BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
karsinoma leher rahim. Pada dasarnya faktor risiko lesi pra-kanker dan kanker
leher rahim adalah sama. Leher rahim secara alami melalui proses pertumbuhan
sel abnormal akibat saling menekan pada ke dua lapisan pada leher rahim. Dengan
masuknya virus, portio yang dalam keadaan erosi (metaplasia skuamosa) yang
berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan selanjutnya
berkembang menjadi invasif, sebagian kasus antara 30-70% dapat menjadi normal
(Andrijono, 2013).
kanker baru di seluruh dunia dan 275.000 orang mengalami kematian pada tahun
Tingkat insiden dan kematian global tergantung pada adanya program skrining
untuk pra-kanker leher rahim. Karena intervensi ini, telah terjadi penurunan 75%
2
dalam insiden dan angka kematian kanker leher rahim selama 50 tahun terakhir di
negara-negara maju. Pada tahun 2008 di negara maju, kanker leher rahim adalah
tipe ke sepuluh paling umum,dari kanker pada wanita (9,0 per 100.000
yang paling umum dari kanker (17,8 per 100.000) dan penyebab kematian akibat
kanker (9,8 per 100.000) di kalangan wanita. Di benua Afrika dan di Amerika
Tengah, kanker leher rahim merupakan penyebab nomor satu kematian terkait
Di Amerika Latin dan Afrika Selatan frekuensi kanker rahim juga merupakan
kanker leher rahim lebih sering terjadi pada kelompok wanita minoritas seperti
imigran Vietnam, Afrika dan wanita India. Hal ini berkaitan dengan anggapan
perlu melakukan Pap smear. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2030,
hampir setengah juta wanita meninggal karena kanker leher rahim, dengan lebih
dari 98% dari kematian ini diperkirakan akan terjadi pada rendah dan menengah
proporsi kanker leher rahim dari semua jenis kanker dibeberapa bagian patologi
anatomi pada tahun 2000, seperti Surabaya ditemukan sebesar 24,3%, Yogyakarta
25,7%, Bandung sebesar 25,1%, Surakarta sebesar 28,2% dan Medan sebesar
pertama dari keganasan ginekologi yaitu 73,36% disusul oleh karsinoma ovarium
2.3.1 Umur
Pada dekade tahun 70-an dilaporkan bahwa umur merupakan faktor risiko
kanker leher rahim. Data dari beberapa rumah sakit pusat pendidikan menyatakan
bahwa umur pasien kanker leher rahim terbanyak adalah 55-58 tahun (Nugroho,
2000). Pada dekade 90-an umur kasus kanker leher rahim terbanyak antara 43-47
tahun seperti yang dilaporkan oleh rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
mendapatkan umur terbanyak 45-59 tahun dan rumah sakit Sanglah Denpasar 41-
insiden dan derajat keganasan lebih banyak terjadi pada wanita usia tua. Proporsi
wanita diatas 35 tahun yang menderita kanker leher rahim meningkat dari 9%
menjadi 25%, dan pada tiap penelitian ditemukan bahwa wanita tua mempunyai
pelvis pada wanita tua meningkat dari 23% menjadi 40% selama periode 34
tahun. Wanita yang rentan menderita kanker leher rahim adalah yang berusia
4
antara 35-50 tahun, terutama yang telah aktif secara seksual sebelum usia 16
2.3.2 Paritas
refleksi dari aktifitas seksual dan saat mulai kontak seks pertama kali dari pada
perubahan NIS yang tidak tergantung HPV (Hacker, 2000). Sementara peneliti
lain Wright dan Kurman melaporkan bahwa umur pada kehamilan pertama lebih
Pada wanita dengan paritas 6 atau lebih mempunyai risiko untuk menjadi
kanker serviks 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan paritas
yang sama yaitu perempuan dengan 5-12 anak dibandingkan 0-4 anak memiliki
yang kuat untuk menderita kanker leher rahim, HR=7.1; 1.0, 52 in 4+vs 0
(Thulaseedharan, 2012).
antara lesi prakanker dan kanker serviks dengan hubungan seksual pada usia dini,
berbahaya apabila terpajan HPV dalam 5-10 tahun setelah menars (Wright, 2005).
