PENDAHULUAN
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga
disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu
Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid
adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di
Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa1,3,4.
Penyakit ini pertama kali muncul dalam wabah yang terjadi di Athena
sampai Sparta Yunani pada tahun 430-424 SM. Sejarah yang tidak kalah menarik
adalah tentang Tifoid Marry yang pada tahun 1907 menjadi seorang carier/
pembawa penyakit tifoid di Amerika, dimana setiap restoran tempat dia bekerja
selalu terjadi epidemi tifoid2,3.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157 kasus per
100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per
100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan salah
satunya tempat pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan1.
Prevalensi kasus 91% demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat
sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan
1
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Demam yang
terjadi biasanya bertipe berkepanjangan (prolonged fever), yaitu demam yang
berlangsung minimal lebih dari 5 hari dengan pola yang biasanya khas/klasik
yaitu demam yang rendah dan perlahan lahan lalu meningkat dari hari ke hari
hingga cenderung konstan tinggi. Namun pola demam yang seperti itu sudah
jarang ditemui karena pengaruh pemakaian antibiotik dalam pengobatan pribadi2,3.
Pada anak- anak demam tifoid cukup sering ditemui, salah satu
penyebabnya selain sanitasi adalah system kekebalan atau imunitas yang belum
berkembang dengan baik. Komplikasi atau penyulit pun tidak jarang terjadi
seperti gangguan SSP (delirium sampai gangguan kesadaran) dan perforasi usus
yang menyebabkan peritonitis. Sedangkan pada bayi relative jarang ditemukan
karena masih mendapatkan perlindungan dari ASI yang mengandung IgA
sekretorik yang memberikan proteksi local khususnya pada saluran cerna2,3.
2
Saat ini telah berkembang imunisasi untuk demam tifoid ini yaitu Ty21a
dan ViCPS, namun masih dicari tingkat efektivitas dan keamanannya terutama
bagi anak anak2.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi dan
diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan
informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis, tentang Demam Tifoid.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini
memiliki mnanifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan
oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran id yang berarti
mirip2,3.
Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau
Tipes karena kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid
merupakan suatu infeksi Fecal-Oral yang pada nantinya akan menyerang saluran
Cerna khususnya usus halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan dengan masuknya ke
dalam aliran darah (bakteremia) yang akan menyebabkan gejala atau tanda yang
khas tempat dimana kuman melewati organ selama bakteremia tersebut3,4.
2.2 Etiologi
Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk
bacil atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella
peritrik, memiliki ukuran 2-4 m x 0,5 -0,8 m. Kuman ini tumbuh dalam suasana
aerob dan fakultatif anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di
dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang
mengandung garam empedu. Memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik
berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel) dan antigen Vi2,3.
4
dengan mengkontaminasi makanan dan minuman. Faktor- faktor lain yang
mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp. adalah keasaman
lambung, flora normal usus, dan ketahanan usus lokal2,3.
2.3 Epidemologi
5
Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002
sekitar 16 juta per tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di
Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun
dengan kejadian yang meningkat setelah usia 5 tahun1,2.
Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita
demam tifoid dan yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah
sembuh dari demam tifoid tapi masih mengekskresikan S. typhii dalam tinja
selama lebih dari setahun1,2.
6
Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian1,2.
2.4 Patofisiologi
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika2,3.
7
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan
sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2,3.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
8
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2,3.
9
2.5 Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi
dari gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai
banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa
demam berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf
pusat3,4.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari
7 hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
Demam yang terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat
mencapai 39-40oC dan cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan
berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan
bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada demam
tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi
pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau komplikasi
yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat
menyebabkan kejang3,4.
10
problem biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada
sirkulasi. Dari cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih
dengan tepi yang kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan
tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun
jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup berarti diagnostik. Gejala- gejala
lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel pada
mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak
jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi.
Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu
untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai
menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami
setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak- anak lebih sering
mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang-
kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat3,4.
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood
Brain Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering
bersifat Sindrom Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan
gangguan kesadaran seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma.
Pada anak- anak tanda- tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan
manifestasi khas mengigau atau nglindur yang terjadi selama periode demam
tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih berat ditemukan pada
11
demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada
keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu
tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu3,4.
Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi
tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1 oC akan diikuti oleh peningkatan
denyut nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan
suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan
Bradikardi yang relatif pada demam. Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang
terjadi pada anak3,4.
