Anda di halaman 1dari 25

MODUL REKAYASA PROSES

NETRALISASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Rekayasa Proses yang diampu oleh
Siti Mujdalipah, S.TP., M.Si.

Disusun oleh:
Kelompok 3
Ange Cindi Angriani 1506354
Ika Mustikawati 1506358
Thia Ashipa 1505073
Susanna Noviana Nababan 1507524
Muhammad Zainul Arifin 1504013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI


FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat
rahmat dan karunia-Nyalah tim penulis dapat menyusun Modul Rekayasa
produksi yang berjudul “Netralisasi”.

Modul Rekayasa Produksi ini disusun sebagai media pembelajaran yang


diharapkan bukan hanya bermanfaat bagi penulis, melainkan masyarakat luas
lainnya yang membutuhkan ilmunya. Selain itu, modul ini dibuat untuk memenuhi
tugas mata kuliah Rekayasa Produksi. Modul berisikan pendahuluan, materi
mengenai netralisasi, rangkuman, evaluasi dan glosarium yang berkaitan dengan
materi.

Tidak lupa tim penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Ibu Siti Mujdalipah, S.TP., M.Si. sebagai dosen pengampu mata kuliah Rekayasa
Produksi yang telah membimbing tim penulis dalam penyusunan modul ini, dan
seluruh pihak lainnya yang telah membantu proses penyusunan modul.

Modul ini bukanlah sesuatu yang sempurna. Oleh karena itu, segala bentuk
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat berarti bagi tim penulis. Atas
segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

Bandung, Maret 2018

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Tujuan Pembelajaran ....................................................................................... 1
PEMBELAJARAN................................................................................................. 2
A. Netralisasi......................................................................................................... 2
B. Macam - macam Netralisasi............................................................................... 8
C. Aplikasi Netralisasi......................................................................................... 17
RANGKUMAN .................................................................................................. 35
EVALUASI .................................................................................................... 36
GLOSARIUM ...................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi akan terus berjalan dan selalu mengalami
percepatan. Salah satu bentuk dari kemajuan teknologi adalah kemajuan
dalam bidang industri. Perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya
bidang industri, senantiasa meningkatkan kemakmuran dan dapat menambah
lapangan pekerjaan bagi masyarakat kita. Namun di sisi lain, perkembangan
industri memiliki dampak terhadap meningkatnya kuantitas dan kualitas
limbah yang dihasilkan termasuk di dalamnya adalah limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3). Bila tidak ditangani dengan baik dan benar, limbah B3
akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Suatu limbah
digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau
beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung,
dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan
kesehatan manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku
yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa
kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan
penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3
bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik yakni mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan
lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui sehingga
termasuk limbah B3.
Ada berbagai cara untuk mengolah limbah B3 baik secara fisika, kimia
maupun biologi. Pemilihan sistem yang akan digunakan untuk mengolah
suatu limbah B3 harus disesuaikan dengan karakteristik dan sifat-sifat limbah
tersebut. Pada pengolahan limbah secara netralisasi sebagian besar limbah
cair dari industri mengandung bahan-bahan yang bersifat asam (Acidic)
ataupun basa (alkaline) yang perlu dinetralkan sebelum dibuang ke badan air
maupun sebelum limbah masuk pada proses pengolahan, baik pengolahan
secara biologi maupun secara kimiawi, proses netralisasi tersebut bisa
dilakukan sebelum atau sesudah proses equalisasi. Reaksi netralisasi
merupakan reaksi dimana asam dan basa bereaksi dalam larutan berair untuk
menghasilkan garam dan air. Natrium klorida cair yang dihasilkan dalam
reaksi disebut garam. Sebuah garam merupakan senyawa ionik yang terdiri
dari kation dari basa dan anion dari asam. Proses netralisasi ini bertujuan
untuk melakukan perubahan derajat keasaman (pH) air limbah.
Dalam kehidupan sehari-hari, larutan asam sering direaksikan dengan
larutan basa untuk menghasilkan senyawa netral atau dikenal dengan reaksi
netralisasi. Pada reaksi netralisasi ini akan dihasilkan garam dan air. Contoh
penerapan reaksi netralisasi dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk
pengobatan bagi penderita sakit mag. Dimana sakit mag (kondisi kadar asam
lambung yang tinggi) maka obat mag adalah senyawa yang bersifat basa
(kandunganya magnesium hidroksida atau aluminium hidroksida). Contoh
lainnya adalah pengobatan akibat sengatan serangga, perlindungan terhadap
kerusakan gigi, dan pengolahan tanah pertanian. (Ningsih, 2017). Kelebihan
dalam pengolahan air limbah secara netralisasi adalah menjadikan waktu dan
area yang diperlukan jauh lebih kecil dibandingkan pengolahan limbah secara
fisik. Dan kekurangan yang biasa didapati adalah biaya yang dibutuhkan
untuk pengolahan secara netralisasi lebih tinggi daripada pengolahan seacar
fisik dan biologis.
Pada modul ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengolahan limbah
secara netralisasi yang meliputi proses netralisasi dan reaksi yang terjadi
dalam pengolahan limbah. Semoga makalah ini dapat berguna dalam
menambah ilmu pengetahuan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.

B. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui maksud dari proses netralisasi
2. Mengatahui macam-macam proses netralisasi.
3. Mengetahui aplikasi proses netralisasi.
PEMBELAJARAN

A. Netralisasi
Netralisasi merupakan salah satu tahap dalam proses pemurnian
minyak. Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas
dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan
basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (Ketaren, 1986).
Hendrix (1990) menyatakan bahwa kotoran yang akan dibuang dalam
netralisasi adalah asam lemak bebas, fosfatida, ion logam, zat warna,
karbohidrat protein, hasil samping oksidasi, hidrokarbon, dan zat padat.
Selain itu dijelaskan pula oleh Thieme (1968), bahwa netralisasi sebagai salah
satu tahapan proses pemurnian minyak bertujuan untuk mengurangi gum
yang masih tertinggal, untuk memperbaiki rasa dan mengurangi warna gelap
dari minyak tersebut.

B. Macam-macam Netralisasi
Netralisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
menggunakan basa, natrium karbonat, ammonia ataupun dengan
menggunakan uap. Pada umumnya, dikenal 4 macam metode netralisasi
minyak dan lemak yang sering digunakan dalam industri yaitu metode kimia,
fisik, fisiko kimia dan dengan cara esterifikasi.
Menurut Thieme (1968), netralisasi secara kimia dapat dilakukan
dengan 2 macam cara yaitu cara kering dan cara basah. Cara kering dilakukan
dengan menggunakan larutan basa pekat dan suhu yang relatif rendah.
Sedangkan cara basah dilakukan dengan menggunakan larutan basa yang
relatif encer dan suhu yang relatif tinggi. Suhu yang digunakan antara 60-
650C, tetapi dapat juga digunakan suhu yang lebih tinggi (hingga 980C).
Sabun yang terbentuk dicuci dengan air dan diulang beberapa kali sampai
sabun terpisah dari minyak dan pH air hasil pencucian menjadi netral.
Menurut Bernardini (1983), netralisasi secara fisik dilakukan dengan
pemisahan melalui destilasi dengan steam terinjeksi dari asam lemak dalam
minyak. Cara ini diterapkan pada industri besar dan tidak dapat berlaku
umum karena minyak atau lemak dipanaskan pada suhu tinggi (220- 240 0C)
sehingga termodifikasi secara kimia dan fisik, minyak atau lemak harus
mengalami purifikasi dan pemucatan secara sempurna terlebih dahulu
sehingga biaya menjadi sangat mahal, serta kandungan asam lemak bebas
minyak tidak boleh terlalu tinggi.
Cara netralisasi dengan esterifikasi secara teori tidak menyebabkan
kehilangan minyak netral, namun digunakan hanya untuk menetralkan asam
organik dalam minyak atau lemak. Reaksi ini merupakan kebalikan dari
hidrolisis dan pemecahan minyak atau lemak. Kondisi optimum reaksi akan
terjadi keadaan sangat vakum, pada suhu 200-2200C dengan kontak yang
cukup dekat dan lama antar minyak, gliserol dan katalis yang digunakan.
Proses ini hanya akan efektif pada netralisasi minyak dengan jumlah asam
lemak bebas yang sangat tinggi (20-30%), serta untuk esterifikasi asam lemak
terdistilasi (Bernardini, 1983).
Netralisasi dengan pelarut dilakukan dengan menggunakan pelarut
heksana, isopropilat alkohol atau air. Cara netralisasi ini dilakukan untuk
minyak dengan kandungan asam lemak bebas tinggi. Pemisahan resin, oksi-
asida dan gum, yang tidak larut dalam campuran dan membentuk lapisan di
daerah pemisahan selama pengendapan akan mempengaruhi hasil yang
diperoleh sehingga perlakuan pendahuluan harus dapat membuang semua
komponen tersebut (Bernardini, 1983).

C. Aplikasi Netralisasi
Netralisasi minyak dan lemak dengan metode kimia merupakan proses
penyabunan asam lemak bebas oleh larutan NaOH maupun bahan kimia lain
seperti KOH dan Na2CO3 (Mahatta, 1975). Ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam netralisasi secara kimia, yaitu kemurnian minyak, suhu,
kepekatan larutan basa dan lama penyabunan (Bernardini, 1983). Netralisasi
dengan kaustik soda (NaOH) banyak dilakukan dalam skala industri karena
lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya.
Penggunaan kautik soda juga dapat membantu mengurangi zat warna dan
kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara emulsi. Sabun atau emulsi
ini dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi (Ketaren, 1986).
Larutan alkali yang lebih lemah seperti soda abu (Na2CO3) dan ammonium
hidroksida tidak dapat digunakan oleh industri karena efek dekolorisasinya
yang rendah dan memerlukan peralatan tambahan sehingga dapat
meningkatkan biaya produksi. Reaksi antara asam lemak bebas pada minyak
dengan Na2CO3 dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Reaksi netralisasi asam lemak bebas menggunakan natrium


