Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hepatitis virus adalah infeksi virus sistemik pada hepar dimana

terdapatnya nekrosis dan inflamasi sel hepar yang memberikan gambaran klinis,

biokimiawi, imunoserologi, dan morfologi yang khas. Salah satu penyebab

hepatitis adalah virus Hepatitis B.1 Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan

masalah kesehatan universal yang dapat menyebabkan hepatitis akut, fulminan,

kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoselular (KHS).2,3,4,5,6

Enam juta penduduk US terinfeksi virus Hepatitis B, dengan 300.000

kasus baru per tahun, dimana insiden tertinggi pada usia dewasa yaitu umur 20-39

tahun.1 Sedangkan jumlah kasus baru pada anak tiap tahunnya hanya bisa

diperkirakan lebih rendah karena kebanyakan infeksi pada anak tidak bergejala.

Meskipun pada anak infeksi ini kurang dari 10%, namun jumlah ini merupakan

20-30% dari seluruh kasus penyakit kronik pada anak. 1,6

Angka prevalensi di Indonesia berkisar antara 5-20% yang termasuk

negara dengan endemisitas sedang hingga tinggi. Prevalensi diantara wanita hamil

berkaisar antara 3-8% dengan potensi penularan perinatal yang tinggi dari ibu

penderita hepatitis B kepada bayinya.4 Suparyatmo melaporkan pada tahun 1993

prevalensi HBsAg dan HBeAg pada 9875 wanita hamil dengan hasil sebagai

berikut: HbsAg positif 3,6 % dan dari HBeAg positif 45,7 %.4,7

Infeksi HBV yang terjadi pada masa bayi dan anak umumnya tidak

memberikan gejala klinis (asimptomatik) sehingga dapat dimengerti bila angka

1
4,6
laporan mengenai jumlah penderita jauh di bawah angka yang sebenarnya. Pada

bayi dan anak terdapat masalah hepatitis B yang serius karena risiko untuk

terjadinya infeksi hepatitis B kronis berbanding terbalik dengan usia saat


1,3,4
terjadinya infeksi. Data-data menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi HBV

sebelum usia satu tahun mempunyai risiko kronisitas sampai 90 %, sedangkan bila

infeksi HBV terjadi pada usia antara 2-5 tahun, risikonya menurun menjadi 50 %,

bahkan bila infeksi terjadi pada anak usia di atas lima tahun hanya berisiko 5-10

% untuk terjadinya kronisitas.1,4

Risiko timbulnya infeksi HBV pada anak adalah transmisi ibu-anak, yaitu

eksposur perinatal dengan ibu yang memiliki HbsAg positif. Risiko transmisi

akan lebih besar jika ibu juga HBeAg positif; 70-90 % menjadi kronis jika tidak

diobati. 1,4

Tingginya angka prevalensi hepatitis B di Indonesia terkait dengan

terjadinya infeksi HBV pada periode perinatal. Pengobatan infeksi virus hepatitis

B sampai saat ini belum memuaskan. Oleh sebab itu diperlukan usaha untuk

memutuskan mata rantai penularan sedini mungkin.4,8,9,10

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan

hepatitis B pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan menambah pengetahuan dan pemahaman tentang

patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis B pada anak.

2
1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada

beberapa literatur.

3
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus dimana hati sebagai organ

target utama dimana lesi hepatik yang utama terjadi berupa nekrosis hepatosit dan

infiltrasi mononuklear sel pada panlobular hepar. Klasifikasi hepatitis adalah

berdasarkan:11

penyebab, terbagi atas hepatitis oleh virus, hepatitis oleh bakteri, hepatitis

oleh obat-obatan.

perjalanan penyakitnya, terbagi atas hepatitis akut, hepatitis kronik

Hepatitis virus adalah infeksi virus sistemik pada hepar dimana

terdapatnya nekrosis dan inflamasi sel hepar yang memberikan gambaran klinis,

biokimiawi, imunoserologi, dan morfologi yang khas yang disebabkan oleh

sedikitnya 6 jenis virus. 1,2

Hepatitis virus B adalah hepatitis virus yang disebabkan oleh virus

Hepatitis B, yang terdiri dari:1,2

Hepatitis virus B akut.

Hepatitis virus B kronik: yaitu apabila selama lebih dari 6 bulan gejala

klinis dan kelainan biokimiawi masih menetap. Secara histopatologik,

dibagi atas hepatitis kronik persisten yang secara histologik menunjukkan

infiltrasi leukosit di daerah portal dengan bentuk lobus yang masih utuh

tanpa dijumpai jaringan fibrotik, dan hepatitis kronik aktif dengan ciri

adanya infiltrasi yang menjalar ke periportal, terdapatnya piece meal

4
necrosis dan nekrosis antara 2 lobus ( bridges necrosis ) dengan atau

tanpa disertai jaringan fibrotik.

2.2 Epidemiologi

Hepatitis B merupakan penyakit endemis di seluruh dunia tetapi distribusi

karier virus hepatitis B sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya.

