PEMBIMBING :
dr. Herlangga Pramaditya, Sp. OG
PENYUSUN :
Brian Rizki Emawan 2020.04.2.0041
Dwi Oktaviyanti 2020.04.2.0056
Dian Febri Basukiwara 2020.04.2.0058
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat, dan anugerah-Nya, saya dapat menyelesaikan referat ini
dengan judul “LESI PRA KANKER SERVIKS”. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi
RSPAL Dr.Ramelan Surabaya..
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung dalam
proses penulisan dan penyusunan referat ini :
1. dr. Herlangga Pramaditya, Sp. OG selaku dokter
pembimbing dalam penyusunan referat ini.
2. Dosen-dosen Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi
RSPAL Dr.Ramelan Surabaya yang telah memberi
bimbingan dan pengajaran kepada penulis.
3. Rekan-rekan kepaniteraan Ilmu Obstetri dan Ginekologi
atas bantuan, dukungan, dan kerjasamanya.
Demikian referat ini dibuat dengan harapan mudah-mudahan
bermanfaat untuk mengembangkan ilmu kedokteran di masa mendatang.
Referat ini mungkin masih bisa di katakan belum sempurna
sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi Lesi Prakanker....................................................................7
Tabel 2 Skrining Serviks.................................................................................13
Tabel 3 Stadium Kanker Serviks FIGO 2018..................................................28
Tabel 5 Harapan Hidup Penderita Kanker Serviks berdasarkan stadium......37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Patogenesis Lesi Pra Kanker....................................................................5
Gambar 2 Patogenesis Secara Mikrobiologi..............................................................6
5
Gambar 3 Cone biopsi............................................................................................13
Gambar 4 Punch biopsi..........................................................................................14
Gambar 5 Loop Electrosurgical Excision Precedure...........................................15
Gambar 6 Trakelektomi radikal.............................................................................15
Gambar 7 Histerektomi...........................................................................................16
6
7
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lesi pra kanker serviks adalah perubahan sel abnormal yang terletak
di sekitar serviks yang dimulai pada sel-sel di permukaan serviks dekat SCJ.
Lesi dapat secara bertahap berkembang menjadi kanker serviks kecuali
diskrining dan diobati lebih awal. HPV (Human Papilloma Virus) adalah salah
satu agen etiologi utama untuk mengembangkan lesi pra kanker serviks dan
kanker serviks. Strain HPV risiko rendah dan risiko tinggi menyebabkan
displasia tingkat rendah (CIN1/LGSIL1).
HPV asimtomatik terjadi pada 5-20% wanita usia reproduksi yang aktif
secara seksual. Infeksi HPV sangat sering reversibel. Sekitar 90% infeksi
HPV dapat sembuh secara spontan dalam 24-36 bulan (Getinet et al., 2021;
Kornovski et al., 2021). Di negara berkembang dengan akses terbatas ke pap
smear, IVA adalah metode deteksi dini yang paling banyak diterapkan. Tes
IVA positif menunjukkan pembentukan area acetowhiteish 1 menit setelah
aplikasi asam asetat pada serviks (Getinet et al., 2021).
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Insiden infeksi HPV adalah 7% untuk rentang usia 20-25 tahun dan
kurang dari 2% untuk wanita di atas usia 30 tahun. Infeksi persisten dengan
2
jenis HPV risiko tinggi (16, 18) berkembang menjadi HGSIL dan kanker
serviks. Telah ditetapkan bahwa infeksi HPV mengekspresikan 2 onkogen
(onkoprotein) — E6 dan E7, yang selanjutnya menghambat gen supresor
tumor (p53, retinoblastoma rb), menyebabkan pembelahan sel yang tidak
terkendali. Kofaktor spesifik yang tidak jelas bertindak sebagai pemicu karena
tidak semua infeksi persisten dengan jenis virus papiloma berisiko tinggi
menyebabkan kanker. Periode transformasi tidak konsisten pada pasien yang
berbeda (Getinet et al., 2021).
2.1.3 Etiologi
HPV adalah salah satu etiologi utama untuk mengembangkan pra
kanker serviks dan kanker serviks (CC). Strain HPV risiko rendah dan risiko
tinggi menyebabkan displasia tingkat rendah (CIN1/LGSIL1). Hanya jenis
HPV risiko tinggi yang bertanggung jawab atas perkembangan penyakit. HPV
merupakan infeksi virus yang paling umum menyerang saluran genital.
Sebagian besar wanita dan pria yang aktif secara seksual sewaktu-waktu
dapat terinfeksi dan beberapa dan beberapa mengalami infeksi berulang.
