Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“EKSTRAKSI MINYAK NABATI”

Dosen Pengampu:
Drs. Irdoni Hs., Ms
NIP. 19570415198609 1 001

Asisten:
Ivan Fadillah

OLEH:
KELOMPOK I
KELAS C

Aisha Saad 1807113659


Dianti Lita Lestari 1807113639
Muhammad Syahreza 1807113668

PROGRAM SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan alam terbesar di
dunia. Kekayaan alam tersebut belum dimanfaatkan secra maksimal. Minyak
nabati merupakan minyak yang dihasilkan dari lemak tumbuh-tumbuhan. Minyak
nabati dapat digunakan sebagai medium penggorengan bahan pangan. Minyak
nabati populer dikonsumsi manusia adalah hasil olahan ekstrak minyak yang
berasal dari sawit, kelapa, kacang tanah, kedelai, jagung, bunga matahari dan
lobak. Terdapat beberapa tanaman yang berpotensi menghasilkan lemak, misalnya
kacang tanah, kedelai, jagung dan sebagainya (Ketaren, 1986).
Ekstraksi merupakan salah satu cara atau tahapan yang bertujuan
memisahkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung
minyak/lemak. Cara ekstraksi yang dapat dilakukan bermacam-macam, yakni
mechanical expression, solvent extracion, dan rendering. Pada pengambilan
minyak dari bahan nabati dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pengepresan dan metode ekstraksi. Pada metode pengepresan, proses pengambilan
minyak hanya melibatkan proses mekanik menggunakan mesin pengepresan tipe
hidrolik atau ulir. Sedangkan pada metode ekstraksi, proses pengambilan minyak
melibatkan pelarut untuk melarutkan minyak yang terkandung di dalam tanaman
tersebut (Ketaren, 1986).
Pada proses ekstraksi, rendemen minyak yang diperoleh dapat lebih tinggi
dibandingkan menggunakan metode pengepresan. Namun karena pengoperasian
metode ekstraksi lebih rumit dan lebih banyak membutuhkan biaya, pada industri
skala kecil proses pengambilan minyak dengan metode pengepresan lebih banyak
digunakan. Screw press merupakan suatu alat yang sering digunakan dalam dunia
industri, baik industri besar, menengah dan juga industri kecil. Screw press ini
tidak hanya digunakan dalam pengolahan CPO, pembuatan makanan juga mesin
press ini sering digunakan, sebagai contoh dalam pemerasan air tebu. Dengan
dilakukan percobaan ini, kita dapat memahami prinsip kerja dan pengoperasian
alat screw press serta dapat mengetahui hasil minyak yang lebih baik dalam
pengoperasian menggunakan pemanas dan tanpa pemanas (Ketaren, 1986). Oleh
karena itu perlu mempelajari proses pemisahan suatu bahan dengan metode
ekstraksi minyak nabati dan melaksanakan percobaan ini.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari percobaan ini antara lain sebagai berikut
1. Mengetahui prinsip kerja dan dapat mengoperasikan alat screw press.
2. Membandingkan hasil minyak yang didapatkan dari bahan baku yang
berbeda dan pada suhu yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Nabati