Terdapat lebih dari setengah populasi pernah terinfeksi oleh virus Hepatitis B di

area dengan prevalensi tinggi, dan lebih dari 8% populasi merupakan penderita

kronik. Keadaan ini merupakan infeksi VHB pada usia dini.4

Daerah dengan prevalensi tertinggi infeksi HVB di dunia adalah Sub

Sahara Afrika, China, beberapa daerah Timur Tengah, Basin amazon, dan pulau

Pasifik. Populasi Eskimo di Alaska, United States memiliki angka prevalensi

tertinggi. Enam juta penduduk US terinfeksi, dengan 300.000 kasus baru per

tahun, dimana insiden tertinggi pada usia dewasa yaitu umur 20-39 tahun. 12

Sedangkan jumlah kasus baru pada anak tiap tahunnya hanya bisa diperkirakan

lebih rendah karena kebanyakan infeksi pada anak tidak bergejala.3,4 Meskipun

pada anak infeksi ini kurang dari 10%, namun jumlah ini merupakan 20-30% dari

seluruh kasus penyakit kronik pada anak.1,6

Angka prevalensi di Indonesia berkisar antara 5-20%. Prevalensi diantara

wanita hamil berkisar antara 3-8%.4 Distribusi umur pasien hepatitis B yang

dirawat di Bagian IKA FKUI/ RSCM sejak Juli 1992-April 2000 didapatkan 28

pasien hepatitis B kronis, terdiri dari 19 laki-laki dan 9 perempuan. Umur pasien

berkisar antara 43 hari sampai dengan 14 tahun. 4

5
Tabel 2.1. Distribusi umur pasien hepatitis B yang dirawat di Bagian IKA
FKUI/RSCM
Umur Jumlah pasien
1-12 bulan 7
1-5 tahun 5
6-10 tahun 7
> 10 tahun 9

2.3 Etiologi

2.3.1 Virologi

Virus Hepatitis B (VHB) merupakan virus DNA yang temasuk kelas

Hepadna dengan ukuran 42 nm. Virus ini sampai sekarang belum dapat dibiakkan

dalam jaringan. Virus yang utuh disebut partikel DANE yang terdiri dari lapisan

luar (HBsAg) dan inti atau Core (HBcAg). Di dalam inti selain HBcAg terdapat

juga genom VHB yang terdiri dari 12 rantai DNA. 1,2,12

Gambar 2.1. Struktur virus Hepatitis B

6
2.3.2 Transmisi

Transmisi utama VHB terjadi melalui jalur parenteral. Pola transmisi yang

banyak berperan di Asia dengan tingkat endemisitas VHB yang tinggi adalah

transmisi perinatal dan transmisi karena kontak erat antar anggota keluarga.4, 13

2.3.2.1 Transmisi perinatal (vertikal)

Transmisi dari ibu (vertikal) ke bayi dapat terjadi pada saat intra uterin

(pranatal), saat lahir (intranatal), dan setelah lahir (pasca natal). Umumnya

transmisi perinatal diyakini terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh ibu yang

terkontaminasi.VHB saat kelahiran. Infeksi intra uterin lebih jarang terjadi (sekitar

2,4 % dari seluruh kejadian transmisi perinatal). Infeksi ini diduga karena adanya

defek plasenta sehingga barier plasenta yang seharusnya dapat mencegah HBsAg

masuk ke darah janin tidak dapat berfungsi dengan baik. 1,2,4,12

Faktor risiko yang paling penting untuk mendapat infeksi hepatitis B pada

anak adalah pemajanan perinatal terhadap ibu positif HBsAg. HBsAg terjadi pada

saat terjadinya replikasi virus sehingga dapat dipakai sebagai ukuran tinggi daya

tularnya.12 Jika hanya HBsAg saja yang terdeteksi, maka kemungkinan

transmisinya berkisar antara 22-67 %. Risiko penularan adalah paling besar jika

ibu juga HBeAg positif, 70-90 % dari bayinya menjadi terinfeksi secara kronis

jika tidak diobati.1,2,4,12

Ibu hamil yang menderita hepatitis B akut pada trimester pertama dan

kedua umumnya membaik dan tidak mentransmisikannya pada bayi yang

dilahirkannya, tetapi bila hepatitis akut tersebut terjadi pada trimester ketiga

dengan titer VHB yang tinggi dapat terjadi transmisi VHB pada bayinya. 12,13,14,15

7
2.3.2.2 Transmisi horizontal

Transmisi horizontal dapat terjadi melalui kontak erat antar anggota

keluarga. Pola transmisi ini juga penting di daerah endemisitas tinggi seperti

Indonesia. Pada penelitian terhadap anak pengungsi di Asia Tenggara yang

dilahirkan di Amerika Serikat didapatkan bahwa 15 dari 226 (6,6 % ) anak yang

ibunya tidak terinfeksi VHB, ternyata mengalami infeksi VHB. Selanjutnya

disebutkan bahwa risiko seorang anak terkena infeksi VHB 4,6 kali lebih tinggi

bila ia hidup bersama anak berumur 1-5 tahun dibandingkan dengan yang hidup

bersama anak yang lebih tua. 4,13,16

8
BAB III

PATOGENESIS

Hati merupakan salah satu target organ utama virus hepatitis B pada

manusia. Hati juga merupakan tempat utama bahkan mungkin tempat satu-satunya
13
bagi replikasi virus hepatitis B. Mula-mula virus tersebut melekatkan diri pada

reseptor-reseptor spesifik yang terletak pada membran sel hepar. Setelah

perlekatan tersebut virus melakukan penetrasi dan memasuki sitoplasma sel hepar.

