Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH OPERASI TEKNIK KIMIA II

“SAPONIFIKASI (DETERGENT BUBUK)”

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1 SHIFT 1

M. IVAN ADRIANSYAH (M1B115022)


HILMA HERMAYASARI (M1B116002)
HERYANTI SINAGA (M1B115007)
KHOIRUL ADITYA (M1B115010)
GUNAWAN PUTRA P.S (M1B115015)
RILLA MONICA (M1B115037)

DOSEN PEMBIMBING:
Oki Alfernando, S.T., M.T.
Hadistya Suryadri, S.T., M.T.

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami telah menyelesaikan
makalah ini. Makalah yang kami susun berjudul “SAPONIFIKASI
(DETERGENT BUBUK)”.

Makalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Oki Alfernando, S.T.,
M.T dan Ibu Hadistya Suryadri, S.T., M.T selaku pengampu mata kuliah
Praktikum Operasi Teknik Kimia II dan kepada teman-teman yang secara
langsung maunpun tidak langsung membantu kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa dalam menulis makalah ini, masih jauh dari
sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun akan sangat berguna bagi penulisan makalah
selanjutnya, semoga makalah ini dapat berguna, khusunya bagi kami dan
umumnya dapat memperluas pengetahuan bagi pembaca.

Jambi, Mei 2019

Kelompok I

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..............................................................................................6
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................7
1.3. Tujuan............................................................................................................7
1.4. Manfaat..........................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Saponifikasi...................................................................................................8
2.2. Proses Pembuatan Sabun...............................................................................9
2.2.1. Jenis Sabun..............................................................................................9
2.2.2. Minyak dan Lemak...............................................................................11
2.3. Deterjen.......................................................................................................13
2.3.1. Zat-zat yang Terkandung dalam Deterjen............................................13
2.4. Penggolongan Deterjen...............................................................................14
2.4.1. Berdasarkan bentuk fisik......................................................................14
2.4.2. Penggolongan Deterjen Berdasarkan Ion yang Dikandungnya............15
2.5. Proses Pembuatan Detergen........................................................................17
2.5.1. Spray-drying.........................................................................................17
2.5.2. Aglomerasi............................................................................................18
2.5.3. Dry Mixing............................................................................................19
2.6. Daya Pembersih Deterjen............................................................................20
BAB III METODOLOGI
3.1. Alat..............................................................................................................22
3.2. Bahan...........................................................................................................22
3.3. Blok Diagram..............................................................................................23
3.4. Flowsheet.....................................................................................................25
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Raw Material Pembuatan Detergent...........................................................26

3
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan..................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34

4
DAFTAR GAMBAR

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sabun merupakan produk kimia yang sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Pembuatan deterjen telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu.
deterjen dibuat dengan metode saponifikasi yaitu mereaksikan trigliserida dengan
soda kaustik (NaOH) sehingga menghasilkan deterjen dan produk samping berupa
gliserin. Bahan baku pembuatan deterjen dapat berupa lemak hewani maupun
lemak/minyak nabati. Penggunaan sabun dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak
asing lagi, terutama sesuai dengan fungsi utamanya yaitu membersihkan. Berbagai
jenis sabun ditawarkan dengan beragam bentuk mulai dari sabun cuci (krim dan
bubuk), sabun mandi (padat dan cair), sabun tangan (cair) serta sabun pembersih
peralatan rumah tangga (krim dan cair) (Qaishum dkk, 2011)
Sabun merupakan komoditi hasil olahan minyak kelapa sawit yang populer
yang berfungsi sebagai zat yang mampu membersihkan dan mengangkat benda
asing. Reaksi yang terjadi pada saat pembuatan sabun dari minyak kelapa sawit
disebut reaksi saponifikasi. Saponifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak
kelapa sawit (triglisrida) dengan alkali (biasanya menggunakan NaOH atau KOH)
sehingga menghasilkan gliserol dan garam alkali Na (sabun). Saponifikasi juga
dapat dilakukan dengan mereaksikan asam lemak dengan alkali sehingga
menghasilkan sabun dan air (Qaishum dkk, 2011).
Deterjen merupakan bahan pembersih yang umum digunakan oleh
masyarakat, baik oleh rumah tangga, industri, perhotelan, rumah makan, dan
lainlain. Berdasarkan bentuknya deterjen yang beredar di pasaran dapat berupa
deterjen bubuk, dan deterjen cair. Deterjen cair pada umumnya mempunyai fungsi
yang sama dengan deterjen bubuk. Hal yang membedakan keduanya adalah
bentuknya, yaitu dalam bentuk bubuk dan cair. Deterjen cair banyak digunakan
dalam pembersih alat-alat dapur. Akan tetapi seiring dengan perkembangan
zaman, deterjen cair juga banyak diaplikasikan untuk kebutuhan industri, serta
pembersih pakaian. Hal tersebut dikarenakan deterjen cair lebih mudah cara
penanganannya serta lebih praktis dalam penggunaannya (Yuliasari, 1997).

1
1.2. Rumusan Masalah
Adapun masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa saja bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan deterjen
bubuk?
2. Bagaimana prinsip dan proses pembuatan deterjen cair ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan deterjen bubuk
serta mengetahui prinsip dan proses pembuatan deterjen bubuk.

