Anda di halaman 1dari 10

Ika Mustikawati 1506358

Hasil hewani perairan merupakan salah satu sumber daya yang sangat
potensial di Indonesia. Banyak sekali komoditi pangan yang di hasilkan dari perairan
antara lain adalah ikan, udang, kerang, tiram, kepiting, tripang, cumi-cumi dan
rumput laut. Namun proses pembusukan pada hasil hewani perairan cepat sekali
terjadi, ini disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme, dan oksidasi. Untuk
menguji kesegaran ikan dilakukan pengamatan organoleptik, yang dilakukan dengan
cara mengamati warna, keadaan mata, kulit, tekstur, sisik, insang dan aroma ikan.
Dalam praktikum kali ini dilakuan pengujian kesegaran ikan patin dan udang secara
objektif dan subjektif.
A. Pengamatan Secara Subjektif
Dari hasil pengamatan subjektif diperoleh hasil bahwa rata-rata ikan
memiliki warna putih kekuningan (cerah), keadaan matanya jernih, memiliki
kelengkapan tubuh sempurna, tekstur yang relatif kenyal. Insangnya berwarna
merah, tidak berlendir dan aromanya berbau amis. Ikan patin (Pangasius
hypopthalmus) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak dibudidayakan
sehingga ikan ini mudah didapatkan. Ikan patin memiliki rasa yang lezat dan
kandungan gizi yang tinggi (protein 65%, lemak 2%, kalori 48%). Sedangkan
daging udang berwarna putih, jernih berbau amis, keadaan mata jernih, tidak
berlendir dan bertekstur kenyal (Adawiyah, 2007).
Warna
Warna merupakan parameter yang sangat mudah di amati terlebih karena
ikan atau udang yang busuk mempunyai warna yang berbeda dengan
karakterisitik dengan ikan yang segar. Seperti yang terlihat dalam tabel hasil
pengamatan pengujian subjektif warna daging ikan dan udang masih terlihat
segar.
Mata
Mata merupakan parameter selanjutnya yang di amati untuk mengetahui
kualitas ikan. Mata merupakan organ yang terhubung oleh syaraf dan sangat
terlihat jika ketika ikan tersebut sakit, segar ataupun mati. Di mata pun banyak
bakteri yang terkandung oleh sebab itu mata menjadi parameter untuk di amati.
Pada ikan dan udang yang di amati warna matanya cerah, cembung. Dikarenakan
ikan tersebut masih segar dan belum lama mati, organ matanya terus di suplai
oleh darah sehingga terus berfungsi dan mata ikan terlihat baik cerah dan
cembung.
Kulit
Kulit merupakan tempat dimana bakteri berkembang dengan cepat. Pada
kulit akan mengeluarkan lendir yang banyak jika terjadi penguraian oleh bakteri.
Pada pengujian ini ikan patin dan udang tidak mengeluarkan lendir terlalu banyak
dikarenakan ikan tersebut yang masih fresh atau segar pada keadaan hidup
sehingga sel – sel pada tubuh ikan dan anti bodi masih berfungsi sehingga
mencegah bakteri terus merusak tubuh ikan tersebut.
Tekstur
Tekstur yang sangat berpengaruh adalah enzim Proses autolisis karena
aktivitas enzim ini dapat dilihat pada daging ikan. Secara fisik daging ikan yang
telah mati (pasca mortem) mula-mula akan kehilangan elastisitasnya
(tahapprerigor), kemudian terjadi kekakuan daging (tahap rigormortis) dan proses
autolisis lebih lanjut akan menyebabkan daging menjadi lunak atau lemas lagi
(tahap post-rigor) (Amri, 2008). Ikan lele dan gurami karana ikan tersebut masih
dalam keadaan hidup mempunyai tekstur kenyal dan ikan nila juga mempunyai
tekstur kenyal sehingga ikan tersebut masih belum busuk dilihat dari parameter
tekstur untuk ikan tongkol lunak dan ikan bandeng sangat lunak sehingga dapat di
ketahui ikan tersebut busuk sehingga tidak layak untuk di makan.
Sisik
Sisik sebagai parameter yang di amati untuk kualitas dari ikan. Pada sat
ikan membusuk danging ikan akan merenggang dan berpengaruh terhadap sisik
yang akan mudah lepas dari tubuhnya. Sehingga sisik menjadi salah satu
parameter yang di amati untuk kualitas ikan. Namun kami tidak melakukan
pengamatan pada sisik ikan patin dikarenakan ikan patin yang diuji sudah
dihilangkan sisiknya.
Insang