12
Makanan yang Masuk Saluran Cerna dalam
terkontaminasi Salmonell jumlah minimal 105-109 untuk
typhii menimbulkan infeksi
13
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke
pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari
dan turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin,
sejak kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai
kejang atau tidak
- Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya
sebatas ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
14
- Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan
mengingat salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah
lingkungan yang padat dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari
biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin
keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai
dari delirium, stupor hingga koma3,4.
15
Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan,
kecuali pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi
extraintestinal pada cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun
sangat jaarang terjadi pada anak- anak3,4.
16
berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe
Hipokromik Mikrositik1,2,3.
Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara
antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspense bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella
kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B
(antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B) 1,2,3.
Tabel 2.Uji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube
Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
17
fisiologis dan serum pasien tabung I (1/10) + 0,5 ml larutan garam
fisiologis tabung II = 1/20
Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi
Tabung I II III IV V
Deretan + + - - -
Tabung + + + - -
+ + + + +
18
pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6) Reaksi amnestik, yaitu
peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau infeksi tifoid
pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat
aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense
antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi
penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman1,2,3.
Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi
antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila
volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa
negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedsaide langsung
dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif, 4) saat pengambilan darah yang
kurang tepat pada waktu antibodi meningkat (minggu pertama) 1,2,3.
Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik
yang penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam
empedu) karena kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di
media ini. Spesimen lain yang mengandung arti diagnostik penting
adalah biopsi sumsum tulang yang memiliki hasil positif hampir 90%
kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari adalah Fecal Monocyte
sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan skuman
19
salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini
khususnya bermanfaat bagi carier tifoid1,2,3.
20
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen
yang sangat kuat terhadap sel B.
21
bayangan radiolusen di daerah hepar, tanda- tanda udara bebas
dalam cavum abdomen.
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya
influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia
bila didapatkan tanda- tanda sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang
berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis
banding2,3.
2.8 Penatalaksanaan
22
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan
nasi,yang mana perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal
ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat
dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat meningkatkan kerja
dan peristaltic usus sedangkan keadaan usus sedang kurang baik karena
infeksi mukosa dan epitel oleh kuman Salmonella typhi. Pemberian
makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi
saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
c) Antibiotika
23
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak
50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7
hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
24
dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.
d) Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30
menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
2.9 Pencegahan
25
o Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi
Vaksinasi. Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah
tahun 1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi
sebesar 51-88% (WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah
puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian Sub Kutan, namun daya
kekebalannya terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat
suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi
hidup yang dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna) pemberiannya
secara Oral belum beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS (Typhim
Vi/Pasteur Merineux) yang merupakan vaksin kapsul polisakarida.
Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek
samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral.
Diberikan pada usia > 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di
dalam prefilled syringe 0,5 cc dan diberikan secara Intra Muskuler.
26
Efektivitas vaksin secara serokonversi dapat membuat peningkatan
antibodi sampai 4x setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat
yaitu sekitar 15 hari- 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.
Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa demam,
sakit kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS efek
samping yang timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering terjadi
bila diberikan secara Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat,
edema, hipotensi dan nyeri dada.
27
disertai tanda- tanda ileus. Bising usus melemah, pekak hapar juga
menghilang yang menandakan adanya udara bebas dalam cavum abdomen.
Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi usus dapat dilakukan
pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana akan didapatka
gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.
2.11 Prognosis
28
namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan
schistosomiasis2,3.