1.4. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah memberi pengetahuan tentang bahan baku
yang digunakan dalam proses pembuatan deterjen bubuk serta mengetahui prinsip
dan proses pembuatan deterjen bubuk.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Saponifikasi
Menurut Tim Penyusun Praktikum Operasi Teknik Kimia (2017),
Saponifikasi adalah proses hidrolisis dari alkali pada lemak yang disengaja,
biasanya dilakukan dengan penambahan basa kuat (kaustik soda) membuat
alcohol dan garam dan sisanya asam. Reaksi tersebut bisa dibuat dimulai dari
menambahkan lemak atau gliserida dan basa kuat menjadi sabun (garam) dan
gliserol atau alkohol, atau secara sederhana kira-kira seperti ini:
Lemak basa kuat sabun gliserol
(gliserida) (garam) (alkohol)

atau secara singkat saponifikasi merupakan suatu reaksi yang terjadi antara lemak
dan kaustik soda atau peristiwa dari ester- ester.
Menurut Spencer et al (2016), saponifikasi memiliki hasil hidrolisis ester. Hal
ini maksudnya adalah saponifikasi menghasilkan pemutusan ikatan ester dan
membentuk alkohol dan asam karboksilat. Namun, tidak seperti hidrolisis ester,
saponifikasi dibentuk dari larutan yang mengandung basa kuat seperti potasium
hidroksida atau sodium hidroksida. Asam karboksilat terkonversi menjadi garam
tergantung pada kondisi umum seperti:
1. Reaksi utama

Gambar 1. Reaksi utama saponifikasi menjadi alkohol


(Spencer et al, 2016)
2. Contoh reaksi yang lebih khusus

Gambar 2. Reaksi pembuatan sodium benzoat dan metil alkohol


(Spencer et al, 2016)

3
2.2. Proses Pembuatan Sabun
Gliserida atau lemak ketel dipanasi dengan menggunakan pipa uap dan
selanjutnya ditambahkan NaOH sehingga terjadi reaksi penyabunan. Sabun yang
terbentuk (Na-asetat) dapat diambil pada lapisan teratas dari campuran sabun,
gliserol dan sisa basa. Agar sabun mengendap dan dapat dipisahkan dengan cara
penyaringan, NaCl ditambahkan ke dalam campuran.
2.2.1. Jenis Sabun
Jenis sabun yang sering ditemui adalah:
1. Sabun Keras
Sabun keras adalah reaksi antara asam alkanoat suhu tinggi dengan NaOH
yang menghasilkan garam natrium. Menurut Abdullah dkk (2010) dalam optimasi
jumlah katalis KOH dan NaOH pada pembuatan biodiesel dari minyak kelapa
sawit menggunakan kopelarut, Penggunaan katalis yang berlebih dapat
mengurangi yield, karena sebagian minyak sawit akan berubah menjadi sabun
padat, yang akan terpisah pada proses penyaringan.
Sedangkan pada transesterifikasi menggunakan katalis KOH tidak
terbentuk sabun padat, sehingga jumlah yield yang dihasilkan juga tidak
berbeda signifikan. Yield tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan
kualitas biodiesel. Yield tidak menunjukkan konversi dari minyak sawit
menjadi biodiesel, sebab ada kemungkinan sebagian minyak sawit yang tidak
terkonversi menjadi biodiesel masih terkandung dalam produk hasil reaksi.
Oleh karena itu, sangat diperlukan data lain seperti viskositas, berat jenis,
bilangan asam dan kadar air (Abdullah, dkk., 2010).
2. Sabun Lunak
Sabun lunak adalah reaksi antara asam alkanoat dengan KOH yang
menghasilkan garam kalium. Sears (2011) menyatakan bahwa di dunia, produk
sabun lunak berbasis bahan alam masih jarang ditemukan di pasaran.Kebanyakan
masih menggunakan bahan sintetik sebagai bahan aktifnya. Bahan aktif sintetik
ini memiliki efek negatif terhadap kulit manusia, karena berpotensi menimbulkan
iritasi pada konsumen yang memiliki kulit sensitive. Contoh bahan aktif sintetik
yang berbahaya bagi kulit manusia dan banyak disorot saat ini adalah
diethanolamine (DEA), Sodium Lauryl Sulfate (SLS), serta triclosan yang

4
terdapat di hamper semua sabun yang beredar di pasaran. Menurut Mukiy ()
apabila triclosan terakumulasi dalam lemak di tubuh manusia, maka akan
berpotensi menimbulkan disfungsi tiroid. Oleh karena itu, saat ini mulai banyak
produsen sabun yang melirik ke bahan alam untuk dijadikan substitusi bahan aktif
pembuatan sabun. Tujuan digunakannya bahan alam ini tentunya untuk
mengeliminir bahanbahan sintetik, seperti pewarna, parfum, pemutih, anti bakteri,
dan lain-lain.
Sabun lunak (sabun mandi) merupakan garam kalium dari berbagai macam
asam lemak yang kaya akan asam miristat, asam palmitat, asam stearat, asam
oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Sabun transparan memiliki beberapa
kelebihan, terutama dalam hal estetika karena sabun lunak transparan atau sabun
gliserin adalah jenis sabun mandi yang dapat menghasilkan busa lebih lembut di
kulit dan penampakannya berkilau jika dibandingkan dengan jenis sabun yang
lain. Proses pendahuluan pembuatan sabun transparan sama dengan pembuatan
sabun biasa lainnya. Transparansi sabun dihasilkan dengan penambahan alkohol
absolut, sukrosa, dan gliserin sebagai zat aditif pentransparan pada suhu 1000˚C
(Yuliasari, 1997).
Sabun alkali biasanya dibuat dari asam lemak dengan jumlah atom karbon
antara 12 sampai 18 dengan suatu basa monovalen seperti natrium, kalium dan
ammonium. Sabun alkali dapat dibagi dua yaitu sabun keras dan sabun lunak.
Dikatakan sabun keras apabila menggunakan basa natrium dan sabun lunak
apabila menggunakan basa kalium (Martin, et al, 1961).
Pembagian kedua jenis sabun alkali tersebut, yaitu: Natrium karboksilat
(misalnya Na-palmitat dan Na-stearat) yang dibuat dari lemak minyak NaOH.
Sabun yang mengandung logam natrium ini disebut sabun keras dan sering
disebut sabun cuci. Kalium karboksilat (misalnya K-palmitat dan K-starat), yang
dibuat dari lemak minyak dan KOH. Sabun yang mengandung logam kalium ini
disebut sabun lunak dan sering disebut dengan sabun mandi (Robert dan Ribert,
1976).
Sabun lunak yang dibuat dari garam kalium dengan asam lemak biasanya
lebih mudah larut dalam air daripada yang dibuat dari natrium. Sabun kalium
memadat pada suhu rendah dan lebih berwujud larutan kental yang transparan

