Anda di halaman 1dari 36

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Hepar

Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena kaya
akan persediaan darah.6 Beratnya 1200-1800 gram, dengan permukaan atas
terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan
diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V
kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.
Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal
sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis.7

Gambar 2.1. : Anatomi Hepar


Sumber : Netter, 2006

19
Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, diinferior oleh fissura yang dinamakan dengan
ligamentum teres dan diposterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum
venosum. 8 Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus kiri dan
mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus
quadrates. Diantara kedua lobus terdapat porta hepatis, jalur masuk dan keluar
pembuluh darah, saraf dan duktus.6 Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritoneum pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya.8
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika yang
berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam amino,
monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri hepatika,
cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah tersebut
masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut vena porta
dan arteri hepatika bercabang menjadi dua yakni ke lobus kiri dan ke lobus
kanan.8 Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari
perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid.
Sinusoid ini terdapat diantara barisan sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral
dari semua lobulus hati menyatu untuk membentuk vena hepatika.9
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang
mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang
membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang
berjalan diantara lembaran sel hati.7
Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis T7-
T10, yang bersinaps dalam plexuscoeliacus, nervus vagus dexter dan sinister
serta phrenicus dexter.10

3.2. Fungsi Hepar


Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini
penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hati
menghasilkan empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui
duktus hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung membentuk

20
duktus hepatikus komunis. Selain sekresi empedu, hati juga melakukan
berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal berikut:
1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan mereka dari saluran cerna.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa
asing lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting
untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan
kolesterol dalam darah.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang.
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan produk penguraian
yang berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah usang.
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap sel hati atau
hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik diatas, kecuali aktivitas
fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag residen atau yang lebih dikenal
sebagai sel Kupffer.9 Sel Kupffer, yang meliputi 15% dari massa hati serta
80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam
menanggulangi antigen yang berasal dari luar berasal dari luar tubuh dan
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit.7

3.3. Sirosis Hepatis


3.3.1. Definisi
Sirosis hepatis merupakan keadaan yang menggambarkan akhir dari
perjalanan histologi pada berbagai macam penyakit hepar kronik. Istilah
sirosis pertama kali diperkenalkan oleh Laennec tahun 1826. Istilah ini
diambil dari bahasa Yunani yaitu scirrhus yang digunakan untuk
mendeskripsikan permukaan hepar yang berwarna oranye jika dilihat pada saat
autopsi. Tapi karena kemudian arti kata sirosis atau scirrhus banyak yang
salah menafsirkannya akhirnya istilah ini berubah artinya menjadi
pengerasan. Berbagai bentuk dari kerusakan sel hepar ditandai dengan
adanya fibrosis. Fibrosis merupakan peningkatan deposisi komponen

21
matriks ekstraseluler (kolagen, glikoprotein, proteoglikan) di hepar. Respon
terhadap kerusakan sel hepar ini sering bersifat irreversibel. Secara
histologis sirosis merupakan proses yang difus pada hepar ditandai adanya
fibrotisasi dan konversi dari struktur arsitektur hepar normal menjadi
struktur nodul yang abnormal. Progresi dari kerusakan sel hepar menuju
sirosis dapat muncul dalam beberapa minggu sampai dengan bertahun-
tahun. Pasien dengan hepatitis C dapat mengalami hepatitis kronik selama 40
tahun sebelum akhirnya menjadi sirosis.11

3.3.2. Insidens
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika
dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6:1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun.12

3.3.3. Klasifikasi
Sesuai dengan consensus baveno IV, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan
menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites, dan
perdarahan varises, yaitu:
a. Stadium I: tidak ada varises dan ascites.
b. Stadium II: varises tanpa ascites.
c. Stadium III: ascites dengan atau tanpa varises.
d. Stadium IV: perdarahan dengan tanpa scites.
Stadium I dan II, dikategorikan sebagai kelompok sirosis hepatis
kompensata, sedangkan stadium III dan IV, dikategorikan sebagai kelompok
sirosis hepatis dekompensata.
Secara morfologi Sherlock membagi Sirosis hepatis bedasarkan besar
kecilnya nodul, yaitu:
a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

22
Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis hepatis
atas:

a. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau


sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena
banyak terjadi jaringan nekrose.
b. Nutrisional cirrhosis, atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennecs cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai
akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.
Menurut laporan GALAMBOS (1975) klasifikasi sirosis hepatis dibagi
dalam dua golongan8, yaitu:
1. Klasifikasi menurut morfologi
a. Sirosis mikronoduler
Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : ireguler, septal, uniform
monolobuler, nutrisional dan Laennec. Gambaran mikroskopis terlihat septa
yang tipis.
b. Sirosis makronoduler
Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : postnekrotik, ireguler,
postkolaps. Biasanya septa lebar dan tebal.
c. Kombinasi antara mikro dan makronoduler
Sirosis hepatis jenis ini sering ditemukan.
d. Sirosis septal (multilobuler) yang tak lengkap.
Fibrous septa sering prominent dan parenkim mungkin mempunyai
gambaran asini yang normal.
2. Klasifikasi menurut etiologinya
a. Cirrhosis of genetic disorders
b. Chemical cirrhosis
c. Sirosis alkoholik
d. Sirosis infeksius
e. Sirosis biliaris
f. Sirosis kardiak

23
g. Sirosis metabolik
h. Sirosis kriptogenik

3.3.4. Etiologi
Penyebab sirosis hepatis bermacam-macam. Ada penyebab didapat
maupun genetik. Di Amerika Serikat alkoholisme kronis dan hepatitis C
merupakan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis. Sedangkan di Indonesia
penyebab terbanyak adalah karena virus hepatitis tipe B dan C.8
Berikut ini berbagai macam penyebab sirosis hepatis8 :
1. Alkohol
2. Hepatitis virus tipe B, Delta; non-A non-B
3. Metabolik, misalnya hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi
1-antitripsin, diabetes melitus, glikogenosis tipe IV, galaktosemia,
tirosinosis kongenital.
4. Kolestasis kronik intra- dan ekstra-hepatik. Pada penyakit ini empedu
memenuhi hati karena saluran empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi
yang menderita biliary atresia berwarna kuning (kulit kuning) setelah
berusia satu bulan. Kadang bisa diatasi dengan pembedahan untuk
membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan hati, tetapi
transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita penyakit hati
stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat mengalami
peradangan, tersumbat dan terluka akibat primary biliary sirosis atau
primary sclerosing cholangitis. Secondary biliary cirrosis dapat
terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu.
5. Obstruksi vena hepatika misalnya penyakit veno-oklusif, Sindroma Budd-
Chiari, Perikarditis konstriktif.
6. Gangguan imunitas hepatitis lupoid.
7. Toksin dan obat, misalnya metotreksat, amiodaron.
8. Malnutrisi.
9. Kelemahan jantung kronik yang menyebabkan sirosis kardiak.
10. Sirosis yang tidak diketahui penyebabnya dan digolongkan dalam
kriptogenik.