HPV menyebabkan 99% dari kejadian kanker serviks dan menyumbang
sekitar setengah dari infeksi terkait kanker pada wanita. Infeksi HPV tipe 16
dan 18 dapat mengakibatkan perubahan sel-sel serviks menjadi lesi
intraepitel derajat tinggi (high grade ephitelial lesion/LISDT) yang merupakan
lesi pra kanker (Kassa, 2018; Getinet et al., 2021; Kornovski et al., 2021).
Ada lebih dari 100 subtipe HPV yang berbeda. Hanya strain berisiko
tinggi yang bertanggung jawab atas karsinogenesis serviks (HPV 16, 18, 26,
31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66) dan termasuk karsinogen kelas I.
HPV 16 dan 18 adalah dua subtipe utama yang terkait dengan kanker
serviks. Strain penting lainnya bervariasi secara regional. HPV 16
berkontribusi pada 50-55% kasus kanker serviks invasif. Secara kolektif, HPV
16 dan 18 bertanggung jawab untuk kira-kira. 70% dari kanker serviks. Infeksi
ini dikaitkan dengan faktor risiko tertentu (Getinet et al., 2021).
3
2.1.4 Patogenesis
Gambar 1 Gambar Patogenesis lesi pre kanker serviks (Evriarti & Yasmon,
2019).
HPV merupakan virus yang menjadi penyebab utama dari kanker
serviks. Virus HPV ini dapat menyebabkan infeksi dikarenakan adanya abrasi
atau luka pada jaringan epitel maka akan terjadi infeksi pada sel-sel epitel
serviks tersebut. HPV akan masuk ke dalam sel epitel bagian basal karena
adanya abrasi. Sel-sel epitel yang belum matang dan masih terus
berproliferasi adalah sel-sel epitel pada bagian basal. Karena peningkatan
maturasi dari sel host menyebabkan ekspresi gen HPV menjadi semakin
lengkap. Saat menginfeksi sel basal, HPV kurang reproduktif (replikasi virus
terjadi lambat). Replikasi virus terjadi sangat lamban namun konstan. Dalam
fase yang akan terjadi ini, sel masih belum memunculkan perubahan yang
abnormal. Akan terjadi proses replikasi genom HPV meningkat dan
oncoprotein yang dikode oleh gen E6 dan E7 dan protein struktural mulai
diekspresi pada saat sel epitel pejamu matang dan tidak lagi berdiferensiasi
yang dikode oleh gen L1 dan L2. Kemudian akan terbentuk virion baru dalam
jumlah besar yang akan menginfeksi sel epitel lainnya yang masih normal
4
dan mulai terjadi perubahan yang abnormal pada sel (immortal sel). Akan
tetapi, respon imun sebenarnya masih dapat mengeliminasi infeksi pada
tahap ini karena perubahan yang terjadi ini masih dalam skala yang sangat
kecil (CIN tahap I). Namun bila terjadi toleransi, infeksi HPV akan menjadi
persisten (Gambar 2.3). Infeksi HPV yang persisten akan menyebabkan lesi
makin meluas dan makin invasif (CIN tahap II dan CIN tahap III). Pada CIN
tahap I, sel pejamu bahkan sebagian ada yang tidak terintegrasi dalam
genom sel pejamu karena belum terintegrasi secara sempurna pada genom
HPV. Akan tetapi, DNA HPV sudah terintegrasi sempurna ke dalam genom
sel pejamu pada keadaan CIN tingkat tinggi (Gambar 2.3). Sehingga
menyebabkan terganggunya atau terhapusnya gen pengkode potein E2
dalam integrasi ini. Sebagai akibatnya, regulator transkripsi protein E6 dan
E7 terganggu karena fungsi protein E2. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan ekspresi protein E6 dan E7. Kedua protein ini menghalangi
regulasi siklus sel dengan cara mengikat dan menginaktivasi dua protein
suppressor tumor yaitu protein p53 dan retinoblastoma (pRb) (Evriarti &
Yasmon, 2019).
5
Kompleks enzim Ubiquitin Ligase akan terbentuk karena protein E6
yang terdiri atas 150 asam amino berikatan dengan protein seluler E6-
associated protein (E6-AP). Kompleks enzim ini akan menyebabkan proses
dari degradasi p53. Kemudian akan terjadi aktivitas normal dari p53 seperti
memberhentikan siklus sel setelah fase G1, apoptosis, dan perbaikan DNA
tidak terjadi yang disebabkan oleh degradasi dari p53 tersebut (Gambar 2.4).