Insang mempunyai banyak bakteri yang terkandung dikarenankan bagian
dal;am ikan yang selalu lembab sehingga di sukai oleh bakteri untuk menggurai
dan banyak sumber protein serta enzim bersintesis. Sehingga menyebabkan
terjadi perubahan warna pada insang ikan. Pada ikan patin keadaan insang yang
masih merah menandakan ikan tersebut masih keadaan baik, jika ikan masih segar
dan baru beberapa saat mati insangnya masih berfungsi sehingga sulit untuk
bakteri merusak organ insang tersebut. Pada yang mempunyai insang berwarna
pucat dikarenakan ikan tersebut sudah mengalami perubahan yang disebabkan
oleh enzim dan bakteri.
Aroma
Aroma atau bau merupakan parameter yang mudah untuk di amati bau di
akibatkan oleh penguraian bakteri, hasil penguraian tersebut menghasilkan bau
busuk dan asam. Pada saat pengujian keadaan ikan patin dan udang berbau amis
ikan namun masih segar. Faktor yang menyebabkan ikan cepat busuk adalah
kadar glikogennya yang rendah sehingga rigor mortis berlangsung lebih cepat dan
pH akhir daging ikan cukup tinggi yaitu 6.4–6.6, serta tingginya jumlah bakteri
yang terkandung didalam perutikan. Bakteri proteolitik mudah tumbuh pada ikan
segar dan menyebabkan bau busuk hasil metabolisme protein (Nurjanah, 2004).
B. Pengamatan Secara Objektif
1. Uji Eber
Rantai asam amino terputus oleh HCl pekat sehingga membentuk NH4Cl
berupa gas. Berdasarkan cukupnya gas NH3 yang bereaksi dengan HCl pada
larutan Eber yang membentuk NH4Cl berupa gelembung. Gas NH3 sendiri
dihasilkan oleh ikan / daging yang sudah tidak segar akibat proses denaturasi
protein. Pada uji ini semua sampel yang terdiri dari ikan patin dan udang positif
mengandung gas NH3 yang menunjukan bahwa kualitas ikan kurang segar.
2. Uji H2S
Uji H2S di pakai untuk melihat adanya gas H2S yang terbentuk pada
awal pembusukan. Pb asetat ditambahkan sample ikan dan udang akan
membentuk PbS yang berwarna hitam. Uji H2S pada dasarnya adalah uji untuk
melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi daging tersebut. H2S
yang dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb asetat menjadi
Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintik-bintik berwarna coklat pada kertas
saring yang diteteskan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri
penghasil H2S tidak tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran.
Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif
lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses
fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia. Hampir
semua kelompok dalam pengujian ini menunjukan hasil positif namun pada
kelompok 6 dan 7 ternyata negatif tidak ada bintik berwarna coklat pada kertas
saring yang menunjukkan tidak ada bakteri penghasil H2S. Mutu ikan sangat
mudah turun sehingga jika dibiarkan lama dalam kedaan terbuka bakteri
kontaminasi bakteri akan cepat berlangsung dan dapat menurunkan kesegaran
ikan.
Proses pengolahan merupakan salah satu cara untuk mempertahan ikan dari
proses pembusukan, sehingga mampu disimpan lama sampai tiba waktunya untuk
dijadikan sebagai bahan konsumsi. Tujuan utama pengolahan yang menggunakan
bahan pengawet juga yakni menghambat aktivitas atau pertumbuhan mikroba,
menghambat proses enzimatik, serta memberikan sifat fisikawi yang khas dan
memberikan nilai estetika yang tinggi.
C. Pengolahan Ikan Peda
Menurut Desniar, dkk (2009), salah satu teknik pengolahan ikan secara
tradisional adalah fermentasi. Peda adalah salah satu produk fermentasi yang
tidak dikeringkan lebih lanjut, melainkan dibiarkan setengah basah, sehingga
proses fermentasi tetap berlangsung. Umumnya proses fermentasi peda adalah
fermentasi secara spontan, dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan
mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses
fermentasi berkembang biak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang
dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi ikan secara spontan umumnya
menggunakan garam dengan konsentrasi tinggi untuk menyeleksi mikroba
tertentu dan menghambat pertumbuhan mikroba yang menyebabkan kebusukan
sehingga hanya mikroba tahan garam yang hidup ditambahkan oleh Fardiaz
(1992).
Menurut Hudaya (1983), fermentasi merupakan proses perubahan kimia
dalam substrat organik oleh adanya biokatalisator yaitu enzim yang dihasilkan
oleh suatu mikroorganisme tertentu. Tanpa adanya kontak antara mikroorganisme
dengan substrat organik, fermentasi tidak mungkin terjadi. Akibat adanya kontak
ini, maka dalam substrat terjadi perubahan sifat baik sifat fisik maupun sifat
kimia. Perubahan tersebut antara lain terjadi perubahan penampakan dan citarasa.
Perubahan sifat yang terjadi disebabkan adanya penguraian zat-zat yang
terkandung di dalam substrat tersebut.
Sampel yang digunakan pada praktikum materi pembuatan ikan peda
adalah ikan Kembung (Restrelliger sp.). Ikan dicuci untuk menghilangkan sisa-
sisa lendir dan darah yang dapat mengakibatkan pembusukan selama fermentasi.
Setelah itu ikan diberi garam dengan perbandingan 3 : 1. Menurut Afrianto dan
Liviawati (2005), penambahan garam yang digunakan berkisar antara 20-30 %
dari berat total ikan yang diolah, bertujuan untuk mencegah penyusupan bakteri
pembusuk atau lalat yang ingin bertelur. Secara garis besar, selama proses
penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam dalam tubuh ikan dan
keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi.
Ikan yang telah mengalami proses penggaraman sesuai dengan prinsip yang
berlaku akan mempunyai daya simpan yang tinggi karena garam dapat berfungsi
menghambat atau menghentikan sama sekali reaksi autolisis dan membunuh
bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan.
Ikan peda setelah perlakuan penggaraman, disimpan dan dilapisi daun
pisang selanjutnya dilakukan proses fermentasi selama 2 hari. Ikan yang telah
difermentasi selama 2 hari tersebut selanjutnya dicuci dengan air bersih, dan
ditiriskan. Tujuan dicuci yaitu untuk menghilangkan sisa-sisa garam yang
terdapat pada tubuh ikan selama proses fermentasi berlangsung. Selanjutnya ikan
ditimbang beratnya.
Secara garis besar, selama proses penggaraman berlangsung terjadi
penetrasi garam dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan
karena adanya perbedaan konsentrasi. Ikan yang telah mengalami proses
penggaraman sesuai dengan prinsip yang berlaku akan mempunyai daya simpan
yang tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau menghentikan sama
sekali reaksi autolisis dan membunuh bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan.
Menurut Hadiwiyoto (1993), bakteri yang tumbuh selama proses fermentasi
adalah bakteri fakultatif anaerob, artinya bakteri tersebut selama pertumbuhannya
tidak memerlukan adanya oksigen namun masih dapat bertoleransi apabila dalam
pertumbuhannya masih terdapat sedikit oksigen.
Hasil pengamatan organoleptik yang dipoleh yaitu ikan memiliki bau
seperti ikan asin, teksur keras dan kering, kenampakan cerah dan warna daging
kecoklatan, tidak terdapat jamur maupun kapang. Menurut Afrianto dan Liviawati
(1989), Proses fermentasi yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan
proses autolisis oleh enzim-enzim pencernaan tetap berlangsung. Karena terjadi
proses fermentasi dan autolisis pada daging ikan yang membentuk asam
propionat, ikan peda yang dihasilkan beraroma khas. Ikan peda mempunyai rasa
yang khusus yang sangat disukai oleh konsumen dan dagingnya berwarna
kecoklat-coklatan akibat proses oksidasi terhadap lemak yang terdapat dalam
tubuh ikan.
D. Pengolahan Kamaboko
Pada praktikum kali ini dilakukan proses pembuatan dan pengolahan
kamaboko yang terbuat dari ikan patin dan udang. Pada dasarnya pembuatan
