: potensi 8 dan durasi 180-600 menit
Etidokain: potensi 6 dan durasi 180-600 menit

Berdasarkan berat jenis (konsentrasi) dan penggunaannya: (Gde Mangku,2009)


1. Isobarik, digunakan untuk: infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok pleksus dan
blok epidural.
Konsentrasi obat: Prokain : 1-2%
Klorprokain : 1-3%
Lidokain : 1-2%
Mepivakain : 1-2%
Prilokain : 1-3%
Tetrakain : 0,25-0,5%
Bupivakain : 0,25-0,5%
Etidokain : 1-1,5%
2. Hipobarik, digunakan untuk anestesi regional intravena. Konsentrasi obat dibuat
separuh dari konsentrasi obat isobarik.
3. Hiperbarik, digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarakhnoid.
Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi, misalnya: lidokain 5% hiperbarik dan bupivakain
0,5% hiperbarik yang telah dikemas khusus untuk blok subarakhnoid oleh
pembuatnya.
FARMAKOKINETIK
Dalam anestesi lokal biasanya suntikan diberikan sangat dekat pada derah yang akan di
kerjakan, sehingga efek klinis dari farmakokinetik merupakan faktor terpenting dalam
menilai eliminasi dan toksisitas. Hal ini dikarenakan toksisitas sistemik utamanya tergantung
pada kadar anestetik lokal dalam darah. Resultan obat anestesi lokal dalam darah untuk
blokade neural tergantung pada absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat anestetik lokal.
(Morgan, 2013)
Kompartemen organ pada umumnya memiliki afinitas dan kemampuan menyimpan
obat anestesi lokal yang lebih baik dari pada plasma darah. Hal ini menjadi
penyeimbang/buffer untuk darah. Sebagai contoh Bupivacaine yang diberikan secara titrasi
terus menerus, buffer akan tersaturasi setelah 2 hari dan menyebabkan lonjakan kadar obat
dalam darah. Resiko toksisitas akan meningkat mengikutinya. (Brown, 1996)

Penyerapan Sistemik
Anestetik lokal yang tidak terionisasi dapat dengan bebas melewati dinding kapiler
pada daerah injeksi. Karena cardiac output anak lebih besar dua sampai tiga kali dari orang
dewasa, maka absorbsi anestetik lokal sistemik akan meningkat dan pemberian agen
vasoaktif seperti epinefrin dapat dengan efektif memperlambat serapan sistemik tersebut.
Ketika anestetik lokal telah melakukan penetrasi ke dalam bantalan vaskular, anestetik
lokal akan menjalani ikatan protein plasma khususnya dengan human serum albumin (HSA)
dan 1-acid glycoprotein (AAG), atau orosomucoid.
Karena rendahnya jumlah konsentrasi plasma dari kedua protein tersebut pada bayi
baru lahir, maka fraksi bebas dari semua anestetik lokal akan meningkat. Oleh karena itu,
dosis maksimum dari seluruh obat golongan aminoamid sebaiknya dikurangi walaupun
konsentrasi AAG akan meningkat pada periode post-operatif. Hal ini berlaku kecuali pada
kondisi insufisiensi hepar.

Red Cell Storage


Saat sudah masuk ke aliran darah, anestetik lokal akan didistribusi menuju sel darah
merah, yang dapat menahan 20-30% dari dosis total, tergantung dari anestetik dan
hematokrit. Simpanan pada sel darah merah umumnya memiliki efek minor pada
farmakokinetik anestetik lokal kecuali pada situasi berikut ini:
Pada neonatus: hematokrit yang tinggi (dapat lebih dari 70%) dan pembesaran
ukuran eritrosit (makrositosis fisiologis) akan menyebabkan tertahannya anestetik
lokal, sehingga menyebabkan turunnya konsentrasi plasma puncak (Cmax) setelah
dilakuakn injeksi tunggal. Hal ini akan menyebabkan pemanjangan dari waktu paruh
dari seluruh anestetik lokal.
Pada bayi: anemia fisiologis akan mengurangi simpanan sel darah merah dan efek
protektif yang dapat mencegah terjadinya toksisitas sistemik akibat anestetik lokal.