24
3.3.5. Gejala Klinis
Beberapa pasien dengan sirosis hepatis tidak menampakkan gejala klinis
pada fase awal penyakit. Gejala-gejala yang nampak dapat disebabkan oleh dua
hal, yaitu kegagalan hati dalam menjalankan fungsi nutrisi serta perubahan
struktur dan ukuran hepar yang disebabkan oleh proses fibrotisasi.11 Gejala awal
sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki
dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya
dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala
lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang
tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena,
serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung,
agitasi, sampai koma.13

Manifestasi klinis dari sirosis hepatis disebabkan oleh satu atau lebih hal- hal di
bawah ini12:
1. Kegagalan Parenkim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalopati hepatitis
Secara klinis sirosis hepatis dibagi atas dua tipe, yaitu10:
1. Sirosis kompensata atau sirosis laten
Gejala klinis yang dapat terlihat adalah pireksia ringan, spider vaskular,
eritema palmaris atau epistaksis yang tidak dapat dijelaskan, edema pergelangan
kaki. Pembesaran hepar dan limpa merupakan tanda diagnosis yang bermanfaat
pada sirosis kompensata. Dispepsia flatulen dan salah cerna pagi hari yang samar-
samar bisa merupakan gambaran dini dari pasien sirosis alkoholik. Sebagai
konfirmasi dapat dilakukan tes biokimia dan jika perlu dapat dilakukan biopsi hati
aspirasi.
2. Sirosis dekompensata atau sirosis aktif
Gejala-gejala sirosis dekompensata lebih menonjol terutama bila timbul

25
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta. Biasanya pasien sirosis
dekompensata datang dengan asites atau ikterus. Gejala-gejala yang nampak
adalah kelemahan, atrofi otot dan penurunan berat badan, hilangnya rambut
badan, gangguan tidur, demam ringan kontinu (37,5-38C), gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid,
ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau
melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi,
bingung, agitasi, sampai dengan koma.

3.3.6. Patogenesis
Peningkatan atau gangguan sintesis kolagen dan komponen jaringan ikat
atau membran basal lain matriks ekstrasel diperkirakan berperan dalam
terjadinya fibrosis hati dan dengan demikian berperan juga dalam
patogenesis sirosis. Fibrosis hati tampaknya terjadi pada tiga situasi : (1)
sebagai suatu respon imun, (2) sebagai bagian dari proses penyembuhan luka
dan (3) sebagai respon terhadap agen yang memicu fibrogenesis primer.
Virus hepatitis B adalah contoh agen yang menyebabkan fibrosis dengan dasar
imunologis. Agen seperti karbon tetraklorida atau hepatitis A yang menyerang
dan mematikan hepatosit secara langsung adalah contoh agen yang
menyebabkan fibrosis sebagai bagian dari penyembuhan luka. Agen tertentu
seperti etanol dan besi dapat menyebabkan fibrogenesis primer dengan
secara langsung meningkatkan transkripsi gen kolagen sehingga juga
meningkatkan jumlah jaringan ikat yang diekskresikan oleh sel.14
Penyebab utama dari semua mekanisme peningkatan fibrogenesis ini
mungkin adalah sel penyimpan-lemak di sistem retikuloendotel hati.
Sebagai respons terhadap sitokin, sel-sel ini berdiferensiasi dari sel inaktif
dengan vitamin A yang disimpan ke dalam miofibroblas, yang kehilangan
kemampuannya menyimpan vitamin A dan menjadi aktif menghasilkan
matriks ekstrasel. Fibrosis hati tampaknya berlangsung dalam dua tahap.
Tahap pertama ditandai oleh perubahan komposisi matriks ekstrasel dari
kolagen yang tidak berikatan silang dan tidak membentuk fibril menjadi
kolagen yang lebih padat dan mudah membentuk ikatan silang. Pada tahap ini

26
cedera hati masih reversibel. Tahap kedua melibatkan pembentukan ikatan-
silang kolagen sub-endotel, proliferasi sel mioepitel dan distorsi arsitektur
hati disertai kemunculan nodul-nodul regenerasi.14
Tahap kedua ini bersifat ireversibel. Perubahan komposisi matriks
ekstrasel dapat memprerantarai perubahan fungsi hepatosit dan sel lain.
Karena itu, perubahan pada keseimbangan kolagen mungkin berperan
penting dalam perkembangan cedera hati kronik reversibel menjadi bentuk
ireversibel dengan ikut mempengaruhi fungsi hepatosit.14
Secara histopatologis semua bentuk sirosis ditandai oleh tiga
temuan: (1) distorsi berat arsitektur hati, (2) pembentukan jaringan parut
akibat meningkatnya pengendapan jaringan fibrosa dan kolagen dan (3)
nodul-nodul regeneratif yang dikelilingi oleh jaringan parut.14
Tiga mekanisme patologik utama yang berkombinasi untuk menjadi
sirosis adalah kematian sel hati, regenerasi dan fibrosis progresif. Dalam
kaitannya dengan fibrosis, hati normal mengandung kolagen interstisium (tipe
I, III dan IV) di saluran porta dan sekitar vena sentralis, dan kadang-kadang di
parenkim. Di ruang antara sel endotel sinusoid dan hepatosit (ruang Disse)
terdapat rangka retikulin halus kolagen tipe IV. Pada sirosis, kolagen tipe I dan
III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus
san sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenetrasinya. Proses ini pada dasarnya
mengubah sinusoid dari saluran endotel yang berlubang-lubang dengan
pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi saluran vaskular
tekanan tinggi beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus,
perpindahan protein antara hepatosit dan plasma sangat terganggu.15
Infeksi virus hepatitis B dan C akan menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas, terjadi
kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan kolagen. Tingkat
awal yang terjadi adalah terbentuknya septa yang pasif oleh jaringan
retikulum penyangga yang mengalami kolaps dan kemudian berubah
bentuk menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat
menghubungkan daerah porta yang satu dengan lainnya atau porta dengan
sentral (bridging necrosis). Pada tahap berikut kerusakan parenkim dan

27
peradangan yang terjadi pada sel duktus, sinusoid dan sel retikulo endotelial di
dalam hati, akan memacu terjadinya fibrogenesis sehingga terbentuk septa
aktif. Sel limfosit T dan makrofag juga mungkin berperan dengan
mengeluarkan limfokin yang dianggap sebagai mediator dari fibrogenesis.15
Septa aktif ini akan menjalar menuju kedalam parenkim hati dan
berakhir di daerah portal. Pembentukan septa tingkat kedua ini yang sangat
menentukan perjalanan progresivitas dari sirosis hepatis. Pada tingkat yang
bersamaan nekrosis jaringan parenkim akan memacu proses regenerasi sel-sel
hati. Regenerasi yang timbul akan mengganggu pembentukan susunan jaringan
ikat tadi. Keadaan ini yaitu fibrogenesis dan regenerasi sel yang terjadi terus
menerus dalam hubungannya peradangan dan perubahan vaskular
intrahepatik serta gangguan kemampuan faal hati, pada akhirnya menghasilkan
susunan hati yang dapat dilihat pada sirosis hepatis. Walaupun
etiologinya berbeda, gambaran histologis hati sama atau hampir sama.8

3.3.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis sirosis hepatis didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang lainnya.3
a. Anamnesis
Pada tahap awal sirosis biasanya tidak menunjukan gejala yang khas.
Karena hal tersebut sebagian besar pasien datang dengan kondisi sirosis yang
sudah parah. Dari anamnesis ini perlu digali keluhan atau gejala yang biasanya
muncul pada penderita sirosis hepatis seperti perasaan mudah lelah dan lemas,
selera makan berkurang, perut terasa kembung, mual, berat badan menurun, testis
mengecil, buah dada membesar serta hilangnya dorongan seksual.3,5
Selain itu jika sirosis hepatis sudah dalam kondisi lanjut akan muncul
komplikasi-komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur dan demam tak begitu tinggi. Beberapa pasien
ditemukan adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
ikterus dengan dengan urin berwarna seperti teh.3

b. Tanda dan Gejala Klinis


Pada pemeriksaan fisik penderita sirosis hepatis biasanya akan ditemukan:1,3

28
- Spide-angioma, suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil. Biasa
ditemukan di bahu, mekanismenya dikaitkan dengan peningkatan kadar
estrogen
- Palmar eritema, warna merah pada thenar dan hipothenar telapak tangan.
- Ginekomastia, dikaitkan dengan peningkatan estrogen dalam darah.
- Atrofi testis hipogonadisme
- Hepatomegali, biasanya ditemukan pada sirosis hepatis dengan komplikasi
hepatoma
- Ascites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi
portal dan hipoalbuminemia.
- Caput medusa, muncul sebagai akibat dari hipertensi porta.
- Fetor hepatikum, bau napas akibat peningkatan dimetil sulfid.
- Ikterus, peningkatan bilirubinemia.