karbonat (Ketaren, 1986)
Menurut Andersen (1953), proses netralisasi minyak dengan
menggunakan kaustik soda yang pekat (10-240B3) mempunyai efek antara
lain menghasilkan refining loss yang tinggi, pemucatan warna minyak,
mengurangi kandungan asam lemak bebas dalam minyak serta pada suhu 60-
700C akan memperbanyak minyak yang tersabunkan. Penentuan konsentrasi
larutan basa yang digunakan didasarkan pada kandungan asam lemak
bebasnya. Makin tinggi kandungan asam lemak bebas maka makin banyak
jumlah basa yang diperlukan. Tetapi penggunaan basa yang terlalu tinggi
menyebabkan makin banyak trigliserida yang tersabunkan, sedangkan
konsentrasi basa yang rendah menyebabkan makin banyak emulsi sabun
dalam minyak, sehingga akan menurunkan rendemen minyak (Swern, 1979).
Reaksi penyabunan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Reaksi penyabunan asam lemak bebas dengan NaOH


(Ketaren, 1986)
Konsentrasi larutan basa untuk netralisasi biasanya dinyatakan dengan
derajat Baume (0Be). Untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas
lebih kecil dari 1% biasanya digunakan larutan basa yang lebih lunak (8-
120Be), sedangkan untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang
lebih tinggi digunakan larutan basa dengan kepekaan 200Be. Larutan yang
lebih pekat dari 200Be hanya digunakan jika keasaman minyak tinggi, yaitu
jika lebih dari 6% (Bernardini,1983).
Menurut Thieme (1968), kaustik soda yang digunakan dalam proses
netralisasi adalah dalam bentuk larutan dengan konsentrasi antara 10-200Be.
Reaksi penyabunan dilakukan pada suhu 60-650C, dan dapat juga digunakan
suhu yang lebih tinggi (hingga 980C). Sedangkan Hendrix (1990),
menyatakan bahwa untuk menetralkan asam lemak bebas digunakan kaustik
soda dengan kisaran antara 12-300Be atau biasanya 12-200Be. Suhu reaksi
yang digunakan berkisar antara 20-400C dan dilanjutkan dengan pemanasan
untuk memecahkan emulsi sabun minyak pada suhu 60-800C.
Netralisasi pada proses pemurnian minyak dapat dilakukan dengan
beberapa cara antara lain netralisasi dengan alkali, netralisasi dengan Na2CO3,
netralisasi minyak dalam bentuk miscella, dan netralisasi menggunakan
etanol-amin danamonia. Akan tetapi netralisasi dengan alkali banyak
digunakan dalam industri karena lebih efisien dan murah. KOH dan NaOH
merupakan pelarut alkali yang dapat melarutkan asam lemak. NaOH
merupakan jenis alkali yang sering digunakan pada proses netralisasi. Selain
harga yang relatif murah NaOH juga lebih efisien jika digunakan dalam
proses netralisasi.
Contoh penerapan proses netralisasi terdapat pada Jurnal “Pemurnian
Minyak Ikan Makerel Hasil Samping Penepungan dengan Netralisasi Alkali”
( I Wayan Kukuh Feryana, Sugeng Heri Suseno, Nurjanah)
Metode netralisasi adalah metode yang dapat diaplikasikan secara
massal untuk meningkatkan kualitas minyak ikan dengan mengurangi
kandungan bahan pengotor (impurities) yang terkandung dalam minyak
dengan NaOH (Huang dan Sathivel 2010). Proses pemucatan (bleaching) juga
terjadi saat proses netralisasi, sehingga pemurnian dengan metode ini
menghasilkan minyak dengan karakteristik yang lebih baik dibandingkan
pemurnian secara fisika.
Minyak ikan makerel merupakan salah satu komoditas perikanan yang
memiliki potensi sebagai sumber omega-3. Minyak ikan makerel di Indonesia
merupakan hasil samping (byproduct) produksi tepung ikan. Minyak ikan
yang merupakan hasil samping ini memiliki kandungan omega-3 yang tinggi
dan potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Permasalahan utama dari
minyak ikan tersebut adalah kualitas yang buruk sehingga diperlukan proses
pemurnian. Pemurnian minyak ikan bertujuan untuk menghilangkan
komponen yang tidak diinginkan dan menstabilkan karakterisitik minyak
(Crexi et al. 2009).
Pemurnian minyak ikan dapat dilakukan dengan metode fisika ataupun
kimia. Metode pemurnian Metode pemurnian minyak ikan dapat dilakukan
secara kimia dengan proses netralisasi dengan alkali. Pemurnian minyak
dengan alkali yang telah dilakukan antara lain dengan NaOH (Huang dan
Sathivel 2010). Proses netralisasi minyak ikan dilakukan dengan
mencampurkan larutan alkali (NaOH) sesuai perlakuan konsentrasi dalam 100
mL minyak ikan. Penentuan konsentrasi alkali yang digunakan berdasarkan
ketetapan derajat Baume. Minyak ikan makerel (S. japonicus) kasar hasil
samping penepungan memiliki persentase asam lemak bebas (FFA) yang
tinggi sehingga perlakuan yang digunakan adalah derajat Baume (26ºBe,
24ºBe, dan 22ºBe).
Hasil pengukuran rendemen minyak ikan makerel (S. japonicus) pada
tiap perlakuan konsentrasi NaOH menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(p<0,05). Rendemen paling tinggi diperoleh pada perlakuan 22ºBe yaitu
perlakuan NaOH dengan konsentrasi 16,09%, dan yang paling rendah yaitu
pada perlakuan 26ºBe. Hasil rendemen yang rendah disebabkan oleh
tingginya fraksi non minyak dalam minyak hasil samping penepungan yang
ikut pada fraksi tersabunkan (Estiasih et al. 2004). Fraksi non minyak yang
terikat dalam minyak antara lain asam lemak bebas dan pigmen. Konsentrasi
NaOH tinggi yang digunakan menyebabkan asam lemak bebas berikatan
dengan ion Na+ dan menjadi sabun. Reaksi saponifikasi yang terjadi juga
mengikat komponen pigmen sehingga warna minyak hasil netralisasi lebih
cerah dibandingkan minyak kasar.