Didalam sitoplasma sel hepar virus melepaskan kapsulnya dan terbentuk

nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid tersebut menembus dinding sel hati,

sampai memasuki inti hati tersebut. Di dalam inti sel hati asam nukleat virus akan

keluar dari nukleokapsid dan menempel pada DNA. DNA HBV akan

merangsang hepar untuk membentuk protein dan asam nukleat bagi virus. Pada

akhirnya terbentuk virus baru dan akibat nekrosis sel-sel hepar maka virus baru ini

akan dilepaskan kedalam peredaran darah. 12

Gambar 3.1. Replikasi virus dalam sel hepar

9
Gejala ikterus timbul sebagai akibat adanya obstruksi duktus bilier

maupun kerusakan sel-sel parenkim, sehingga terdapat peningkatan bilirubin direk

maupun indirek. Obstruksi hepatik dapat menyebabkan feses akolik.

Urobilonogen merupakan suatu metabolit dari bilirubin biasanya diresorbsi dan

diekskresi melalui urine dan akibat sel-sel parenkim hepar yang rusak maka

urobilinogen tidak dapat diekskresi dalam urine. Bukti lain menandakan adanya

obstuksi bilier ialah terjadinya peningkatan serum alkali fosfatase, 5 nukleotidase

atau glutamil transpeptidase. Pelepasan enzim-enzim dari sel hati yang rusak

kedalam aliran darah ikut menentukan luasnya infeksi.13

Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadan

ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Komplek imun yang

sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pad penderita yang

mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika, dan sindrom

Guillan-barre. 12

Peningkatan waktu protrombin dapat disebabkan oleh ketidakmampuan

sel-sel hati membentuk protein yang diperlukan bagi pembekuan, disertai adanya

penurunan absorbsi vitamin K atau keduanya.13

Perjalanan klinis VHB umumnya dibagi menjadi 4 stadium. Stadium

pertama bersifat imun toleran. Pada neonatus, stadium ini dapat berlangsung

beberapa dekade. Pada orang dewasa periode ini dapat berlangsung hanya 2-4

minggu saja. Pada periode ini, replikasi virus dapat terus berlangsung walaupun

serum ALT hanya sedikir atau bahkan tidak meningkat sama sekali serta tidak

menimbulkan gejala klinis. 4,17

10
Pada stadium 2 mulai muncul respons imun dan berkembang. Hal ini akan

mcngakibatkan stimulasi sitokin dan menyebabkan sitolisis hepatosir secara

langsung dan terjadi proses inflamasi. Pada stadium ini HBeAg tetap diproduksi,

tetapi serum DNA-VHB rnenurun jumlahnya karena sel yang terinfeksi juga

menurun. Pada hepatitis B akut, stadium ini merupakan periode simtomatik dan

umumnya berlangsung selama 3-4 minggu. Pada pasien dengan hepatitis kronis

stadium ini dapat berlangsung selama 10 tahun atau lebih, yang kemudian akan

melanjut menjadi sirosis dan komplikasinya.4,17

Stadium 3 dimulai ketika pejamu mampu mempertahankan respons

imunnya dan mampu mengeliminasi sel hepatosit yang terinfeksi sehingga sel

yang terinfeksi menurun jumlahnya dan replikasi virus aktif berakhir. Pada

stadium ini tidak terdapat lagi HBeAg dan kemudian muncul antibodi terhadap

HBeAg. Penurunan jumlah DNA virus yang bermakna ditemukan walaupun

DNA-VHB pasien tetap positif. 4

Di Taiwan, untuk mengetahui kemaknaan serokonversi HBeAg pada anak

telah dilakukan penelitian prospektif jangka panjang pada 415 anak dengan

HBsAg positif yang berumur dan 0-15 tahun. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terjadinya serokonversi dan HBeAg osirif ke anti-HBe posirif tidaklah

merupakan indikator prognosis yang lebih baik, sejumlah kecil anak akan

berkembang menjadi sirosis bahkan KHS. Penelitian lain di Itali juga mendukung

pendapat bahwa pada keadaan serokonversi HBeAg dengan kadar ALT yang

normal bahkan dengan HBsAg negatif, kerusakan hati tetap berlangsung.4

Selanjutnya pada stadium 4 HBsAg menghilang dan timbul antibodi

terhadap HBsAg (anti-HBs). Faktor yang dapat berperan dalam evolusi ke-4

11
stadium di atas adalah predisposisi genetik (ras Asia), adanya virus lain (virus

hepatitis D, virus hepatitis C), pengobatan menggunakan imunosupresif, jenis

kelamin (lelaki lebih buruk dibanding perempuan), dan timbulnyaVHB mutan.4

Tabel 3.1. Stadium infeksi hepatitis B


Pertanda Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV
HBsAg Positif Positif Positif Negatif
Anti-HBs Negatif Negatif Negatif Positif
DNA-VHB Positif kuat Positif Negatif Negatif
Anti Hbs Positif Positif Positif Positif
HBeAg Positif Positif Negatif Negatif
Anti-HBe Negatif Negatif Positif Positif
AST & Alt Normal Meningkat Normal Normal
Ket: DNA virus negatif diperiksa dengan teknik hibridisasi, masih mungkin
positif bila diperiksa dengan metode PCR

