Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Retardasi mental (RM) merupakan gangguan heterogen yang terdiri atas


fungsi intelektual di bawah ratarata disertai gangguan keterampilan adaptif.
Terapi bermain merupakan pendekatan yang efektif untuk melatih anak RM
taraf sedang dalam mempelajari suatu konsep pembelajaran. Terapi bermain
dilakukan dalam ruang khusus yang didesain sebagai tempat bermain yang
dilengkapi dengan perangkat mainan khusus untuk menstimulus perkembangan
potensi anak RM taraf sedang. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk
meningkatkan keberhasilan pengembangan potensi kecerdasan anak RM sedang
dengan menggunakan instrumen TheWechsler-Intelligence Scale for Children
(WISC) melalui penerapan terapi bermain. Rancangan penelitian ini
menggunakan metode eksperimen semu (quasi experiment) dan analisis
kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah anak RM sedang di SDLB Aisiyah
usia 712 tahun sejumlah 13 anak. Pendekatan analisis yang digunakan adalah
analisis statistik dengan pendekatan Wilcoxon dan Kruskal Wallis yang
selanjutnya dilakukan analisis deskriptif untuk memberikan gambaran kondisi
RM yang menyertai anak meliputi: faktor internal yaitu fase yang dialami anak
pada masa kehamilan, persalinan, menyusui dan tahap tumbuh kembang, serta
faktor eksternal yaitu kondisi sosial ekonomi keluarga dan pola asuh pada anak.
Hasil penelitian 7 dari 13 anak RM sedang berhasil mengalami peningkatan
dalam pengembangan potensi kecerdasannya. Bila dilihat dari hubungan
frekuensi diberikannya terapi dengan tingkat keberhasilan anak, dari 7 anak RM
sedang yang berhasil, 5 di antaranya termasuk kategori sering diberikan terapi
bermain. Simpulan, terapi bermain mampu meningkatkan keberhasilan
pengembangan potensi kecerdasan anak RM sedang. Keberhasilan tersebut
berhubungan dengan frekuensi diberikannya terapi bermain dan didukung oleh
kondisi penyerta (faktor internal dan eksternal) pada diri anak. [MKB.
2014;46(2):7382]

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi Mental

2.1.1 Definisi Retardasi Mental

Menurut Internationa Stastistical Classification of Diseases and


Related Health Problem (ICD-10), retardasi mental adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama
ditandai oleh adanya keterbatasan (impairment) keterampilan
(kecakapan, skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh
pada semua tingkat inteligensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa,
motorik dan sosial. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa
gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Prevalensi dari gangguan
jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga sampai empat lipat pada populasi
ini dibanding dengan populasi umum (Lumbantobing, 2006).
Retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual IV-
TR (DSM IV-TR, 2004) adalah gangguan yang ditandai oleh fungsi
intelektual disertai oleh defisit atau hendaya fungsi adaptif sedikitnya dua
area kemampuan: komunikasi, perawatan diri,pemenuhan kebutuhan
hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas,
kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang,
kesehatan, keamanan dan harus terjadi sebelum usia 18 tahun. Di
samping menggunakan kriteria IQ (kuosien inteligensi) bahwa perlu
diperhatikan kriteria sosialnya, kemampuan menyesuaikan di lingkungan
hidupnya. American Association on Mental Retardation (AAMR, 2002)
juga menguraikan bahwa retardasi mental adalah suatu keadaaan dengan
ciri-ciri, yaitu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan
yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku adaptif
yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis.
Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun (Kusumawardhani, 2013).
American Association on Mental Retardation (AAMR) menggunakan

2
suatu pendekatan multi-dimensional atau biopsikososial yang mencakup
5 dimensi yaitu: kemampuan intelektual, perilaku adaptif, partisipasi,
interaksi, dan peran sosial, kesehatan fisik dan mental, konteks budaya
dan juga lingkungan. Oleh karena itu, tingkat IQ yang ditetapkan hanya
merupakan petunjuk dan seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam
memandang keabsahan permasalahan lintas budaya. Derajat retardasi
mental dipengaruhi berbagai faktor seperti misalnya terdapatnya berbagai
disabilitas (misalnya pancaindera), tersedianya sarana pendidikan, sikap
dari caregiver dan stimulasi yang diberikan (Kusumawardhani, 2013).