Pada jurnal yang berjudul “Penggunaan Bentonit Dalam Pembuatan


Sabun Dari Limbah Netralisasi Minyak Ikan Lemuru” karya Bustami
Ibrahim, Pipih Suptijah, dan Slamet Hermanto, pada proses pemurnian
minyak ikan lemuru menghasilkan limbah yang memiliki warna dan bau yang
merusak lingkungan. Limbah ini merupakan hasil penyabunan dari asam
lemak bebas dari minyak ikan. Ikan lemuru merupakan jenis ikan yang
mempunyai kadar lemak tinggi, kandungan lemak ikan lemuru bervariasi
antara 1-24%. Minyak ikan yang dihasilkan dari limbah industri dapat
dimurnikan dan dimanfaatkan menjadi berbagai keperluan industri seperti
industri sabun, salad oil, minyak goreng, margarin, krem imitasi, emulsifier,
shortening, industri asam lemak, minyak penyamak kulit dan pelumas.
Proses pemurnian minyak ikan lemuru termasuk menghasilkan limbah
hasil netralisasi yang berupa lemak tersabun. Limbah yang berupa asam
lemak tersabun tersebut mengandung sejumlah protein dan bahan-bahan
organik sehingga menghasilkan bau busuk akibat terurai oleh bakteri atau
mikroorganisme. Usaha untuk mengantisipasi terjadinya pencemaran
lingkungan karena keberadaan limbah minyak ikan tersebut, maka perlu
usaha untuk memanfaatkannya menjadi sabun yang memiliki nilai ekonomis
tinggi.
Penelitian ini meliputi limbah netralisasi/penyabunan minyak ikan
yang didapat dari PT Sumber Yala Samudra di Banyuwangi, bentonit
diperoleh dari CV. Wahana Sejati di Leuwiliang, NaCl 15 %, akuades, NaOH
1 N dan bahan-bahan kimia lainnya untuk analisis mutu sabun minyak ikan
lemuru yang dihasilkan. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi
pH meter, labu erlenmeyer, timbangan analitik, pengaduk, beaker glass, buret,
jerigen, termometer, destilator, gelas ukur, tabung reaksi, tabung Kjeldahl,
oven, gelas piala, kain saring dan pemanas listrik. Penelitian ini dilaksanakan
dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan komposisi perbandingan
bahan-bahan yaitu limbah hasil netralisasi minyak ikan lemuru, NaOH dan
NaCl 15 % berdasarkan uji organoleptik. Perlakuan nisbah limbah, NaOH 1 N
dan NaCl 15 % adalah: SB1 (1:1:0), SB2 (1:2:0), SB3 (1:3:0), SB4 (1:1:0,1),
SB5 (1:2:0,1) dan SB6 (1:3:0,1). Penelitian utama bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi bentonit (0, 10, 20 dan 30 %)
pada sabun minyak ikan lemuru terhadap nilai pH, kadar air, asam lemak
bebas dan alkali bebas, total nitrogen dan amonia serta uji organoleptik bau
dan warna sabun. Uji organoleptik dinilai dengan preference test dengan nilai
0 sampai 8, dan dianalisis dengan uji statistik non-parametrik Kruskal Wallis
dan Multiple Comparison.