Seorang bayi dengan infeksi perinatal oleh VHB mempunyai predisposisi

untuk mengalami infeksi HVB kronis. Hal ini terjadi pada neonatus sistem

imunnya belum sempurna. Di samping itu diduga HBeA ibu akan melewati barier

plasenta dan HBeAg ini akan menyebabkan sel T helper tidak responsif terhadap

HBCAg dan HBeAg pada neonatus yang lahir dari ibu pengidap dengan HBeAg

positif. Selain itu adanya IgG anti-HBc ibu yang secara pasif masuk dalam

sirkulasi bayi akan menutupi ekspresi HBcAg di permukaan hepatosit bayi,

sehingga akan mengganggu pengenalan dan penghancuran hepatosit oleh sel T

sitotoksik.4

12
BAB 1V

DIAGNOSIS

4.1. Manifestasi Klinis

Secara umum, hepatitis virus terbagi dalam 2 bentuk infeksi yaitu

simtomatik dan asimtomatik. Pada kasus yang simtomatik umumnya ditemukan

malaise, anoreksia, rasa tidak enak di perut yang biasanya mendahului timbulnya

ikterus, dan timbulnya dalam beberapa minggu sampai bulan setelah terpapar

virus. 13

Pada infeksi asimtomatik dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu

subclinical dan inapparent. Pada infeksi subclinical, tidak terdapat gejala-gejala

klinis dan jaundice, tetapi pada pemeriksaan biokimia ditemukan peningkatan

kadar aminotransferase serum. Sedangkan pada infeksi inapperent, hanya bisa

dideteksi dengan pemeriksaan serologi. 13

4.1.1. Infeksi Akut

Gejala HVB akut pada anak sangat jarang dijumpai. Gejala umumnya

menetap selama 1-2 bulan. Biasanya infeksi akut ini jarang bermanifestasi berat,

makin berat gejalanya, makin kecil kemungkinannya untuk berlanjut menjadi

kronis. Komplikasinya adalah bentuk fulminan atau hepatitis kronis. 18,19

4.1.2. Infeksi Kronis

Hepatitis B virus umumnya tidak menimbulkan gejala, atau hanya anoreksia

atau lesu. Gejala klinis menjadi lebih jelas bila sudah terjadi sirosis (3-5 kasus)

dan hipertensi portal atau karsinoma hepatoseluler. 20

13
Penderita VHB kronis biasanya asimptomatik, tetapi mungkin ditemukan

fatique, nausea, vomiting, anorexia, sakit kepala, gejala-gejala seperti flu, dan

batuk. Satu-satunya pemeriksaan biokimia yang dapat ditemukan tidak normal

adalah peningkatan enzim transaminase yang tidak begitu tinggi. Gejala klinis

pada pasien asimtomatis dapat timbul kemudian pada saat telah terjadi sirosis dan

hipertensi portal atau karsinoma hepatoseluler.19,20,21

Pada pemeriksaan fisik kulit dan membran mukosa ikterik, terutama sklera

dan mukosa dibawah lidah. dapat ditemukan nyeri palpasi di atas hepar karena

pembesaran hepar. Biasanya titak ditemukan nodul pada palpasi heparnya. Bila

hati tidak dapat teraba di bawah tepi costa, nyeri dapat diperagakan dengan

memukul iga dengan lembut di atas hati dengan tinju menggemgam. Sekitar 10

sampai 15 persen pasien limpa dapat teraba dan limfadenopati cervical posterior

dapat terdeteksi. 11,12

Pada periksaan biokimia, dapat ditemukan peningkatan enzim

transaminase serum dan petanda serologis virus dapat dideteksi. Infeksi VHB

tidak dapat dibedakan dengan penyakit lainnya dengan hanya melihat gejala klinis

saja. Diagnosis definitif didasarkan pada pemeriksaan serologis. 4,14

4.2. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan HBsAg merupakan tes yang paling sering digunakan untuk

mendeteksi infeksi VHB akut atau pejamu kronis. HBsAg dapat dideteksi paling

cepat 1-2 minggu dan paling lambat 11-12 minggu setelah terpapar.4

14
Gambar 4.1. Pola respon terhadap infeksi virus Hepatitis B akut

Bila terjadi antigenemia VHB lebih dari 6 bulan maka pasien dikatakan

sebagai pengidap kronis. Adanya HBsAg umumnya menunjukkan bahwa

seseorang itu infeksius. Hilangnya HBsAg dan timbulnya antiHBs tidak selalu

berarti hilangnya virus dari tubuh seseorang. Pada keadaan tersebut masih dapat

dideteksi adanya DNA-VHB dalam darah orang tersebut. Oleh karena itu kita

perlu berhati-hati untuk mengatakan seseorang telah sembuh dari hepatitis B.4

Tabel 4.1. Petanda serologis infeksi VHB kronis


Status Pejamu DNA-VHB cAB sAg sAb eAg eAb
Infeksi akut terdeteksi IgM lalu + lalu - - + -
IgG - (jikamuntah)
Infeksi tak terdeteksi IgG - + - +
membaik - (jika
muntah)
Pengidap kronis tak terdeteksi IgG + - - +
(infektivitas - (jika
rendah) muntah)
Pengidap kronis terdeteksi IgG + S- + -
(virus - (jika
bereplikasi) muntah)
Singkatan: cAb: antibodi terhadap HbcAg; sAg: HbsAg: sAb: antibodi terhadap
sAg; eAg: antigen e virus; eAb: antibodi terhadap eAg
AntiHBc terbentuk pada semua infeksi VHB. Antibodi ini muncul segera

setelah HBsAg timbul. Antibodi ini merupakan petanda infeksi sebelumnya.