Minyak nabati adalah sejenis minyak yang terbuat dari tumbuhan.
Digunakan dalam makanan dan memasak. Beberapa jenis minyak nabati yang
biasa digunakan ialah minyak kelapa sawit, jagung, zaitun, kedelai bunga
matahari dll. Berdasarkan kegunaannya, minyak nabati terbagi menjadi dua
golongan. Pertama, minyak nabati yang dapat digunakan dalam industri makanan
(edible oils) dan dikenal dengan nama minyak goreng meliputi minyak kelapa,
minyak kelapa sawit, minyak zaitun, minyak kedelai dan sebagainya. Kedua,
minyak yang digunakan dalam industri non makanan (non edible oils) misalnya
minyak kayu putih, minyak jarak, minyak biji karet. Asam lemak yang umum
ditemukan dalam minyak nabati adalah asam stearat, palmitat, oleat, linoleat, dan
linolenat. Fosfolipida, fosfatida, karoten, tokoferol, dan senyawa belerang juga
terkandung dalam minyak nabati walaupun jumlahnya sedikit sekitar 1–5% .
(Ketaren, 1986).
Komposisi yang terdapat dalam minyak nabati terdiri :
a. Trigliserida-trigliserida
Trigliserida adalah triester dari gliserol dengan asam-asam lemak, yaitu
asam-asam karboksilat beratom karbon 6 s/d 30. Trigliserida banyak dikandung
dalam minyak dan lemak, merupakan komponen terbesar penyusun minyak
nabati. Selain trigliserida, terdapat juga monogliserida dan digliserida.
b. Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas
tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses
hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi
hidrolisa minyak adalah gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipercepat dengan
adanya faktor-faktor panas, air, keasaman dan katalis (enzim). Semakin lama
reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk (Firman,
2001).
2.1.1 Kacang Tanah
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) adalah tanaman polong-polongan
atau legum anggota suku Fabaceae yang dibudidayakan, serta menjadi
kacangkacangan kedua terpenting setelah kedelai di Indonesia. Tanaman yang
berasal dari benua Amerika ini tumbuh secara perdu setinggi 30 hingga 50 cm (1
hingga 1½ kaki) dengan daun-daun kecil tersusun majemuk. Tanaman kacang
tanah (Arachis hipogea L) termasuk tanaman polong-polongan atau legium kedua
terpenting setelah kedelai di Indonesia. Tanaman ini merupakan salah satu
tanaman palawija jenis leguminoceae yang memiliki kandungan gizi cukup tinggi
antara lain protein, karbohidrat dan minyak.

Gambar 2.1 Kacang Tanah (Ketaren, 1986).

Klasifikasi tanaman kacang tanah:


Kerajaan : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Upadivisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliophyta
Ordo : Leguminates
Famili : Fabaceae
Genus : Arachis
Spesies : Arachis hypogeae
Tanaman kacang tanah dapat tumbuh subur pada daerah dengan ketinggian
500 m diatas permukaan laut dengan curah hujan berkisar antara 800 mm hingga
1.300 mm per tahunnya. Suhu yang dibutuhkan untuk budidaya kacang tanah
adalah sekitar 28oC hingga 32oC. Pertumbuhan kacang tanah akan terhambat jika
suhunya dibawah 10oC sehingga bunga tidak akan tumbuh dengan sempurna.
Kacang tanah juga membutuhkan kelembaban udara berkisar antara 65% hingga
75% dengan pH tanah antara 6,0 hingga 6,5. Frekuensi sinar matahari juga
merupakan salah satu hal yang penting untuk perkembangan kacang tanah. Pulau-
pulau besar di Indonesia terdapat beberapa kawasan yang mampu memproduksi
kacang tanah dalam jumlah yang besar seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi (Saputra, 2014).
Sekarang pemanfaatan kacang tanah makin luas salah satunya yaitu minyak
nabati. Kandungan minyak yang terdapat di dalam  kacang tanah cukup tinggi
yaitu berkisar antara 40-50% dan merupakan minyak nabati yang bebas kolesterol.
Karena kandungan minyaknya cukup tinggi maka kacang tanah merupakan
sumber minyak yang penting. Minyak kasar hasil ekstraksi selalu mengandung
asam lemak bebas sebagai hasil aktifitas enzim lipase terhadap gliserida selama
minyak tersebut disimpan. Besarnya asam lemak tersebut digunakan sebagai
ukuran kualitas minyak.Makin besar asam lemak bebas yang terkandung dalam
minyak tersebut maka kualitasnya makin rendah. Minyak atau lemak yang
disimpan pada kondisi penyimpanan yang tidak baik apabila diolah atau
dimanfaatkan akan dihasilkan minyak atau lemak dengan kandungan asam lemak
bebas tinggi.
Minyak kacang tanah mengandung 76-82 % asam lemak tidak jenuh, yang
terdiri dari 40 45 % asam oleat dan 30-35 % asam linoleat. Asam lemak jenuh
sebagian besar terdiri dari asam palmitat, sedangkan kadar asam miristat sekitar 5
%. Menurut Barley (1951), Komposisi asam lemak kacang tanah sebagi berikut:
Gambar 2.2 Komposisi Asam Lemak pada Kacang Tanah.