Selain itu, untuk memicu aktivitas dari enzim telomerase maka protein E6
juga berperan menginduksi protein c-myc. Akibatnya sel akan menjadi
immortal karena telomernya tidak mengalami pemendekan (Evriarti &
Yasmon, 2019).
Gangguan pada kompleks pRB dan faktor transkripsi seluler E2F-1
disebabkan oleh protein E7 terdiri atas 100 asam amino membentuk
kompleks dengan protein RB yang hipofosforilasi. Sebagai akibatnya, faktor
dari trankripsi E2F-1 akan bebas dan terlepas dari untai DNA, sehingga
menyebabkan terjadinya transkripsi gen yang dibutuhkan untuk masuk
kedalam fase S pada siklus sel dan menghalangi apoptosis dari sel pejamu
(Gambar 2.4). Sel pejamu menjadi immortal dan terus membelah tanpa
terkontrol (Evriarti & Yasmon, 2019).
Pada keadaan normal, perubahan pada sel akan memicu respon imun
sehingga kelainan pada tahap ini dapat di atasi dan sel-sel abnormal di
apoptosis. Secara alamiah interferon (IFN) tipe 1 seperti IFN-α dan IFN-β
akan dilepaskan oleh sel yang terinfeksi virus. Natural Killer (NK) akan
dihambat replikasi virus pada sel penjamudan diaktifkan oleh interferon. Akan
tetapi HPV yang regulasi transkripsi dari faktor regulator interferon 3 untuk
mengaktivasi interferon beta sehingga membatalkan respon awal dari sistem
imun bawaan terhadap infeksi virus yang dapat dihambat oleh protein E6 dan
E7. E7 juga mengikat faktor regulator interferon 1 untuk mencegah aktivasi
dari interferon alfa dan beta. Selain itu, translokasi makrofag ke titik yang
terinfeksi virus juga dihambat oleh protein E6 dan E7 dengan cara
6
menghambat regulasi Monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1),yang
merupakan suatu senyawa kemotaksis. Normalnya senyawa ini akan
dilepaskan oleh sel keratin yang terinfeksi virus sehingga makrofag akan
bermigrasi ke sel yang terinfeksi. Lalu, komponen virus bila berikatan dengan
makrofag yang teraktivasi, seperti materi genetik dari virus maupun
kapsidnya. Makrofag yang teraktivasi akan melepaskan sitokin inflamatori,
kemokin atau interferon. Senyawa yang dilepaskan makrofag akan memicu
TNF-α maupun antibodi untuk membunuh HPV (Evriarti & Yasmon, 2019).
Protein E5 dari HPV juga berperan dalam mendukung infeksi persisten
HPV. Protein E5 menyebabkan penurunan regulasi reseptor sel NK.
Penurunan regulasi reseptor mengakibatkan sel NK tidak dapat menempel
pada reseptornya sehingga aktivitasnya dalam mengeliminasi sel kanker
akan menurun. Beberapa sitokin yang dapat memicu respon imun adaptif
tidak sekresi yang disebabkan karena penurunan aktivitas sel NK (Evriarti &
Yasmon, 2019).
Akibat dari tahap yang lebih lanjut, virus akan makin diuntungkan
karena virus tetap ada dan berkembang karena respon imun yang terbentuk
pada penderita kanker serviks. Hal ini dikarenakan, protein-protein yang
disintesis oleh virus HPV menghambat regulasi terbentuknya sistem imun
adaptif melalui penunrunan aktivitas APC (agen precenting cell). Salah satu
APC yang sangat penting dalam respon imun adaptif adalah sel dendritik. Sel
dendritik berperan mengubah sel T naif menjadi sel T aktif. Toleransi imun
terhadap HPV disebabkan karena kegagalan sel dendritik mempresentasikan
antigen HPV pada sel T naïf. Sel dendritik yang dapat mempresentasikan
antigen pada sel T adalah sel dendritik yang matur (dewasa). Sel dendritik
yang imatur (tidak memiliki reseptor B7) tidak dapat menstimulasi pengaktifan
sel T. Meskipun , yang terbentuk adalah sel T regulator yang justru merepresi
sistem imun akan tetapi juga mampu mengaktifkan sel T melalui sekresi Il-10
dan TGF-β. Karena proses replikasi dan pelepasan HPV dari sel penjamu
juga tidak terjadi secara litik, maka pelepasan molekul anti-inflamasi tidak
7
terprovokasi. Infeksi HPV yang asimptomatik merupakan hal yang normal
pada wanita yang immunokompeten. Meskipun begitu, dalam kurun waktu
satu tahun rata-rata infeksi oleh HPV dapat dieliminasi. Oleh sebab itu,
persisten dan progresi lesi dari sebagian kecil pasien yang terinfeksi HPV
tidak diketahui penyebabnya dengan pasti (Evriarti & Yasmon, 2019).