Absorbsi dari obat anestesi lokal sangat tergantung dari faktor berikut (Morgan 2013,
Barash 2013):
Lokasi injeksi
Lokasi dengan vaskularisasi yang banyak, memiliki kemampuan menyerap obat
anestesi lokal ke dalam sistemik menjadi lebih besar. Sehingga dapat
disimpulkan penyerapannya berbanding lurus dengan jumlah lemak dan
vaskularisasi.
Dosis yang diberikan
Dosis tinggi akan meningkatkan gradient perbedaan antara darah dan jaringan
yang tinggi, sehingga mempermudah perpindahan obat anestesi lokal masuk
kedalam vaskuler.
Sifat fisik obat anestesi lokal
Semakin larut lemak, semakin mudah menembus lipid bilayer guna mencapai
target, juga semakin mudah untuk terikat kuat pada reseptor yang memang
sifatnya hidrofobik.
Vasokonstriksi
Penambahan vasokonstriktor (epinefrin) akan menurunkan penyerapan obat
anestesi lokal, karena efek vasokonstriksi mengurangi penyebaran sistemik. Hal
tersebut akan jauh lebih terlihat signifikansinya pada obat lokal anestesi yang;
kurang larut dalam lemak, kurang potensi, dan memiliki durasi singkat
Semakin tinggi dosis obat anestesi lokal, semakin besar absorbsinya. Tanpa melihat
pada konsentrasi dan kecepatan injeksi pemberiannya.
Gambar 2. Perbandingan kecepatan penyerapan sistemik pada obat anestesi lokal Lignocaine dan Bupivacaine.
Semakin kuat potensi anestesi yang dimiliki (kurang larut dalam lemak dan kurang kuat ikatan protein), semakin
rendah penyerapan sistemiknya (Bupivacaine).
data disadur pertama dari Mulroy MF, Burgess FW, Emanuelsson B-M: Ropivacaine 0.25% and 0.5%, but not
0.125%. Disardur kedua dari Disadur kedua dari Barash, G. Paul et al. 2006. Clinical Anesthesia (5th Edition) p.
463. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Akibat dari menurunnya absorpsi sistemik yang menurun (Morgan, 2013):


Menurunkan konsentrasi puncak obat anestesi lokal di darah
Karena obat tetap tersimpan didalam kompartemen jaringan, dan tidak banyak
terserap kedalam peredaran darah sistemik
Mempermudah ambilan/ikatan dengan reseptor target pada neuron
Reseptor yang bersifat hidirfobik menjadi lebih mudah terikat pada obat
anestesi lokal yang berjumlah banyak di dalam kompartemen tersebut
Memperpanjang durasi kerja obat
Obat anestesi lokal yang tidak terserap ke dalam sirkulasi sistemik, berarti tidak
ikut tereliminasi. Dengan demikian, dosis obat tetap bertahan dalam waktu yang
lebih lama untuk tetap dapat berikatan dengan reseptor targetnya.
Menurunkan resiko toksisitas
Toksisitas pada kardiovaskular dan sistem saraf pusat tercapai karena sebaran
obat anestesi lokal pada sirkulasi sistemik. Bila penyebaran dapat ditekan, maka
resiko toksisitas tersebut akan bisa dieliminasi.