Satu dekade terakhir perhatian difokuskan pada HPV sebagai agen etiologi primer
kemungkinan 3 kali lebih besar untuk menderita kanker leher rahim daripada
perempuan saat melakukan hubungan seks diatas umur 20 tahun (Novel, 2010).
terjadinya lesi pra-kanker leher rahim sebesar 3 kali dibandingkan menikah umur
progresivitas lesi. Pendapat ini masih kontroversi sebab penelitian lain tidak
menemukan hubungan yang jelas antara kontrasepsi oral dengan NIS (Diananda,
6
2009). Perubahan epitel serviks terlihat setelah pemakaian pil kontrasepsi 5 tahun
kejadian kanker leher rahim dimana nilai p=0,001, nilai OR 0,18, bahwa
kontrasepsi hormonal lebih berisiko 0,18 kali terkena kanker leher rahim pada
mengurangi kadar vitamin C, B12, B6, asam folate B2 dan zinc yang terlibat
dalam kekebalan tubuh. Tercatat bahwa 67% wanita dengan kanker leher rahim
mutagenic berupa volatile, sedangkan bentuk partikel dari asap pada rokok
mengandung nitrosamine yaitu dihasilkan oleh lakaloid tembakau nikotin dan nor
nikotin yang diketahui sangat karsinogen dan mutagenik. Bahan tersebut oleh
peneliti ditemukan pada serviks wanita yang aktif merokok dan dapat menjadi ko-
7
menjadi ko-faktor terhadap NIS III. Konsumsi lebih dari 10 batang rokok per hari
meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim (Anna, 2002). Menurut Novia
Dewi dalam penelitiannya di Denpasar tahun 2012, wanita yang menghirup asap
rokok > 4 jam per hari meningkatkan kejadian lesi pra-kanker kanker leher rahim
berhubungan dengan status gizi. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh
peranan mikronutrien seperti kekurangan Zink, Cuprum, asam folat juga diduga
sebagai faktor risiko kanker serviks. Pengolahan makanan dalam suhu tinggi pada
makanan yang mengandung protein dan lemak yang tinggi akan membentuk
berbagai senyawa mutagenik (Novel, 2010). Wanita dengan status gizi buruk
sangat mudah terinfeksi virus HPV. Seseorang dengan diet ketat akan
menyatakan, folat adalah salah satu faktor nutrisi yang memegang peranan dalam
HPV pada situs kromosom sehingga menjadi rapuh yang dapat memudahkan
pra-kanker dan kanker leher rahim atas dasar sistem imunitas berperan penting
infeksi virus onkogenik, apalagi dengan keadaan mekanisme regulator sel yang
Cuzick tahun 2008, mendapatkan insiden NIS meningkat pada kasus HIV
(Cuzick, 2008). Infeksi kelamin lain diduga sebagai faktor yang meningkatkan
terjadinya kanker pada leher rahim. Dalam penelitiannya tahun 2008, Melva
menemukan keadaan yang tidak berbeda secara statistik bahwa responden dengan
riwayat penyakit kelamin memiliki potensi yang kuat untuk terkena kanker leher
rahim, dengan nilai RP 2.528 (95% CI 1.698 3.764) (Melva, 2008). Temuan
patogen menular seksual terjadi pada semua wanita yang pernah terinfeksi IMS.
9
Keputihan yang dibiarkan terus menerus tanpa diobati serta adanya IMS yaitu
penyakit yang mudah menular melalui hubungan seks yang tidak aman antara lain
Dari penelitian serupa oleh Dirk tahun 2012 pada ibu rumah tangga di
136.271 dan RR = 7.50. Dinyatakan ibu rumah tangga yang pernah menderita
IMS tidak memiliki hubungan terhadap kejadian lesi pra-kanker leher rahim.
vaginosis bakteri pada 10% hasil Pap smear dengan semua kasus CIN, lebih
Selatan menemukan 12% dari 262 wanita mengalami neoplasma serviks dan 79%
bahwa IMS terjadi karena memiliki pasangan seksual lebih dari satu, berhubungan
kali secara bermakna meningkatkan peluang terjadinya kanker leher rahim, penis
10
dan vulva. Terjadi peningkatan 10 kali lipat lebih besar bila seorang wanita
pernah memiliki pasangan enam orang atau lebih selain itu, virus herpes simpleks
Wanita memiliki hasil IVA positif 14,10%, pada studi yang dilakukan oleh
Andi dan Ong tahun 2011, pada perilaku berganti-ganti pasangan dan merupakan
satu-satunya faktor yang mempunyai asosiasi bermakna dengan hasil tes IVA. Hal
ini disebabkan karena sel-sel dalam mulut rahim, memiliki Ph yang tidak sama
antara satu sperma dengan sperma lainnya, sehingga dapat memicu terjadinya
perubahan kearah displasia (Andi, 2011). Untuk risiko terkena lesi pra kanker
leher rahim pada wanita yang memiliki jumlah pasangan seksual >1 orang adalah
3,441 kali lebih tinggi dibanding mereka yang mempunyai pasangan seksual 1
orang, setelah dikontrol variabel umur dan kejadian lesi pra- kanker pada seorang
wanita dapat dicegah 70,94% bila tidak mempunyai jumlah pasangan seksual >1
(Susanti, 2009).