15
Antibodi ini merupakan petanda infeksi sebelumnya. Antibodi ini tidak ditemukan

setelah vaksinasi. AntiHBc akan menetap seumur hidup. IgM anti HBc muncul

lebih dahulu daripada IgG antiHBc. IgM antiHBc titer tinggi (>600) mungkin

merupakan petanda infeksi akut, sedangkan titer rendah dapat ditemukan pada

infeksi kronis.4,14,15

HBeAg merupakan petanda virus yang berhubungan dengan tingkat

replikasi virus yang berhubungan dengan risiko transmisi. Pada keadaan HBeAg

negatif karena adanya mutan virus, untuk mengetahui tingkat replikasi virus

digunakan pemeriksaan DNA-VHB. 4,14,15

Gambar 4.2. Pola respon terhadap infeksi virus Hepatitis B kronis

4.3. Gambaran Patologi Anatomi

Pada Hepatitis virus B, terdapat semua gambaran patologi anatomik

hepatitis virus. Gambaran patologi anatomik tersebut adalah :11

16
- Perbaikan kelainan histologik

- Perbaikan dengan berbekas

- Hepatitis persisten

- Hepatitis aktif kronik

- Sirosis

- Nekrosis submasif

- Nekrosis Masif (fulminan)

BAB V

TATA LAKSANA

17
Pokok utama penanganan penderita hepatitis mencakup: konfirmasi

diagnosis yang tepat, pengobatan suportif dan pemantauan masa akut, pencarian

ke arah penyakit dan pencegahan.11

5.1 Tatalaksana Umum

Prinsip tatalaksana pada HVB akut adalah suportif dan pemantauan

perjalanan penyakit. Pada awal periode simtomatik, dianjurkan tirah baring.10

Namun tirah baring total tidak diajurkan kecuali pada keadaan gawat. Manakala

penderita sudah dapat berjalan boleh melakukan pekerjaan yang tidak melelahkan.

Makanan yang diberikan sesuai dengan daya terima anak/bayi.11

Pada tatalaksana HVB kronik, orang tua harus memiliki pemahaman

mengenai penyakit anak, serta resiko sirosis dan KHS yang ditimbulkannya,

sehingga ditekankan pentingnya pemantauan perjalanan penyakit secara berkala.

Pemantauan berkala seperti di bawah ini;4

1. Setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan HBsAg, HBeAg, SGOT/PT, USG hati,

dan a-feto protein

2. Pemeriksaan HBV DNA tidak rutin, tetapi ideal bila dilakukan setiap 1-2

tahun. Bila terindikasi terapi antivirus, pemeriksaan ini merupakan keharusan

untuk memprediksi keberhasilan terapi dan untuk memantau respons terapi.

3. Bila selama pemantauan, HBsAg tetap positif tetapi SGOT/PT senantiasa

dalam batas normal, anak dipantau secara berkala seperti pada butir 1.

4. Bila HBsAg tetap positif dan SGOT/PT meningkat lebih dari 1,5 kali batas

atas normal pada > 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan interval minimal

2 bulan, perlu dipertimbangkan pemberian terapi antivirus.

18
5. Pada anak yang memenuhi deskripsi butir nomor 4, dilakukan biopsi hati.

Biopsi perlu diulang untuk menilai respons terapi.

5.2 Tatalaksana Khusus

Beberapa pilihan dalam penanganan hepatitis kronik yaitu:4

Interferon

Antiviral terapi:

o Nucleoside analog

o Antisense oligonucleoside

o Gene theraphy

Imunno modulatory therapy: Thymosine, DNA vaccine

Combination theraphy

Tatalaksana khusus kuratif VHB terdiri dari dua bagian yaitu tatalaksana

pemberian antivirus pada penderita hepatitis B kronik, serta tatalaksana KHS

akibat VHB Sampai saat ini belum ditemukan obat antivirus yang benar-benar

mampu menghilangkan virus (sustained response). Namun laporan pemakaian

antivirus terhadap anakVHB kronik, masih sangat terbatas.4

5.2.1 Terapi antivirus

Dasar mekanisme kerja obat antivirus pada HVB kronik dan HVC adalah

anti replikasi virus, imunomodulator, dan anti proliferasi. Oleh karena itu, tujuan

terapi antivirus adalah sebagai berikut.:4,10,15

1. Menekan replikasi virus (HBeAg, HBVDNA, HBsAg) sehingga mengurangi

resiko transmisi HVB.

2. Normalisasi aminotransferase dan perbaikan histologis hati.

19
3. Mengurangi derajat infektivitas virus.