Selain itu Haryono Soebandiri membagi manifestasi klinis sirosis dalam dua
bagian, yaitu:

- Hepatoseluler
o Sklera ikterik
o Spider nevi (teleangiektasis)
o Ginecomastia
o Atropi testis
o Palmar erithem
- Hipertensi portal
o Varices oesophagus
o Splenomegali
o Kolateral dinding perut
o Ascites
o Hemoroid (Hermawan, 2006)

Penegakkan diagnosis menurut kriteria Soebandiri yaitu jika terdapat 5 dari


7 tanda dan gejala berikut:
- Spider naevi
- Eritema palmar
- Kolateral vein (venektasi)
- Ascites
- Splenomegali
- Inverted ratio albumin : globulin
- Hematemesis melena

c. Gambaran Laboratoris

29
Apabila dicurigai adanya sirosis hepatis, beberapa tes laboratorium perlu
dilakukan. Tes fungsi hati (LFT) meliputi aminotransaminase, alkali fosfatase,
gamma-GT, bilirubin, albumin, dan protombin time.3
- Aspartat aminotranferase (AST)/SGOT dan alanin aminotransferase
(ALT)/SGPT meningkat tapi tak begitu tinggi. SGOT biasanya lebih tinggi
daripada SGPT.
- Alkali fosfatase meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal.
- Peningkatan gamma-GT
- Bilirubin meningkat atau normal
- Penurunan kadar albumin
- Peningkatan kadar globulin
- Waktu protrombin, menunjukan tingkat disfungsi sintesis hepar, pada sirosis
memanjang
- Kelainan hematologi anemia

3.3.8. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan
tersebut antara lain:
A. Diagnosa Sirosis hepatis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium
1. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Na dalam
urine berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah
terjadi sindrom hepatorenal.
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap
oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen
yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
3. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang-kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folat dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Jika
penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal baru akan terjadi
hipokromik anemia. Juga dijumpai leukopeni bersamaan dengan adanya

30
trombositopeni.
4. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis
globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari
akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat
disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0
g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui
proses yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal
albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu, kadar asam empedu juga
termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan
hati secara dini.

B. Sarana Penunjang Diagnostik


1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah, pemeriksaan
fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography
(PTP).
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada
tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan
tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul. Pada fasE
lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan
permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan
sebagian lagi dalam batas nomal.
3. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis
hepatis akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol
berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran
fibrosis hati,tepi biasanya tumpul.Seringkali didapatkanpembesaran
limpa.
Gambaran klinik dan gambaran laboratorium biasanya cukup untuk

31
mengetahui adanya kerusakan hepar. Walaupun biopsi jarum percutan pada hati
tidak biasa dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis sirosis hepatis, tetapi
dapat membantu membedakan pasien sirosis hepatis dengan pasien penyakit
hati lain dan menyingkirkan diagnosis bentuk lain dari kerusakan hati seperti
hepatitis virus. Biopsi juga dapat menjadi alat untuk mengevaluasi
pasien sirosis dengan gambaran klinik sirosis alkoholik namun menyangkal
telah mengkonsumsi alkohol. Pada pasien sirosis dengan kolestasis, USG
dapat menyingkirkan diagnosa adanya obstruksi biliaris.11

3.3.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien sirosis hepatis sangat tergantung dengan etiologi
maupun keadaan klinis. Terapi ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Pada pasien sirosis hepatis
kompensata terapi ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati,
pasien diminta untuk menghilangkan etiologi (alkohol dan bahan-bahan
lainnya). Sedangkan pada pasien sirosis hepatis dekompensata terapi
definitifnya adalah transplantasi hepar. Namun sebelum dilakukan
transplantasi, resipien harus memepenuhi beberapa kriteria terlebih dahulu.
Dalam terapi ini dibutuhkan penentuan prognosis yang akurat sehingga dapat
dilakukan pada saat yang tepat.11
Pengobatan sirosis hepatis pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hepatis akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan
interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian
pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan
pengobatan IFN seperti :

32
a) kombinasi IFN dengan ribavirin
Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 kali
seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan
(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untuk
jangka waktu 24-48 minggu.
b) terapi induksi IFN
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih
tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan
3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi
dengan RIB.
c) terapi dosis IFN tiap hari
Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3
juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV- RNA negatif di serum dan jaringan
hati.

3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hepatis akan diberikan jika telah
terjadi komplikasi seperti :
1. Asites: Restriksi garam, pemberian spironolakton dan furosemid, parasentesis
bila volume besar.
2. Hipertensi porta dan varises esofagus: somatostatin (atau analognya), terapi
endoskopik, pemasangan TIPS, maupun prosedur bedah.
3. Sindrom hepatorenal: penggunaan agen vasopresor dan albumin, tata laksana
gangguan elektrolit dan asam basa (bila ada).
4. Peritonitis bakterial spontan: kultur dan pemberian antibiotik spektrum luas.
5. Ensefalopati hepatikum: minimalisasi faktor pencetus, pemberian laktulosa
dengan/tanpa rifaksimin, suplementasi asam amino rantai bercabang dan diet
rendah asam amino lisin, metionin, dan triptofan.
6. Koagulopati dan gangguan hematologi: pertimbangkan transfusi pada
kondisi gawat darurat.
Pertimbangkan transplantasi hati. Indikasi transplantasi hati ialah sirosis
dekompensata atau karsinoma hepatoseluler pada sirosis hati. Namun,
transplantasi dikontraindikasikan pada kondisi berikut:

33
Aktif menggunakan obat-obatan terlarang misalnya metadon
AIDS. Infeksi HIV saja bukan kontraindikasi
Keganasan ekstrahepatik
Sepsis tidak terkendali
Gagal organ ekstrahepatik (jantung, paru)
Trombosis splanikum yang meluas ke vena mesenterika superior

3.3.10. Komplikasi
a. Edema dan Ascites
Ketika sirosis hati sudah berat, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal
untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air
berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan
kaki- kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan
ini disebut edema atau pitting edema. Pitting edema merujuk pada fakta bahwa
menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki dengan
edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk beberapa
waktu setelah pelepasan dari tekanan. Ketika sirosis memburuk dan lebih banyak
garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam rongga
perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi cairan ini (disebut
ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat
badan yang meningkat.10
b. Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna untuk
bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu
jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan
bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau
menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan ke hati dimana mereka
dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul didalam perut tidak mampu untuk
melawan infeksi secara normal.9
Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri menemukan jalan mereka
dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi didalam perut dan ascites,
dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau SBP, kemungkinan
terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa

34
pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang lainnya
mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan nyeri tekan perut, diare, dan
memburuknya ascites.13
c. Varises Esofagus
Pada sirosis hepatis, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali
ke jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi
portal). Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, ia
menyebabkan darah mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan
tekanan yang lebih rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling
umum yang dilalui darah untuk membypass hati adalah vena-vena yang melapisi
bagian bawah dari kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung.1
Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan
tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada kerongkongan yang lebih bawah
dan lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk sebagai esophageal
dan gastric varices; lebih tinggi tekanan portal, lebih besar varices-varices dan
lebih mungkin seorang pasien mendapat perdarahan dari varices-varices
kedalam kerongkongan (esophagus) atau lambung.2
Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang terbentuk
dimana saja didalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini
adalah jarang. Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien yang
diopname karena perdarahan yang secara aktif dari varices-varices
kerongkongan mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan
spontaneous bacterial peritonitis.2
d. Ensefalopathy Hepatikum
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari
pencernaan dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara
normal hadir dalam usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan
mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan
kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa
dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia, dapat mempunyai efek-efek
beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini diangkut dari usus
didalam vena portal ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah dan di-
detoksifikasi (dihilangkan racunnya).3
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah,
fungsi dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy.