2.1.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental

Kriteria Diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV-TR


(2004) adalah:
1. Fungsi intelektual secara signifikan: IQ lebih kurang 70 atau dibawah
pada seorang individu melakukan tes IQ.
2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang muncul pada
fungsi adapatif (keefektifan seseorang dalam memenuhi standar yang
diharapkan untuk usianya oleh kelompok masyarakat) dalam minimal
dua dari bidang berikut: komunikasi, perawatan diri, pemenuhan
kebutuhan hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan
sumber komunitas, kemandirian, kemampuan fungsi akademik,
pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan.
3. Terjadi sebelum umur 18 tahun

2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental

Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan


dan kelemahan intelektual terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM
IV-TR (2004), yaitu:

3
1. Retardasi Mental Ringan

Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan


kelompok retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini
membentuk sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi
mental. Pada usia pra sekolah (0-5 tahun) mereka dapat
mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif, mempunyai
sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak dapat
dibedakan dari anak yang tanpa retardasi mental, sampai usia yang
lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat memperoleh kecakapan
akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD). Sewaktu
masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial dan
vokasional cukup sekedar untuk bisa mandiri, namun mungkin
membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama ketika
mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.

2. Retardasi Mental Sedang

Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan


kelompok retardasi yang dapat dilatih (trainable). Sebaiknya
penggunaan terminologi dapat dilatih ini tidak dapat digunakan,
karena memberi kesan mereka dari kelompok ini tidak dapat dididik
(educable). Kelompok ini membentuk sekitar 10% dari kelompok
retardasi mental. Kebanyakan individu dengan tingkat retardasi ini
memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak dini. Mereka
memperoleh manfaat dari latihan vokasional, dan dengan pengawasan
yang sedang dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Mereka juga
memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan okupasional
namun mungkin tidak dapat melampaui pendidikan akademik lebih
dari tingkat dua (kelas dua sekolah dasar). Mereka dapat bepergian di
lingkungan yang sudah dikenal.
Selama remaja, mereka kesulitan dalam mengenal norma-
norma pergaulan lingkungan sehingga mengganggu hubungan

4
persaudaraan. Pada masa dewasa sebagian besar dapat melakukan
kerja yang kasar (unskilled) atau setengah kasar (semi skilled) di
bawah pengawasan workshop yang dilindungi. Mereka dapat
menyesuaikan diri pada komunitas lingkungan dengan pengawasan
(supervisi).

3. Retardasi Mental Berat

Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok


retardasi mental. Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu
berkomunikasi. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan
dapat dilatih dalam kecakapan mengurus diri secara sederhana.
Mereka memperoleh jangkauan yang terbatas pada instruksi pelajaran
pra-akademik, seperti mengetahui huruf dan perhitungan yang
sederhana, tetapi bisa menguasai seperti belajar membaca melihat
beberapa kata. Sewaktu usia dewasa mereka dapat melakukan kerja
yang sederhana bila diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat
menyesuaikan diri pada kehidupan di masyarakat, bersama
keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang menyertai yang
membutuhkan perawatan khusus.

4. Retardasi Mental Sangat Berat

Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari


kelompok retardasi mental. Pada sebagian besar individu dengan
diagnosis ini dapat diidentifikasi kelainan neurologik, yang
mengakibatkan retardasi mentalnya. Sewaktu masa anak, mereka
menunujukkan gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor.
Perkembangan motorik dan mengurus diri dan kemampuan
komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang adekuat.
Beberapa di antaranya dapat melakukan tugas sederhana di tempat
yang disupervisi dan dilindungi.

5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan

Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan,


seharusnya digunakan ketika ada dugaan kuat retardasi mental tetapi
seseorang tidak bisa dites dengan tes inteligensi standar. Hal ini bisa

5
terjadi saat anak-anak, remaja, atau dewasa ketika mereka mengalami
hendaya yang terlalu berat atau tidak bisa bekerjasama untuk
menjalani tes, atau pada bayi, saat ada keputusan klinik dari gangguan
fungsi intelektual secara signifikan, tetapi tes yang ada tidak dapat
menghasilkan nilai IQ (contoh: The Bayley Scales of Infant
Development, Cattell Infant Intelligence Scales, dan lainnya). Pada
umumnya, seseorang yang lebih muda, lebih sukar untuk dikaji
adanya retardasi mental kecuali pada hendaya berat.