4. Menghilangkan atau mengurangi gejala.

5. Mencegah progresivitas, menurunkan insidens KHS, memperbaiki survival.

Indikasi pemberian terapi antivirus adalah pada penderita HVB kronik,

dimana berdasarkan imunopatogenesis HVB kronik dan mekanisme kerja

antivirus didapatkan HBsAg (+), HBVDNA (+), dan kadar SGOT-SGPT

meningkat minimal 2,5 kali batas atas nilai normal. Pengobatan yang lebih awal

pada penderita HVB kronik, dapat menghambat atau mencegah integrasi

kromosom HBVDNA dan terjadinya gejala sisa yang menetap.4,10

Interferon 2b dan lamivudine merupakan terapi yang digunakan saat ini

pada penderita hepatitis B kronik pada orang dewasa. Saat ini, terapi ini mulai

digunakan pada anak, dimana hanya 25-40% saja yang menunjukkan respons

eradikasi virus jangka panjang. Interferon rekombinan memiliki efek sebagai

antivirus dan imunomodulator, sedangkan lamivudine, suatu analog nukleosida

bekerja dalam menghambat enzim reverse transkriptase. 11 HBsAg dan HBVDNA

akan kembali muncul setelah terapi dihentikan. Kegagalan ini diperkirakan karena

ketidakmampuan obat antivirus untuk menghambat produk ekspresi gen setelah

DNA virus berintegrasi dengan DNA pejamu. Selain itu, munculnya mutan

sebagai mekanisme untuk mempertahankan viremia, dapat mengubah perjalanan

penyakit dan respons terhadap antivirus.4,10

Mengingat tingkat keberhasilan terapi yang sangat rendah, berbagai efek

samping dapat yang ditimbulkannya, serta harganya yang tinggi, diperlukan

parameter penentuan kandidat terapi dan prediksi keberhasilan terapi. Hasil

prediksi tersebut akan sangat menentukan arah kebijakan selanjutnya 4

20
BAB VI

KOMPLIKASI, PENCEGAHAN DAN PROGNOSIS

21
6.1 Komplikasi

Hepatitis akut fulminan dengan koagulopati, ensefalopati, dan edema

serebri terjadi lebih sering pada VHB dibandingkan hepatitis oleh jenis virus

lainnya. Resiko hepatitis fulminan jauh lebih meningkat jika terdapat infeksi VHB

yang bersamaan dengan VHD. Tingkat kematian karena hepatitis fulminan

mencapai 30%. Dalam hal ini, transplantasi hepar adalah intervensi yang efektif.

Alternatif lain adalah penanganan suportif yang bertujuan menopang hidup

penderita dalam menyediakan waktu untuk regenerasi sel hepar. 11

Infeksi VHB dapat menjadi kronis, yang dapat mengarah pada terjadinya

sirosis dan karsinoma hepatoseluler (KHS). Glomerulonefritis membranosa

dengan deposit komplemen dan terdapatnya HBeAg di kapiler glomerulus

merupakan komplikasi yang jarang dari VHB.1

6.2 Pencegahan

Transmisi infeksi VHB pada usia dini menimbulkan dampak epidemiologi

yang besar terhadap rantai penularan VHB. Tujuan utama tatalaksana VHB adalah

memotong jalur transmisi pada usia dini karena hepatitis B kronik yang

ditemukan pada masa dewasa umumnya berawal dari infeksi dini masa bayi .
4,5,22,23,24

Secara garis besar, upaya pencegahan terdiri dari preventif umum dan

preventif khusus yaitu imunisasi VHB aktif dan pasif. Imunisasi pasif dilakukan

dengan memberikan Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat

segera memberi proteksi meskipun hanya untuk jangka waktu pendek (3-6 bulan),

dimana hanya diberikan pada kondisi paska paparan (needle stick injury, kontak

seksual, bayi dari ibu HVB, terciprat darah ke mukosa atau mata) dan sebaiknya

22
diberikan bersamaan dengan vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung

lama.22

Imunisasi aktif berupa vaksinasi dengan vaksin VHB, dimana yang

menjadi sasaranya adalah seluruh bayi lahir sedini mungkin, karena mengingat

penularan VHB secara vertikal cukup tinggi. Indonesia adalah negara dengan

angka prevalensi HBV berkisar antara 5-20 % dengan transmisi vertikal 48 %.

Oleh karena itu, strategi yang paling tepat untuk Indonesia adalah vaksinasi bayi

secepat mungkin setelah dilahirkan.23

6.2.1 Prinsip Vaksinasi

Pemberian vaksin bertujuan untuk merangsang sistem imun agar terbentuk

kekebalan humoral (antigen-specific humoral antibody) dan kekebalan seluler.

Vaksin akan berinteraksi dengan sistem imun dan umumnya menghasilkan respon

imun yang sama dengan yang dihasilkan oleh infeksi alami, tetapi penerima

vaksin tidak menjadi sakit atau terserang komplikasi. Vaksin juga menimbulkan

immunologic memory yang serupa dengan yang didapat dari infeksi alami.23

6.2.2 Vaksin hepatitis B

Vaksin VHB termasuk kelompok vaksin inactivated, yaitu vaksin yang

terdiri dari bagian dari virus dan tidak mengandung virus hidup. Oleh karena itu,

vaksin HB tidak menyebabkan replikasi virus hepatitis dan tidak menyebabkan

penyakit. Ia juga tidak dapat bermutasi ke arah lebih patogen. 23

Imunisasi hepatitis B minimal diberikan 3 kali, dimana imunisasi pertama

diberikan segera setelah lahir dan dilajutkan pada usia 1 dan 6 bulan, karena

respon antibodinya paling optimal. Daya proteksi mencapai 100% pada anak yang

23
mendapat suntikan 3 kali dan timbul anti HBs, dimana pada umunya kadar puncak

anti HBs didapat setelah suntikan ketiga. 23 Sedangkan pada bayi prematur, jika ibu