kamaboko meliputi tahap-tahap pencucian ikan yang masih utuh, penggilingan,
pencucian daging giling, pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan
(Anonim, 2009).
Ikan untuk bahan dasar kamaboko biasanya dipilih yang volume produksi
(hasil tangkapannya) melimpah dengan nilai ekonomis rendah. Bahan mentah
ikan yang digunakan dapat terdiri dari satu jenis ikan atau campuran beberapa
jenis ikan. Ikan yang digunakan harus bermutu baik. Apabila mutu kesegaran ikan
sudah menurun, akan dihasilkan ikan dengan tekstur yang elastisitas gel yang
rendah. Disarankan untuk memilih ikan berkadar lemak rendah dengan
konsistensi daging yang padat dan kandungan protein miofibrilar yang tinggi agar
dihasilkan kamaboko dengan sifat gel yang baik. Secara umum, ikan air tawar dan
ikan berdaging merah mempunyai kekuatan gel yang lebih rendah daripada ikan
laut dan ikan berdaging putih. Warna daging ikan juga akan mempengaruhi warna
kamaboko yang dihasilkan.
Pada tahap pencucian dilakukan dengan memisahkan bagian-bagian yang
tidak diperlukan untuk pengolahan. Bagian-bagian tersebut meliputi kotoran,
lemak, darah, lendir. protein larut air, komponen flavor, insang, kulit, kepala dan
jeroan ikan. Yang digunakan untuk pembuatan kamaboko adalah daging ikannya
saja. Pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan sisa-sisa darah dan komponen
lain yang menyebabkan penyimpangan bau dan warna, dan untuk mengekstrak
protein sarkoplasma yaitu protein larut air yang mengganggu pembentukan gel.
Penggilingan daging dilakukan dengan menggunakan alat penggiling
daging yaitu food processor. Penggilingan bertujuan memperluas permukaan
daging untuk mempermudah ekstraksi protein miofibrilar daging. Selama proses
penggilingan suhu adonan daging harus dijaga tetap rendah (kurang dari 15o C)
karena suhu daging yang terlalu tinggi menyebabkan protein miofibrilar
terdenaturasi sehingga tekstur kamaboko yang diinginkan tidak terbentuk.
Kemudian dilakukan penimbangan pada daging yang telah digiling.
Pembuatan adonan dilakukan dengan diletakkannya daging yang telah
digiling pada suatu wadah. Kemudian ditambahkan garam, gula, pewarna
makanan dan pati. Penambahan NaCl berfungsi untuk mengekstrak protein
myofibril. Selain itu garam juga digunakan sebagai bumbu untuk menambah cita
rasa asin seperti dalam tabel hasil pengamatan bahwa produk kamaboko ini berasa
asin. Jumlah garam dapur yang digunakan sekitar 2-3% dari bobot ikan yang
digunakan. Penggunaan garam yang terlalu banyak akan menimbulkan rasa asin
yang berlebihan juga menyebabkan denaturasi protein. Penggunaan garam yang
terlalu sedikit menyebabkan tekstur produk kamaboko yang dihasilkan kurang
baik karena ekstraksi protein myofibril kurang sempurna. Penambahan pati untuk
memperbaiki adonan, meningkatkan daya ikat air, memperkecil penyusutan dan
memperbaiki tekstur. Kelompok 1, 2 dan 3 menghasilkan kamaboko yang
bertekstur lembut sedangkan kelompok 4, 5, 6, 7 menghasilkan kamaboko
bertekstur kasar. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka semakin tinggi
kadar pati yang ditambhakan maka semakin keras juga tekstur kamaboko yang
dihasilkan.
Gula juga ditambahkan damlam pembuatan produk kamaboko ini yang
digunakan biasanya sukrosa yaitu gula tebu untuk menimbulkan rasa manis dan
menghambat denaturasi protein miofibril karena meningkatkan tegangan
permukaan air. Jumlah gula yang digunakan sekitar 1-1.5% dari bobot daging
ikan yang digunakan.
Pencetakan adonan kamaboko harus segera dilakukan, adonan yang sudah
membentuk gel akan sulit dicetak. Pencetakan pada praktikum kali ini dilakukan
secara manual yaitu dengan menggunakan tangan. Adonan dicetak sesuai bentuk
yang dikehendaki. Kamaboko yang dihasilkan memiliki warna yang beragam
dikarenakan adanya penambahan pewarna makanan. Pada parameter aroma,
kamaboko beraoma amis yang berasal dari bakunya yaitu ikan patin.