BAB III
29
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AK
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 8 tahun (17-07-2009)
Suku bangsa : Minang kabau
Alamat : Komplek RSAM Bukittinggi
Keluhan Utama :
Demam sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit
30
BAK lancar, warna kuning, nyeri saat buang air kecil tidak ada
BAB, warna dan konsistensi biasa
.Riwayat Penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami demam tinggi sebelumnya
Riwayat asma ada sejak usia 4 tahun, terakhir kambuh 6 bulan yang
lalu
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami demam tinggi
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat asma
Riwayat Persalinan
Lama hamil : 8 bulan 12 hari Ditolong oleh : dokter
Cara lahir : Spontan Panjang lahir : lupa
Berat lahir : 2400 gr
Saat lahir : langsung menangis (kuat)
Kesan NBBLR 2400gr
31
Haemofilus influenza B1: 2 bulan, Haemofilus influenza B2 : 3 bulan,
Haemofilus influenza B 3: 4 bulan
Campak : tidak ada
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap booster tidak diberikan imunisasi
dilakukan di RSAM
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Riwayat keluarga
Ayah Ibu
Nama Idam Syafnidar
Umur 54 tahun 48 tahun
Pendidikan S1 S1
Pekerjaan Pengawai RSAM Perawat RSAM
Penghasilan
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada
diderita
32
3. Tiara (perempuan) 16 tahun Sehat
4. Pasien (perempuan) 8 tahun Sehat
33
Kepala :Bulat, simetris, Lingkar kepala 50 cm
(Normochepal)
Rambut :Hitam, tidak mudah dicabut
Mata :Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, pupil isokor diameter 2mm/2mm, reflek
cahaya +/+
Telinga :Tidak ditemukan kelainan
Hidung :Nafas cuping hidung tidak ada
Tenggorok :Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring
tidak hiperemis
Gigi dan Mulut :karies gigi tidak ada, mukosa
mulut basah
lidah kotor ada
Leher :JVP 5-2 cmH2O
Thorax
Paru : Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi
dinding dada tidak ada
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor dikedua lapamgan paru
Auskultasi : Vesikuler, Rh -/- Wh -/-
Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi
Batas Atas : RIC II sinistra
Batas Kanan : Linea sternalis dextra
Batas Kiri : RIC V 1 jari medial LMCS
Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada
34
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Genitalia : A1M1P1
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik
Refleks Fisiologis (+)
Reflek patologis (-)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
- Darah : Hb : 13,3 gr %
Leukosit : 5.230/mm3
Trombosit : 163.000/mm3
Ht : 38,9%
- Serologi : Salmonella Typi +5
Foto Toraks
35
DIAGNOSA KERJA
Demam Tifoid
PEMERIKSAAN ANJURAN
Mantoux test
Widal Test
Kultur Darah
PENATALAKSANAAN
IVFD KaEN 1B 18 tpm (makro)
Diet MBTKTP 1500 kkal
Paracetamol 3x250 tab (PO)
Inj Ceftriaxon 2x1gr (iv)
PROGNOSIS
Qua ad vitam :bonam
Qua ad bonam :bonam
Qua ad sanam :bonam
FOLLOW UP
36
Hari Ke Subjektif Objektif Masalah Tatalaksana DLL
2 -Batuk ada KU: sedang -Batuk - IVFD kaen
berdahak warna Kes: CMC -Pilek 1B 18 tts/
kuning TD: 100/60 -Nafsu menit
-Pilek ada mmHg makan - inj
-Sesak tidak ND:89 menurun ceftriaxone
ada x/menit 2x1gr (iv)
-Demam naik NF : 25 x/ -Praxion
turun sudah menit Syrup 3x120
tidak ada. Suhu : mg/5ml
-Mual dan 36,70C (PO)
muntah tidak Kepala :
ada bulat,simetris
-Nafsu makan Mata :
menurun konjungtiva
-BAK biasa, anemis tidak
warna kuning ada sclera
nyeri tdak ada ikterik tidak
-BAB warna ada
dan konsistensi Thorax: cor
biasa dan pulmo
dalam batas
normal
Abd :
distensi tidak
ada BU (+)
normal
A/ Demam
Tifoid
3 -Batuk ada KU: sedang -Batuk - IVFD kaen
berdahak warna Kes: CMC -Pilek 1B 18 tts/
kuning TD: 100/60 -Nafsu menit
-Pilek ada mmHg makan - inj
37
-Sesak tidak ND: 90 menurun ceftriaxone
ada x/menit 2x1gr (iv)
-Demam naik NF : 27 x/ -Zamel
turun sudah menit syrup
tidak ada. Suhu : 3x1cth (PO)
-Mual dan 36,70C -Vestein
muntah tidak Kepala : syrup 3x
ada bulat,simetris 175 mg/5ml
