KAJIAN PUSTAKA
2.1. Asam Askorbat
Asam askorbat atau vitamin C memiliki nama sistematis IUPAC (5R)[(1S)-1,2-dihidroksetil]-3,4-dihidroksifuran-2(5H)-on. Rumus kimia vitamin C
adalah C6H8O6 dengan berat molekul 176 gram/mol. Zat ini berwujud kristal putih
kekuningan dengan kelarutan yang tinggi dalam air. Nama askorbat berasal dari
kata a - yang berarti tanpa dan scorbotus yang merupakan suatu penyakit akibat
devisiensi vitamin C (Kumar, et al. 2011). Elusidasi struktur asam askorbat
pertama kali dilakukan oleh Walter Haworth pada 1920. Pada saat penemuannya
senyawa ini dikenal dengan nama asam heksuronat oleh beberapa peneliti.
Struktur molekul vitamin C adalah seperti Gambar 2.1.
OH
HO
O
O
OH
OH
Gambar 2.1
Struktur molekul asam askorbat
Vitamin C berperan cukup penting dalam tubuh organisme. Senyawa ini
memiliki dua stereoisomer yaitu D-Asam askorbat dan L-Asam askorbat. LAsam askorbat bertindak sebagai donor elektron untuk 11 (sebelas) jenis enzim
pada berbagai organisme. Askorbat juga dapat bertindak sebagai kofaktor dalam
reaksi yang dikatalisis oleh sejumlah enzim oksigenase. Enzim-enzim tersebut
diantaranya
adalah
peptidil
glisin
8
monooksigenase
dan
amidasi
CH2OH
OH
O
OH
O
OH
OH
Gambar 2.2
Resonansi struktur asam askorbat (Linster dan Schaftingen, 2006)
Analisis asam askorbat dimungkinkan karena sifat elektroaktifnya. Dalam hal ini
asam askorbat bertindak sebagai pendonor elektron sehingga dapat dioksidasi
menjadi dehidro asam askorbat (DHA). Reaksi oksidasi asam askorbat menjadi
DHA pada elektroda pasta karbon seperti pada Gambar 2.3 berikut:
OH
OH
HO
HO
O + 2H + 2e
O
O
OH
OH
AA
DHA
Gambar 2.3
Oksidasi AA pada elektroda pasta karbon (Orozco et al, 2012)
10
H H
N
H H
H
HO
H
H
H H
N
H H
H
+ 2e + 2 H
Gambar 2.4
Oksidasi dopamin pada elektroda pasta karbon (Orozco et al, 2012)
O
H
N
H
N
NH
O
NH2
O
N
H
N
H
N
H
N
H
Gambar 2.5
Oksidasi asam urat pada elektroda pasta karbon (Orozco et al, 2012)
2.2. Voltametri
Voltametri merupakan metode elektroanalisis dalam skala mikro dengan
menggunakan elektroda kerja mikro, disebut juga teknik arus voltase. Voltametri
sama halnya dengan potensiometri yaitu mempunyai elektroda kerja dan elektroda
pembanding, tetapi pada voltametri ditambah dengan sebuah elektroda yaitu
elektroda bantu (auxiliary electrode) sehingga voltameter mempunyai 3 buah
elektroda (Harvey, 2000).
Voltametri mempelajari hubungan potensial-arus selama elektrolisis
dilakukan dalam suatu sel. Suatu elektroda mempunyai luas permukaan yang
relatif besar (elektroda pembanding), dipasangkan dengan elektroda kerja yang
mempunyai luas permukaan lebih kecil. Elektroda kerja biasanya dibuat dari
11
bahan tak reaktif yang menghantar listrik seperti emas, platinum, karbon, dan
dalam beberapa kasus sering digunakan suatu elektroda tetes raksa atau drop
mercury electrode (DME). Teknik ini disebut sebagai polarografi (Ewing, 1985).
Potensial dari elektroda kerja divariasikan dan arus yang dihasilkan
merupakan fungsi dari potensial. Plot antara arus dan potensial disebut
voltamogram. Dalam voltametri, potensial divariasikan secara sistematis
menggunakan potensiostat sehingga zat kimia mengalami oksidasi atau reduksi di
permukaan elektroda. Salah satu elektroda pada sel elektrolisis mengalami
polarisasi. Metode ini umum digunakan untuk menentukan komposisi dan analisis
kuantitatif larutan. Hasil voltamogram identik dengan hasil polarogram, tetapi
voltametri tidak menggunakan elektroda tetes merkuri. Oleh karena voltametri
tidak dibatasi untuk elektroda Hg, teknik ini bermanfaat untuk analisis reduksi
atau oksidasi pada potensial yang lebih positif (Wang, 2000).