Distribusi/Disposisi
Setelah diserap, maka obat anestesi lokal akan didistribusikan di dalam tubuh. Proses tersebut
akan dipengaruhi oleh (Raymond 1992, Brown 1996) :
Perfusi jaringan
Fase Alfa (Fase Cepat); Terdistribusi ke dalam organ yang memiliki perfusi yang
tinggi (Otak, Ginjal, dll)
Fase Beta (Fase Lambat); Terdistribusi ke organ yang memiliki perfusion yang rendah
(Otot, Lemak, dll)
Alirah darah pada organ target
Koefisiensi obat anestesi lokal antar kompartemen
Kelarutan dalam lemak yang tinggi, mempermudah penyerapan ke target jaringan dari
kompartemen aqueous. Hal tersebut juga meningkatkan ikatan protein plasma dan
menjaganya tetap stabil didalam target kompartemen.
Ikatan dengan protein dalam plasma
Obat anestesi lokal dengan ikatan protein yang tidak lengkap, akan tersebar dalam
bentuk bebas-tidak terikat. Eliminasinya akan tergantung dari aliran hepatic.
Sedangkan obat anestesi lokal dengan ikatan protein yang kuat, akan tergantung dari
konsentrasi fraksi bebas obat anestesi lokal.
pH jaringan
pH jaringan yang bersifat netral, akan lebih mudah untuk membuat obat lokal anestesi
menembus lipid bilayer. Perubahan pH jaringan akan dapat membuat aktivitas
anestesi lokal berubah aktif/inaktif, bahkan tanpa merubah dosis dan konsentrasinya.
Pernah dilakukan penelitian terkait hal tersebut antara pH 7.2 (Blok) dan pH 9.6
(Tidak terblok) (Greengard, 1966)
Ikatan plasma
Organ/jaringan besar