2.1.4 Etiologi Retardasi Mental

Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh masalah


biologis yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan kromosom,
racun yang berasal dari lingkungan, kekurangan nutrisi pada wanita
hamil dan bayi, dan penyakitpenyakit yang menimpa wanita hamil, bayi
dan anak-anak (Leonard & Wen, Haugaard, 2008).
1. Abnormal kromosom dan gen

a. Sindroma Down adalah penyebab paling umum masalah


kromosom pada retardasi mental. Sindroma Down umumnya terjadi
karena kromosom 21 dari ibu gagal terpisah selama proses meiosis
(pembelahan sel yang terjadi selama pembentukan sel reproduksi).
Ketika sepasang kromosom yang tidak terpisah ini bersatu dengan
kormosom 21 dari ayah, anak tersebut menerima tiga salinan koromosom
21 satu (label trisomi 21 juga digunakan untuk mendeskripsikan
Sindroma Down). Kasus langka ketika Sindroma Down disebabkan oleh
translokasi bagian kromosom 21 ke kromosom 14.
Sindroma Down terjadi sekitar 1,5 dari setiap 1000 kelahiran.
Karena abnormal kromosom berasal dari sel telur ibu dalam empat per
lima kasus, prevalensi Sindroma Down sangat terkait dengan usia ibu.
Perkiraan Sindroma Down terjadi sekitar 1 dari 1000 kelahiran pada ibu
yang berusia dibawah 33 tahun dan sekitar 38 dari 1000 kelahiran pada
ibu yang berusia diatas 44 tahun. Anak dengan sndroma Down

6
menunjukkan hendaya khas dalam mengekspresikan bahasa, walaupun
mereka mengerti bahasa.
Kemampuan mereka dalam berbicara pada umumnya terdiri dari
kalimat sederhana dan sering mengalami masalah dalam artikulasi,
sehingga kalimat yang disampaikan sulit untuk dimengerti. Anak
Sindroma Down sering digambarkan sangat bersosialisasi dan lebih
sedikit menunjukkan masalah perilaku dibandingkan anak dengan
penyebab organik bentuk retardasi mental.
b. Sindroma Fragile X adalah penyebab paling umum retardasi
mental yang diwariskan. Ditemukan sekitar 1 dari 4000 kelahiran pada
laki-laki dan 1 dari 8000 kelahiran pada perempuan. Sindroma Fragile X
disebabkan oleh mutasi pada bagian lengan panjang kromosom X.
Mutasi ini berada pada gen yang saat ini disebut Fragile XMental
Retardation Gene (FMR1).
Perempuan lebih sedikit terkena sindrom ini dibandingkan laki-
laki karena hanya satu kromosom X yang aktif dalam setiap sel. Karena
perempuan mempunyai dua kromosom, sebuah kromosom X dengan
sebuah gen FMR1 normal mungkin menjadi aktif dalam banyak sel yang
juga terdapat sebuah kromosom X dengan sebuah gen FMR1 termutasi,
sehingga sel mereka lebih sedikit rusak. Dibandingkan laki-laki yang
hanya mempunyai satu kromosom X, semua sel dengan kromosom X
dengan gen FRM1 yang termutasi akan menjadi rusak.
Hampir semua laki-laki dengan sindroma Fragile X mengalami
gangguan kognitif dalam rentang sedang sampai berat. Anak dengan
sindroma Fragile X sering berbicara sangat cepat, mengulangnya
beberapa kali sehingga sulit untuk dimengerti. Mereka juga menunjukkan
perilaku kecemasan sosial yang tinggi yang disebabkan oleh
kewaspadaan berlebihan (hyperurosal) dari sistem saraf otonom,
menyebabkan reaksi berlebihan pada situasi sosial.
c. Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan yang dihasilkan oleh
sebuah mutasi gen Phenylalanine Hydroxylase (PAH), yang ditemukan
pada bagian lengan pendek pada kromosom 12. Prevalensi PKU