A. Hasil Pengujian Pendahuluan


Berdasarkan uji organoleptik, diketahui bahwa tingkat penerimaan
panelis terhadap warna sabun minyak ikan lemuru berkisar antara 3,2–5,0.
Panelis mempunyai perbedaan kesukaan tersendiri terhadap produk sabun
yang diuji sehingga menyebabkan perbedaan nilai organoleptik. Sabun yang
dihasilkan memiliki warna kuning kecoklatan.

Gambar diatas menunjukkan hasil pengujian terhadap warna limbah


bahwa rata-rata nilai tertinggi terdapat pada perlakuan SB 6 pada
perbandingan limbah minyak ikan lemuru:NaOH 1 N:NaCl 15 % (b/v) yaitu
1:3:0,1 dengan nilai 5,0 yang berarti panelis agak suka dengan kondisi warna
sabun minyak ikan lemuru, sedangkan rata-rata nilai terendah terdapat pada
perlakuan SB1 pada perbandingan limbah minyak ikan lemuru: NaOH yaitu
1:1 dengan nilai 3,2 yang berarti panelis agak tidak suka dengan kondisi
warna sabun minyak ikan lemuru.

Gambar diatas menunjukkan bahwa hasil penilaian organoleptik


tingkat penerimaan panelis terhadap bau sabun minyak ikan lemuru berada
pada kisaran 2,6-3,2 yang berarti panelis agak tidak suka dengan kondisi bau
sabun minyak ikan lemuru. Hal ini diduga karena bau amis (fishy flavor)
dalam sabun minyak ikan lemuru. Hal ini disebabkan oleh interaksi trimetil
amin oksida dengan ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh dalam
minyak ikan lemuru. Terdapatnya sejumlah persenyawaan nitrogen yang
berkombinasi secara kimia dengan minyak, di samping menyebabkan bau
amis juga mengakibatkan warna minyak menjadi kuning atau coklat (Ketaren
1985). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kesukaan panelis pada bau sabun
minyak ikan lemuru yang dihasilkan. Perbandingan komposisi sabun minyak
ikan lemuru yang terpilih pada penelitian pendahuluan adalah perbandingan
antara limbah hasil netralisasi minyak ikan lemuru, NaOH 1 N, NaCl 15 %
(b/v) yaitu 1:3:0,1 yang memiliki tingkat kesukaan panelis tertinggi terhadap
warna sabun yang dihasilkan.
B. Hasil Penelitian Utama
Kadar Air
Kadar air di dalam sabun berhubungan langsung dengan kekerasan dan
kelarutan dari sabun tersebut. Semakin tinggi kandungan air di dalam sabun,
maka sabun tersebut semakin lunak dan semakin mudah larut di dalam air.
Namun demikian kelarutan sabun di dalam air dipengaruhi juga oleh jumlah
gugus polar yang terdapat di dalam sabun tersebut. Gugus polar ini dapat
berasal dari sabun tersebut atau bahan pengisi. Hasil analisis kadar air sabun
minyak ikan lemuru pada berbagai konsentrasi bentonit dapat dilihat pada
Gambar dibawah ini.

Gambar diatas menunjukkan bahwa kandungan air dalam sabun


minyak ikan lemuru berkisar antara 58,32-64,54 %. Kadar air sabun tertinggi
pada perlakuan dengan konsentrasi bentonit 30 % yaitu sebesar 64,54 %,
sedangkan kadar air terendah pada konsentrasi bentonit 0 % sebesar 58,32 %.
Penambahan bentonit dalam pengolahan limbah minyak ikan lemuru ini dapat
meningkatkan kadar air sabun karena sifat bentonit yang mudah menyerap air
dan dapat dipakai sebagai penukar ion, sehingga semakin banyak jumlah
bentonit yang ditambahkan maka kadar air dalam sabun semakin tinggi.
Selain itu jumlah NaOH dan NaCl yang ditambahkan ke dalam sabun minyak
ikan lemuru juga mempengaruhi kadar air sabun.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi
bentonit yang ditambahkan ke dalam sabun memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap kadar air sabun minyak ikan lemuru (p<0,05). Hasil
uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bentonit 30 %
memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air sabun pada konsentrasi
bentonit 0 dan 10 %, sedangkan kadar air sabun dengan konsentrasi bentonit
20 % berbeda nyata dengan kadar air pada sabun dengan konsentrasi 0 %.

Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan parameter yang penting dalam suatu produk
kosmetik karena pH dari kosmetik yang dipakai dapat mempengaruhi daya
absorpsi kulit. Keasaman kosmetik sebaiknya sesuai dengan pH kulit, yaitu
4,5-7. Hasil pengukuran nilai pH terhadap sabun minyak ikan lemuru pada
berbagai perlakuan konsentrasi bentonit dapat dilihat pada Gambar dibawah
ini
.

