Anda di halaman 1dari 6

Metabolisme bilirubin

Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada bayi
yang lebih tua. Sekitar 1 g hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu
bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air. Transportasi bilirubin indirek
melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit,
sedangkan albumin tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil
pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung
dari konsentrasi dan afinitas albumin plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Di dalam sitosol
hepatosit, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. 7,8 Di dalam hepatosit terjadi
konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin terdapat
dalam bentuk monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid, yaitu uridin difosfat-
glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis pembentukan bilirubin monoglukoronid.
Sintesis dan ekskresi diglukoronid terjadi di kanalikuli empedu. Isomer bilirubin yang dapat
membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam
empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar.1,2

Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi ekskresi
segera ke sistem empedu kemudian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini tidak di absorbsi;
sebagian bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini disebut
siklus enterohepatik.2

Faktor Risiko Terjadinya Hiperbilirubin

ASI yang kurang Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah
karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses pembuangan bilirubin
dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup
ASI.3

1. Peningkatan jumlah sel darah merah


Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko untuk terjadinya
hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis golongan darah yang berbeda
dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis), atau
mendapat transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami hiperbilirubinemia.3,4

2. Infeksi/ inkompabilitas ABO-Rh

Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu ke janin di dalam
rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi infeksi
kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis.

Komplikasi Hiperbilirubin Neonatorum

Ensefalopati bilirubin (EB) merupakan komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis


sebagai akibat efek toksis bilirubin tak terkonjugasi terhadap susunan syaraf pusat (SSP) yang
dapat mengakibatkan kematian atau apabila bertahan hidup menimbulkan gejala sisa yang berat.
Istilah lain adalah kern ikterus yang didefinisikan sebagai suatu perubahan neuropatologi
yang ditandai deposisi pigmen pada beberapa daerah di otak terutama ganglion basalis, pons dan
cerebellum atau berarti yellow kern titik-titik warna kuning yang terjadi mengenai sebagian besar
struktur SSP, yang ditemukan pada autopsi bayi yang meninggal karena ensefalopati bilirubin.
Ensefalopati bilirubin lebih sering terjadi pada bayi kurang bulan (BKB) dan pada bayi cukup
bulan (BCB) kadar bilirubinnya sangat tinggi.5 Angka kematian akibat kern ikterus 3,75%, angka
morbiditas (termasuk gejala sisa) 86% yang akan mengalami morbiditas jangka panjang akibat
kerusakan SSP berupa palsi serebral, khoreoathetosis, tuli sensori frekuensi tinggi, dan mental
retardasi.

Ensefalopati bilirubin terjadi sebagai akibat kadar total serum bilirubin melebihi infants
neuroprotective defenses yang menyebabkan kerusakan sel syaraf pusat terutama di daerah
ganglia basalis, korteks serebri, syaraf pendengaran serebral dan perifer, hippocampus,
diensefalon, nukleus subthalamikus, batang otak (midbrain), cerebellum, pons, batang otak untuk
fungsi okulomotor dan respirasi, neurohormonal serta regulasi elektrolit.6 Gambaran klasik kern
ikterus timbul bila kadar bilirubin total serum antara 26-50 mg/dl. Kepekaan SSP terhadap
toksisitas bilirubin bervariasi dipengaruhi oleh jenis/tipe sel, maturitas SSP, metabolisme SSP.
Pada SSP yang sedang dalam proses diferensiasi cenderung lebih rentan terhadap bilirubin, hal
ini terjadi pada bayi kurang bulan (BKB).5

Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan proses
perjalanan penyakit.6 Fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut, dan fase kronis yaitu
ensefalopati bilirubin kronis yang disebut juga kern ikterus.

1. Ensefalopati bilirubin akut.

a. Fase awal (early phase)

Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL tampak ikterus berat (lebih dari
Kramer 3). Terjadi penurunan kesadaran, letargi, mengisap lemah dan hipotonia. Terapi dini dan
tepat akan memberikan prognosis lebih baik.

b. Fase intermediate (intermediate phase)

Merupakan lanjutan dari fase awal, tindakan terapi transfusi tukar emergensi dapat
mengembalikan perubahan susunan syaraf pusat dengan cepat. Fase ini ditandai stupor yang
moderat/sedang, ireversibel, hipertonia dengan retrocollis otot-otot leher serta opistotonus otot-
otot punggung, panas, tangis melengking (high-pitched cry) yang berlanjut berubah menjadi
mengantuk dan hipotonia.

c. Fase lanjut (advanced phase)

Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1 minggu kehidupan yang ditandai dengan retrocollis dan
opistotonus yang lebih berat, tangisnya melengking, tak mau minum/ menetek, apnea, panas,
stupor dalam sampai koma, kadang-kadang kejang dan meninggal. Dalam fase ini kemungkinan
kerusakan SSP ireversibel/menetap.

