Anda di halaman 1dari 2

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bencana alam yang terjadi di Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dalam waktu
singkat dan sebagian dari mereka harus tinggal di tempat pengungsian. Salah satu bencana alam
yang pernah terjadi di Indonesia adalah bencana Gunung Merapi. Jumlah pengungsi di Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencapai 278403 jiwa (Anonim, 2011). Tempat
pengungsian yang ada di Indonesia umumnya masih minim akan ketersediaan air bersih dan bahan
bakar untuk memasak. Oleh karena itu, diperlukan bantuan pangan yang dapat langsung
dikonsumsi dan tidak memerlukan pengolahan namun dapat memenuhi kebutuhan gizi per harinya
(2100 kkal). Pemberian bantuan pangan berupa mi instan, bubur instan, ataupun beras kurang
efektif karena memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi. Kandungan gizinya pun hanya
terbatas pada karbohidrat saja, sedangkan untuk pertumbuhan manusia, khususnya anak-anak
memerlukan zat gizi lain seperti lemak, protein, vitamin, dan mineral.
Jenis pangan yang dibutuhkan oleh para korban bencana alam seharusnya yang bersifat ready
to eat (siap santap) sehingga memudahkan para korban untuk mengonsumsinya. Selain itu,
memiliki kandungan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral yang mencukupi kebutuhan
gizinya sehingga bukan hanya mengenyangkan tetapi juga menyehatkan dan nilai kalorinya sesuai
seperti kebutuhan manusia normal sehari-harinya. Pangan yang diberikan diharapkan bukan hanya
dapat mengganjal perut, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pengganti sarapan dan makan yang
mampu memberikan energi dalam jumlah yang cukup. Salah satu alternatif pangan yang dapat
diberikan pada para pengungsi adalah pangan darurat.
Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) merupakan pangan yang dalam keadaan
darurat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi harian energi dan gizi manusia sebesar
2100 kkal yang terjadi bila dalam keadaan darurat (IOM, 1995b). Keadaan darurat yang
dimaksudkan adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan, dan
kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (USAID, 2001b).
Pemberian pangan darurat bertujuan untuk mengurangi timbulnya penyakit atau kematian diantara
pengungsi dengan menyediakan pangan bernutrisi yang sesuai dengan asupan harian selama lima
belas (15) hari, terhitung mulai terjadinya pengungsian. Pangan darurat harus mampu memenuhi
kebutuhan kalori sehari (2100 kkal) yang dapat disumbangkan oleh protein sebesar 10- 15%, 35-
45% lemak, dan 40-50% karbohidrat dari total kalori (Zoumas, et al., 2002).
Salah satu contoh produk pangan darurat yang memiliki umur simpan yang cukup lama
adalah food bars. Food bars merupakan salah satu produk pangan olahan kering berbentuk batang
yang memilliki nilai aw rendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga memiliki
umur simpan yang cukup panjang. Cara pembuatannya pun mudah dan dapat diaplikasikan pada
Usaha Kecil Menengah (UKM). Selain itu, produk food bars dapat memenuhi kebutuhan energi
per hari sebesar 2100 kkal dengan sumbangan makronutrien yang dirancang untuk memenuhi
standar pangan darurat yaitu protein sebesar 10-15%, lemak sebesar 35-45%, dan karbohidrat 40-
50% (Zoumas et al., 2002). Food bars memiliki bentuk batang yang memudahkan dalam
pengemasan dan penghematan tempat sehingga proses pendistribusian menjadi lebih efisien.
Produk food bars dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku. Food bars yang dibuat pada
penelitian ini adalah banana bars. Banana bars ini dapat dibuat di berbagai daerah penghasil
pisang di Indonesia seperti daerah Subang yang banyak menghasilkan pisang nangka. Tepung
pisang nangka dijadikan sebagai salah satu bahan baku utama banana bars. Pengolahan pisang
nangka menjadi tepung bertujuan untuk meningkatkan daya simpan sebelum diolah lebih lanjut.

1
Selain itu, tepung pisang nangka memiliki aroma yang cukup kuat, harganya cukup murah, dan
memiliki banyak kandungan gizi.
Sumber protein yang digunakan pada banana bars adalah tepung tempe yang memiliki nilai
protein dan daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan tepung kedelai. Selain itu, tepung tempe
tidak menimbulkan pengaruh negatif seperti lactose intolerance yang dapat ditimbulkan bila
penderitanya mengonsumsi susu sebagai sumber protein. Tempe juga merupakan bahan baku yang
murah, mudah diperoleh, dan mudah dibuat menjadi tepung tempe. Sumber karbohidrat pada
banana bars adalah tepung ketan yang berfungsi sebagai pengganti terigu. Inulin yang
ditambahkan pada produk banana bars dapat memperbaiki kondisi sistem pencernaan para
pengungsi karena berfungsi sebagai prebiotik. Inulin yang digunakan pada banana bars
merupakan inulin komersial yang berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki tekstur,
memperkaya kandungan serat, dan berperan sebagai prebiotik (Franck dan Leenher, 2005).

B. TUJUAN PENELITIAN
1. Mendapatkan formulasi dan proses pemanggangan (suhu dan waktu) pembuatan pangan darurat
berbentuk bar dari bahan dasar tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, dan inulin yang
dapat memenuhi kebutuhan 2100 kkal/hari dengan sifat fisikokimia, mikrobiologis, dan sifat
sensori yang dapat diterima.
2. Mengevaluasi karakteristik (fisik, kimia, mikrobiologi, dan sensori) produk food bars yang
dihasilkan dengan metode pengolahan yang tepat.

C. MANFAAT
Manfaat dari penelitian ini adalah dihasilkannya EFP berbahan baku lokal dengan inulin yang
menghasilkan kalori yang cukup (2100 kkal/hari) dan memenuhi persyaratan mutu dan keamanan
pangan serta dapat digunakan sebagai camilan bergizi.

Anda mungkin juga menyukai