2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian
sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk
mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain. Seringkali
campuran bahan padat dan cair (misalnya bahan alami) tidak dapat atau sukar
sekali dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis atau termis yang telah
dibicarakan. Misalnya saja karena komponennya saling bercampur secara sangat
erat, peka terhadap panas, beda sifat-sifat fisiknya terlalu kecil, atau tersedia
dalam konsentrasi yang terlalu rendah (Whitaker, 2004).
Ekstraksi minyak atau lemak adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak
atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun
ekstraksi minyak atau lemak itu bermacam-macam, yaitu rendering (dry
rendering dan wet rendering), mechanical expression dan solvent extraction
(Isnani, 2013).
Ekstraksi atau pemisahan yang digambarkan sebagai proses perpindahan
satu atau lebih komponen dari satu fasa ke fasa lain. Salah satu teknik ekstraksi
adalah ekstraksi pelarut. Proses pemisahan jenis ini selalu melibatkan dua fase.
Idealnya kedua fase ini tidak saling terlarut pada saat proses ekstraksi
berlangsung. Sample bisa merupakan suatu gas, suatu cairan atau suatu padat.
ekstraksi dengan menggunakan pelarut merupakan proses pemisahan komponen
zat terlarut berdasarkan sifat distribusinya dalam dua pelarut yang tidak saling
melarut. Dengan memanfaatkan perbedaan kelarutan, senyawa yang diinginkan
dapat dipisahkan secara selektif. Selektifitas antara pelarut di dalam pelarut
lainnya yang berbeda kepolarannya dalam melarutkan senyawa organik akan
membentuk dua lapisan yang saling memisah, dimana proses ini berdasarkan
distribusi sampel diantara dua pelarut tersebut (Wildan, 2012).
Ektraksi adalah jenis pemisahan satu atau beberapan bahan dari suatu
padatan atau cairan. Proses ekstrasi bermula dari penggumpalan ekstrak dengan
pelarut kemudian terjadi kontak anatar bahan dan pelarut sehingga pada bidang
antar muka bahan ekstraksi dan pelarut terjadi pengendapan masaa dengan cara
difusi (Sudjadi, 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi anatar lain
yaitu ukuran bahan baku, pemilihan pelarut, waktu proses ekatrasi suhu ektrasi.
Ukuran bahan baku yang kecil baku yang kecil akan menghasilkam hasil yang
rendah. Pemilihan pelarut akan mempengaruhi suhu ekstraksi dan waktu proses
ekstraksi. Jika suhu tinggi, maka akan menghasilkan sisa pelarut yang tinggi pula
(Anam, 2010).
Menurut (Hadyana, 2012), Pemilihan pelarut untuk ekstraksi ditentukan
oleh pertimbangan:
a. Angka banding distribusi yang tinggi untuk zat terlarut, angka banding
distribusi yang rendah untuk zat-zat pengotor yang tak diingini
b. Kelarutan yang rendah dalam  fasa air
c. Viskositasyang cukup rendah, dan perbedaan rapatan yang cukup besar dari
fasa airnya untuk mencegah terbentuknya emulsi.
d.  Keberacunan (toksisitas) yang rendah tidak mudah terbakar
e.  Mudah mengambil kembali zat terlarut dari pelarut untuk proses-proses
analisis berikutnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi. Perbedaan
metode, pelarut, suhu serta waktu ekstraksi akan berpengaruh terhadap jumlah
rendemen serta kualitas ekstrak yang didapatkan. Menggunakan metode, pelarut
serta waktu yang sesuai akan menghasilkan rendemen serta kulitas ekstrak yang
maksimal (Wildan dkk, 2014).
Teknik ekstraksi dapat dilakukan dengan 3 metode dasar yaitu dengan cara
ekstraksi bertahap (batch), ekstraksi kontiniu dan ekstraksi counter current.
Ektraksi bertahap merupakan cara yag paling sederhana dengan menambahkan
pelarut pengekstraksi sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi zat yang akan
diekstraksi pada kedua lapisan. Setelah ini tercapai, lapaisan didiamkan dan
dipisahkan. Metode ini sering digunakan untuk pemisahan analitik.
Kesempurnaan ekstraksi tergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan.
Hasil yang baik diperoleh jika jumlah ekstraksi yang dilakukan berulang kali
dengan jumlah pelarut sedikit – sedikit. Ekstraksi kontiniu digunakan bila
distribusi relatif kecil sehingga untuk pemisahan yang kuantitatif diperlukan
beberapa tahap ekstraksi. Efisiensi yang tinggi pada ekstraksi kontiniu tergantung
pada volatil atau viskositas fase dan faktor–faktor lain yang mempengaruhi
kecepatan terjadinya kesetimbangan, seperti nilai D, volume relatif dari 2 fase dan
faktor lainnya (Khopkar, 2008).