Toksisitas dari obat anestesi lokal pada umumnya berfokus organ yang dianggap memiliki
vaskularisasi paling banyak yakni pada:
Kardiovaskular
Sistem Saraf Pusat (SSP)
Hal ini baru akan tampak nyata bila diberikan secara sistemik. Namun pada penggunaan
secara regional/lokal, maka tingkat penyerapannya yang menjadi acuan masalah sistemik.
(Barash, 2013)
Biotransformasi & Ekskresi
Proses penyingkitan obat dari dalam tubuh tergantung dari golongan obat anestesi lokal yang
diberikan. Karena terdapat 2 mekanisme berbeda dari obat anestesi lokal yang ada saat ini
(Raymond 1992, Barash 2013) :
Golongan Amino-ester
Metabolismenya dipengaruhi oleh kerja pseudokolinesterase. Hasil metabolism proses
hydrolysis tersebut adalah produk yang mudah larut dalam air, sehingga bisa
diekskresi melalui urin.
CSF memiliki sedikit eznim esterase, sehingga proses eliminasinya menunggu
redistribusi melalui ventrikel dan sistem vena untuk kembali ke sirkulasi sistemik.
Golongan Amino-amide
Metabolismenya dipengaruhi enzim microsomal P-450 di hati. Hal ini membuat
metabolismenya menjadi lebih lambat dibandingkan dengan golongan amino-ester,
karena harus melewati hati terlebih dahulu.
Masalah pada hati akan membuat obat anestesi lokal sulit dimetabolisme, yang
kemudian menyebabkan penumpukan obat pada sirkulasi sistemik yang berujung
pada meningkatnya potensi toksisitas.
Obat anestesi lokal yang memiliki kecepatan eliminasi yang tinggi, secara otomatis akan
memiliki batas keamanan yang lebih besar. Hal ini dikarenakan tidak akan bertahan lama
dalam tubuh, sehingga puncak kadar obat anestesi lokal dalam plasma sulit untuk dicapai.
Dengan demikian menurunkan resiko toksisitas. (Barash, 2013)
Eliminasi Waktu Paruh
Anestesi Lokal
(L/kg/jam) (jam)
Amino-amida
Bupivacaine 0.41 3.5
L-bupivacaine 0.32 2.6
Etidocaine 1.05 2.6
Mepivacaine 0.67 1.9
Ropivacaine 0.63 1.9
Prilocaine 2.73 1.6
Lidocaine 0.85 1.6
Amino-ester
Chloroprocaine 0.5 0.11
Tabel 5. Data disadur pertama dari Denson DD: Physiology and pharmacology of local anesthetics. Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, et al
(eds): Acute Pain. Mechanisms and Management, p 124. St. Louis, Mosby Year Book, 1992 and Burm AG, van der Meer AD, van Kleef JW,
et al: Pharmacokinetics of the enantiomers of bupivacaine following intravenous administration of the racemate. Br J Clin Pharmacol
38:125129, 1994. Disadur kedua dari Barash, G. Paul et al. 2006. Clinical Anesthesia (5th Edition) p. 463. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Dampak Klinis
Merupakan hal yang paling penting untuk mengetahui famarkokinetik obat anestesi
lokal, karena kita bisa memperkirakan level puncak obat anestesi lokal dalam plasma sejak
waktu pemberian. Dengan demikian kita bisa menghindari dosis berlebih yang bisa
menyebabkan toksisitas. (Barash, 2013)
Anestesi Lokal Konsentrasi (%) Penggunaan Onset Durasi (jam)
Amino-amida
Bupivacaine 0.25 Infiltrasi Cepat 2-8
Etidocaine 0.5 Infiltrasi Cepat 2-8
Mepivacaine 0.5-1 Infiltrasi Cepat 1-4
Ropivacaine 0.2-0.5 Infiltrasi Cepat 2-6
Prilocaine 0.5-1 Infiltrasi Cepat 1-2
Lidocaine 0.5-1 Infiltrasi Cepat 1-4
Amino-ester
Chloroprocaine 1 Infiltrasi Cepat 0.5-1
Tabel 6. Diadaptasi dengan ijin dari Covino BG, Wildsmith JAW: Clinical pharmacology of local anesthesic agents. Dari buku Cousins MJ,
Bridenbaugh PO (eds): Neural blockade in clinical anestehs and management of pai, pp 97-138. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998.
Disadur kedua dari Barash, G. Paul et al. 2006. Clinical Anesthesia (5th Edition) p. 463. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Ada beberapa hal yang membuat level puncak obat anestesi lokal dalam plasma
menjadi sulit diprediksi. Beberapa faktor yang mungkin bisa menjadi penyebab adalah:
Usia; anak & geriatric
Dimungkinkan karena rendahnya kemampuan eliminasi, karena organ hati dan
sumber pseudokolinesterase yang tidak adekuat.
Berat badan
Melihat perbandingan rasio lemak/otot yang penilaiannya dilapangan kurang aplikatif.
Jenis kelamin
Perbandingan rasio lemak/otot dimana perempuan lebih banyak memiliki komposisi
lemak dibandingkan laki-laki.
Kehamilan
Jumlah cairan tubuh yang meningkat untuk mendukung proses kehamilan, membuat
konsentrasi obat anestesi lokal yang diberikan mengalami dilusi secara sistemik, lebih
besar dibandingkan dengan orang normal. Melihat pula rasio lemak/otot yang
meningkat.
Meskipun demikian, belum ada penelitian yang lebih konfirmatif terkait hal tersebut.
Karena hasilnya selalu variatif dari 1 individu ke individu yang lain dalam parameter yang
disebutkan di atas. (Barash, 2013)
Pada anak-anak, jumlah vaskularisasi ke mukosa anak (misal pada trachea), jauh lebih
banyak dari orang dewasa, sehingga mempermudah absorpsi dari mukosa menuju sirkulasi
sistemik. Penyesuaian dosis dan tahapan pemberiannya perlu disesuaikan agar tidak terjadi
toksisitas obat anestesi lokal.
Menjadi pertimbangan berbeda untuk geriatri dimana mayoritas organnya telah
mengalami degerenerasi sehingga fungsinya tidak optimal lagi. Pada hal obat anestesi lokal
golongan amida misalnya, maka diperlukan fungsi organ hati yang adekuat untuk
metabolismenya. Tentunya, pemberian anestesi lokal yang diberikan secara terus menerus
perlu penyesuaian dosis, karena elminasinya akan terbatas dan berkurang kemampuan
ekskresi obat anestesi lokal. Hal ini tentunya meningkatkan resiko toksikasi obat anestesi
lokal. (Greengard, 1966)