2.2.1. Arus Dalam Voltametri (Harvey, 2000)
Ketika analit dioksidasi pada elektroda kerja, arah pergerakan elektron
melalui sirkuit listrik eksternal menuju elektroda bantu, yaitu tempat terjadinya
reduksi pelarut atau komponen matriks larutan. Reduksi analit pada elektroda
kerja memerlukan sumber elektron, menghasilkan arus yang mengalir dari
elektroda bantu ke katoda. Arus yang muncul dari elektroda kerja dan elektroda
bantu disebut arus Faraday.
Tanda arus ditetapkan berdasarkan reaksi yang terjadi pada elektroda
kerja. Arus yang terjadi dari reduksi analit disebut arus katodik dan diberi tanda
positif. Arus anodik muncul dari oksidasi dan diberi tanda negatif.
12
[]
(II. 1)
[]
(II. 2)
dengan + 0,356 adalah potensial reduksi standar Fe(CN)63-/ Fe(CN)64Konsentrasi permukaan digunakan berupa konsentrasi larutan dalam
kesetimbangan redoks
Fe(CN)63- + e-
Fe(CN)64-
(II.3)
Fe(CN)63-
E0 = + 0,356 V
E
Fe(CN)64
Gambar 2.6
Diagram Ladder untuk reduksi Fe(CN)63- menjadi Fe(CN)64- (Harvey, 2000)
13
Jika potensial yang diberikan pada elektroda kerja lebih kecil dari
potensial reduksi standar (E0), konsentrasi Fe(CN)63- dan Fe(CN)64- pada
permukaan elektroda tidak terpengaruh. Pada potensial + 0,356 V konsentrasi
Fe(CN)64- sama dengan Fe(CN)63- sebesar 0,50 mM. Hal ini karena setengah dari
Fe(CN)63- mengalami reduksi menjadi Fe(CN)64- . Reaksi akan menghasilkan arus
Faraday yang dengan cepat kembali ke posisi nol. Meskipun konsentrasi
Fe(CN)64- pada permukaan elektroda sebesar 0,50 mM, konsentrasinya pada
larutan adalah nol. Akibatnya terjadi gradien konsentrasi di permukaan elektroda
dengan larutan. Gradien konsentrasi ini menimbulkan gaya gerak yang
memindahkan Fe(CN)64- menjauhi permukaan elektroda seperti ditunjukan pada
Gambar 2.7. Berkurangnya Fe(CN)64- di permukaan elektroda memungkinkan
reduksi Fe(CN)63- berlanjut, sehingga terjadi perpindahan dari larutan ke
permukaan elektroda. Jadi arus Faraday mengalir terus sampai tidak ada lagi
perbedaan konsentrasi antara Fe(CN)64- dengan Fe(CN)63- baik di permukaan
elektroda maupun pada larutan.
Fe(CN)63-
e--
Fe(CN)64
Gambar 2.7
Skema pergerakan Fe(CN)63- menuju elektroda dan Fe(CN)64- menjauhi elekroda
(Harvey, 2000)
14
[Analit]
Badan
larutan
konveksi
Gambar 2.8
Ketebalan lapisan difusi () (Harvey, 2000)
15
( )
(II.4)
Persamaan ini valid jika konveksi dan migrasi tidak mengganggu lapisan
difusi antara elektroda dan larutan. Migrasi dihilangkan dengan menambahkan
larutan pendukung inert (elektrolit) konsentrasi tinggi ke dalam larutan analit. Ion
16
17
(II.5)
(II.6)
Dengan n adalah jumlah elektron yang terlibat dalam reaksi redoks. D adalah
koefisien difusi analit, m adalah laju alir merkuri dan t adalah waktu tetes.
Arus
Potensial
imax
iavg
(a)
(b)
waktu
E1/2
Potensial
Gambar 2.9
Kurva potensial-arus-waktu dalam voltametri (Harvey, 2000)
18
Voltametri siklik telah menjadi teknik yang cukup populer dalam studi
awal elektrokimia dari suatu sistem yang baru. Teknik ini memberikan informasi
yang penting mengenai reaksi kimia yang rumit pada elektroda. Karakter
elektroda yang dapat ditentukan dengan voltametri siklik diantaranya adalah
kinetika elektroda dan stabilitas spesi (Ewing, 1985).