2.2.1 Rendering
Menurut Ketaren (1986), rendering merupakan suatu cara ekstraksi
minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak
dengan kadar air yang tinggi. Pada semua cara rendering, penggunaan panas
adalah suatu hal yang spesifik, yang bertujuan untuk mengumpulkan protein pada
dinding sel bahan dan untuk memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah
ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya.
Menurut Winarno (1991), rendering merupakan suatu cara yang sering
digunakan untk mengekstraksi minyak hewan dengan cara pemanasan. Pemanasan
dapat dilakukan dengan air panas. Lemak akan mengapung di permukaan
sehingga dapat dipisahkan. Pemanasan tanpa air biasanya dipakai untuk
mengekstraksi minyak babi dan lemak susu. Secara
komersial rendering  dilakukan dengan menggunakan ketel vakum. Protein akan
rusak oleh panas dan air akan menguap sehingga lemak dapat
dipisahkan. Rendering terbagi dua yaitu wet rendering dan dry rendering.
Menurut Isnani pada tahun 2013, rendering dibagi dengan dua cara yaitu:
1. Wet Rendering
Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah air
selama berlangsungnya proses tersebut. Cara ini dikerjakan pada ketel yang
terbuka atau tertutup dengan menggunakan temperatur yang tinggi serta tekanan
40 sampai 60 pound tekanan uap (40-60 psi). Penggunaan temperatur rendah pada
wet rendering dilakukan jika diinginkan flavor netral dari minyak atau lemak.
Bahan yang akan diekstraksi ditempatkan pada ketel yang dilengkapi dengan alat
pangaduk, kemudian air ditambahkan dan campuran dipanaskan perlahan-lahan
sampai suhu 50°C sambil diaduk. Minyak yang terekstraksi akan naik keatas dan
kemudian dipisahkan.
Proses wet rendering dengan menggunakan temperatur rendah kurang
begitu popular, sedangkan proses wet rendering dengan mempergunakan
temperatur yang tinggi disertai dengan tekanan uap air, dipergunakan untuk
menghasilkan minyak atau lemak dalam jumlah yang besar. Peralatan yang
digunakan adalah autoclave atau digester. Air dan bahan yang akan diekstraksi
dimasukan kedalam digester dengan tekanan uap air sekitar 40 sampai 60 pound
selama 4-6 jam.
2. Dry Rendering
Dry rendering adalah proses rendering tanpa penambahan air selama
proses berlangsung. Dry rendering dilakukan dalam ketel yang terbuka dan
dilengkapi dengan steam jacket serta alat pengaduk (agitator). Bahan yang
diperkirakan mengandung minyak atau lemak dimasukkan kedalam ketel tanpa
penambahan air. Bahan tadi dipanaskan sambil diaduk. Pemanasan dilakukan
pada suhu 220°F sampai 230°F (105°C-110°C). Ampas bahan yang telah diambil
minyaknya akan diendapkan pada dasar ketel. Minyak atau lemak yang dihasilkan
dipisahkan dari ampas yang telah mengendap dan pengambilan minyak dilakukan
dari bagian atas ketel.

2.2.2 Mechanical Expression (Pengepresan Mekanis)


Pengepresan mekanis merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak
terutama untuk bahan bahan yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk
memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30-70%). Pada
pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau
lemak dipisahkan dari bijinya. Perlakuan pendahuluan tersebut mencakup
pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan.
Menurut Isnani pada tahun 2013, ada dua cara umum dalam pengepresan mekanis
yaitu:
1. Pengepresan Hidraulik (Hydraulic Pressing)
Pada cara hydraulic pressing, bahan di pres dengan tekanan sekitar 2000
pound/inch2 (140,6 kg/cm = 136 atm). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat
diekstraksi tergantung pada lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan,
serta kandungan minyak dalam bahan asal. Sedangkan banyaknya minyak yang
tersisa pada bungkil bervariasi antara 4 sampai 6 persen tergantung dari lamanya
bungkil ditekan dibawah tekanan hidra.