5
atau bersifat jelly dibandingkan sabun natrium. Pada umumnya sabun lunak dibuat
dari lemak atau minyak yang memilki titik leleh yang rendah dengan KOH tanpa
adanya pemisahan larutan alkali (Fessenden, 1994).
3. Sabun Transparan
Sabun transparan dibuat dengan menambahkan alkohol, larutan gula dan
gliserin untuk menghasilkan kondisi transparan dari sabun. Gliserin baik untuk
kulit karena berfungsi sebagai pelembab pada kulit. Alkohol yang digunakan
dalam pembuatan sabun transparan yaitu alkohol 91-99 %. Semakin besar kadar
air yang terkandung dalam alkohol maka sabun yang dihasilkan lebih lunak.
Semakin banyak alkohol 91-99 % yang digunakan, sabun yang dihasilkan lebih
transaparan. Jika alkohol yang digunakan isopropil alkohol, maka hasil
transparansinya tidaklah sebaik etanol (Yuliasari, 1997).
Semakin tinggi persen etanol yang digunakan, maka semakin besar jumlah
air yang harus ditambahkan dalam basa supaya sabun tetap dalam keadaan cair
dalam fasa gel untuk pengadukan. Penambahan gliserin memberi kecenderungan
membentuk fasa gel pada sabun. Larutan gula yang ditambahkan membantu
perkembangan kristal, sedangkan perkembangan serabut-serabut kristal yang
dapat menyebabkan sabun menjadi sabun biasa (opaque) dihambat oleh gliserin.
Transparansi dan kekerasan sabun transparan diukur secara organoleptik.
Komposisi sabun transparan komersial terdiri dari sodium tallowate, sodium
cocoate, air, gliserin, sukrosa, alkohol, sodium stearat, parfum, madu,
pentasodium pentatrat, dan EDTA (Yuliasari, 1997).
Sabun transparan adalah jenis sabun yang bening sehingga tampak tembus
pandang dan menghasilkan busa yang lebih lembut dan tampak lebih menarik.
Berbeda dengan sabun yang tidak transparan “opaque soap” sabun transparan
dibuat dengan semi boiled process yang menggunakan bantuan panas pada proses
pembuatannyan. Keuntungan dari pembuatan sabun transparan adalah penampilan
transparan yang menawan, mempunyai fungsi pelembab, daya bersih yang efektif
tanpa meninggalkan busa sabun dan lebih terasa lunak (Mabrouk, 2005).
2.2.2. Minyak dan Lemak
Minyak dan lemak merupakan campuran ester-ester gliseril dari asam
lemak (fatty acid) atau trigliserda. Ada bermacam-macam sumber aslinya yang

6
berbeda dan tergantung dari sifat-sifat fisis dan kimia dari campuran ester. Ester-
ester tersebut dapat berbentuk solid (padatan), liquid (cairan), volatile saturated
(uap jenuh yang mudah menguap) dan sebagian senyawa yang unsaturated (tidak
jenuh). Komposisi trigliserida terdiri dari ester 5% gliserida dan 95% fatty acid
(asam lemak) yang merupakan gabungan dari ester-ester (Tim Opetasi Teknik
Kimia, 2019).

H C OOCR

H C OOCR'

H C OOCR"

H
(Tim Opetasi Teknik Kimia, 2019)
Gugus tersebut diatas adalah merupakan ester-ester dari lemak atau gliserida.
Lemak-lemak adalah ester dari gliserol atau asam palmitat atau asam stearat.
Gugus alkyl (R), untuk masing- masing R, R’, R” bisa sama di dalam ikatan
molekulnya dan juga R = R’ = R”. Hal ini tergantung dari ikatan molekul asam
lemak itu sendiri. Ester-ester lemak suku tinggi dari asam lemak jenuh lebih
stabil. Sebagai contoh:
H
H

H C OOC17H35
H C OOC15H31

H C OOC17H35
H C OOC15H31

H C OOC17H35
H C OOC15H31

H
H
(Modul Praktikum OTK II, 2019)
Karena sumber fatty acid merupakan bagian yang penting dari molekul-
molekul gliserida dan merupakan bagian yang aktif maka sifat-sifat fisis dan
kimia dari lemak sebagian besar tergantung dari sifat-sifat fisis dan kimia setiap
komponen fatty acid. Hasil dari hidrolisa lemak akan diperoleh gliserol dan fatty

7
acid. Bila ditambahkan kaustik soda kedalam larutan tersebut akan diperoleh
sabun dari asam lemak.
Reaksinya:
Gliseril tristearat + 3 NaOH  Sodium tristearat + Gliserol
(Tim Opetasi Teknik Kimia, 2019)

2.3. Deterjen
Deterjen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu
pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding
dengan sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci
yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Deterjen merupakan
garam Natrium dari asam sulfonat. Deterjen digunakan untuk mencuci pakaian.
Untuk menyempurnakan kegunaannya, biasanya pabrik menambahkan natrium
perborat, pewangi, pelembut, naturium silikat, penstabil, enzim, dan zat lainnya
agar fungsinya semakin beragam (Austin, 1984).
Bahan utama deterjen ialah garam natrium yaitu asam organik yang
dinamakan asam sulfonik. Asam sulfonik yang digunakan dalam pembuatan
detergent merupakan molekul berantai panjang yang mengandungi 12 hingga 18 atom
karbon per molekul. Deterjen pertama disintesis pada tahun 1940-an, yaitu garam
natrium dari alkyl hydrogen sulfate. Alkohol berantai panjang dibuat dengan cara
penghidrogenan lemak dan minyak. Alkohol berantai panjang ini direaksikan
dengan asam sulfat menghasilkan alkyl hydrogen sulfate yang kemudian
dinetralkan dengan basa. Natrium lauril sulfat adalah deterjen yang baik, karena
garamnya berasal dari asam kuat, larutannya hampir netral. Garam kalsium dan
magnesiumnya tidak mengendap dalam larutannya, sehingga dapat dipakai
dengan air lunak atau air sadah (Austin, 1984).
2.3.1. Zat-zat yang Terkandung dalam Deterjen
Menurut Austin (1984), zat-zat yang terkandung dalam deterjen yaitu:
1. Surfaktan, yaitu untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan.
2. Abrasive untuk menggosok kotoran.
3. Substansi untuk mengubah pH yang mempengaruhi penampilan ataupun
stabilitas dari komponen lain.
4. Water softener untuk menghilangkan efek kesadahan.