35
Tidur waktu siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang
normal) adalah diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy.4
Gejala-gejala lain termasuk sifat mudah marah, ketidakmampuan untuk
konsentrasi atau melakukan perhitungan- perhitungan, kehilangan memori,
kebingungan, atau tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic
encephalopathy yang parah/berat menyebabkan koma dan kematian.
e. Hepatorenal Syndrome
Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat mengembangkan
hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana
fungsi dari ginjal- ginjal berkurang. Itu adalah suatu persoalan fungsi dalam
ginjal-ginjal, yaitu, tidak ada kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya,
fungsi yang berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam cara darah
mengalir melalui ginjal-ginjalnya.12
Hepatorenal syndrome didefinisikan sebagai kegagalan yang progresif dari
ginjal-ginjal untuk membersihkan unsur-unsur dari darah dan menghasilkan
jumlah-jumlah urin yang memadai walaupun beberapa fungsi-fungsi penting lain
dari ginjal-ginjal, seperti penahanan garam, dipelihara/dipertahankan.13
f. Hepatopulmonary Syndrome
Beberapa pasien-pasien dengan sirosis yang berlanjut dapat
mengembangkan hepatopulmonary syndrome. Pasien-pasien ini dapat
mengalami kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu yang dilepas pada
sirosis yang telah berlanjut menyebabkan paru-paru berfungsi secara abnormal.
Persoalan dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah mengalir melalui
pembuluh-pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang berhubungan dengan
alveoli (kantung-kantung udara) dari paru- paru. Darah yang mengalir melalui
paru-paru dilangsir sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari
udara didalam alveoli. Sebagai akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama
dengan pengerahan tenaga.10.11
g. Splenomegali
Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan (filter)
untuk mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel darah putih,
dan platelet- platelet (partikel-partikel kecil yang penting uktuk pembekuan
darah) yang lebih tua. Darah yang mengalir dari limpa bergabung dengan darah
dalam vena portal dari usus- usus. Ketika tekanan dalam vena portal naik pada
sirosis, ia bertambah menghalangi aliran darah dari limpa. Darah tersendat dan

36
berakumulasi dalam limpa, dan limpa membengkak dalam ukurannya, suatu
kondisi yang dirujuk sebagai splenomegaly. Adakalanya, limpa begitu
bengkaknya sehingga ia menyebabkan sakit perut. Ketika limpa membesar, ia
menyaring keluar lebih banyak dan lebih banyak sel-sel darah dan platelet-
platelet hingga jumlah-jumlah mereka dalam darah berkurang.3,5
Splenomegali adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
ini, dan itu behubungan dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah
(anemia), jumlah sel darah putih yang rendah (leucopenia), dan/atau suatu
jumlah platelet yang rendah (thrombocytopenia). Anemia dapat menyebabkan
kelemahan, leukopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan
thrombositopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada
perdarahan yang diperpanjang (lama).7

3.3.11 Preventif
a. Primer
Sirosis paling sering disebabkan oleh minuman keras (alkohol), hepatitis B
dan C. Cara untuk mencegah terjadinya sirosis dengan tidak konsumsi alkohol,
menghindari risiko infeksi hepatitis C dan B. Menghindari obat-obatan yang
diketahui berefek samping merusak hati. Vaksinasi merupakan pencegahan efektif
untuk mencegah hepatitis B.14
b. Sekunder
Penyebab primernya dihilangkan, maka dilakukan pengobatan hepatitis dan
pemberian imunosupresif pada autoimun. Pengobatan sirosis biasanya
tidak memuaskan. Tidak ada agent farmakologik yang dapat menghentikan
atau memperbaiki proses fibrosis.14
Penderita sirosis hati memerlukan istirahat yang cukup dan makanan
yang adekuat dan seimbang. Protein diberikan dengan jumlah 1-1 g/kg berat
badan. Lemak antara 30 %- 40%. Infeksi yang terjadi memerlukan pemberian
antibiotik yang sesuai. Ascites dan edema ditanggulangi dengan pembatasan
jumlah cairan NaCl disertai pembatasan aktivitas obstruksi.14

3.3.11. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis dipengaruhi beberapa faktor11:

37
1. Etiologi
Pasien dengan sirosis alkoholik prognosisnya lebih baik daripada
sirosis kriptogenik.
2. Sirosis dekompensata yang mengikuti perdarahan, infeksi atau
alkoholisme lebih baik prognosisnya dibanding sirosis yang muncul secara
spontan, sebab faktor pencetusnya dapat dikoreksi.
3. Respon terhadap terapi
4. Ikterus
Ikterus yang menetap merupakan suatu pertanda yang serius.
5. Komplikasi neurologi
Jika berkembang menahun dan disertai sirkulasi kolateral maka
prognosis akan lebih baik. Ensefalopati hepatikum merupakan
komplikasi neurologi paling sering pada sirosis hepatis. Patogenesis
ensefalopati hepatikum adalah hiperamonemia dan penurunan kadar
neurotransmitter sentral.
6. Ukuran hati
Jika ukuran besar maka prognosisnya akan lebih baik karena
mungkin masih terdapat lebih banyak sel-sel yang berfungsi.
7. Perdarahan dari varises esofagus
Jika keadaan sel-sel hati baik maka perdarahan bisa ditoleransi.
8. Asites
Penimbunan cairan pada rongga peritoneum yang disebabkan oleh
hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Asites dapat menyebabkan gangguan
pernafasan sekunder karena menurunnya ekspansi paru, herniasi dinding
abdomen dan wound dehiscence. Asites dapat memperburuk keadaan
terutama jika diperlukan dosis diuretik yang besar untuk mengontrolnya,
terdapat sindroma hepatorenal dan asites dengan peritonitis bakterialis
spontan. Dikenal 3 hipotesis pembentukan asites yaitu teori underfilling
yang mengemukakan bahwa kelainan primer yang menyebabkan terjadinya
asites adalah sekuesterisasi cairan yang berlebihan karena hipertensi portal,
teori overflow yang mengatakan bahwa retensi air dan garam yang
berlebihan tanpa disertai penurunan volume darah elektif, dan yang terakhir

38
adalah teori vasodilatasi arteri perifer yang menyatukan kedua teori di atas.
9. Tes biokimia
Jika albumin serum kurang dari 2,5 g, maka prognosis akan buruk.
Hiponatremi yang berat juga mempunyai prognosis buruk. Bila rasio bilirubin
serum total terhadap gamma glutamil transpeptidase melebihi satu, maka
prognosisnya sangat buruk.
10. Hipoprotrombinemia menetap dan hipotensi menetap mempunyai
prognosis buruk.
11. Perubahan histologi hati.
Perlemakan hati mempunyai respon yang baik terhadap terapi.

3.3.11. Perangkat Prognostik


Dari faktor-faktor prognosis di atas terdapat modifikasi berupa
beberapa perangkat prognostik untuk sirosis hepatis, yaitu11:
1. Skor Child- Pugh
Pertama kali diperkenalkan oleh C.G. Child dan J.G. Turcotte pada tahun
1964. Kriteria asites dan ensefalopati menggambarkan tingkat beratnya
hipertensi portal, sedangkan kriteria lainya yaitu ikterus, albumin, dan status
nutrisi menggambarkan fungsi metabolisme hepar. Kemudian pada tahun
1973 R.N.H. Pugh mengubah kriteria status nutrisi menjadi Prothrombin
Time (PT) atau International Normalized Ratio (INR), sehingga
menghilangkan kriteria yang paling subjektif.
Skor ini semula dibuat untuk memperkirakan kematian pada
tindakan bedah dan sekarang digunakan juga untuk menentukan prognosis yang
diperlukan untuk transplantasi hepar dan menilai prognosis serta staging
secara klinis pada sirosis hepatis.