Gambar diatas memperlihatkan bahwa rata-rata pH sabun minyak ikan


lemuru dengan penambahan bentonit dengan konsentrasi yang berbeda
berkisar antara 10,96-12,01. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perbedaan konsentrasi bentonit yang ditambahkan pada sabun minyak ikan
lemuru menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Hasil uji lanjut
Tukey menunjukkan bahwa nilai pH sabun pada semua perlakuan dengan
penambahan bentonit 10, 20 dan 30 % memberikan pengaruh yang berbeda
nyata. Hal ini dipengaruhi oleh pengaktifan bentonit dengan larutan H2SO4
sehingga semakin tinggi konsentrasi bentonit yang digunakan maka akan
memberikan asam yang semakin banyak yang dapat menyebabkan pH sabun
menjadi turun. Peningkatan konsentrasi bentonit menyebabkan penurunan
nilai pH sabun yang dihasilkan. Penurunan nilai pH dapat disebabkan karena
pH bentonit relatif rendah, yaitu berkisar antara 4-7. Jenis kalsium-
magnesium bentonit mengandung relatif lebih banyak ion Mg dan Ca
dibanding ion Na, sifatnya dapat menyerap air (tidak membentuk suspensi)
dan pH-nya sekitar 4-7 (Anonim 1987). Nilai pH sabun yang dihasilkan juga
dipengaruhi oleh bahan pengisi yang memiliki pH di bawah larutan sabun.
Penurunan pH sabun yang basa berguna untuk menghancurkan lemak/lipid
pada kulit sehingga kotoran dapat larut dalam air. Sabun yang memiliki pH
yang terlalu tinggi serta waktu kontak yang terlalu lama antara sabun dengan
kulit dapat menyebabkan kulit teriritasi.

Kadar Asam Lemak Bebas


Asam lemak bebas di dalam sabun akan menghambat proses
pembersihan kotoran-kotoran berlemak/berminyak pada saat sabun digunakan
sehingga sabun yang seharusnya mengemulsi kotoran berminyak pada bahan
belum dapat berfungsi dengan baik. Hal ini menyebabkan pemakaian sabun
menjadi tidak efektif (SNI, 1994). Hasil analisis terhadap kadar asam lemak
bebas menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas yang dikandung di dalam
sabun minyak ikan lemuru tidak terdeteksi pada semua perlakuan. Hal ini
disebabkan pada saat netralisasi minyak ikan lemuru dengan menggunakan
kaustik soda telah menghasilkan sabun sehingga trigliserida dapat dipisahkan
dari sabun/emulsi melalui pemurnian minyak lebih lanjut. Sabun atau emulsi
ini kemudian diolah lagi menjadi sabun padat dengan menggunakan larutan
NaOH berlebih. Kadar asam lemak bebas atau lemak tak tersabun pada sabun
minyak ikan lemuru memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI, yaitu
maksimal 2,5 %.
Kadar Alkali Bebas
Alkali bebas adalah alkali dalam sabun yang tidak terikat sebagai
senyawa sabun. Kelebihan alkali dalam sabun mandi tidak boleh melebihi 0,1
% untuk sabun natrium. Hal ini disebabkan karena alkali mempunyai sifat
yang keras dan dapat mengakibatkan iritasi pada kulit. Sabun dengan kadar
alkali yang lebih besar biasanya digolongkan ke dalam sabun cuci (SNI
1994). Hasil pengukuran kadar alkali bebas pada sabun minyak ikan lemuru
pada berbagai perlakuan konsentrasi bentonit dapat dilihat pada Gambar
dibawah ini.

Nilai rata-rata kadar alkali bebas pada sabun minyak ikan lemuru
dengan penambahan konsentrasi bentonit yang berbeda berkisar antara 0,10-
0,15 %. Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata
(p<0,05).

Kadar Total Nitrogen dan Amonia


Bahan organik terlarut dapat menghabiskan oksigen dalam limbah serta
akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap. Hasil pengukuran kadar
total nitrogen terhadap sabun minyak ikan lemuru dapat dilihat pada Gambar
dibawah ini.
Histogram Gambar diatas memperlihatkan bahwa sabun yang dibuat
dari limbah hasil netralisasi minyak ikan lemuru dengan konsentrasi bentonit
yang berbeda memiliki kadar total nitrogen yang berkisar antara 0,46-0,57 %.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi bentonit
yang ditambahkan pada sabun minyak ikan lemuru menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata (p<0,05). Hal ini disebabkan karena pada pengolahan
limbah minyak ikan lemuru menggunakan panas yang cukup tinggi sehingga
senyawa-senyawa organik, seperti nitrogen dan amoniak yang terdapat dalam
sabun hilang akibat adanya pemanasan dengan suhu yang cukup tinggi pada
waktu pengolahan limbah netralisasi minyak ikan tersebut. Berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan maka diketahui bahwa kadar amonia yang
terkandung dalam sabun minyak ikan lemuru tidak dapat dideteksi untuk
semua perlakuan dengan penambahan konsentrasi bentonit yang berbeda.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi bentonit
tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar amonia yang
terkandung dalam sabun minyak ikan lemuru. Amonia tersebut hilang karena
dilakukan pemanasan dengan suhu yang cukup tinggi pada waktu pengolahan
limbah hasil netralisasi minyak ikan tersebut.

Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui kesukaan panelis
terhadap warna, bau dan tekstur dari sabun dengan penambahan berbagai
konsentrasi bentonit.
Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa hasil penilaian organoleptik
tingkat penerimaan panelis terhadap warna sabun minyak ikan lemuru berada
pada kisaran 4,9-5,4 yang berarti panelis memberikan respon agak suka
dengan kondisi warna sabun minyak ikan lemuru. Hasil uji Kruskal Wallis
menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan tidak memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap kesukaan panelis pada warna sabun minyak ikan
lemuru yang dihasilkan. Histogram hasil uji organoleptik bau sabun minyak
ikan lemuru pada Gambar (b) menunjukkan bahwa hasil penilaian
organoleptik tingkat penerimaan panelis terhadap bau sabun minyak ikan
lemuru berada pada kisaran 2,5-3 yang berarti panelis tidak suka sampai agak
tidak suka dengan kondisi bau sabun minyak ikan lemuru. Hal ini disebabkan
karena bentonit mudah menyerap bau yang ada dalam limbah minyak ikan
lemuru dan penyaringan yang kurang sempurna menyebabkan bentonit dalam
bentuk partikel yang sangat kecil masih ada di dalam sabun tersebut. Hasil uji
Kruskal Wallis menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kesukaan panelis pada bau sabun minyak ikan
lemuru yang dihasilkan.
Tekstur merupakan kriteria penginderaan yang dihubungkan dengan
rabaanatau sentuhan. Histogram Gambar (c) dapat dilihat bahwa hasil
penilaian organoleptik tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur sabun
minyak ikan lemuru berkisar antara 3,8-4,7. Secara deskriptif panelis
memberikan penilain netral sampai agak suka terhadap tekstur sabun minyak
ikan lemuru. Hal ini
disebabkan karena bentonit dalam bentuk partikel yang berukuran
sangat kecil masih ada dalam sabun sehingga tekstur sabun menjadi lunak.
Bentonit memiliki sifat dapat menyerap air yang menyebabkan tekstur sabun
menjadi lunak. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa masing-masing
perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kesukaan
panelis pada tekstur sabun minyak ikan lemuru yang dihasilkan.

Potensi Busa
Berdasarkan hasil pengamatan ternyata sabun yang dibuat mampu
menghilangkan kotoran yang melekat pada kain, menghasilkan busa yang
banyak, akan tetapi masih memiliki bau amis pada kain tersebut. Setelah kain
tersebut dicuci masih meninggalkan bau yang tidak enak seperti bau amis.
Bau tersebut dapat dikurangi dengan penambahan bahan lain seperti parfum
dan pewarna yang ditambahkan ke dalam sabun minyak ikan.
Kesimpulan :
Pada proses pemurnian minyak ikan lemuru dihasilkan limbah yang
merupakan hasil netralisasi asam lemak ikan lemuru. Limbah tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan sabun yaitu dengan
mencampurkan limbah netralisasi minyak ikan lemuru, NaOH dan larutan
NaCl 15 %. Dengan perbandingan antara limbah hasil netralisasi minyak ikan
lemuru, NaOH, NaCl 15 % yaitu 1:3:0,1. Penambahan bentonit 30 % pada
sabun minyak ikan lemuru mempunyai sifat kimia dan fisika yang terbaik.
Sabun tersebut mengandung kadar air 64,54 %, pHnya 10,96, kadar alkali
bebas 0,1 % dan kadar asam lemak bebasnya tidak terdeteksi.
Uji hedonik menunjukkan bahwa sabun minyak ikan lemuru dengan
penambahan bentonit yang berbeda tidak mempengaruhi kesukaan panelis
terhadap warna, bau maupun tekstur.
Ringkasan