8
5. Oxidants untuk memutihkan dan menghancurkan kotoran.
6. Material lain selain surfaktan untuk mengikat kotoran didalam suspensi.
7. Enzim untuk mengikat protein, lemak, ataupun karbohidrat didalam kotoran.

2.4. Penggolongan Deterjen


2.3.1. Berdasarkan bentuk fisik
Berdasarkan bentuk fisiknya, deterjen dibedakan atas:
a. Deterjen Cair
Secara umum, deterjen cair hampir sama dengan deterjen bubuk. Hal yang
membedakan hanyalah bentuknya: bubuk dan cair. Produk ini banyak digunakan
di laundry modern menggunakan mesin cuci kapasitas besar dengan teknologi
yang canggih (Austin, 1984).
b. Deterjen Krim
Deterjen krim bentuknya hampir sama dengan sabun colek, tetapi
kandungan formula keduanya berbeda. Di luar negeri, produk biasanya tidak
dijual dalam kemasan kecil, tetapi dijual dalam kemasan besar (kemasan 25 kg)
(Austin, 1984).
c. Deterjen bubuk
2.3.2. Berdasarkan keadaan butirannya
Berdasarkan keadaan butirnya, detergen dibedakan atas:
a. Deterjen bubuk berongga
Deterjen bubuk berongga mempunyai ciri butirannya mempunyai rongga.
Butiran deterjen yang berongga dapat dianalogikan dengan bentuk bola sepak
yang didalamnya rongga. Ini berarti butiran deterjen jenis ini mempunyai volume
per satuan berat yang besar karena adanya rongga tersebut. Butiran deterjen jenis
berongga dihasilkan oleh proses spray drying. Kelebihan deterjen bubuk berongga
dibandingkan dengan deterjen bubuk padat adalah volumenya lebih besar. Dengan
berat yang sama, deterjen bubuk dengan butiran berongga tampak lebih banyak
dibandingkan dengan deterjen padat (Iskandar, 1974).
b. Deterjen bubuk padat/masif
Bentuk butiran deterjen bubuk padat/masif dapat dianalogikan degan bola
tolak peluru, yaitu semua bagian butirannya terisi oleh padatan sehingga tidak
berongga. Butiran deterjen yang padat merupakan hasil olahan proses

9
pencampuran kering (dry mixing). Proses dry mixing dapat dibagi menjadi dua,
yaitu dry mixing granulation (DMG process) dan simple dry mixing (metode
campur kering sederhana=CKS). Metode CKS termasuk cara pembuatan deterjen
bubuk yang mudah dipraktekkan. Kelebihan deterjen bubuk padat, yaitu untuk
membuatnya tidak diperlukan modal besar karena alatnya termasuk sederhana dan
berharga murah. Kekurangannya adalah karena bentuknya padat maka volumenya
tidak besar sehingga jumlahnya terlihat sedikit (Iskandar, 1974).
2.3.3. Penggolongan Deterjen Berdasarkan Ion yang Dikandungnya
Berdasarkan ion yang dikandungnya, deterjen dibedakan atas :
a. Cationic detergents
Deterjen yang memiliki kutub positif disebut sebagai cationic detergents.
Sebagai tambahan, selain adalah bahan pencuci yang bersih, mereka juga
mengandung sifat antikuman yang membuat mereka banyak digunakan di rumah
sakit. Kebanyakan deterjen jenis ini adalah turunan dari ammonia (Ophardt,
2003).

Gambar 3. Deterjen kationik


(Ophardt, 2003)
b. Anionic detergents
Deterjen jenis ini adalah merupakan deterjen yang memiliki gugus ion
negatif. Pada jenis surfaktan ini terdapat group ion negatif sehingga dinamakan
anionic detergent. Umumnya, bagian head merupakan gugus yang bermuatan
negatif. Sifat deterjen ditentukan oleh anion yang terdapat dalam rantainya.
Apabila ingin menghasilkan tingkat detergentcy optimum, maka anion dapat
dinetralisasi dengan alkali atau material yang bersifat basa (Ophardt, 2003).

10
Gambar 4. Deterjen anionik
(Ophardt, 2003)
c. Neutral atau Non-Ionic Detergents
Nonionic detergent banyak digunakan untuk keperluan pencucian piring.
Karena deterjen jenis ini tidak memiliki adanya gugus ion apapun, deterjen jenis
ini tidak bereaksi dengan ion yang terdapat dalam air sadah. Nonionic detergents
kurang mengeluarkan busa dibandingkan dengan ionic detergents (Ophardt,
2003).