Tabel 1. Perhitungan skor Child-Pugh


Penilaian 1 point 2 point 3 point

Total bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3


Serum albumin (g/dl) >3.5 2.8-3.5 2.8
Prothrombin Time (PT) <1.7 1.71-2.30 >2.30
Ascites Tidak ada Ringan Sedang-Berat
Hepatic encephalopathy Tidak ada Derajat I-II Derajat III-IV

39
Interpretasi skoring Child Pugh yaitu:
Kelas A: point 5-6, bertahan hidup 1 tahun (100%), bertahan hidup 2 tahun
(85%)
Kelas B: point 7-9, bertahan hidup 1 tahun (81%), bertahan hidup 2 tahun (57%)
Kelas C: point 10-15, bertahan hidup 1 tahun (45%), bertahan hidup 2 tahun
(35%)
2. Skor Mayo End-Stage Liver Disease (MELD)
Skor MELD ditemukan pada tahun 1999 di klinik Mayo sebagai
prediktor ketahanan hidup 12 minggu yang lebih objektif pada pasien
dengan penyakit hepar kronik. Skor ini digunakan untuk memprediksi
pasien yang akan menjalani terapi Transjugular Intrahepatic Portosystem
(TIPS) dan sebagai alat untuk menentukan prioritas pasien sirosis hepatis yang
menunggu transplantasi hepar. Pada tahun 2001 Kamath PS et al yang membuat
dan melakukan validasi MELD melaporkan bagaimana MELD dapat
diaplikasikan dan mengkaji kelebihan serta kekurangannya. Pada umumnya
skor MELD lebih baik jika dibandingkan dengan skor Child-Pugh. Sebab
sebagai prediktor ketahanan hidup, skor MELD dianggap lebih objektif daripada
skor Child-Pugh. Skor MELD digunakan untuk menyeleksi pasien
yang akan menjalani transplantasi hepar. Namun pertanyaan apakah skor
MELD ini cukup valid atau tidak dalam memprediksi ketahanan hidup
pasien masih belum terjawab. Sampai saat ini skor Child-Pugh lah yang
dianggap sebagai prediktor yang valid dalam meprediksi ketahanan hidup pada
pasien sirosis hepatis.

Rumus :
3,8 x log(e)(total bilirubin, mg/dl) + 11,2 x log(e)(INR) + 9,6 x
log(e)(kreatinin,mg/dl

Ketahanan hidup pasien sirosis hepatis dengan skor MELD </= 11 lebih
baik daripada pasien sirosis hepatis dengan skor MELD >11.

3.4. Hubungan hepatitis viral dengan sirosis hepatis


Hepatitis viral adalah suatu spektrum penyakit peradangan menahun

40
hati yang terbentang dari hepatitis akut ke hepatitis kronik dan akhirnya ke
sirosis. Hepatitis kronik didefinisikan sebagai reaksi peradangan kronik dalam
hati yang berlanjut tanpa perbaikan paling kurang selama enam bulan.
Progresivitas tergantung atas kombinasi berkelanjutan replikasi virus didalam
hati dan keadaan imunologi pasien. Virus tidak langsung sitopatik dan lisis
hepatosit terinfeksi dengan progresivitas ke kronik tetapi tergantung atas respon
imun hospes. Jika respon imun selular terhadap virus buruk, maka terjadi sedikit
atau tidak ada kerusakan hati dan virus kontinu berproliferasi dengan adanya
fungsi hati yang normal. Keadaan tersebut akan menjadi carrier yang terlihat
sehat. Pasien dengan respon imun seluler yang sedikit lebih baik memperlihatkan
nekrosis sel hati kontinu, tetapi respon tak cukup untuk membersihkan virus
dan timbul hepatitis kronik.10
Virus penyebab hepatitis pertama kali menginfeksi hepatosit. Selama masa
tunas, terjadi replikasi virus yang intens di sel-sel hati yang
menyebabkan munculnya komponen-komponen virus dalam urine, tinja dan
cairan tubuh lain. Kemudian terjadi kematian sel hati dan respons
peradangan terkait, yang diikuti oleh perubahan-perubahan pada uji
laboratorium fungsi hati dan munculnya berbagai gejala dan tanda penyakit hati.1

3.4.1. Virus Hepatitis B (VHB)


Ada tiga antigen yang dihubungkan dengan virus hepatitis B dua
diantaranya HBcAg dan HbeAg yang berkaitan dengan inti virus, yang
ketigaantigen hepatitis permukaan (HBsAg) merupakan antigen penentu
utama dari permukaan luar mantel virus.16
Antigen yang berhubungan dengan virus hepatitis B akan
menimbulkan antibodi yang spesifik : anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe.
Antigen dan antibodi merupakan tanda imunologik yang penting dari infeksi virus
dalam perjalanan penyakitnya.16
HBsAg adalah yang pertama-tama dideteksi dalam darah, pada masa
inkubasi. Mengikuti antigen permukaan, partikel virus dan HbeAg terdapat
dalam darah. HbeAg kemudian cepat menghilang pada fase akut dari
penyakit ini 2-3 minggu sebelum HBsAg menghilang. Kadar HBsAg mulai
menurun setelah serangan penyakit dan biasanya tidak terdeteksi setelah 3

41
bulan masa infeksi. Bila tetap ada selama lebih dari 6 bulan, maka biasanya
menunjukkan penyakit menahun. Meskipun antigen inti bebas HBcAg tidak
pernah ditemukan dalam serum, antibodinya yaitu anti-HBc merupakan
antibodi antivirus yang pertama-tama dapat dideteksi setelah kontak dengan virus
Hepatitis B. anti-HBc timbul menjelang masa akhir inkubasi dan tetap ada
selama fase akut dari penyakit. Respon awal anti-HBc adalah IgM diikuti 6-
18 bulan kemudian oleh antibodi IgG. Antibodi-antibodi ini tidak melindungi
dan dapat dideteksi pada penyakit menahun. Anti-Hbe timbul dalam serum
saat HBeAg mulai menghilang, pada awal dari fase resolusi dari hepatitis akut.
Anti-HBs dapat dideteksi selama fase penyembuhan dan ini biasanya tetap
bertahan seumur hidup. Interval antara hilangnya HBsAg dengan timbulnya
anti-HBs disebut sebagai periode jendela (window period).16
HBsAg muncul sebelum onset gejala, memuncak selama gejala penyakit
muncul, kemudian menurun sampai tidak terdeteksi dalam 3 hingga 6
bulan. HbeAg, HBV-DNA dan DNA polimerase muncul dalam serum
segera setelah HbsAg dan semuanya menandakan replikasi virus aktif.
Menetapnya HbeAg merupakan indikator penting terjadinya replikasi virus
yang berkelanjutan, daya tular dan kemungkinan perkembangan menuju
hepatitis kronis. IgM anti-HBc mulai terdeteksi dalam serum segera sebelum
onset gejala, bersamaan dengan mulai meningkatnya kadar aminotransferase
serum (menunjukkan kerusakan hati). Dalam beberapa bulan, IgM anti-HBc
digantikan oleh IgG anti-HBc. Munculnya antibodi anti-Hbe mengisyaratkan
infeksi akut telah memuncak dan sekarang mulai mereda. IgG anti-HBs
belum meningkat sampai penyakit akut berlalu dan biasanya tidak terdeteksi
selama beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah hilangnya HbsAg.
Anti-HBs dapat menetap seumur hidup, memberikan perlindungan; ini
merupakan dasar bagi strategi vaksinasi saat ini.15
Infeksi HBV berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, HBV-
DNA terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap
dan semua antigen terkait. Ekspresi HBsAg dan HBcAg di permukaan
sel disertai dengan molekul MHC kelas 1 menyebabkan pengaktifan
limfosit T CD8+ sitotoksik. Kemudian fase integratif, yang DNA virusnya