Netralisasi merupakan salah satu tahap dalam proses pemurnian minyak. Netralisasi adalah
suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara
mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk
sabun. Netralisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan menggunakan
basa, natrium karbonat, ammonia ataupun dengan menggunakan uap. Pada umumnya,
dikenal 4 macam metode netralisasi minyak dan lemak yang sering digunakan dalam industri
yaitu metode kimia, fisik, fisiko kimia dan dengan cara esterifikasi. Netralisasi pada proses
pemurnian minyak dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain netralisasi dengan
alkali, netralisasi dengan Na2CO3, netralisasi minyak dalam bentuk miscella, dan netralisasi
menggunakan etanol-amin danamonia. Netralisasi dengan kaustik soda (NaOH) banyak
dilakukan dalam skala industri karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan
cara netralisasi lainnya. Metode netralisasi adalah metode yang dapat diaplikasikan secara
massal untuk meningkatkan kualitas minyak ikan dengan mengurangi kandungan bahan
pengotor (impurities) yang terkandung dalam minyak dengan NaOH. Proses netralisasi
minyak dengan menggunakan kaustik soda yang pekat (10-240B3) mempunyai efek antara
lain menghasilkan refining loss yang tinggi, pemucatan warna minyak, mengurangi
kandungan asam lemak bebas dalam minyak serta pada suhu 60-700C akan memperbanyak
minyak yang tersabunkan. Contoh penerapan proses netralisasi diantaranya adalah
“Pemurnian Minyak Ikan Makerel Hasil Samping Penepungan dengan Netralisasi Alkali” dan
“Penggunaan Bentonit Dalam Pembuatan Sabun Dari Limbah Netralisasi Minyak Ikan
Lemuru”.
Evaluasi

1. Apa yang dimaksud dengan netralisasi?


2. Sebutkan beberapa macam zat yang dibuang ketika proses netralisasi!
3. Sebutkan berbagai macam cara atau metode netralisasi!
4. Jelaskan 2 macam cara netralisasi secara kimia!
5. Bagaimana cara netrralisasi dengan esterifikasi?
6. Bagaimana cara netralisasi dengan menggunakan pelarut?
7. Bagaimana cara netralisasi secara fisik?
8. Sebutkan beberapa cara netralisasidalam pemurnian minyak!
9. Berikan contoh pengaplikasian metode netralisasi pada bahan pangan!
10. Sebutkan beberapa tujuan netralisasi!
Glosarium

 Netralisasi: proses yang menjadikan suatu zat menjadi netral atau tidak terikat
 Esterifikasi: reaksi pembentukan ester dengan reaksi langsung antara asam
karboksilat dengan alkohol
 Suspensi: sistem koloid zat padat yang terperangkap dalam zat cair
 Refining loss:
 Organoleptik: Pengujian dengan menggunakan indera manusia
 Emulsifier: zat pengemulsi atau zat untuk membantu menjaga kestabilan
emulsi minyak dan air
 Pigmen: zat warna
 Reaksi saponifikasi: reaksi hidrolisis lemak/minyak menggunakan basa kuat
sehingga menghasilkan gliserol dan garam asam lemak atau sabun
 Rendemen: besarnya jumlah penyusutan bahan, biasanya dinyatakan dalam %
 Dekolorisasi: proses pengelantangan atau perusakan warna secara buatan
 Purifikasi: penyucian; pembersihan
Daftar Pustaka
Andersen, A T C. (1953). Refining of Oil and Fat for Edible Purposes. Perzomon
Press, Ltd., London.
Anonim. (1987). Bahan Galian Industri Bentonit. Jakarta: Departemen Pertambangan
dan Energi, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral.
Hendrix, B. (1990). Netralization I Theory and Practice of Conventional Caustic
(NaOH) Refining. Di dalam Erickson, D. R. (ed). 1990. Edible Fats and
Oils Processing Basic Principles and Modern Practices. World
Conference Proceedings. American Oil Chemists, Illinois, USA.
Crexi VT, et al. (2009). Deodorisation process variable for croaker (M. furnieri)
oil. Journal of Food Chemistry 114:369 – 401.
Bernardini, E. (1983). Vegetables Oil and Fats Processing Vol 2. Interstamps
House, Italy.
Estiasih T, Ahmadi K. (2004). Pembuatan trigliserida kaya asam lemak omega-3
dari minyak hasil samping pengalengan ikan lemuru (Sardinella
longiceps). Jurnal Teknologi Pertanian 5(3):116–128.
Feryana, et al. (2014). Pemurnian Minyak Ikan Makerel Hasil Samping
Penepungan dengan Netralisasi Alkali. JPHPI 17 (3): 207-214.
Huang J, Sathivel S. (2010). Purifying salmon oil using adsorption, neutralization
and combined neutralization and adsorption process. Journal of Food
Engineering 96:51– 58.
Ibrahim, et al. (2005). Penggunaan Bentonit dalam Pembuatan Sabun dari Limbah
Netralisasi Minyak Ikan Lemuru (Sardinella Sp.). Jurnal Teknologi Hasil
Perikanan 8 (2): 1-14.
Ketaren, S. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,
Jakarta.
Mahatta, T L. (1975). Technology and Refining of Oils and Fats. Small Business
Publications, New Delhi.
Swern, D. (1979). Bailey’s Industrial Oil and Fat Product Vol I 4th edition. John
Willey and Son, New York.
Standar Nasional Indonesia. 1994. 06-3532-1994. Standar Mutu Sabun Mandi.
Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional.
Thieme, J G. (1968). Coconut Oil Processing. Food Agricultural Organization.
Agricultural Development Paper (89), Rome.

Anda mungkin juga menyukai