Gambar 5. Deterjen nonionic


(Ophardt, 2003)

11
2.4. Proses Pembuatan Detergen
Menurut Iskandar (1974), proses pembuatan deterjen secara umum terdiri atas
3 bagian yaitu:
1. Spray-drying
2. Agglomerasi
3. Dry-mixing
2.4.1. Spray-drying
Spray-drying merupakan proses modern dalam pembuatan deterjen bubuk
sintetik dimana dalam spray-drying terjadi proses pengabutan dan dilanjutkan
proses pengeringan. Tahap-tahap dalam proses spray-drying dapat diperlihatkan
pada gambar berikut:

To atmosphere
To atmosphere

Dedusting
filter

Spray drying
tower

Air lift
Detergent slurry
Hoist
Exhaust gas
Dedusting filter
Detergent powder
Vibrating system
Gas turning
Power Cleaning ring Fan
generator Static
Air Mouisture perfumer
analyzer
Fines
Extraction perfume
screw pump
Density Traditional powder
Analyzer To packaging
controller To concentratied
Ejector Fan
Powder prosessing

Detergent powder Hopper

Burner Air lift


Feeding helt

Fuel
Air

Gambar 6. Diagram alir spray-drying


(Iskandar, 1974)
Gambaran proses pembuatannya adalah komponen-komponen cairan
(diterima dalam drum dan kemudian disimpan dalam storage tank) diukur
kemudian dicampurkan dengan kmponen padat (diterima dalam bags atau wadah
khusus dan kemudian disimpan dalam silos) untuk membentuk slurry yang
homogen. Beberapa slurry memiliki perbedaan viskositas dan konsentrasi
berdasarkan formula yang dipompakan pada tekanan tinggi (hingga 10 bar) dan di

12
spray (disemprotkan) melalui alat penyemprot khusus (nozzles) ke dalam menara
berbentuk silinder (spray–drying tower) seperti yang ditunjukkan pada gambar di
atas, dimana aliran dari udara panas terbawa. Dalam beberapa kasus aliran udara
mengalir menuju produk untuk memastikan efisiensi termalnya tinggi dan proses
drying terkontrol (Iskandar, 1974).
Pilihan drying co-current pada dasarnya dibatasi oleh perbedaan proses
drying yang mana hasilnya lebih tetap dan tahan terhadap hollow beads yang
berasal dari ekspansi mula–mula dan drying permukaan ketika slurry menurun
pada saat suhu udara tinggi pada bagian atas menara (spray-drying tower). Dalam
kasus ini ketika meneruskan arus aliran turun,pengeringan produk diproses yang
dihubungkan dengan menurunkan suhu udara. Drying co-current menurunkan
efisiensi kalor dan sebagian besar digunakan untuk pengeringan produk yang
sensitif terhadap suhu tinggi dari bulk dengan densitas yang rendah (Iskandar,
1974).
Produk yang dikeringkan dalam bentuk hollow bead dikumpulkan pada
bagian atas menara spray drying dan didinginkan serta dikristalisasikan melalui
sistim pembawa airlift dengan aliran udara dingin.setelah pengankutan udara
bubuk dasar disaring dan diberikan pengharum dan akhirnya dicampur dengan
komponen-komponen yang sensitif terhadap suhu atau zat adiktif yang kemudian
di simpan dalam silos dan akhirnya di bawa ke mesin pengepak poduk (Iskandar,
1974).
2.4.2. Aglomerasi
Proses aglomerasi merupakan proses pembuatan deterjan bubuk sintesis
yang memiliki densitas yang tinggi dengan cara pencampuran material-material
kering dengan bahan-bahan cairan yang dibantu dengan adanya bahan pengikat
cairan yang kemudian bercampur yang menyebabkan bahan-bahan tadi bergabung
satu sama lain yang membentuk partikel-partikel berukuran besar (Iskandar,
1974).

13
Gambar 7. Blok diagram aglomerasi
(Iskandar, 1974)
Proses aglomerasi dapat digambarkan seperti proses penimbunan atau
penumpukan dari komponen dari bubuk menjadi cairan dan menjadi butir atau
granula. Tahap-tahap pemprosesan non tower balestra untuk produksi deterjen
bubuk berdasarkan pada proses aglomerasi. Diantara berbagai tahap proses
tersebut, aglomerasi memperlihatkan operasi yang sangat penting dan kritis,
karena proses tersebut dihubung kan ke struktur fisik dan pada saat yang sama di
hubungkan ke komposisi kimia dari produk. Proses aglomerasi juga merupakan
proses spray-drying dengan dry mixing atau blending. Konsentasi air proses yang
digunakan anatara 35-40% dalam crutcher slurry. Dalam aglomerasi cairan
disemprotkan keatas secara continue. Komponen-komponen atau bahan yang
digunakan dalam aglomerasi meliputi slikat deterjen aktif dan air yang digunakan
sebagai cairan dalam aglomerasi (Iskandar, 1974).
2.4.3. Dry Mixing
Material kering (dry material) yang digunakan untuk membuat deterjen
bubuk ditimbang dan selanjutnya dimasukkan kedalam mixer, pencampuran
dilanjutkan selama 1-2 menit dan ditambahkan slurry selama 3-4 menit.

14
Gambar 8. Proses dry mixing
(Iskandar, 1974)
Setelah semua slurry dimasukkan kedalam mixer, pencampuran dilanjutkan
selama 1-2 menit agar menjadi homogen. Sebagian besar dari bubuk yang
terbentuk dapat dikemas dengan segera setelah selesai atau setelah 30 menit
penyimpanan (Iskandar, 1974).

2.5. Daya Pembersih Deterjen


Deterjen merupakan sediaan pembersih yang terdiri dari zat aktif permukaan
(surfaktan), bahan pengisi, pemutih, pewangi (bahan pembantu), bahan penimbul
busa, dan optikal brightener (bahan tambahan yang membuat pakaian lebih
cemerlang). Surfaktan merupakan bahan utama deterjen. Pada deterjen ini, jenis
muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang ditambahkan surfaktan
kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri) (Iskandar, 1974).
Fungsi surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup
ke dalam ikatan antara kotoran dan serat kain. Hal ini akan membuat kotoran

