Anda di halaman 1dari 20

a.

Patogenesis bronkhopnemonia
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim
paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan
awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas
yang diperantarai sel.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan
ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia
bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah,
eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang
dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan
penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja
jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan
kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.
Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura
menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung
secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).
Pada infeksi bakteri , alveoli dipenuhi cairan protein , yang memicu masuknya
cepat dari sel-sel darah merah ( sel darah merah ) dan polimorfonuklear ( PMN )
sel ( Hepatisasi red ) diikuti oleh pengendapan fibrin dan degradasi sel-sel
inflamasi ( Hepatisasi abu-abu ) . Selama resolusi , puing-puing intra - alveolar
tertelan dan dihapus oleh makrofag alveolar . Konsolidasi ini menyebabkan
penurunan masuknya udara dan kusam pada perkusi , peradangan pada saluran
udara kecil menyebabkan crackles (lihat Presentasi klinis ). Bronkopneumonia ,
konsolidasi tambal sulam yang melibatkan satu atau lebih lobus , biasanya
melibatkan zona paru-paru tergantung, pola disebabkan aspirasi isi orofaringeal .
Eksudat neutrophilic ini berpusat di bronkus dan bronkiolus , dengan penyebaran
sentrifugal ke alveoli yang berdekatan (Bennett N,J et, al. 2014).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1) Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2) Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3) Stadium III (3-8 hari berikutnya
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4) Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

b. Diagnosis
Penegakkan diagnosis menurut Standar Pelayanan Rumah Sakit Umum
Anutapura (RSU Anutapura) :
1) Anamnesis
Dari anamnesis yang di dapatkan biasanya merupakan
heteroanamnesis karena si pasien tidak bisa memberikan keterangan keluhan
yang didapatkan, untuk bronkhopneumonia biasanya pasien datang dengan
keluhan Demam tinggi, batuk, dan sesak napas.
2) Pemeriksaan fisis
Sesak napas (bila hebat sianosis),Pernapasan cuping hidung,Retraksi
interkostal (chest indrawing), Takipnea, Takikardia, Redup pada perkusi
(bila luas), Ronki basah halus nyaring/ronki sedang
Mengamati upaya pernapasan anak selama pemeriksaan fisik
merupakan langkah pertama yang penting dalam mendiagnosis pneumonia .
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) ambang tingkat pernapasan untuk
mengidentifikasi anak-anak dengan pneumonia adalah sebagai berikut
(Bennett N,J et, al. 2014) :
Anak-anak muda kurang dari 2 bulan : Lebih besar dari atau sama
dengan 60 kali / menit
Anak usia 2-11 bulan : Lebih besar dari atau sama dengan 50 kali /
menit
Anak-anak berusia 12-59 bulan : Lebih besar dari atau sama dengan
40 kali / menit
Penilaian saturasi oksigen oleh pulse oximetry harus dilakukan di awal
evaluasi bila gejala pernapasan yang hadir . Sianosis mungkin ada dalam
kasus yang parah . Kapnografi mungkin berguna dalam evaluasi anak
dengan potensi gangguan pernapasan .
3) Gambaran klinik
Gambaran klinik menurut buku Ilmu Kesehatan Anak (2007).
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian
atas selama beberapa hari . suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39-40
derajat celcius dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.
Anak sangat gelisah dispnu. Pernapasan cepat dan dangkal disertai
pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut . kadang-
kadang muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan
penyakit, mungkin terdapat batuk setelah beberapa hari , mula-mula kering
kemudian menjadi produktif , pada stadium permulaan sukar dibuat
diagnosis dengan pemeriksaan fisik, tetapi dengan adanya napas cepat dan
dangkal , pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan hidung,
harus dipikirkan kemungkinan pneumonia. Pada bronkopneumonia hasil
pemeriksaan fisis bergantung daripada luas daerah yang terkena pada
perkusi torak seing tidak ditemukan kelainan . pada auskultasi mungkin
hanya terdengar ronki basah nyaring halus dan sedang. Bila sarang dari
bronkopneumonia jadi satu atau konfluens mungkin pada perkusi terdengar
keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada
stadium resolusi, ronki terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya
penyembuhan dapat terjadi sesudah 2-3 minggu.