LIDOCAINE

Lidocaine merupakan agen anestesi lokal kerja panjang. Obat tersebut akan memblok
proses inisiasi dan transmisi dari impuls saraf di tempat pemberiannya dengan cara
menstabilisaasi membran saraf. Lidocaine akan dimetabolisme terutama di hepar. Efek
anestesi akan didapat dalam waktu 1-5 menit setelah diberikan secara infiltrasi, aplikasi pada
mukosa, blok saraf gigi atau spinal dan dapat bertahan sampai dengan 1-3 jam. Pada teknik
pemberian lain, mula kerja lidocaine akan didapat dalam waktu 10-15 menit.(World Health
Organization, 1989)
Jalur metabolism utama dari lidocaine adalah oxidative dealkylation pada hati yang
diubah menjadi monoethylglycinexylidide, diikuti dengan proses hidrolisi dari metabolitnya
menjadi xylidide. Monoethylglycinexylidide berkontribusi sekitar 80% dari aktivitas lidocaine
dalam hal melindung jantung dari disritmia pada binatang percobaan. Metabolit tersebut
memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih panjang, dan merupakan yang bertanggungjawab
terhadap efikasi dalam mengkontroldirritmia kardiak setelah pemberian infus lidocaine
dihentikan. Xylidide hanya mewakili 10% efek disritmia kardiak dari kerja lidocaine. Pada
manusia, sekitar 75% dari xylidide akan diekskresikan melalui urine sebagai 4-hydroxy-2, 6-
dimethylaniline.
Penyakit hati atau penurunan aliran darah kepatik, yang bias saja terjadi selama
anesthesia, akan menyebabkan penurunan laju metabolism lidocaine. Sebagai contoh,
eliminasi lidocaine akan lebih cepat sebanyak lima kali lipat pada pasien disfungsi hepar
dibandingkan dengan pasien normal. Penurunan metabolism hepatic dari lidocaine
seharusnya dapat diantisipasi saat pasien dianestesi menggunakan anestetik volatile. Pada ibu
yang sedang hamil, pembuangan lidocaine juga akan memanjang, khususnya apabila disertai
hipertensi kehamilan dan pada pemberian berulang dari lidocaine pada kasus tersebut akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma yang lebih besar bila dibandingkan dengan ibu
hamil yang normal. (Miller, 2010)
Lidocaine dapat diberikan dengan berbagai kegunaan, contohnya adalah anestesi pada
permukaan mukosa, anestesi infiltrasi, blok saraf perifer dan simpatis, anestesi dental,
anestesi spinal, anestesi regiona intravena, dan anestesi epidural dan kaudal.
Tujuan utama dari penghitungan dosis lidocaine adalah memberikan dosis efektif
terkecil. Hal ini sangat bervariasi, bergantung pada prosedur yang akan dilakukan, derajat
anestesi yang diinginkan, kecepatan absorbs pada tempat injeksi, dan respons dari pasien itu
sendiri.
Lidocaine memiliki beberapa sediaan dengan atau tanpa epinefrin, yaitu 5
mikrogram/mL (1:200.000), atau untuk anestesi dental 12.5 mikrogram/mL (1:80.000).
Epinefrin merupakan kontraindikasi untuk ring block pada jari-jari atau pada daerah penis,
dan pada prosedur-prosedurr yang memiliki resiko terjadinya iskemia.
Berikut ini adalah dosis kumulatif maksimum lidocaine untuk dewasa dan anak-anak:
0.5%, 1% lidocaine: 4 mg/kgBB
0.5%, 1% lidocaine + epinefrin 5g/mL (1:200.000): 7 mg/kgBB
Berikut ini adalah tabel yang memuat dosis dari anestesi lokal berdasarkan
penggunaannya: (Miller, 2010)
Kontraindikasi
Diketahui atau dicurigai memiliki hipersensitivitas terhadap lidocaine
Infeksi kulit disekitar tempat injeksi
Sedang dalam pengobatan antikoagulan
Kecenderungan gangguan pembekuan darah
Anemia berat atau penyakit jantung
Anestesi spinal dan epidural pada pasien dehidrasi atau hipovolemik