15
menggulung, lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian
dalam bentuk butiran. Agar butiran ini tidak pecah kembali dan menempel di kain,
perlu ditambahkan jenis surfaktan lain yang akan membungkus butiran tersebut
dan membuatnya tolak menolak dengan air, sehingga posisinya mengambang. Ini
untuk memudahkannya terbuang bersama air cucian (Iskandar, 1974).
Pada umumnya kotoran yang dapat dihilangkan surfaktan adalah yang berasal
dari debu atau tanah. Bila kotoran lebih berat seperti noda makanan dan noda
darah, perlu ditambahkan enzim tertentu seperti enzim pengurai protein atau
lemak. Namun, jika nodanya sudah lama, akan sukar sekali dihilangkan karena
antara noda dan serat kain dapat terjadi reaksi polimerisasi yang menyatukan noda
dengan kain. Selain itu, daya pembersih deterjen juga tergantung pada bahan
pengisi. Bahan pengisi ini berfungsi menetralisir kesadahan air atau melunakkan
air, mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang dicuci dan
mencegah terbentuknya gumpalan dalam air cucian. Tetapi jika air terlalu sadah,
seperti yang terdapat di beberapa tempat di Jakarta, maka daya pembersih deterjen
apa pun tidak akan optimal (Iskandar, 1974).
Kemampuan daya pembersih deterjen ini dapat ditingkatkan jika cucian
dipanaskan karena daya kerja enzim dan pemutih akan efektif. Tetapi, mencuci
dengan air panas akan menyebabkan warna pakaian memudar. Jadi untuk pakaian
berwarna, sebaiknya jangan menggunakan air hangat/panas. Sedangkan hubungan
antara daya pembersih deterjen dengan bahan penimbul busa sama sekali tidak
signifikan. Busa dengan luas permukaannya yang besar memang bisa menyerap
kotoran debu, tetapi dengan adanya surfaktan, pembersihan sudah dapat dilakukan
tanpa perlu adanya busa. Jadi, opini yang sengaja dibentuk bahwa busa yang
melimpah menunjukkan daya kerja deterjen adalah menyesatkan (Iskandar, 1974).

16
BAB III
METODOLOGI

3.1. Alat
Berdasarkan patent, alat-alat yang digunakan pada proses pembuatan
Detergent Bubuk ini adalah:
1. Tangki
2. Raktor
3. Evaporator
4. Conveyor

3.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan Detergent Bubuk ini
adalah:
1. Coconut Oil
2. Oleic Fatty Acid
3. Olive Oil
4. Potassium Hydroxide (25%)
5. City Water
6. Potassium HydroxideH (45%)
7. Citric Acid
8. Power Laundry Enzime LC#16-T0168

17
3.3. Blok Diagram

Dalam proses pembuatan Detergent Bubuk ini terdapat 4 proses utama yang
akan dijabarkan dalam blok diagram dibawah ini, yaitu:

Open container with dry and/or liquid


constituent of the laundry cleaner
formulation

Empty dry and/or liquid constituent


Open and
into mixing container or bottle
close mixing
container or
bottle as
needed
Add water make up to 1 gallon. Mix by
shaking or stirring
Gambar 9. Metode 1 pencampuran konstituen formulasi dengan air

(Brophy,. at al. 2014)

Open mixing container or bottle

Add water to mixing container or bottle

Open container with dry and/or liquid


constituent of the laundry cleaner
formulation

Empty dry and/or liquid constituent


into mixing containr or bottle

18
Close mixing container if needed. Mix
by shaking or stirring.

Gambar 10. Metode 2 pencampuran konstituen formulasi dengan air

(Brophy,. at al. 2014)

Open mixing container or bottle

Add water to mixing container or bottle

Open container with dry and/or liquid constituenst

Empty dry and/or liquid constituents into mixing


container or bottle Open and
close mixing

Mix by shaking or stirring container or


bottle as
needed to
Add water to mixing container or bottle to make up 1
prevent
Gal. of mixture: mix by shaking or stirring
spilling
Gambar 11. Metode 3 pencampuran konstituen formulasi dengan air

(Brophy,. at al. 2014)

Open first container of liquid or dry constituent

Empty constituents into mixing container or bottle

Add water and mix

Open second container of liquid or dry constituents

Empty constituents into mixing container or bottle. Mix


19
Add water to make up to 1 gallon. Mix

Gambar 12. Metode 4 pencampuran konstituen formulasi dengan air

(Brophy,. at al. 2014)

3.4. Flowsheet

Secara garis besar proses pembuatan Detergent Bubuk ini disajikan dalam
flowsheet dibawah.

P-01
T-01

T-02 P-02

R-01 EV-01 EV-02


CV-01
T-03 P-03

KETERANGAN :
T = Tangki
R = Reaktor
EV = Evaporator
CV = Conveyor

P-04
T-04

Gambar 13. Proses pembuatan detergent bubuk

20
21
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Raw Material Pembuatan Detergent

Bahan aktif deterjen adalah surfaktan. Kebanyakan menggunakan bahan


inorganik, seperti oleum, caustic soda, natrium fosfat dan additives yang 3% dari
deterjen.

4.2.1. Surfaktan

Surfaktan adalah bahan yang dapat meningkatkan sifat rambatan suatu


cairan pada suatu objek. Sifat zat seperti ini dimanfaatkan untuk menurunkan
tegangan permukaan suatu cairan atau pada larutan dimana antara dua larutan
memiliki efek interfacial tension (Austin, 1984).

Proses pencucian meliputi:

1. Dengan membasahi kotoran dan permukaan kotoran yang ingin dicuci


dengan larutan detergen
2. Memindah kotoran dari permukaan
3. Memelihara kotoran pada larutan stabil

Dalam air cucian, detergen mempunyai wetting agent yang dapat


mempermudah menembus ke serat pakaian dan mengangkat kotoran. Setiap
molekul larutan pencuci dapat dianggap sebagai rantai panjang. Ujung rantainya
adalah hidrofobik dan ujung yang lainnya adalah hidrofilik. Bagian hidrofobik
bekerja menyelubungi dan mengikat noda. Pada waktu yang bersamaan, bagian
hidrofilik dari detergen berikatan dengan air sehingga noda dapat terangkat dari
serat pakaian mengikuti aliran air (Austin, 1984).