42
mungkin menyatu ke dalam genom penjamu. Seiring dengan berhentinya
replikasi virus dan munculnya antibodi antivirus, infektivitas berhenti dan
kerusakan hati mereda. Namun, risiko terjadinya karsinoma hepatoselular
menetap.15
Terdapat beberapa alasan untuk hipotesis bahwa HBV tidak secara
langsung menyebabkan cedera hepatosit. Yang terutama, banyak pembawa virus
kronis memiliki virion didalam hepatosit mereka tanpa memperlihatkan tanda
cedera sel. Kerusakan hepatosit diperkirakan terjadi akibat kerusakan sel yang
terinfeksi virus oleh sel T sitotoksik CD8+.15
Untuk proses eradikasi virus hepatitis B (VHB) lebih lanjut
diperlukan respon imun spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan
sel limfosit B. aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut
dengan kompleks VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel
hati dan pada permukaan dinding antigen presenting cell (APC) dan dibantu
rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan
VHB-MHC kelas II pada dinding APC. VHB yang ditampilkan pada
permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah
HBcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang
ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi
dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT
atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus
intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon
Gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T
CD8+.15
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan
produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe. Fungsi anti-HBs
adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam
sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke
sel.17

3.4.2. Virus Hepatitis C (VHC)


Masa inkubasi hepatitis C berkisar dari 2 hingga 26 minggu. RNA HCV
dapat dideteksi dalam darah selama 1 hingga 3 minggu dan disertai oleh

43
peningkatan kadar aminotransferase serum. Perjalanan klinis hepatitis C akut
biasanya lebih ringan daripada hepatitis B dan asimptomatik pada 75% orang.
Meskipun antibodi netralisasi anti-HCV terbentuk dalam beberapa minggu
hingga beberapa bulan, RNA-HCV tetap berada dalam darah pada banyak
pasien. Oleh karena itu, gambaran khas infeksi HCV adalah peningkatan
episodik kadar aminotransferase serum walaupun tidak ada gejala klinis dan ini
mungkin mencerminkan serangan berulang nekrosis hepatoselular. Sirosis
terjadi pada 20% orang yang mengalami infeksi persisten. Selain itu, pasien
mungkin terbukti mengidap infeksi HCV kronis selama berpuluh tahun tanpa
berkembang menjadi sirosis.15
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh Virus Hepatitis C (VHC) pada infeksi akut. Pada
infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel
hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa
menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga
kerusakan sel hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut
dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC.
Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada
reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL. Reaksi inflamasi yang
dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-alfa, TGF-beta1 akan
menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi
sel-sel stelata di ruang Disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam
keadaan tenang kemudian berproliferasi dan menjadi aktif, menjadi sel-sel
miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi
fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi.
Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang
terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan
sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan
hati lanjut dan sirosis hati.18

3.4.3. Hepatitis Virus Akut


Apapun penyebabnya, penyakit kurang lebih sama dan dapat dibagi

44
menjadi empat fase : (1) masa inkubasi, (2) fase praikterus simtomatik, (3) fase
ikterus simtomatik dan (4) pemulihan.15
Masa inkubasi merupakan puncak daya tular yang berkaitan dengan
keberadaan partikel virus infeksiosa dalam darah. Fase praikterus berkaitan
dengan hepatitis yang diisyaratkan oleh menigkatnya kadar aminotransferase
serum. Pemeriksaan fisik hanya memperlihatkan hati yang sedikit membesar
dan nyeri tekan. Fase ikterus simtomatik terutama disebabkan oleh
hiperbilirubinemia. Dengan rusaknya hepatosit terjadi defek dalam konjugasi
bilirubin, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi juga dapat terjadi. Fase ikterus
sering terjadi pada orang dewasa dengan hepatitis A, tetapi tidak terjadi pada
sekitar separuh kasus hepatitis B dan tidak ditemukan pada sebagian besar
kasus hepatitis C. dalam beberapa minggu hingga mungkin beberapa bulan,
ikterus dan sebagian besar gejala sistemik lain menghilang seiring dengan
dimulainya fase pemulihan.15

3.4.4. Hepatitis Virus Kronis


Perjalanan penyakit sangat bervariasi. Pasien mungkin mengalami remisi
spontan atau mengalami penyakit indolen tanpa perkembangan selama
bertahun-tahun. Sebaliknya, sebagian pasien mengalami penyakit yang
progresif cepat dan menderita sirosis dalam beberapa tahun. Pasien dengan
infeksi virus hepatitis B kronis atau virus hepatitis C berisiko cukup besar
mengalami karsinoma hepatoselular.15

3.5. Anemia pada Sirosis Hati


3.5.1. Definisi
Belum ada definisi yang memuaskan untuk menggambarkan tentang anemia
pada penyakit hati. Pada sirosis hati anemia dijumpai merupakan kombinasi dari
hipervolemia, masa hidup eritrosit yang memendek, perdarahan dan berkurangnya
kemampuan sumsum tulang untuk membentuk eritrosit.19-22

3.5.2. Etiologi/Patogenesis
Patogenesis anemia pada sirosis hati sepenuhnya belum dimengerti.
7

Walaupun itu sehubungan dengan kelemahan fungsi hati, tidak nampak hubungan

45
paralel antara derajat anemia dengan derajat kerusakan dan lamanya penyakit
hati.22 Biasanya berbagai faktor dapat menimbulkan anemia dimana faktor-faktor
ini bisa bekerja sendiri-sendiri atau berkombinasi. Faktor-faktor itu adalah19-22:
a) Penyakit kronis hatinya sendiri.
b) Hipervolemia.
c) Kehilangan darah.
d) Defisiensi zat besi.
e) Defisiensi asam folat.
f) Hipersplenisme
g) Hemolitik

a. Peranan dari penyakit kronis hatinya sendiri


Hati merupakan organ yang penting untuk menghasilkan
5
asam amino
esensial yang diperlukan untuk hemopoesis. Pada penyakit hati kronis,
kemampuan ini akan berkurang sehingga berakibat proses hemopoesis akan
terganggu dan dapat menyebabkan terjadinya anemia. Walaupun demikian
hemoglobin mempunyai prioritas yang tinggi untuk menggunakan protein
sehingga hanya pada keadaan malnutrisi berat gangguan hemopoesis oleh karena
kekurangan/ketiadaan protein bisa terjadi19. Pada sirosis hati bisa dijumpai anemia
defisiensi besi yang biasanya sekunder terhadap adanya perdarahan, misalnya dari
varises esofagus yang pecah. Walaupun demikian kadar besi plasma dan derajat
saturasi diatur oleh hati yang selain tempat penyimpanan besi, juga merupakan
organ yang menghasilkan transferin.20 Pada sirosis hati, dimana alkohol
merupakan penyebab kerusakan hati, maka alkohol juga memiliki efek toksik
langsung terhadap sumsum tulang.21

b. Hipervolemia
Volume darah sering meningkat pada penderita sirosis hati, terutama dengan
asites. Volume darah rata-rata meningkat 15% lebih tinggi dari normal dan ini
cenderung memperbesar prevalensi dan derajat anemia. Hipervolemia ini bisa
parsial dan kadang-kadang total dihitung dari rendahnya Hb dan eritrosit pada

46
darah tepi19-21. Besarnya hipervolemia dihubungkan dengan hipertensi portal,
bukan berdasarkan ada atau tidaknya asites.21