-Nafsu makan Mata : (PO)
menurun konjungtiva
-BAK biasa, anemis tidak
warna kuning ada sclera
nyeri tdak ada ikterik tidak
-BAB warna ada
dan konsistensi Thorax: cord
biasa an pulmo
dalam batas
normal
Abd :
distensi tidak
ada BU (+)
normal
A/ Demam
Tifoid
4 -Batuk ada KU: sedang -Batuk IVFD kaen Dilakaku
berdahak warna Kes: CMC -Pilek 1B 18 tts/ kan
kuning TD: 100/60 menit Mantoux
-Pilek ada mmHg - inj test
-Sesak tidak ND: 97 ceftriaxone
ada x/menit 2x1gr (iv)
-Demam naik NF : 27 x/ -Zamel
turun sudah menit syrup
tidak ada. Suhu : 3x1cth (PO)
38
-Mual dan 36,60C -Vestein
muntah tidak Kepala : syrup 3x
ada bulat,simetris 175 mg/5ml
-Nafsu makan Mata : (PO)
Biasa porsi konjungtiva
2x makan anemis tidak
sehari ada sclera
-BAK biasa, ikterik tidak
warna kuning ada
nyeri tdak ada Thorax: cord
-BAB warna an pulmo
dan konsistensi dalam batas
biasa normal
Abd :
distensi tidak
ada BU (+)
normal
A/ Demam
Tifoid
5 -Batuk ada KU: sedang -Batuk IVFD kaen
berdahak warna Kes: CMC -Pilek 1B 18 tts/
kuning TD: 110/60 menit
-Pilek ada mmHg - inj
-Sesak tidak ND: 97 ceftriaxone
ada x/menit 2x1gr (iv)
-Demam naik NF : 28 x/ -Zamel
turun sudah menit syrup
tidak ada. Suhu : 3x1cth (PO)
-Mual dan 36,60C -Vestein
muntah tidak Kepala : syrup 3x
ada bulat,simetris 175 mg/5ml
-Nafsu makan Mata : (PO)
Biasa porsi konjungtiva
39
3x makan anemis tidak
sehari ada sclera
-BAK biasa, ikterik tidak
warna kuning ada
nyeri tdak ada Thorax: cord
-BAB warna an pulmo
dan konsistensi dalam batas
biasa normal
Abd :
distensi tidak
ada BU (+)
normal
A/ Demam
Tifoid
6 -Batuk ada KU: sedang -Batuk IVFD kaen Hasil
berdahak warna Kes: CMC 1B 18 tts/ mantoux
kuning TD: 110/70 menit test
-Pilek tidak ada mmHg - inj negative
-Sesak tidak ND: 98 ceftriaxone
ada x/menit 2x1gr (iv)
-Demam naik NF : 28 x/ -Zamel
turun sudah menit syrup
tidak ada. Suhu : 3x1cth (PO)
-Mual dan 36,60C -Vestein
muntah tidak Kepala : syrup 3x
ada bulat,simetris 175 mg/5ml
-Nafsu makan Mata : (PO)
Biasa porsi konjungtiva
3x makan anemis tidak
sehari ada sclera
-BAK biasa, ikterik tidak
warna kuning ada
nyeri tdak ada Thorax: cord
40
-BAB warna an pulmo
dan konsistensi dalam batas
biasa normal
Abd :
distensi tidak
ada BU (+)
normal
A/ Demam
Tifoid
7 -Batuk ada KU: sedang -Batuk IVFD kaen
berdahak warna Kes: CMC 1B 18 tts/
kuning TD: 110/70 menit
-Pilek tidak ada mmHg - inj
-Sesak tidak ND: 98 ceftriaxone
ada x/menit 2x1gr (iv)
-Demam naik NF : 29 x/ -Zamel
turun sudah menit syrup
tidak ada. Suhu : 3x1cth (PO)
-Mual dan 36,50C -Vestein
muntah tidak Kepala : syrup 3x
ada bulat,simetris 175 mg/5ml
-Nafsu makan Mata : (PO)
Biasa porsi konjungtiva
3x makan anemis tidak
sehari ada sclera
-BAK biasa, ikterik tidak
warna kuning ada
nyeri tdak ada Thorax: cord
-BAB warna an pulmo
dan konsistensi dalam batas
biasa normal
Abd :
distensi tidak
41
ada BU (+)
normal
A/ Demam
Tifoid
BAB 4
DISKUSI
Pada kasus khas terdapat demam remitten pada minggu pertama, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat pada malam hari. Dalam minggu kedua
pasien masih demam, yang turun secara berangsur-angsur. pasien datang dengan
keadaan demam sejak 9 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, dengan suhu
saat datang di RSAM 39,80C. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan.
Pada pemeriksaan fisik ditemui lidah kotor.
Dari gejala klinis dan dan pemeriksaan fisik keadaan pasien sudah
mengarah ke demam tifoid, untuk menegakkan diagnosis pasti maka dilakukan
pemeriksaan serologi IgM dengan hasil + 5, sehingga diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan.Berdasarkan literatur dikatakan demam tifoid jika serologi IgM
memililiki rentang positif 4-10.
42
Tatalaksana pada pasien ini diberikan antibiotik injeksi ceftriaxone,
beradasarkan literatur pemberian ceftriaxone sudah tepat karena pasien datang
pada minggu ke 2. untuk drug of choice antibiotik pada demam tifoid dapat
diberikan kloramfenikol jika pasien datang dengan demam pada saat minggu
pertama.
DAFTAR PUSTAKA
43