HBsAg (-), maka imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau berat badan

sudah mencapai 2000 gram.22

6.3 Prognosis

Prognosis penyakit hati berbeda untuk tiap individu. Dalam perjalanannya

Hepatitis B dapat menjadi menahun (kronis), dimana hepatitis kronis persisten

mempunyai prognosis yang lebih baik akan sembuh sempurna, sedangkan

hepatitis kronik aktif umumnya akan menjadi sirosis hepatis, kerusakan sel-sel

hati, hati menjadi mengkerut, dan keadaan akan menjadi lebih parah.27

Diperkirakan 15%-25% orang dengan infeksi HBV kronis akan meninggal

lebih awal dengan cirrhosis atau carcinoma hepatocellular. HBV mungkin

sebagai akibat sampai 80% dari semua kasus carcinoma hepatocellular di dunia.

Respon pengobatan tergantung dari keadaan pasien sendiri. Sejak awal Hepatitis

kronik bersifat menahun, maka penyembuhannya juga memerlukan waktu

berbulan-bulan. 27

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

1. Hepatitis virus B adalah infeksi virus Hepatitis B secara sistemik yang

menyebabkan nekrosis dan inflamasi sel hepar, dimana Indonesia

merupakan salah satu negara dengan tingkat endemisitas sedang-tinggi.

24
2. Infeksi VHB pada bayi dan anak merupakan masalah hepatitis B yang

serius karena meningkatnya risiko kronisitas VHB, dimana jalur transmisi

yang utama adalah infeksi perinatal.

3. Patogenesis terjadinya Hepatitis virus B yaitu adanya replikasi virus pada

sel hepar yang mengakibatkan terjadinya nekrosis sel hepar dan virus

masuk ke dalam peredaran darah, yang terbagi atas 4 stadium.

4. Diagnosis dinilai berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan serologi dan

pemeriksaan Patologi Anatomi.

5. Tatalaksana Hepatitis virus B terbagi atas: tatalaksana umum yang bersifat

suportif dan tatalaksana khusus berupa terapi antivirus.

6. Komplikasi dari Hepatitis Virus B yaitu adanya kronisitas yang mengarah

pada sirosis hepatis dan KHS. Pencegahan yang efektif pada infeksi VHB

yaitu imunisasi aktif/ vaksinasi HVB. Prognosis infeksi VHB kronik aktif

lebih buruk dibandingkan infeksi VHB akut atau VHB kronik persisten.

7.2 Saran

1. Diperlukan upaya pencegahan untuk menekan tinggiya prevalensi

Hepatitis B di Indonesia, yaitu dengan program imunisasi, terutama pada

bayi baru lahir, sehingga dibutuhkan kerja keras yang serius oleh para

penyedia kesehatan di Indonesia.

2. Diharapkan kepada para dokter agar dapat lebih tepat dalam

menegakkan diagnosis dan memantau perjalanan penyakit Hepatitis

25
Virus B, sehingga kronisitas yang mengarah pada sirosis hepatis dan

KHS dapat ditekan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Koff RS. Viral hepatitis. In : Schiff L, Schiff ER, eds.


Diseases of the liver; 7th ed. Philadelphia : Lippincott, 1993;492
2. Koff RS. Viral hepatitis. In : ,eds. Pediatric
gastrointestinal disease : pathophisiology, diagnosis, and management; 2th vol.
Philadelphia : B.C. Decker, 1991;857870
3. Chang MH. Hepatitis B virus infection. Semin Fetal
Neonatal Med. 2007 Jun;12(3):160-7. Epub 2007 Feb 28.

26
4. Oswari H. Tinjauan multi aspek Hepatitis virus B pada
anak. Dalam: Zuraida Z, Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan
komprehensif Hepatitis virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ;
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2000.
5. Mahoney F7, Lowrence M, Scott C, Le Q, Lambert S,
Farley TA. Continuing risk for Hepatitis B virus transmission among
Southeast Asian infants in Louisiana. AAP 1995;96:11131116.
6. Poovorawan Y, Sanpavat S, Chumdermpadetsuk S,
Safary A. Longterm Hepatitis B vaccine in infants born to hepatitis B e
antigen positive mothers. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;77: 47 51.
7. Julita S, Fahmi U. Permasalahn penyakit hepatitis
virus di Indonesia. Dalam: Zuraida Z, Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds.
Tinjauan komprehensif Hepatitis virus pada anak. Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. FKUI;
2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2000.
8. Hahne S, Ramsay M, Soldan K, Balogun K, Mortimer
P. Hepatitis B incidence among South Asian children in England and Wales :
Implication for immunisation policy. Arch Dis child 2003; 88 : 1082 1083.
9. Soemara LH. Vaksin Hepatitis B. Dalam: Zuraida Z,
Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis
virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2000.
10. Pujiarti PS. Kebijakan tatalaksan Hepatitis virus A, B, C
pada anak di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Dalam: Zuraida Z,
Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis
virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2000.
11. Markum AH. Hati dan saluran empedu. Dalam:
Markum AH, sofyan I, Husein A, Arwin A, agus F, Sudigdo S, eds. Buku ajar