Klasifikasi surfaktan :

22
1. Hydrofobik merupakan hidrokarbon dengan jumlah 8 hingga 18 atom
karbon yang berbentuk lurus ataupun bercabang. Ada juga benzena yang
mengganti ikatan atom karbon tersebut, contohnya C12H25-, C9H19.C6H4- (Austin,
1984).
2. Hydrofilik dapat berupa anionik, contohnya –OSO4- atau SO32-, kationik,
contohnya –N(CH3)3+ atau C5H5N+, atau nonionik –(OCH2CH2)nOH. Pada senyawa
anionik, senyawa yang paling banyak dipakai adalah linear alkylbenzene
sulfonate (LAS) dari minyak bumi dan alkyl sulfates dari lemak hewan dan
tumbuhan. Anionik dan kationik tidak cocok untuk sabun. Kondensasi etilen
oksida dari fatty alkohol adalah contoh non-ionik surfaktan. Non-ionik lebih
efektif dari anionik dalam mengangkat kotoran pada temperatur yang lebih rendah
untuk serat kain (Austin, 1984).

Rantai Lurus Alkil Benzen

n-Alkana dipisahkan dari kerosin dengan mengadsropsinya menggunakan


saringan molekular. Alkana bercabang dan siklik mempunyai diameter cross-
sectional yang lebih besar dari rantai lurus sehingga memungkinkan pemisahan
menggunakan saringan. Metode pemisahan senyawa parafin dari rantai alkana
bercabang dan rantai siklik yang bereaksi dengan urea atau thiourea. Urea akan
bereaksi dengan rantai lurus hidrokarbon (≥7 atom karbon) untuk memberikan
crystalline adduct yang dipisahkan dengan filtrasi. Pengadukan dapat diperoleh
dengan memanaskan air pada 80 sampai 90ºC. Sebaliknya, thiourea akan bereaksi
dengan rantai hidrokarbon bercabang tetapi tidak akan membentuk adduct dengan
rantai lurus atau aromatik. Parafin yang terpisah diubah menjadi benzene alkylates
atau diretakkan untuk menghasilkan α-olefin (Austin, 1984).

Olefin rantai lurus dihasilkan dari dehidrogenasi parafin, polimerisasi


etilen ke α-olefin menggunakan katalis aluminum trietil (katalis pada proses
perombakan lemak Ziegler), meretakkan lilin parafin atau dengan
dehidrohalogenasi alkil halida. α-Olefin atau alkana halida dapat digunakan untuk

23
alkylate benzena melalui reaksi Friedel-Crafts dengan memperkerjakan asam
hidrofluorik atau aluminum florida sebagai katalis (Austin, 1984).

4.2.2. Fatty Alcohol

Pembuatan fatty alkohol: Prosedur katalis Ziegler untuk mengubah α-olefin


menjadi fatty alkohol dan proses hidrogenasi metil ester adalah metode penting
untuk menyiapkan fatty alkohol. Fatty alkohol dibuat dari golongan
organometallic yang memiliki panjang rantai karbon berkisar antara 6 sampai 20
karbon. Proses alfol digunakan oleh Conoco dimulai dengan mereaksikan logam
aluminium, hidrogen, dan etilen pada tekanan tinggi untuk memproduksi
aluminium trietil. Senyawa ini kemudian dipolimerisasikan dengan etilen ke
bentuk alumunium alkil. Kemudian dioksidasi dengan udara untuk membentuk
alumunium alkoxides. Saat pemurnian, alkoxides dihidrolisis dengan 23-26%
asam sulfat untuk memproduksi bahan mentah dan utama, alkohol rantai lurus.
Kemudian dinetralisasikan dengan NaOH, dicuci dengan air dan dipisahkan
dengan fraksinasi. Setiap grup etil dari aluminium trietil dapat ditambahkan
etilena untuk membentuk aluminium trialkil dari 4 hingga 16 atom karbon per
grup alkil (Austin, 1984).

4.2.3. Suds Regulator

Adalah zat tambahan untuk membuat kerja surfaktan efektif pada mesin
pencuci pakaian (Austin, 1984).

4.2.4. Builders

Kompleks fosfat, seperti natrium tripolifosfat banyak digunakan karena


dapat mencegah menempelnya kembali noda dari air cucian ke serat kain.
Polifosfat mempunyai aksi sinergis dengan surfaktan sehingga meningkatkan
efektifitas dalam proses pembersihan dan mengurangi biaya keseluruhan.

24
Peningkatan cepat produksi detergen dikarenakan penggunaan polifosfat. Selama
tahun 1960-an, pertumbuhan alga dan eutrofikasi di danau berhubungan dengan
adanya fosfat di detergen sehingga banyak negara menganjurkan zat pengganti
fosfat. Senyawa yang pertama kali disarankan untuk mengganti fosfat adalah
nitrilotriacetic acid (NTA), tetapi senyawa tersebut dinyatakan karsinogen pada
tahun 1970. Builders lainnya aalah sitrat, karbonat, dan silikat. Pengganti fosfat
terbaru yang menjanjikan adalah zeolit. Di tahun 1982, 136 kt/tahun zeolit
digunakan sebagai builders detergen. Di tahun 1980, builder mengandung 50%
fosfat, 12% zeolit, 13% silikat, 12% karbonat, serta NTA dan sitrat masing-
masing 2% (Austin, 1984).

4.2.5. Aditif
Penghambat korosi, seperti natrium silikat melindungi logam dan alat
pencuci dari kerja deterjen dan air. Karboksimetil selulosa digunakan sebagai
antiredeposition. Penghilang noda, contohnya benzotriazole bekerja bersama
penghambar korosi untuk melindungi logam seperti stainless steel. Zat untuk
membuat serat kain lebih bercahaya adalah pewarna fluorescent karena memiliki
kemampuan untuk mengubah sinar ultraviolet ke cahaya tampak. Bluings
meningkatkan putihnya kain dengan menangkal kencenderungan kain untuk
menjadi kuning secara alami. Agen antimikroba meliputi carbanilides,
salicylanilides, dan kationik. Tipe pemutih peroksigen (sejenis enzim) digunakan
untuk menguraikan kotoran dan membuat partikel kotoran tersebut lebih mudah
untuk terangkat dari serat pakaian (Austin, 1984).