7
diperkirakan 1 dari 10.000 kelahiran diantara keturunan Eropa bagian
barat dan prevalensi lebih sedikit pada ras dan suku keturunan lain.
d. Sindrom Williams disebabkan oleh penghapusan gen pada
kromosom 7. IQ anak dengan sindrom Williams sekitar 75% berada pada
rentang 5070 sehingga memperlihatkan kesulitan belajar. Anak-anak
dengan sindroma ini sangat bersosialisasi dan selalu bersikap ramah dan
bersahabat. Meskipun begitu, mereka kesulitan untuk mendapatkan
teman. Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan kognitif atau
kemungkinan karena sikap ramah mereka yang membosankan dan
tindakan hiperaktif yang membuat temannya merasa menjengkelkan.
Pada anak yang lebih besar dan dewasa sering menunjukkan tingkat
kecemasan yang tinggi dan mengatakan bahwa mereka sangat kuatir
terhadap waktu dan mempunyai banyak ketakutan.
e. Sindroma Prader-Willi disebabkan oleh abnormalitas kromosom 15
dan sekitar 65% kasus disebabkan oleh penghapusan gen dari kromosom
di pihak ayah. Prevalensi sindroma ini sekitar 1 dari 1.000 kelahiran. IQ
pada umumnya berada pada rata-rata rendah sampai tingkat sedang pada
retardasi mental. Ciri-ciri yang menonjol adalah obesitas. Anak dan
dewasa dengan sindroma ini hampir selalu lapar dan merasa asyik
dengan makanan. Selain itu, banyak yang mendeskripsikan bahwa
mereka memiliki emosi yang labil, suka berdebat, keras kepala, pemarah,
sedikit sensitif dan cemas, dan mereka bisa menangis dan merasa sakit
hati dengan mudah.
f. Sindroma Angelman disebabkan oleh abnormalitas di area yang
sama dengan sindrom Prader-Willi yaitu kromosom 15, penghapusan
terjadi dari kromosom ibu. Hendaya kognitif yang dialami oleh sindroma
ini lebih berat dibandingkan pada sindroma Prader-Willi. Kebanyakan
anak tidak dapat berbicara dan memiliki fitur wajah yang tidak normal,
sering menunjukkan ekspresi wajah yang bahagia.
2.Racun yang berasal dari lingkungan

Racun dalam dosis yang tinggi bisa menyebabkan retardasi


mental berat atau sangat berat, dalam dosis yang rendah dapat

8
memberikan dampak negatif tetapi tidak terlihat pada anak (misalnya IQ
berkurang 10 poin).
a. Keracunan timbal dapat terjadi jika seorang anak menelan timbal
dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dan berefek bahaya
dan permanen. Menelan timbal dalam jumlah yang rendah dapat berefek
ringan namun efeknya tetap terlihat pada fungsi kognitif, seperti
rendahnya skor IQ dan masalah membaca.
b. Merkuri tertelan terutama melalui makanan laut.

c. Alkohol dikonsumsi oleh seorang wanita selama hamil bisa sangat


berefek pada perkembangan janin, namun efeknya dapat bervariasi pada
janin walaupun ibu mereka mengkonsumsi alkohol yang sama.
Mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan anak mengalami fetal
alcohol syndrome yang menyebabkan kecilnya massa otak anak,
hambatan motorik, perkembangan bahasa, dan hiperaktif.
d. Kekurangan nutrisi atau malnutrisi selama tahun pertama
kehidupan bisa membahayakan fungsi kognitif, tetapi tampaknya hanya
ketika malnutrisi berat. Trismester tiga dan bulan keenam kehidupan
merupakan waktu yang paling sensitif karena saat itu perkembangan otak
terjadi.
e. Penyakit infeksi yang paling menyebabkan hendaya kognitif pada
anak adalah meningitis dan ensefalitis. Rubella dan sifilis sangat mudah
tertransfer dari ibu kepada janinnya.
f. Cedera kepala bisa secara permanen merusak fungsi kognitif. Jatuh
dari sepeda atau dari trampoline adalah sumber dari berbagai cedera.

2.1.5 Terapi Retardasi Mental

Retardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa kelompok


gangguan heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik
untuk retardasi mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier
(Kaplan & Sadock, 2010).

