Anda di halaman 1dari 2

KARTINI DAN PEREMPUAN SUNDA

Oleh Yesmil Anwar

Memperingati Hari Kartini belakangan ini terasa hanya merupakan kegiatan rutin dari
tahun ke tahun. Rutinitas tersebut membuat posisi Kartini bagaikan umbul-umbul dalam
sebuah perhelatan, perias suasana. Ya, sesekali tampak agak meriah dan penuh seremonial
jika ada kepentingan politik tertentu yang mengiringinya, misalnya peringatan hari Kartini
menjelang pilkada atau pilpres biasanya partai politik maupun pemerintah yang berkuasa
menggunakan momen itu untuk menarik minat kaum wanita untuk mendukungnya.

Hal ini mengundang sindrom yang menyajikan sebuah teladan seorang wanita
Indonesia dari suatu zaman yang sulit untuk dijadikan batu uji maupun barometer bagi
perjalanan perempuan Indonesia dalam konteks kekinian. Kartini sebagai personifikasi
perempuan Indonesia dari zaman-zaman sudah saatnya dievaluasi. Demikian pula Dewi
Sartika dalam sosok perempuan Sunda yang sebenarnya model keteladanannya, tidak jauh
dengan Kartini di dalam perspektif image cita-cita wanita Indonesia karena merupakan
stereotype wanita modern di masa ini yang berkiblat ke wanita di Eropa.

Persoalannya apa yang dimaksud dengan wanita modern di sini? Apakah perempuan
Sunda itu telah menjadi wanita modern? Apa tolak ukurnya bahwa mereka sudah menjadi
wanita modern? Keberhasilannya dalam bidang pendidikan atau keberhasilan dalam
mengelola rumah tangga. Budayawan Sunda HW Setiawan mengatakan, perempuan Sunda
itu bersifat pasif, tetapi powerful. Artinya, perempuan Sunda itu tidak berperan langsung di
muka, tapi mendorong dan mengatur segala sesuatu dari belakang di sebuah keluarga.

Berdasarkan fakta di lapangan banyak perempuan Sunda yang ingin mendapatkan


penghasilan di luar rumah sebagai penunjang ekonomi keluarga melalui berbagai jenis
pekerjaan yang instan. Hal itu terlihat dari kasus trafficking dan TKW yang banyak terjadi di
Jawa Barat. Serta merta tumbuh pertanyaan berikutnya, apakah keberadaan konsep mengenai
Nyi Sunda itu, ada dalam masyarakat Sunda? Atau hanya secara otomatis saja kalau ada Ki
Sunda tentunya ada Nyi Sunda sebagai pelengkap tanpa makna apa-apa? Seperti halnya
juga salah kaprah tentang kedudukan perempuan di dalam masyarakat modern yang
cenderung menjadikan perempuan tidak lagi sebagai perempuan yang di rumah saja, tetapi
sebagai perempuan yang mandiri yang bebas berbuat apa saja. Namun sesungguhnya
kemandirian itu tidak bermakna apa-apa bagi masyarakatnya karena kemandirian itu hanya
untuk kemandirian itu sendiri, kebebasan untuk kebebasan! Sebuah kemandirian yang egois
dan penuh renda-renda. Menurut penulis disinilah titik fokusnya, mengapa konsep
kekartinian harus dievaluasi.

Dalam era reformasi dan globalisasi ini, perempuan Sunda tampak mengalami gegar
budaya yang cukup berat. Perubahan sosial yang cepat dalam khazanah politik, sosial budaya,
hukum, ekonomi, maupun teknologi komunikasi semakin terasa imbasnya pada keberadaan
perempuan Sunda di kota maupun di pedesaan. Kalau ditanyakan berapa persen jumlah uang
yang digunakan perempuan Sunda untuk membeli pulsa telefon selulernya dalam kaitannya
dengan budaya berkomunikasi yang tumbuh sumbur, tampaknya cukup tinggi, terutama di
kalangan remaja. Itu baru pertanyaan sederhana saja. Masih banyak fenomena lainnya yang
dapat digunakan sebagai tolak ukur keberadaan perempuan Sunda.

Ini penting dikemukakan karena pergeseran nilai dalam keluarga orang Sunda, proses
pemiskinan yang terjadi, kurangnya pendidikan, juga kawin muda yang banyak terjadi dalam
masyarakat Sunda menjadikan perempuan Sunda memiliki semacam barikade atau tameng
untuk melindungi diri dari hal-hal yang secara budaya tidak cocok tapi dipaksakan adanya.
Seolah-olah dengan menjadi modern, perempuan Sunda sudah keluar dari penindasan gender.
Cara berpikir yang demikian akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Akan membuat
mereka tergiring pada kelompok dominan yang menjadi penentu arah kebijakan.

Menurut hemat penulis, masalah yang mendasar adalah bagaimana perempuan Sunda
menghadapi diri sendiri sebagai pembaru. Apakah dia akan tetap menjadi pasif dan powerful
dari belakang atau maju ke muka melakukan perubahan sebagai agent of change. Selamat
hari Kartini...***

Penulis, pekerja kebudayaan di tanah Sunda.

Anda mungkin juga menyukai