mendeteksi adanya sel yang tidak normal, biaya murah dan terjangkau oleh
masyarakat. Keunggulan lain IVA, dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih
pengobatan yang tidak tepat sehubungan dengan hasil positif palsu tersebut.
mempunyai sensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi lesi
pra-kanker derajat tinggi meskipun spesivisitasnya lebih rendah dari tes Pap.
oleh prevalensi kasus. Pada daerah dengan prevalensi kasus yang rendah, angka
kejadian positif palsu dari pemeriksaan akan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan daerah yang memiliki prevalensi kasus lebih tinggi (Depkes RI, 2008).
tergantung pada riwayat alamiah dan sifat biologis keganasan atau bagian
kanker leher rahim. Protokol skrining yang optimal termasuk tes yang efektif
biaya, sensitif, spesifik, dan bebas risiko serta punya nilai prediksi positif dan
negatif yang dapat diterima, ketika digunakan pada skrining berdasar populasi
(Nuranna, 2006).
benarbenar tidak sakit dengan tes IVA dalam skrining lesi pra-kanker leher
rahim yaitu pemeriksaan tidak hanya dengan satu metode saja dibutuhkan
memiliki positif palsu yang tinggi, apabila dikombinasikan dengan tes Pap dimana
sensitivitas dan spesivisitasnya cukup baik maka diharapkan sistem skrining dua
tahap ini dapat diberlakukan sebagai sistem skrining kanker leher rahim di
Indonesia. Solusi ini untuk menemukan sistem skrining yang efektif dan menekan
leher rahim menggunakan asam cuka (IVA) adalah tehnik pemeriksaan yang
bidan dan perawat untuk menemukan secara cepat kanker leher rahim dengan
mengamati portio yang sudah diolesi asam cuka 3-5% secara inspekulo dan
Kolumnar (SSK)
yang timbul akibat perbedaan tebal antara lapisan epitel skuamosa dan
tebal dan berlapis-lapis yang berfungsi sebagai filter yang efektif sehingga
13
rahim dengan metode IVA karena temuan ini mengarah pada diagnosis
serviks in-situ).
4. Kanker leher rahim. Pada tahap ini, upaya penurunan temuan stadium
banyak diterima olah komunitas medis dan pasien secara luas dan menunjukkan
leher rahim berkurang lebih dari 40%. Hal ini ditunjukkan dengan tes
kanker leher rahim, tes Pap menunjukkan metode skrining terefektif dalam
mencegah kematian pada kanker leher rahim serta Pap smear lebih unggul di
spesivisitas dalam arti hasilnya lebih akurat mengenali sel kanker (Nuranna,
2006).
akibat kanker ini, namun karena biaya yang mahal dan waktu yang lama dalam
memperoleh hasil menjadikan Pap smear bukan pilihan utama dalam skrining lesi
pra-kanker leher rahim. Dari berbagai penelitian diperoleh bahwa sensitivitas Pap
smear untuk mendeteksi kanker leher rahim sangat bervariasi yaitu antara 44%-
98%. Selain memiliki sensitivitas yang amat bervariasi, Pap smear juga memiliki
angka palsu yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 5%-50%, antara lain akibat
pengambilan sediaan yang tidak adekuat 62%, kegagalan skrining 15%, dan
Mumbai tahun 2004 menambahkan tes visual dalam kombinasi paralel dengan
penelitian Leena dan Jogdand di India tahun 2013, melakukan tes bersamaan
dengan dua metode IVA dan Pap smear, menemukan secara keseluruhan tes
positif adalah 21,4% untuk IVA dan 2,24% untuk Pap smear (LSIL ambang
batas). IVA positif 70% dari wanita dengan CIN 1. Ada kesesuaian yang
signifikan ditunjukkan dari abnormal IVA dan kelainan sitologi, dikatakan bahwa
15
kedua tes memiliki potensi kuat untuk mendeteksi penyakit leher rahim/serviks
dan sistem Bethesda. Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988. Setelah melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan
1. Sel skuamosa
Bila dalam hasil Pap smear ditemukan beberapa perubahn sel-sel ke arah
abnormal, menunjukkan adanya sel atipik atau displasia serviks/ LSIL dan
2. Sel glandular
e. Adenokarsinoma Endoserviks
16
datangnya waktu menopause. Pasangan usia subur (PUS) adalah pasangan yang
istrinya berumur 20-49 tahun, atau pasangan suami istri yang istrinya berumur
kurang dari 15 tahun dan sudah haid (datang bulan), juga termasuk istri berumur
lebih dari 50 tahun, tetapi masih haid. Pada wanita-wanita usia subur (WUS)
adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik antara
umur 20-45 tahun, puncak kesuburan ada pada rentang usia 20-29 tahun, pada
usia ini wanita memiliki kesempatan 95% untuk hamil (BPS, 2007).