Penggunaan Lidocaine pada Kehamilan


Keamanan penggunaan lidocaine pada kehamilan awal masih belum diketahui secara
pasti. Namun, belum ada bukti klinis bahwa paparan lidocaine pada ibu hamil dapat
membahayakan fetus. Sehingga penggunaan lidocaine pada ibu hamil dan menyusui
dimasukkan dalam kategori B.

Efek Samping
Efek samping akibat pemberian lidocaine biasanya terjadi akibat pemberian dosis yang
berlebihan, ketidaksengajaan injeksi intravena, atau injeksi pada jaringan yang kaya
pembuluh darah. Tanda awal antara lain berupa kepala terasa ringan, pusing, pandangan
kabur, agitasi, tremor, dan terkadang bisa sampai kejadian kejang yang diikuti dengan
penurunan kesadaran, dan gagal nafas. Depresi miokardial dan hipotensi dapat menyebabkan
hipoksia, asidosis, blok jantung, dan henti jantung. Hipersensitivitas dan reaksi alergi bisa
terjadi.
Efek samping lidocaine pada anestesi epidural dapat berupa retensi urine, inkontinensia
feses, nyeri kepala, nyeri punggung, atau hilangnya sensasi pada daerah perianal. Paresthesia
dan paraplegia transien merupakan komplikasi yang sangat jarang.
Interaksi Obat
Pemberian bersamaan dengan obat postpartum oksitosik dapat menyebabkan hipertensi
berat dan menetap. Penggunaan preparasi lidocaine yang mengandung epinefrin selama atau
setelah pemberian halothane atau trichloroethylene akan menimbulkan resiko terjadinya
disritmia kardiak.

Overdosis
Overdosis atau injeksi intravena aksidental akan ditandai dengan munculnya efek
sistemik seperti yang telah dijelaskan di atas. Tatalaksana bila muncul gejala overdosis
bersifat simptomatik. Tidak ada antidotum spesifik. Jalan nafas yang bersih harus
dipertahankan dan bantuan ventilasi harus diberikan. Kejang dapat dikontrol dengan
pemberian diazepam atau thiopental.

Penyimpanan
Injeksi lidocaine sebaiknya tetap terlindung dari cahaya langsung dan tidak disarankan
untuk dibekukan. Methylene blue dapat ditambahkan pada formulasi topical untuk
mempermudah identifikasi.

ADITIF
Epinefrin
Epinefrin dengan dosis 5 mg/L atau konsentrasi 1/200.000 merupakan yang paling
sering diberikan bersamaan dengan anestetik lokal untuk menurunkan konsentrasi plasma
puncak dan memperpanjang durasi dari blokade, khususnya pada pasien yang berusia kurang
dari 4 tahun. Kelebihan lain dari pemberian epinefrin adalah dapatnya deteksi dari injeksi IV
yang salah (test dose) karena anak-anak sangat sensitif terhadap properti aritmogenik dari
epinefrin. Banyak anestesiologis menyarankan untuk menggunakan epinefrin dengan dosis
yang lebih rendah lagi (2.5 mg/L atau 1/400.000) pada pemberian solusi anestesi lokal pada
bayi dan neonatus. (Miller, 2012)
ADDITIF
Epinefrin
Epinefrin dengan dosis 5 mg/L atau konsentrasi 1/200.000 merupakan yang paling
sering diberikan bersamaan dengan anestetik lokal untuk menurunkan konsentrasi plasma
puncak dan memperpanjang durasi dari blokade, khususnya pada pasien yang berusia kurang
dari 4 tahun. Kelebihan lain dari pemberian epinefrin adalah dapatnya deteksi dari injeksi IV
yang salah (test dose) karena anak-anak sangat sensitif terhadap properti aritmogenik dari
epinefrin. Banyak anestesiologis menyarankan untuk menggunakan epinefrin dengan dosis
yang lebih rendah lagi (2.5 mg/L atau 1/400.000) pada pemberian solusi anestesi lokal pada
bayi dan neonatus. (Miller, 2012)
KOMPLIKASI