Perubahan volume darah pada penderita sirosis hati21

Parameter

Normal
Pasien dengan sirosis
Tanpa asites
Dengan asites
VPRC (L/L)
0,42
c. Kehilangan darah
0,35
0,34
Perdarahan pada sirosis hati sering disebabkan pecahnya varises esofagus.
Red cell mass (ml/kg)
Perdarahan
23 dapat juga disebabkan oleh ulkus peptikum atau hemoroid, sintesis
20
faktor pembekuan yang menurun, trombositopenia akibat hiperplenisme,
19
meningkatnya aktifitas
Plasma volume (ml/kg fibrinolisis, DIC dan pembentukan yang
42
abnormal fibrinogen (disfibrinogenemia). Perdarahan dapat bersifat akut dengan
57
gambaran
55 morfologi darah normokrom, normositik. Tidak dapat dikesampingkan
Whole blood volume (ml/kg)
adanya faktor-faktor perdarahan yang tersembunyi yang dapat menyebabkan
65
penurunan
74 besi total dalam tubuh, maka cadangan besi yang ada pada hati akan
74
dimanfaatkan secara maksimal sampai suatu saat cadangan besi akan habis, maka
secara klinis baru tampak penderita pucat oleh karena defisiensi besi.19-22

d. Defisiensi asam folat


Salah satu fungsi hati adalah tempat penyimpanan asam folat. Asam folat ini
akan dimetabolime menjadi bentuk aktif sebagai tetrahidrofolat. Asam folat yang
aktif berfungsi sebagai Co-enzim dalam proses pendewasaan sel eritrosit di
sumsum tulang. Pada sirosis yang disebabkan oleh alkohol dapat terjadi gangguan
intake asam folat yang berlama-lama dan diikuti oleh keadaan kerusakan jaringan
hati. Maka metabolisme asam folat akan terganggu sehingga timbul anemia

47
megaloblastik. Pada 5sirosis hati, kebutuhan asam folat meningkat, sedangkan
kemampuan metabolisme asam folat menurun dan peningkatan pengeluaran asam
folat melalui urin meningkat. Disisi lain intake asam folat sendiri tidak mencukupi
dari makanan sehari-hari pada penderita sirosis hati. Megabloblastik anemia
dijumpai 10-20% penderita sirosis hati terutama yang alkoholik.22

e. Hipersplenisme
Pada sirosis hati dengan hipertensi portal, selalu terjadi splenomegali. Limpa
yang membesar memegang peranan yang penting dalam penangkapan dan
penghancuran eritrosit. Ini terbukti dengan lebih pendeknya masa hidup eritrosit
pada penderita dengan splenomegali dari pada yang tidak mengalami
splenomegali. Dengan memakai 51Cr red cell survival telah dibuktikan adanya
penangkapan eritrosit yang berlebihan oleh limpa pada beberapa penderita. Tetapi
pada umumnya penangkapan oleh limpa adalah normal walaupun masa hidup
eritrosit memendek. Pada beberapa penderita, splenektomi akan diikuti oleh
perbaikan proses hemolitik, tetapi pada penderita yang lain, splenektomi hanya
memberikan efek yang sedikit. Gambaran darah tepi dari hipersplenisme bisa
dijumpai salah satu atau kombinasi anemia, lekopenia dan trombositopenia.19-22

f. Hemolitik
Masa hidup eritrosit bervariasi antara 100-120 hari. Pada penyakit hati
alkoholik, masa hidup eritrosit cenderung menurun. Dengan memakai 51Cr red
cell survival, masa hidup eritrosit adalah sub normal (t - kurang dari 24 hari )
pada 48 dari 68 penderita (70%). Alasan mengapa terjadi penurunan 6umur eritrosit
ini, belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian telah membuktikan bahwa dijumpai
perbaikan masa hidup eritrosit, jika ditansfusikan ke orang normal, sehingga
diduga faktor hemolitik berada di ekstrakorpuskular. Walaupun unsur hemolitik
ekstrakorpuskular berperanan pada anemia oleh karena penyakit hati, tetapi
gambaran klinis yang khas dan gambaran hematologis dari anemia hemolitik tidak
selalu dijumpai.21 Pada sirosis hati dijumpai perubahan yang khas dari membran
lipid eritrosit. Dimana rasio kolesterol dan fosfolipid (CP ratio) membran eritrosit
berubah dan sebagai akibatnya dijumpai berbagai kelainan morfologi eritrosit,

48
seperti makrosit tipis, target sel dan spur sel. Tidak ada bukti bahwa kelainan itu
menyebabkan pemendekan umur eritrosit. Pada kegagalan fungsi hati berat,
penimbunan kolesterol dalam membran eritrosit tanpa penimbunan lesitin,
mengakibatkan terbentuknya spur sel. Spur sel (akantosit) berhubungan dengan
hemolisis, masa hidup eritrosit memendek dan menandakan penyakit hati yang
berat serta mempunyai prognosa yang buruk. Pada sirosis hati dengan peningkatan
asam empedu, dijumpai aktivitas enzim lesitin cholesterol acyl transferase (LCAT)
terganggu. Ini menyebabkan rasio kolesterol dan lesitin membran eritrosit
berubah, sehingga kekenyalan membran eritrosit menjadi kaku, mudah terjadi
skuesterisasi di limpa dan terjadi hemolisis.19-22 Pada sirosis hati dapat dijumpai
abnormalitas metabolisme eritrosit, yang menyebabkan umur eritrosit lebih
pendek. Stimulasi aktivitas pentosa fosfat menurun. Ini menyebabkan glutation
tidak stabil dan cenderung membentuk Heinz-bodies. Abnormalitas metabolisme
ini, membuat sel sensitif terhadap oksidasi hemolisa. Kelainan metabolisme
eritrosit lain yang dijumpai pada sirosis adalah hipofosfatemia dengan penurunan
ATP eritrosit dan sebagai akibat terjadi hemolisis.20

g. Gangguan Homeostasis
Pada sirosis hati terjadi penurunan fungsi hati yang dapat menyebabkan
penurunan sintesis protein anti koagulan darah, baik yang dipengaruhi oleh
vitamin K atau tanpa dipengaruhi oleh vitamin K dan juga terjadi gangguan
sintesis protein yang bersifat fibrinolisis (plasminogen, antitrombin III (AT III),
alfa 2 antiplasmin serta protein C).23-24 Seluruh proses yang kompleks diatas,
secara garis besar akan menyebabkan terjadinya gangguan homeostasis pada
sirosis hati, dengan mekanisme sebagai berikut19-25.
1. Gangguan sintesis faktor pembekuan dan antikoagulan.
2. Penurunan kemampuan klirens hati.
- DIC
- Fibrinolisis primer
3. Trombositopenia akibat hipersplenisme.