4.2. Proses Pembuatan Detergent

Berikut adalah proses pembuatan deterjen:

1. Sulfonasi Alkylbenzene
a. Reaksi utama

R + H2SO4.SO3  R SO3H + H2SO4 ∆H = -420 kj/kg

25
Alkylbenzene oleum alkylbenzene sulfonat asam sulfat

(Austin, 1984)

SO3
b. Reaksi kedua H

R SO3H + H2SO4.SO3  R SO3H + H2SO4

Alkylbenzen sulfinate oleum disulfonat asam sulfat

(Austin, 1984)

R SO3H + R R SO2 R1 + H2O

Alkylbenzene
sulfonate
Alkyl benzene sulfone 1% water

(Austin, 1984)
Proses pembuatan detergen dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini.

26
P-01
T-01

T-02 P-02

R-01 EV-01 EV-02


CV-01
T-03 P-03

KETERANGAN :
T = Tangki
R = Reaktor
EV = Evaporator
CV = Conveyor

P-04
T-04
G
ambar 14. Proses pembuatan detergen

(Austin, 1984)

2. Fatty Alcohol Sulfonation


a. Reaksi utama

R-CH2OH + SO3.H2O ↔ R’OSO3H + H2O ∆H = -325 sampai -350


Kj/Kg

b. Reaksi sekunder

R-CH2OH + R’-CH2-OSO3H  R-CH2-O-CH2-O-CH2-R’ +H2SO4


R’-CH2-CH2OH + SO3  R’-CH=CH2 + H2SO4

27
R-CH2OH + SO3  RCHO + H2O + SO2

R-CH2OH + 2SO3  RCOOH + H2O + 2SO2

Susunan proses pembuatan detergen adalah sebagai berikut:

1. Sulfonation-sulfation

Alkilbenzena yang dimasukkan ke dalam sulfonator dengan penambahan


sejumlah oleum, menggunakan dominant bath principle untuk mengontrol panas
pada proses sulfonasi dan menjaga temperature tetap pada 55 0C, di dalam
campuran sulfonasi dimasukkan fatty tallow alcohol dan oleum. Semuanya
dipompa menuju sulfater, beroperasi juga dalam dominant bath principle untuk
menjaga suhu agar tetap pada kisaran 50º-55ºC, pembuatan ini campuran dari
surfactant (Austin, 1984).

2. Netralization
Produk hasil dari sulfonasi-sulfasi dinetralisasi dengan larutan NaOH
dibawah temperature yang terkontrol untuk menjaga fluiditas bubur surfaktan.
Surfaktan dimasukkan dalam penyimpanan (Austin, 1984).

Berikut ini merupakan diagram alir pembuatan surfaktan:

28
Gambar 15. Pembuatan surfaktan
(Austin, 1984)
Bubur surfaktan, sodium tripolipospat , dan bermacam-macam bahan aditif
masuk ke dalam crutcher. Sejumlah air dipindahkan, dan pasta campuran ini
menebal oleh tripolipospat yang terhidrasi (Austin, 1984).

Na5P3O10 + 6H2O  Na5P3O10.6H2O

Sodium tripolipospate sodium tripolipospat hexahydrate


Campuran ini dipompa ke upper story, dimana campuran ini disemprotkan
dibawah tekanan tinggi ke dalam high spray tower setinggi 24 meter, melawan
udara panas dari tungku api. Butiran kering ini adalah bentuk yang dapat diterima,
ukuran dan densitas yang sesuai dapat dibentuk. Butiran yang sudah dikeringkan
di alirkan ke upper story lagi melalui lift yang dapat mendinginkan mereka dari
115ºC dan menstabilkan butiran. Butiran ini dipisahkan dalam goncangan, dilapisi,
diharumkan dan menuju pengemasan (Austin, 1984).

29
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah:
1. Deterjen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu
pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi.
2. Raw Material Pembuatan Detergent meliputi: Surfaktan, Fatty Alcohol, Suds
Regulator, Builders dan Aditif.
3. Proses Pembuatan Detergent melalui dua proses yaitu, Sulfonasi
Alkylbenzene Fatty Alcohol Sulfonation.

30
DAFTAR PUSTAKA

Austin, George T. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. Singapore:


McGraw-Hill International Book Company
Badan Standarisasi Nasional, 1994. Standar Mutu Sabun Mandi. SNI 06-3532-
1994. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Brophy, Weller,. Et al. 2014. United States of America Patent No.
US20140135250A1
Fessenden, R. J dan Fessenden, J.1999.“Kimia Organik”. Edisi Ketiga. Penerbit
Erlangga. Jakarta
Hambali E.,2005. Membuat Sabun Transparan. Cimanggis : Penebar Plus 4.
Iskandar, Y. 1974. Biokimia. Seri penuntun kuliah, bag. 1. Inst. For Personality
and Educat. Res. Yayasan Dharma Graha Jakarta
Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Edisi Kesatu. Amsterdam: Elsevier
Science B.V. Hal. 13,19-21.
Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Tokyo: Shiseido Co., Ltd. Hal 144-146,
191-194, 446-457.
Organization, W. I., 2006. Procedure of Making of Transparent Soap From Olive
Oil With Essential-Oil Admixtures. WO2006/079856 A1
Smith, S. 2017. United States of America Patent No. US20170121641A1
Spitz, L. (ed). 1996. Soaps and Detergents. A Theoretical and Practical Review.
AOCS Press. Illinois.

31

Anda mungkin juga menyukai