9
a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk


menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan
perkembangan gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan
tersebut termasuk (1) pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat umum tentang retardasi mental, (2) usaha terus-
menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat, (3) aturan untuk
memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal, (4)
eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan sistem
saraf pusat. Untuk anak-anak dan ibu dengan status sosioekonomi
rendah, pelayanan medis prenatal dan postnatal yang sesuai dan berbagai
program pelengkap dan bantuan pelayanan sosial dapat menolong
menekan komplikasi medis dna psikososial.
b. Pencegahan sekunder dan tersier

Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah


dikenali, gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan
penyakit dan untuk menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi
setelahnya.
Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan emosional
dan perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik.Kemampuan kognitif dan
sosial yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas
yterapi modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat
kecerdasan anak.
(1) Pendidikan untuk anak : lingkungan pendidikan untuk anak-anak
dengan retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang
menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial, dan
latihan kejuruan.
(2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika.

(3) Pendidikan keluarga

10
(4) Intervensi farmakologis

2.1.6 Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental

Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik H.


Erickson, fase perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai usia tua
dan fase itu secara biologik dan psikologik individu mempunyai potensi
kesiapan untuk maju ke taraf fungsional berikutnya yang lebih tinggi,
bila dasar-dasar organik biologik tidak defektif dan mempunyai bawaan
(genetic endowment) yang normal (Kusumawardhani, 2013).
Perilaku sosial menurut Sunaryo merupakan aktivitas dalam
hubungan dengan orang lain, baik orang tua, saudara, guru, maupun
teman yang meliputi proses berpikir, beremosi, dan mengambil
keputusan (Jahja, 2011).
Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan sosialnya
dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, pada tiap tahapan
perkembangan anak retardasi mental selalu mengalami kendala sehingga
seringkali tampak sikap dan perilaku anak retardasi mental berada di
bawah usia kalendernya dan ketika usia 5-6 tahun mereka belum
mencapai kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata, 1979 dalam
Efendi, 2006).
Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan
mengartikan norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi mental
sering dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena
tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah
lakunya tidak sesuai dengan tingkat umurnya. Dilihat dari usia mereka
memang dewasa, tetapi perilaku yang ditampilkan tampak seperti anak-
anak. Akibatnya anak tunagrahita tidak jarang diisolasi dan kehadirannya
ditolak lingkungan (Kemis & Rosnawati, 2013).
Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam
memenuhi segala kebutuhannya, anak retardasi mental mudah frustasi
dan pada gilirannya akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi
dari mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud penyesuaian sosial

11
yang salah (maladjusted). Bentuk penyesuaian yang salah tersebut seperti
kompensasi yang berlebihan, pengalihan (displacement), nakal
(delinquent), regresi, destruksi, agresif dan lain-lain (Efendi, 2006).
Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis dan Rosnawati
(2013), yaitu:
1. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan
duduk lama
2. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit
teman, mengambil milik orang lain dan mengoceh/mengomel
3. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu
kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon semua
obyek yang ada di sekitarnya
4. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak
berhasil dan disalahkan orang lain (teman, guru)
5. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika
merasa terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya
6. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit
pensil/pulpen, melempar barang, menggigit meja/kursi, mencorat-
coret meja, mengotori dinding, membanting pintu/jendela dan
melempar kaca jendela
7. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul
pipi/dagu, mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak
rambut
8. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak
kooperatif
9. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi
dan berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan
kepala.

Tingkah laku sosial tercakup hal-hal seperti keterikatan dan


ketergantungan, hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku
moral. Tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak
dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan anak dan

12
ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan
Steneman (1962, 1969). Ketika anak merasa takut, tegang dan kehilangan
orang yang menjadi tempat bergantung, kecenderungan
ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak
retardasi mental lebih banyak bergantung pada orang lain, dan kurang
terpengaruh oleh bantuan sosial (Soemantri 2007).
Mc Iver menggunakan Childrens Personality Quaestionare dan
menyimpulkan ternyata anak retardasi mental laki-laki emosinya tidak
matang, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya,
impulsif, lancang dan merusak. Anak retardasi mental perempuan mudah
dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan
cenderung melanggar ketentuan. Anak retardasi mental cenderung
berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan
terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab
sosial sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi (Somantri, 2007).

13
BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Retardasi mental

14

Anda mungkin juga menyukai