t
Ebalik
E (-)
E(-)
.-
0 Waktu Balik,
t
(a)
A
(b)
Ebalik
-eA
Gambar 2.10
a. Pengaturan potensial setiap saat,
b. Kurva arus-potensial dalam voltamogram siklik (Bard dan Faulkner, 2000)
Untuk proses reversibel, potensial setengah gelombang (E1/2) setara
dengan potensial formal (E0) dan berhubungan dengan potensial standar dengan
persamaan
=
=
+
(II.7)
dengan R adalah konstanta gas (8,314 J K-1 mol-1), T adalah suhu mutlak dalam
Kelvin (K), F adalah tetapan Faraday (96500 C mol-1), O adalah aktivitas spesi
dalam bentuk teroksidasi, dan R adalah aktivitas spesi dalam bentuk tereduksi.
Potensial redoks formal E0 dapat dihitung dengan persamaan :
=
(II.8)
Epa adalah potensial pada puncak anodik sedangkan Epc adalah potensial pada
puncak katodik.
19
Jumlah elektron yang terlibat dalam reaksi elektrokimia (n) dapat dihitung
dengan persamaan :
(II.9)
=
=
Pada suhu 250 C,
=
, !"
(II. 10)
(II.11)
Pada titik tertentu sebesar (t) dalam voltamogram, arus secara spesifik
proporsional terhadap C*O dan (Do)1/2. Arus puncak (Ip) pada voltamogram
pada suhu 250 C berlaku persamaan Randles-Sevcik
(II.12)
dengan ip dalam Ampere, A dalam cm2, v dalam V/s dan D*O dalam cm2dt-1 (Bard
dan Faulkner, 2000).
2.2.3. Voltametri Pulsa Diferensial
Voltametri pulsa diferensial atau Differential Pulse Voltammetry (DPV)
adalah metode yang telah digunakan secara luas untuk analisis senyawa
elektroaktif. Dalam metode ini, serangkaian pulsa listrik berdurasi singkat
diberikan ke dalam sel voltametri. Waktu dan besarnya pulsa yang diberikan
setiap umur pulsa bervariasi (Ewing, 1985). Potensial dasar (E) pada setiap pulsa
tidak tetap. Potensial dasar ini selalu mengalami peningkatan yang kecil setiap
pemberian pulsa berikutnya. Tinggi pulsa (E) berkisar antara 10-100 mV dijaga
20
agar tetap konstan terhadap potensial dasar (Bard dan Faulkner, 2000). Plot pulsa
potensial terhadap waktu dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.11.
Pulsa jatuh
5-100 mdt
10-100mV
0,5-4 dt
t
Gambar 2.11.
Plot antara pulsa potensial terhadap waktu (Bard dan Faulkner,
2000)
Waktu tunggu
'
Gambar 2.12.
Pengukuran arus setiap satu umur pulsa (Bard dan Faulkner, 2000)
21
E
Gambar 2.13
Voltamogram DPV (Bard dan Faulkner, 2000)
22
Gambar 2.14
Skema tiga elektroda dalam voltametri , (1) elektroda kerja, (2) elektroda bantu,
(3) elektroda pembanding (Adekunle, 2010).
Elektroda pembanding merupakan elektroda setengah sel yang nilai
potensialnya tertentu. Di dalam beberapa penggunaan analisis elektrokimia,
diperlukan suatu elektrode pembanding (reference electrode) yang memiliki harga
potensial setengah sel yang diketahui, konstan, dan sama sekali tidak peka
terhadap komposisi larutan yang sedang dianalisis. Potensial terukur pada sel
merupakan beda potensial antara elektroda kerja dengan elektroda pembanding.
Syarat utama dari elektroda pembanding, potensialnya harus diketahui pasti dan
tidak berubah selama digunakan. Contoh elektroda pembanding yang telah
dikenal luas adalah Elektroda Hidrogen Standar (EHS), Elektroda Kalomel Jenuh
(EKJ), dan Elektroda Ag/AgCl. Elektroda kalomel jenuh dapat bertindak sebagai
elektroda pembanding, namun elektroda ini memiliki beberapa kelemahan
diantaranya menggunakan merkuri dan sensitif terhadap suhu. Perubahan suhu
dapat mengubah harga potensial yang berarti nilainya tidak konstan (Wang,
2000).
Elektroda pembanding yang banyak digunakan adalah elektroda Ag/AgCl.