2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/kern icterus)

Ensefalopati bilirubin kronis disebut juga kern ikterus. Perjalanan penyakit berlangsung lamban
setelah bentuk akut terjadi awal tahun pertama kehidupan. Secara klinis dibedakan dalam 2 fase.
Fase awal, terjadi dalam tahun pertama kehidupan dengan gejala klinis hipotonia, hiperefleksi,
keterlambatan perkembangan motorikmilestone dan timbulnya refleks tonik leher. Gejala klinis
refleks tonik leher (tonic-neck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan
ekstrapiramidal, gangguan visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi,
gangguan intelektual minor dapat terjadi.

- Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosis merupakan kelainan umum yang nampak.


Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah. Keadaan tersebut disebabkan
adanya kerusakan pada ganglia basalis yang mana merupakan gambaran klasik/khas dari
ensefalopati bilirubin kronis.

- Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze. Kelainan
tersebut sebagai akibat dari kerusakan nukleus nervus kranialis di batang otak.

- Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang menetap dan paling
berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi, baik derajat ringan sampai berat.
Kelainan ini disebabkan kerusakan nukleus kokhlearis di batang otak serta nervus auditorius
yang sangat peka terhadap toksisitas bilirubin indirek walaupun pada kadar yang relatif rendah.
Tampak secara klinis keterlambatan perkembangan bicara, oleh sebab itu pemeriksaan fungsi
pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi berisiko tinggi terhadap ensefalopati
bilirubin kronis.

- Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya displasia dental-enamel setelah usia bayi bulan ke-
9.

- Gangguan/defek kognitif, pada kern ikterus tidak mencolok atetosis atau korea dengan defek
pendengaran yang terjadi dapat memberikan impresi salah dari gangguan mental (mental
retardasi).

Mekanisme Bilirubin masuk ke dalam Susunan Saraf Pusat (SSP)

1. Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik
dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel neuron otak, selanjutnya terjadi
presipitasi dalam memran sel syaraf. Keadaan asidosis, hipoalbulminemia akan
meningkatkan jumlah bilirubin bebas ke dalam jaringan otak.

2. Bilirubin indirek dalam bentuk monoanion Bilirubin indirek dalam plasma berikatan
dengan albumin dalam bentuk di-anion setelah disosiasi dengan 2 ion H (hidrogen).
Suasana asam bilirubin indirek cenderung membentuk mono-anion (bilirubin acid) serta
menyebabkan penurunan afinitas albumin-bilirubin indirek. Pada bentuk tersebut akan
meningkatkan presipitasi didalam jaringan serta dapat menembus sawar otak.

3. Kerusakan sawar otak Kadar P-glikoprotein (P-gp) adalah suatu substrat dalam sawar
darah otak yang dapat membatasi masuknya bilirubin ke dalam SSP. Pada kerusakan sawar
otak, zat tersebut mengalami penurunan sehingga bilirubin indirek bebas dapat menembus
sawar otak yang mengakibatkan presipitasi bilirubin indirek di dalam SSP.
Daftar Pustaka

1. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Klaus MH, Fanaroff AA, editors. Care of
the High-Risk Neonate (Fifth Edition). Philadelphia: WB Saunders Co, 2001; p.324-62.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics (17th
Edition). Philadelphia PA: Saunders; 2004.
3. Jayashree. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Neonatal workshop. USAID.
Georgetown University Hospital. 2006.
4. Bodersen R. Dalam: Stern L, penyunting. Physiological and biochemical basis for
perinatal medicine. Swiss: Basel 1981.Maisel MJ. Jaundice., dikutip oleh Volpe:
Bilirubin and brain Injury, neurology of the new born. Edisi ke-5, Philadelphia PA WB
Saunders, 2005. h. 521-46.
5. Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Taeusch
HW, Ballard RA, Gleason CA, penyunting. Averys Diseases of the Newborn. Edisi ke-8.
Philadelphia: WB Saunders Co, 2005. h. 1226-53.
6. Maisel MJ. Jaundice., dikutip oleh Volpe: Bilirubin and brain Injury, neurology of the
new born. Edisi ke-5, Philadelphia PA WB Saunders, 2005. h. 521-46.

Anda mungkin juga menyukai