TOKSISITAS (OVERDOSIS)
Sebagian besar efek samping obat dapat muncul baik pada saat dilakukannya injeksi
atau dalam waktu 5-10 menit setelah injeksi. Overdosis dari anestetik lokal dapat disebabkan
oleh tingginya level di dalam darah yang disebabkan oleh injeksi yang tidak sengaja ke ruang
intravaskular atau pada injeksi berulang. Anestetik lokal akan menyebabkan reaksi bifasik
(eksitasi yang diikuti oleh depresi) pada sistem saraf pusat (SSP). Indikasi awal terjadinya
toksisitas SSP akibat toksisitas anestetik lokal adalah gejala berupa pusing, kecemasan, dan
bingung yang kemudian akan diikuti dengan temuan berupa diplopia, tinnitus, kesemutan
atau mati rasa pada daerah sirkumoral. Tanda objektif dari toksisitas anestetik lokal adalah
berupa otot berkedut (twitching), tremor, banyak bicara, bicara pelan, dan gemetaran, diikuti
oleh serangan kejang. Penurunan kesadaran dan henti nafas bisa terjadi. (AAPD, 2009)
Respons sistem kardiovaskular pada kondisi toksisitas anestetik lokal juga bersifat
bifasik. Awalnya akan terjadi stimulasi dari sistem kardiovaskular, dimana akan terjadi
peningkatan laju jantung dan tekanan darah. Ketika, kadar plasma semakin meningkat, maka
berikutnya akan terjadi vasodilatasi diikuti dengan depresi dari miokardium dengan
penurunan tekanan darah. Bradikardia dan henti jantung dapat terjadi berikutnya. Efek
kardiodepresan dari anestetik lokal tidak akan terlihat sampai terdapat kadar anestetik lokal
dalam darah yang tinggi secara signifikan.
Toksisitas anestetik lokal dapat dicegah dengan melakukan teknik pemberian injeksi
yang pelan, dilakukan observasi yang baik pada pasien, dan pengetahuan dari dosis
maksimum yang bergantung pada berat badan. Teknik aspirasi sebelum melakukan injeksi
obat juga sangat membantu untuk mencegah toksisitas sitemik. (AAPD, 2009)
DAFTAR PUSTAKA

AAPD (2009) Guideline on Use of Local Anesthesia for Pediatric Dental Patients, AAPD
Clinical Guidelines, 37(6), pp. 199205.
BARASH, P.G., CULLEN, B. F., & STOELTING, R. K. (2013). Clinical Anesthesia.
Philadelphia, Lippincott. p.561-577
GEDE MANGKU. Obat-obat Anestetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks; 2009.
GREENGARD et al. (1966). Anesthesia Pharmacology. 1st edition. Sanders. New York.
JOHN F.BUTTERWORTH, DAVID C. MACKEY, JOHN D. WASNICK. (2013). Clinical
Anesthesiology 5th Edition. New York, Lange Medical Books/McGraw Hill Medical
Pub. Division. p. 263-276
RAYMOND et al. (1992). Acute Pain Mechanism and Management. 1st edition. Philadelphia,
Mosby-Year Book.
RONALD D. MILLER. (2010). Millers Anesthesia. 7th ed. Philadelphia, PA: Churchill
Livingstone/Elsevier. p.916-920

Anda mungkin juga menyukai