27
ilmu kesehatan anak. Jakarta: bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Indonesia, 1991; 522-527.
12. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In: Berhman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of pediatrics; 17 th ed.
Philadelphia: Saunders, 2004; 1324-
13. Rampengan TH, Laurentz IR. Infeksi tropik penyakit
pada anak. Menado; Gunung Wenang, 1992;
14. Thomas HC. Immunological aspects of liver disease.
In : Schiff L, Schiff ER, eds. Diseases of the liver; 7 th ed. Philadelphia :
Lippincott, 1993;638-
15. Hidayat B. Imunopatologi virus. Dalam: Zuraida Z,
Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis
virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2000.
16. Lodha R, Jain Y, Anand K, Kabra SK, Pandav CS.
Hepatitis B in India : A review of disease epidemiology. Indian pediatrics
2001;38:349 371.
17. Peters M. Pathogenesis of chronic hepatitis B
18. Davison S. Acute Hepatitis. In: Kelly DA, eds. Disease of the liver and biliary
system in children. London: Blackwel science, 1999; 97-137.
19. Pall H, Jonas M. Acute and chronic hepatitis. In: Willy R, Hyams JS, eds.
Pediatric gastrointestinal and liver disease: patophysiologi, diagnosis,
management; 3rd. Saunders elsvier, 2006; 925-49.
20. Davison S.Chronic hepatitis. In: KellyDA,eds. Disease
of the liver and biliary system in children; 1 st ed. Oxford: Blackwel Science,
1999; 97-123
21. Bayer JL, Reuben A. Chronic hepatitis. In : Schiff L,
Schiff ER, eds. Diseases of the liver; 7 th ed. Philadelphia : Lippincott,
1993;586-

28
22. Boerhan H, Purnamawati SP. Hepatitis B. Dalam: IGN
Ranuh, hariyono S, Sri RSH, Cissy BK, eds. Pedoman imunisasi di Indonesia;
ed 2. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005; 92-7.
23. Sjamsul A. Permasalahan vaksinasi hepatitis B.
Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan Koordinasi Gastroenterologi
Anak Indonesia. BKGAI 2003 3-5 Juli, Bandung: BKGAI; 283-8.
24. Boxall EH, Sira J, Standish RA, et al. Natural history of
hepatitis B in perinatally infected carriers. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2004; 89: F456 F460.
25. Yusharmen. Upaya pencegahan nasional Hepatitis B
dan permasalahannya. Dalam Arief S, Firmansyah A, eds. Penanganan
masalah saluran cerna dan hati pada anak. Naskah Lengkap Kongres Nasional
III Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. BKGAI 2007 6-8
Desember , Jakarta: BKGAI;
26. Wen W, Chang M, Hsu H, et al. The development of hepatoseluler carcinoma
among prospectively followed children with chronic hepatitis B infection. J
Peditric .2004;144:397-9
27. DitJen PP dan PL. Manual Pemberantasan Penyakit
Menular.Artikel.2005:halaman 1.

29
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
Daftar Tabel............................................................................................................iii
Daftar Gambar......................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Batasan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2
1.4 Metode Penulisan...........................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................4
TINJAUAN UMUM...............................................................................................4
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..................................................................................................5
2.3 Etiologi...........................................................................................................6
2.3.1 Virologi...................................................................................................6
2.3.2 Transmisi.................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................9
PATOGENESIS......................................................................................................9
BAB 1V..................................................................................................................13
DIAGNOSIS.........................................................................................................13
4.1. Manifestasi Klinis.......................................................................................13
4.1.1. Infeksi Akut..........................................................................................13
4.1.2. Infeksi Kronis.......................................................................................13
4.2. Pemeriksaan Serologis................................................................................14
4.3. Gambaran Patologi Anatomi.......................................................................17
BAB V....................................................................................................................17
TATA LAKSANA.................................................................................................17
5.1 Tatalaksana Umum.......................................................................................17
5.2 Tatalaksana Khusus......................................................................................17
5.2.1 Terapi antivirus......................................................................................17
BAB VI..................................................................................................................17
KOMPLIKASI, PENCEGAHAN DAN PROGNOSIS.....................................17
6.1. Komplikasi..................................................................................................17
6.2.1 Prinsip Vaksinasi.......................................................................................17
6.2.2 Vaksin hepatitis B......................................................................................17
6.3 Prognosis.....................................................................................................17
BAB VII................................................................................................................17
PENUTUP.............................................................................................................17
7.1 Kesimpulan..................................................................................................17
7.2 Saran.............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................27

30
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya

akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul PATOGENESIS,

DIAGNOSIS, DAN TATALAKSANA HEPATITIS B PADA ANAK. Referat

ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik

senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP DR. M.Djamil Padang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Cherlina selaku pembimbing

referat dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan. Akhir kata, semoga

referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Padang, Januari 2008

Penulis

31
Referat
PATOGENESIS, DIAGNOSIS, DAN TATALAKSANA
HEPATITIS B PADA ANAK

Oleh:
Kelompok VI

Dian Ayu Hamama Pitra 02 120 115


Denny Frida B 02 923 029
Verawaty Elfrida M 03 120 117
Yetti Khairani 03 120 123
Indra Faisal 03 120 111
Yoga Setia Kurniawan 03 923 065

Pembimbing :
Dr. Cherlina

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2008

32

Anda mungkin juga menyukai