Gambar 2.7 Pengepresan Hidrolik
2. Pengepresan Berulir (Expeller Pressing)
Cara expeller pressing memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri
dari proses pemasakan atau tempering. Proses pemasakan berlangsung pada
temperatur 240°F (115,5°C) dengan tekanan sekitar 15-20 ton/inch2. Kadar air
minyak atau lemak yang dihasilkan berkisar sekitar 2,5-3,5 persen, sedangkan
bungkil yang dihasilkan masih mengandung minyak antara 4-5 persen. Cara lain
dalam mengekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung
minyak atau lemak adalah gabungan dari proses wet rendering dengan
pengepresan secara mekanik atau dengan sentrifusi.

Gambar 2.8 Pengepresan Berulir


2.2.3 Ekstraksi dengan Pelarut
Prinsip dari proses ini adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam
pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar minyak
yang rendah yaitu sekitar 1 persen atau lebih rendah dan mutu minyak kasar yang
dihasilkan cenderung menyerupai hasil dari expeller pressing, karena sebagian
fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Pelarut minyak atau lemak yang biasa
digunakan dalam dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah
petroleum eter, gasoline carbon disulfide, karbon tetra klorida, benzene dan n-
heksana. Perlu diperhatikan bahwa jumlah pelarut menguap atau hilang tidak
boleh lebih dari 5 persen. Bila lebih, seluruh system solvent extraction perlu
diteliti lagi. Cara ekstraksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut dan
digunakan untuk bahan yang kandungan minyaknya rendah. Lemak dalam bahan
dilarutkan dengan pelarut. Tetapi cara ini kurang efektif, karena pelarut mahan
dan lemak yang diperoleh harus dipisahkan dari pelarutnya dengan cara diuapkan.
Selain itu, ampasnya harus dipisahkan dari pelarut yang tertahan, sebelum dapat
digunakan sebagai bahan makanan ternak. Menurut (Ketaren, 1986), Ekstraksi
dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan cara panas. Jenis-jenis
ekstraksi tersebut sebagai berikut:
1. Ekstraksi Secara Dingin
A. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara
merendam simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur
kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari
simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan
penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Keuntungan dari metode ini
adalah peralatannya sederhana. Sedangkan kerugiannya antara lain waktu yang
diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang
digunakan lebih banyak dan tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang
mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin.
B. Sokletasi
Sokletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam
selongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon.
C. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui
serbuk simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak
memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari
ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas
dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses
perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien.
2. Ekstraksi secara panas
A. Metode Refluks
Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi
sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung.
Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah
manipulasi dari operator.
B. Metode destilasi uap
Destilasi uap adalah metode yang popular untuk ekstraksi minyak, minyak
menguap (esensial) dari sampel tanaman. Metode destilasi uap air diperuntukkan
untuk menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung
komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal.
Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut yang mempunyai daya
melarutkan yang tinggi terhadap zat yang diekstraksi. Daya melarutkan yang
tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran senyawa yang
diekstraksi. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa polar larut dalam pelarut
polar dan sebaliknya.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Proses Ekstraksi