4) Pemeriksaan penunjuang
a. Foto polos
Gambaran radiologi Pada film polos, secara umum tidak mungkin
mendiagnosis agen penyebab infeksi dari jenis bayangannya, bagian
paru yang terkena menunjukan adanya peningkatan densitas dengan
eksudat dan cairan inflamasi yang menempati ruang alveolus. Udara
yang tetap mengisi bronkus yang terlibat tampak sebagai lusensi
berbentuk garis ( konsolidasi dengan bronkogram udara ). Konsolidasi
dapat menetap, seringkali setelah gejala-gejala pasien membaik. CT
tidak diperlukan pada pneumonia primer, namum dapat
memungkinkan penilaian terhadap adanya komplikasi (Patel R pradip,
2007). . Infiltrate/bercak berawan dengan batas tidak jelas.
Diagnosis secara luas secara klinis tetapi X-ray thoraks (CXR) di
indikasikan jika di curigai parah ataupun ada komplikasi. Pemeriksaan
darah lengkap (FBC-Full Blood Count) Hasil pemeriksaan leukositosis
( > 15.000/l ). C-reactive protein. Kultur darah dan aspirasi
nasopharing untuk isolasi viral dan PCR dapat disarankan pada anak
anak yang di hospitalisasi (Round Jonathan,et,al.2008).
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium : Gambaran darah menunjukan
leukositosis, biasanya 15.000 - 40.000 / mm3 dengan pergeseran ke
kiri. Kuman penyebab dapat dibiakan dari usapan tenggorakan dan
30% dari darah. Urin biasanya berwarna lebih tua , mungkin terdapat
albuminuria ringan karena suhu yang naik dan sedikit torak hialin
(FKUI,2007).
Kultur darah positif hanya pada 10% dari kasus, sebagai tambahan
NPA untuk kultur dan peningkatan PCR hasil dari organisme penyebab
lebih dari 30 %. Susah untuk membedakam antara infeksi virus atau
bakteri secara klinis, anak-anak dan bayi adalah provider yang kurang
baik untu pemeriksaan sputum dan diagnosis definitif dari infeksi
bakteri.bagaimana pun yang mengarah pada pneumonia bakterial
adalah (Round Jonathan,et,al.2008) :
Polimorfonuklear leukositosis
Konsolidasi lobar
Efusi pleura.

Menurut Bradley et.al., (2011) Diagnosis ditegakkan bila


ditemukan 3 dari 5 gejala berikut:

1) Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan


dinding dada
2) Panas badan
3) Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4) Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5) Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3
dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3
neutrofil yang predominan)
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri
dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley
et.al., 2011)
1) Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.
b. Oksigen harus diberikan oleh semua pasien dengan takipneu, hipoksemia,
hipotensi atau asidosis dengan tujuan untuk mempertahankan PaO2 8
kPa ( 60 mmHg) atau SaO2 92 %, bantuan ventilasi harus di
pertimbangkan pada tahap awal kepada seseorang yang hipoksemia
meskipun dengan terapi oksigen yang adekuat (Davidson stanley sir.
2006).
c. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
d. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
e. Anak yang sangat sesak napasnya memerlukan pemberian cairan
intravena dan oksigen. Jenis cairan yang digunakam ialah campuran
glukosa 5% dan NaCl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCl
10 mEq/500 ml botol infus. Banyaknya cairan yang diperlukan sebaiknya
dihitung dengan menggunakan rumus darrow. Karena ternyata sebagian
besar penderita jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan
dan hipoksia , dapat diberikan koreksi dengan perhitungan kekurangan
basa sebanyak 5 mEq (FKUI 2007).
2) Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibioti awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis
(di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat
dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
DOWN SYNROME

Sindrom Down (juga disebut trisomi 21) adalah gangguan genetik yang terjadi pada 1 dari
800 kelahiran hidup. Ini adalah penyebab utama kerusakan kognitif. Sindrom Down terkait dengan
ketidakmampuan belajar ringan sampai sedang, perkembangan terhambat, ciri wajah dan otot
rendah nada awal masa bayi. Banyak individu dengan sindrom Down juga memiliki penyakit jantung,
leukemia, penyakit Alzheimer, masalah gastro-intestinal, dan masalah kesehatan lainnya. Gejala
sindrom Down berkisar dari ringan sampai berat.

Harapan hidup untuk individu dengan sindrom Down telah secara dramatis meningkat
selama beberapa dekade karena perawatan medis dan keterlibatan sosial telah membaik. Seseorang
dengan sindrom Down dengan kesehatan yang baik rata-rata akan hidup sampai usia 55 atau di luar.