Tahap akhir yaitu dilakukan pemanasan (pemasakan) yang berfungsi


untuk mendenaturasikan protein ikan sehingga membentuk gel kamaboko. Pada
saat pemanasan, adonan akan berubah membentuk gel suwari. Selanjutnya pada
suhu sekitar 60o C terjadi pelunakan gel dan pada suhu diatas 70o C terbentuk gel
kamaboko yang kenyal dan elastis. Pemanasan pada praktikum kali ini dilakukan
dengan perebusan, pengukusan, dan penggorengan. Pada tahap penggorengan
dilakukan dengan menggunakan api sedang agar tidak terjadi case hardening
dimana pada permukaan luar sudah matang tetapi bagian dalam belum matang.
Kesimpulan:
1. Ikan yang segar bisa dilihat dari keadaan sisiknya, warna insang dan warna
ikan secara keseluruhan pada normalnya seperti apa, kemudian aromanya.
Selain itu juga dilihat dari keadaan kulit yang berlendir atau tidaknya.
2. Proses pembuatan ikan peda cukup sederhana yaitu pencucian ikan,
penimbangan ikan, proses penggaraman, fermentasi selama 2 hari, dan
pengujian organoleptik sehingga diperoleh flavor ikan peda yang khas
3. Uji H2S dan uji eber dilakukan untuk mengetahui kualitas kesegaran ikan.
4. Proses dan teknik pembuatan kamaboko meliputi beberapa tahapan yaitu
pencucian ikan disertai pemisahan antara daging dengan bagian-bagian lain
yang tidak digunakan, penggilingan daging ikan, penimbangan, pembuatan
adonan disertai pencampuran bumbu-bumbu, pencetakan dan pemanasan
(pemasakan).

Saran
Sampel ikan yang digunakan lebih beragam agar kita mengetahui perbedaan
kualiatas ikan antara yang masih segar atau yang sudah busuk.
Daftar Pustaka
Adawiyah. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta:Haka Ghrafis.
Amri, K dan Kanna, I, 2008. Budidaya Udang Vaname: Secara Intensif, Semi
Intensif,dan Tradisional. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Afrianto, E dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius,


Yogyakarta.

Anonim. 2009. Surimi dan Kamaboko. http://Surimi dan kamaboko.pdf [13


November 2010]

Desniar., Poernomo, D., Wijatur, W. 2009. Pengaruh Konsentrasi Garam pada Peda
Ikan Kembung (Rastrelliger sp.) dengan Fermentasi Spontan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. [Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia, Vol XII Nomor 1 Tahun 2009]. Diakses pada tanggal 28
November 2012.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hudaya, S. 1983. Dasar-dasar Pengawetan 2. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, Jakarta.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty,
Yogyakarta.

Nurjanah, 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Bogor :
Alumnus Departemen THP FPIK-IPB.

Anda mungkin juga menyukai