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses ekstraksi adalah sebagai
berikut:
1. Temperatur
Operasi Semakin tinggi temperatur, laju pelarutan zat terlarut oleh pelarut
semakin tinggi dan laju difusi pelarut ke dalam serta ke luar padatan, semakin
tinggi pula. Temperatur operasi untuk proses ekstraksi kebanyakan dilakukan
dibawah temperatur 100oC karena pertimbangan ekonomis.
2. Waktu Ekstraksi
Lamanya waktu ekstraksi mempengaruhi volume ekstrak minyak dedak
yang diperoleh. Semakin lama waktu ekstraksi semakin lama juga waktu kontak
antara pelarut n-hexane dengan bahan baku dedak sebagai padatan sehingga
semakin banyak zat terlarut yang terkandung di dalam padatan yang terlarut di
dalam pelarut.
3. Ukuran, bentuk dan kondisi partikel padatan
Minyak pada partikel organik biasanya terdapat di dalam sel-sel. Laju
ekstraksi akan rendah jika dinding sel memiliki tahanan difusi yang tinggi.
Pengecilan ukuran partikel ini dapat mempengaruhi waktu ekstraksi (Mc.Cabe,
1985). Semakin kecil ukuran partikel berarti permukaan luas kontak antara
partikel dan pelarut semakin besar, sehingga waktu ekstraksi akan semakin cepat.
4. Jenis pelarut
Pada proses ekstraksi, banyak pilihan pelarut yang digunakan. Beberapa hal
yang harus dipertimbangkan dalam memilih pelarut adalah sebagai berikut:
a. Selektivitas Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan,
bukan komponen lainnya dari bahan yang diekstrak. Dalam hal ini,
larutan ekstrak yang diperoleh harus dibersihkan yaitu dengan
mengekstraksi larutan tersebut dengan pelarut kedua (Ketaren, 1986).
b. Kelarutan Pelarut harus mempunyai kemampuan untuk melarutkan
solut sesempurna mungkin. Kelarutan solut terhadap pelarut yang
tinggi akan mengurangi jumlah penggunaan pelarut, sehingga
menghindarkan terlalu besarnya perbandingan antara pelarut dan
padatan.
c. Kerapatan Perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut dan solut
akan memudahkan pemisahan keduanya.
d. Aktivitas kimia pelarut Pelarut harus bahan kimia yang stabil dan inert
terhadap komponen lainnya didalam sistem (Treybal, 1980).
e. Titik didih pada proses ekstraksi biasanya pelarut dan solut dipisahkan
dengan cara penguapan, distilasi atau rektifikasi. Oleh karena itu titik
didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat. Dari segi ekonomi akan
menguntungkan bila titik didih pelarut tidak terlalu tinggi.
f. Viskositas pelarut Pelarut harus mampu berdifusi ke dalam maupun ke
luar dari padatan agar bisa mengalami kontak dengan seluruh solut.
Oleh karena itu, viskositas pelarut harus rendah agar dapat masuk dan
keluar secara mudah dari padatan (Ketaren, 1986).
g. Rasio pelarut Rasio pelarut yang dipakai terhadap padatan harus sesuai
dengan kelarutan zat terlarut atau solut pada pelarut. Semakin kecil
kelarutan solut terhadap pelarut, semakin besar pula perbandingan
pelarut terhadap padatan, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian
perbandingan solut dan pelarut yang tepat akan mampu memberikan
hasil ekstraksi yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Barley, A. E. 1951. Industrial Oils and Fats Product. 2nd Ed. Interscience
Publishing Inc. New York.
Handayani, A.,&Juniarti, E. R. 2012. Ekstraksi minyak ketumbar dengan pelarut
etanol dan n-heksana. Jurnal bahan alam terbarukan. Vol 1 no 1.
Hariyadi, P., 2014. Mengenal Minyak Sawit Dengan Beberapa Karakter
Unggulnya. Jakarta: Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
Isnani, A. N. 2013. Ekstraksi Dan Karakterisasi Minyak Ikan Patin Yang Diberi
Pakan Pelet Dicampur Probiotik. Universitas Jember.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Khopkar.2010. Konsep Dasar Kimia Analitik. Bandung. UIP.
Mc Cabe. 1985. Operasi Teknik Kimia. Jakarta : Erlangga.
Treybal, Robert. 1980. Mass Transfer Operation. Singapore. McGraw Hill
Purwati dan Diastuti, H. 2007. Reaksi Transesterifikasi Minyak Kacang Tanah
(Arachis hypogea L) dan Metanol dengan Katalis KOH. Molekul. Vol
2(1).
Whitaker, J.R. 2004. Enzymes didalam O.R. Fennema (ed). Food Chemistry.Third
edition. Marcell Dekker, Inc., New York and Basel.
Wildan, A., Hartati, I.,& Widayat. 2014. Proses Ekstraksi Minyak Limbah Pada
Biji Karet Berbantu Gelombang Mikro. Jurnal Momentum. Vol 10 No 1.
Wildan., Inggrid, A., Hartati, I.,& Widayat. 2012. Optimasi Pengambilan Minyak
Dari Limbah Padat Biji Karet Dengan Metode Sokhletasi. Jurnal
Momentum.Vol 8, No 2.
Winarno,F.G.1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.
Yuliani, F., Primasari, M., Rachmaniah, O., & Rachimoellah, M. 2013. Pengaruh
Katalis Asam (H2SO4) dan Suhu Reaksi pada Reaksi Esterifikasi Minyak
Biji Karet (Hevea brasiliensis) menjadi Biodiesel, Jurnal Teknik Kimia.
3(1):171-177.

Anda mungkin juga menyukai