Sindrom Down dinamai setelah dokter Langdon Down, yang pada tahun 1866 pertama
menggambarkan sindrom sebagai gangguan. Meskipun dokter Down membuat beberapa
pengamatan penting tentang sindrom Down, ia melakukan tidak benar mengidentifikasi apa yang
menyebabkan gangguan. Sampai tahun 1959 bahwa para ilmuwan menemukan asal-usul genetik
sindrom Down.
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan perkembangan fisik
dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Sindrom Down
dapat disebut juga penyakit Mongoloid. Yaitu berupa kelainan pada kromosom no 15 dan 21, yang
biasanya kedua kromosom ini berdekatan. Karena salah satu penyebab yang tidak seharusnya,
terjadilah pemecahan yang disebut dispuntum. Karena suatu penyebab, dapat juga keadaan ini
disebut translokasi yang sifatnya sama karena jumlahnya, tetapi pada pembentukan gamet
berlainan. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan
diri saat terjadi pembelahan. Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang paling sering
terjadi. Kelainan sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor
21, yang seharusnya dua menjadi tiga, yang menyebabkan jumlah seluruh kromosom mencapai 47
buah, sehingga disebut trisomi 21. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung 23
pasangan kromosom. Akibat proses tersebut, terjadi goncangan sistem metabolisme di dalam sel.
Kelainan kromosom itu bukan merupakan faktor keturunan.2
Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan kemampuan
mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau pertumbuhan mental yang
lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan
tubuh yang relatif lemah, penyakit jantung bawaan, alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah
kesehatan lain.3

ETIOLOGI

Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinya pemecahan kromosom dan pecahnya


hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi. Pengaturan kembali yang
dilakukan sel dapat menghasilkan keseimbangan normal tetapi dapat juga menjadi tidak seimbang.
Jika terjadi keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan kromosom normal.
Pengaturan semacam ini biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis. Apabila terjadi
ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan sel-sel
tersebut. Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.

Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah
penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah kromosom dari orang tuanya diselidiki
terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu
autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu merupakan
carrier yang walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya, laki-
laki carrier Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya , sampai sekarang belum
diketahui. (Suryo. Genetika Manusia. 2001).

KLASIFIKASI

Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik. Tipe
pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21.
Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet, 2003).

Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi dengan
kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom yang
ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari
total kasus (Lancet, 2003)

Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang mempunyai
kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si
penderita lebih ringan. (Lancet, 2003).

PATOFISIOLOGI
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam nukleus.
Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur tersendiri, tetapi
hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai
membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian kromosom.
Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu.

Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan
susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks. Wanita
memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam
terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai
dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam
porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan
susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang
yang homolog.

Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46
kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah kromosom
orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom,
termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q. jelaslah bahwa ibu
itu merupakan carrier yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t (14q21q) ai adalah normal.
Sebaliknya laki-laki carrier Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya demikian,
sampai sekarang belum diketahui. (Suryo.Genetika Manusia. 2001) (Patofisiologi, Edisi 4. 1994)

Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam
meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :

a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu
para ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang
lebih besar untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.

Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang dari
normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau kurang.8 Secara fenotip
karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu: 1,8,9
Sutura sagitalis yang terpisah
Fisura palpebralis yang oblique
Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
plantar crease jari kaki I dan II
Hiperfleksibilitas
Peningkatan jaringan sekitar leher
Bentuk palatum yang abnormal
Tulang Hidung hipoplasia
Kelemahan otot
Hipotonia (Kaplan)
Bercak Brushfield pada mata (Prof Suci, Baby Down Syd)
Mulut terbuka
Lidah terjulur
Lekukan epikantus
single palmar crease pada tangan kiri
single palmar crease pada tangan kanan
Brachyclinodactily tangan kiri
Brachyclinodactily tangan kanan

Jarak pupil yang lebar


Tangan yang pendek dan lebar
Oksiput yang datar
Ukuran telinga yang abnormal
Kaki yang pendek dan lebar
Bentuk atau struktur telinga abnormal
Letak telinga yang abnormal
Kelainan tangan lainnya
Kelainan mata lainnya
Sindaktili
Kelainan kaki lainnya
Kelainan mulut lainnya

Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya umur anak,
misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan berkurang dengan
bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya karakteristik dengan frekuensi yang
tinggi pada sindroma Down, maka gejalagejala tersebut dianggap sebagai cardinal sign dan
petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi yang perlu
diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan patognomonik pada
sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada umumnya mirip dengan ras
Mongoloid.8
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun.
Walaubagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi
dengan sindrom Down.

Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down adalah lebih tinggi
jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota
keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal (Livingstone, 2006).

Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down berdasarkan umur ibu yang
hamil:

- 20 tahun: 1 per 1,500

- 25 tahun: 1 per 1,300

- 30 tahun: 1 per 900

- 35 tahun: 1 per 350

- 40 tahun: 1 per 100

- 45 tahun: 1 per 30

DIAGNOSIS
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi mental
merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down. Sebagian besar orang
dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau berat, hanya sebagian kecil yang
memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan nilai
IQ secara bertahap menurun dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada usia yang
lebih tua. Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil mungkin tidak mengungkapkan
tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika uji yang lebih canggih digunakan pada
masa kanak-kanak awal. 1 Derajat atau tingkat retardasi mental diekspresikan dalam berbagai
istilah. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-
TR) memberikan empat tipe retardasi mental, yang mencerminkan tingkat gangguan intelektual
antara lain: retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Adapun kriteria diagnostik
untuk retardasi mental menurut DSM-IV antara lain : 13
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70 atau kurang
pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan klinis adanya fungsi
intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu,
efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya dalam
kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut: komunikasi, merawat
diri sendiri, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan diri
sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun

Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat gangguan


intelektual:
a. Retardasi mental ringan : tingkat IQ 50-55 sampai 70
b. Retardasi mental sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
c. Retardasi mental berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
d. Retardasi mental sangat berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
e. Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan kuat adanya retardasi
mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes inteligensi baku.

Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down, sindroma X rapuh, dan
fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering dan biasanya menyebabkan sekurangnya
retardasi mental sedang. 13
Diagnosis Sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan intelektual
yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak sekarang adalah secara
bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik
sangat berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan dan fungsi anak,
sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium dapat digunakan untuk memastikan penyebab
dan prognosis.
Pada anamnesis riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh,
dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat keluarga retardasi
mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian riwayat penyakit, klinisi sebaiknya menilai
latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien.
Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik tertentu yang
sering ditemukan pada orang dengan retardasi mental seperti sindroma Down ini dan kemungkinan
memiliki penyebab pranatal. Pemeriksaan fisik pasien dengan sindroma Down dapat dilihat dari
gambaran klinis fisik pasien yang telah dijelaskan sebelumnya. 13

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down. Pertama
adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji
diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down
atau tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency (NT test).
Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14 kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah
kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of NurseMidwives, 2005).
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang disuspek
bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human
chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya
kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER), 2011).

b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya diuji
untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan pemeriksaan yang berguna untuk
diagnosis berbagai kelainan kromososm bayi terutama sindroma Down, di mana dengan mengambil
sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14-
16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.

c. Chorionic villus sampling (CVS)


CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk
melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga 14. Resiko
keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.

d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)


PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan sekiranya tehnik lain
tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation
for Medical Education and Research (MFMER), 2011).

e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika. Karyotyping sangat penting
untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam translokasi sindrom Down, karyotyping dari orang tua
dan kerabat lainnya diperlukan untuk konseling genetik yang tepat. 10
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi
kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami
kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita harus mendapatkan support maupun
informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai
berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.

MEDIKAMENTOSA

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan
pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan
terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah
infeksi yang adekuat.

NON MEDIKAMENTOSA
1. Fisio Terapi.
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar
untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan
yang tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan
Down Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah
yang dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome
menyesuaikan gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang
dimilikinya, sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
Dapat dilakukan seminggu sekali

2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak DS tergantung
pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada komunikasi dan tidak
memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan
koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
4. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan
akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan /
sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan integrasi
sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini
anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan
meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih
besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma
dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7. Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan medis
tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis ini masih belum pasti
manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang membuktikan manfaatnya,
meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS. Terapi alternatif tersebut di antaranya
adalah :
Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh
tertentu dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang
anak.
Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat
senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka
dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan
mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang
sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS. Sel-sel saraf otak
yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba.
Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan
pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme tubuhnya
sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat.
Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun
dengan pemijatan pada bagian tubuh tertentu.

Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama dengan
anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis,
serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi terdapat beberapa keadaan di mana anak
dengan sindroma Down memerlukan perhatian khusus antara lain: 8
a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru lahir
dan rutin pada anak sindroma Down
b. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada bayi
baru lahir
c. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma Down
dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja
d. Kelainan tulang
e. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama
menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan social
f. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk sindroma
Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak sindroma Down
g. Perawatan mulut dan gigi
h. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahun
i. Konseling genetik.

PROGNOSIS

Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan
berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti
defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma Down
hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena
leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih
dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.14
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan kecerdasan
dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak juga penderita
yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan. Tingginya angka
kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80% kematian. Anak-anak
dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita kelainan jantung dan leukemia. Jika
terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit
tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa.
Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar 85% bayi
dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun.
Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom Down.
Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal, Hirschsprung
disease, atresia duodenal dan leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena
mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan adenoids,
lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas
atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar Hypoventilation,
Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor
pulmonale dan gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak stabil dapat
mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran, visus,
retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak anak dengan
sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah
dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan kemampuan interpersonal
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).

Anda mungkin juga menyukai