Elektroda Ag/AgCl merupakan elektroda yang terdiri dari logam perak yang
23
dilapisi dengan perak klorida, larutan KCl, dan membran. Reaksi antara AgCl dan
Ag adalah :
AgCl(s) + e Ag(s) +Cl- (aq) E0 = + 0,222 V
(II.14)
Elektroda ini dapat dibuat dengan elektrolisis kawat perak (Ag) dalam larutan KCl
(Lower, 2004). Elektroda pembanding Ag/AgCl ini telah digunakan secara luas
dalam analisis voltametri untuk berbagai senyawa elektroaktif. Ardakani (2008)
menggunakan elektroda pembanding Ag/AgCl yang dipasangkan dengan
elektroda pasta karbon yang dimodifikasi dengan carbon nanotube (CNT) untuk
menganalisis dopamin dan asam urat dengan metode voltametri. Hal serupa juga
dilakukan oleh Shams, et al (2009) yang memasangkannya dengan elektroda pasta
karbon yang dimodifikasi dengan zirkonium posfat.
Pasangan elektroda pembanding adalah elektrode kerja (working
electrode) yang potensialnya bergantung pada konsentrasi zat yang sedang
diselidiki. Elektroda kerja merupakan tempat terjadinya reaksi oksidasi atau
reduksi, yang menunjukkan respon terhadap analit yang dianalisis. Elektroda kerja
pada voltametri merespon semua senyawa elektroaktif yang ada dalam sampel.
Pemilihan elektroda bergantung pada besarnya kisaran potensial yang diinginkan
untuk menguji sampel (Ewing, 1985). Analisis dengan teknik voltametri biasanya
menggunakan elektroda kerja tetes merkuri. Kelebihan elektroda ini adalah
mampu mengukur logam di bawah potensial reduksinya sendiri, dan umumnya
logam-logam larut dalam merkuri (Wang, 2000). Selain mempunyai kelebihan
elektroda ini mempunyai kekurangan karena sifat merkuri sendiri sangat
berbahaya bagi lingkungan dan bagi pekerja yang melakukan analisis. Elektroda
24
kerja lain yang sering digunakan adalah elektroda platina, glassi karbon dan emas.
Selain mahal elektroda ini jarang digunakan untuk analisis rutin karena
permukaan elektroda mudah terkontaminasi oleh endapan analit yang menempel
saat dilakukan reduksi pada permukaan elektroda. Hal ini terjadi karena ada
sebagian analit sulit untuk dioksidasi kembali setelah mengalami reduksi (Bard
dan Faulkner, 2000).
Pasta
karbon
merupakan
elektroda
murah,
permukaannya
dapat
diperbaharui, berpori dan dapat dibuat dalam bentuk yang kecil, sehingga
modifikasi elektroda pasta karbon banyak dipilih sebagai elektroda pengganti
raksa (Raoof et al, 2005). Elektroda pasta karbon pada dasarnya dapat
dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan kinerjanya mendeteksi sampel
dalam kadar yang sangat kecil. Salah satu cara untuk memodifikasi elektroda
pasta karbon adalah dengan mencampurkan modifier sebagai bahan elektroda
(bulk modified) (Svancara et al, 2008). Hasil dari modifikasi pasta karbon ini
dapat meningkatkan kinerja dalam analisis senyawa elektroaktif, menurunkan
limit deteksi dan memperbaiki rentang konsentrasi linier.
2.4. Modifikasi Elektroda Pasta Karbon Dengan Besi (III) Oksida (Fe2O3)
Modifikasi elektroda berbasis karbon dengan senyawa logam transisi
untuk elektrokatalitik asam askorbat diantaranya dengan menggunakan ferosen
yang menghasilkan pergeseran puncak oksidasi 248 mV (Raoof, et al, 2001).
Modifikasi elektroda glasi karbon dengan senyawa kompleks Ni (II) tetraazanulen
menghasilkan pergeseran puncak anodik sebesar 250 mV. Dengan demikian
modifikasi menggunakan senyawa logam transisi berfungsi sebagai media transfer
25
elektron dalam reaksi oksidasi asam askorbat sehingga dapat terjadi pada
potensial yang lebih rendah (Motlagh dan Noroozifar, 2003). Dalam hal ini
transfer elektron tidak terjadi secara langsung antara karbon dengan analit, tetapi
melalui perantara modifier (Wang, 2000).
Hematit atau besi (III) oksida merupakan senyawa hasil sintesis dari reaksi
antara FeCl3 dengan NaOH. Produk dari reaksi ini adalah besi (III) hidroksida
yang berupa koloid menurut reaksi:
FeCl3 + 3 NaOH Fe(OH)3 + 3NaCl
(II.15)
(II.16)
Fe2O3-ZnO/karbon
telah
26
55
55
55
senyawa
elektroaktif
telah
dilaporkan
oleh
Adekunle
(2010).