49
Diagram hubungan nekrosis hati dengan gangguan homeostasis
(dikutip dari 25)

1. Gangguan sintesis faktor pembekuan.


Faktor pembekuan dapat digolongkan dalam :
a) Yang memerlukan vitamin K untuk pembentukan F(II, VII, IX, X).
b) Yang tidak memerlukan vitamin K untuk pembentukan F(I, V, XI, XII,
XIII).
Vitamin K berfungsi sebagai Co-enzim pada tahap akhir, pada tahap
karboksilase gugus gama glutamil. Bila terjadi defisiensi vitamin K, maka
pembentukan faktor pembekuan tersebut tidak sempurna, yang dilihat dengan
masa protrombin memanjang.19,23-24

50
2. Penurunan kemampuan klirens hati.
Pembersihan aktivator pembekuan dan aktivator plasminogen berlangsung
di hati. Bila fungsi hati terganggu, maka kemampuan klirens akan menurun, akan
terjadi DIC dan fibrinolisis primer. Sistim fibrinolisis normal penting artinya
untuk menjaga supaya pembuluh darah bebas dari endapan fibrin. Di hati sendiri
di sintesis plasminogen dan antiplasmin yang berfungsi pada proses fibrinolis.
Pada keadaan sirosis hati timbul gangguan ini, dimana terdapat gangguan klirens
aktivator plasminogen serta menurunnya sintesis anti plasmin. Keadaan ini
mengakibatkan terjadinya fibrinolisis.19,23-24

3. DIC (koagulasi intravaskular diseminata).


DIC atau koagulasi intravaskular diseminata disebabkan teraktivasinya
5

faktor-faktor prokoagulasi misalnya sel-sel endotel pembuluh darah, aktivasi


faktor-faktor Hageman dan aktivasi komplemen, yang mengakibatkan
penumpukan fibrinogen serta trombosit di dalam mikro sirkulasi secara difus.
Sebagai akibatnya akan terjadi konsumsi abnormal dari faktor-faktor koagulasi
dan trombosit yang menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan dan koagulasi
abnormal secara bersama-sama serta gangguan faal organ-organ vital sebagai
akibat penyumbatan dalam sirkulasi.23-24 Pada sirosis hati, DIC dapat
disebabkan19,23-24:
a) Kenaikan zat aktivator pembekuan (tromboplastin) yang berasal dari sel hati
yang mengalami lisis dan hemolisis eritrosit.
b) Penurunan kemampuan klirens oleh hati.
c) Zat toksis dari usus akan masuk sampai vena porta dan kadarnya akan
meningkat, yang dapat mengaktivasi proses pembekuan.
d) Penurunan kadar antikoagulan seperti AT III, protein C, protein S.
e) Stasis sistim porta, menyebabkan terbentuknya vena kolateral yang dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi, sehingga oksigenase jaringan endotel
menjadi jelek yang mengakibatkan dilepasnya pembekuan ke dalam aliran
darah.

4. Trombositopenia akibat hipersplenisme

51
Pada penderita sirosis hati dapat terjadi gangguan kwantitatif maupun
kwalitatif dari trombosit. Penghancuran trombosit dilakukan di limpa yang
memerlukan waktu 3-4 hari. Pada keadaan normal kira-kira 30% trombosit berada
dalam limpa, tetapi pada sirosis hati dengan splenomegali, jumlah trombosit yang
menumpuk di limpa 80%, sehingga pada pemeriksaan di perifer didapati
keadaan trombositopenia. 19,23-24
Pada sirosis hati sering terjadi hipersplenisme dengan akibat limpa
memfagositosis sel-sel darah secara berlebihan, pada penderita tersebut juga
terjadi trombositopatia yaitu suatu keadaan terganggunya faal trombosit.19

3.5.3. Gambaran Laboratorium


a. Pemeriksaan darah tepi
Derajat anemia pada sirosis hati tak berkomplikasi biasanya ringan sampai
sedang, dengan kadar Hb rata-rata 9-10 gr/dl, kadang-kadang bisa berat dimana
Hb 5-6 gr/dl bila diikuti dengan komplikasi perdarahan, hemolitik atau nutrisi
megaloblastik.20-22
Gambaran morfologi eritrosit pada sirosis hati tak berkomplikasi biasanya
normokrom, normositik. Tapi bisa dijumpai makrositik ringan walaupun MCV
jarang lebih dari 115 fl kalau tidak ada perubahan megaloblastik pada sumsum
tulang. Jika terjadi perdarahan kronis dan ada defisiensi besi, gambaran darah
tepinya berupa hipokrom mikrositik atau normositik. Terjadinya normositik
merupakan kombinasi mikrositik pada perdarahan kronis dan sifat makrositik
yang dipunyai penyakit hati sendiri.19
Bentuk makrositik ada 3 yaitu makrositik tipis, target sel dan makrositik
tebal. Yang sering dijumpai adalah makrositik tipis yang berhubungan dengan
makro normoblastik sumsum tulang dan dianggap merupakan respon yang tidak
spesifik terhadap kerusakan parenkim hati. Makrositik tipis ini adalah sel eritrosit
dimana diameter rata-rata lebih besar, tetapi volume rata-rata normal. Karena
makrositik tipis sering dijumpai, MCV sering normal, walaupun terlihat makrosit
dalam hapusan darah. Jika MCV meninggi, derajat peninggian biasanya sedang,
dimana MCV mencapai 110 fl walaupun kadang-kadang MCV bisa sampai 130 fl.
Peningkatan MCV bervariasi dari 33%-65%. Target sel yang dijumpai adalah

52
merupakan makrosit tipis yang bentuknya 5flat, tapi mempunyai luas permukaan
yang lebih besar dan mempunyai tahanan yang tinggi terhadap lisis osmotik. Pada
penyakit sirosis hati yang berat bisa dijumpai spur sel (burr sel = akantosit = sel
taji). Adanya sel ini menandakan terjadinya proses hemolisa dan mempunyai
prognose yang jelek.22 Bisa dijumpai retikulositosis sampai dengan 5% atau lebih
bersama dengan polikromasi sedang dan bintik-bintik basofil. Lekopenia sering
didapat pada sirosis hati yang juga diikuti jumlah trombosit yang menurun dengan
nilai lekosit sekitar 1500-3000/mm dan trombosit sekitar 60.000-120.000/mm 3
menunjukkan adanya hipersplenisme.19-22

3.6 Efusi Pleura pada Sirosis Hati


Efusi Pleura, yang juga dikenal dengan cairan di dada, adalah suatu kondisi
medis yang ditandai dengan peningkatan cairan yang berlebihan diantara kedua
lapisan pleura. Pleura adalah kantung yang terdiri dari dua lapisan yang meliputi
paru-paru dan memisahkannya dari dinding dada dan struktur-struktur di
sekitarnya. Biasanya, sejumlah kecil cairan yang ada diantara dua lapisan tersebut
berfungsi sebagai pelicin, mencegah gesekan ketika paru-paru mengembang dan
menguncup ketika bernafas. Pada efusi pleura, jumlah cairan yang abnormal
dalam rongga pleura membatasi fungsi paru-paru, menghasilkan gejala, seperti
batuk, nyeri dada dan kesulitan bernafas. Ada dua tipe Efusi Pleura: Efusi Pleura
Transudatifa dan Efusi Pleura Eksudatifa. Efusi pleura transudatifa disebabkan
oleh bocornya cairan ke rongga pleura yang disebabkan oleh konsentrasi protein
yang rendah atau tekanan darah yang tinggi, seperti pada keadaan gagal jantung
kiri atau sirosis hati. Sedangkan bentuk lainnya, efusi pleura eksudatifa seringkali
merupakan hasil peradangan pleura, pada keadaan seperti pneumonia dan
tuberkulosis, yang menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih mudah ditembus,
memungkinkan cairan bocor ke luar dan berkumpul diantara dua lapisan pleura.
Efusi pleura sangat umum terjadi dan biasanya ditangani dengan mengeluarkan
cairan yang berlebih dari dalam rongga pleura.
Efusi pleura dapat terjadi pada pasien dengan sirosis hati. Kebanyakan efusi
pleura timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara
cairan pleura dan asites, karena terdapat hubungan fungsional antara rongga pleura

53
dan rongga abdomen melalui saluran getah bening atau celah jaringan otot
diafragma, yaitu karena terjadinya penurunan tekanan onkotik akibat
hipoalbuminemia dan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik sehingga terjadi
perpindahan cairan yang menyebabkan efusi pleura. Kebanyakan efusi menempati
pleura kanan (70%) dan efusi bisa juga terjadi bilateral.
Torakosentesis kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi sesak nafas,
tapi bila asitesnya padat sekali, cairan pleura akan timbul lagi dengan cepat.
Dalam hal ini perlu dilakukan terapi peritoneosintesis dismaping terapi dengan
diuretik dan terapi terhadap penyakit asalnya.

54

Anda mungkin juga menyukai