8
b. Atipikal (Kelas II): Hal ini lebih lanjut dibagi menjadi dua istilah: sel ASC-H
dan ASC-US.
2.1.5.2 Stadium
9
Gambar 1 Stadium Lesi Pra Kanker
10
Diplasia sedang (NIS II) Destruksi; krioterapi
Elektrogoagulasi
Laser : Laser + 5 FU
Eksisi : diatermi loop
Displasia keras (NIS III)/KIS Destruksi:krioterapi
Elektrokoagulasi
Laser
Eksisi: konisasi
Histerektomi
11
umumnya dapat disembuhkan dengan efektif. (National Cancer
Institute,2015).
Diatermi Elektroagulasi Radikal
dapat memusnahkan jaringan lebih luas (sampai kedalaman 1cm)
dan efektif dibandingkan elektrokauter tapi harus dilakukan dengan
anestesia umum. Tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, dianjurkan
hanya terbatas pada NIS1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan.
(National Cancer Institute,2015).
CO2 Laser
adalah muatan listrik yang berisi campuran gas helium, nitrogen dan
gas CO2 yang menimbulkan sinar laser dengan gelombang 10,6 u.
Perbedaan patologis dapat dibedakan dalam 2 bagian, yaitu penguapan
dan nekrosis. 4
b. Terapi NIS dengan eksisi Konisasi (cone biopsy)
adalah pembuatan sayatan berbentuk kerucut pada serviks dan
kanal serviks untuk diteliti oleh ahli patologi. Digunakan untuk diagnosa
12
Gambar 3. Cone biopsy
Punch Biopsi
13
Gambar 5. Loop Electrosurgical Excision Precedure
Trakelektomi radikal
Dokter mengambil leher rahim, bagian dari vagina, dan kelenjar
getah bening di panggul. Pilihan ini dilakukan untuk wanita dengan tumor
kecil yang ingin mencoba untuk hamil di kemudian hari. (National Cancer
Institute,2015).
14
Histerektomi
adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat
Gambar 7. Histerektomi
15
2.1.7 Skrining
Rekomendasi skrining serviks (ACOG/ American College of
Ostetricians and Gynecologists) dalam (HOGI, 2018).
Tidak adanya gejala yang jelas pada tahap/stadium awal (pra kanker),
akan tetapi setelah berkembang menjadi kanker maka akan timbul gejala-
gejala seperti keputihan yang tidak sembuh walaupun sudah diobati,
keputihan yang keruh dan berbau busuk, perdarahan setelah berhubungan
seksual, perdarahan di luar siklus haid dan lain-lain (HOGI, 2018).
16
dimodifikasi dengan cara, sel usapan serviks dikumpulkan dalam cairan
dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran, darah, dan lendir juga
untuk memperbanyak sel serviks yang telah dikumpulkan maka akan
meningkatkan dari sensitivitas pemeriksaan. Sampel diambil dengan
menggunakan semacam sikat atau bisa disebut (brush), setelah itu sikat
atau (brush) dimasukkan ke dalam cairan dan disentrifuge, apabila sel
yang telah dikumpulkan maka kemudian akan diperiksa dengan
menggunakan mikroskop. Sedangkan pap smear merupakan suatu
bentuk skrining, tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya
penyakit kanker serviks. Apabila ditemukannya hasil dari pap smear yang
abnormal, maka akan dilakukan pemeriksaan standar yaitu berupa
pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan kolposkopi merupakan salah satu
pemeriksaan yang dilakukan dengan pembesaran (4-10x) yang gunanya
untuk mengamati secara langsung dari permukaan serviks dan bagian
dari serviks yang tidak normal atau abnormal. Dengan pemeriksaan
kolposkopi akan memperlihatkan dengan jelas dari lesi-lesi pada
permukaaan servik, kemudian akan dilakukan biopsi terarah pada lesi-
lesi tersebut (HOGI, 2018).
Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat tes atau disingkat (IVA)
merupakan salah satu pemeriksaan alternatif skrining yang digunakan
untuk kanker serviks. Cara melakukan tes ini sendiri dapat dikatakan
sangat mudah dan juga praktis untuk dilakukan, sehingga tenaga
kesehatan yang bukan dokter ginekologi, bidan praktek dan juga tenaga
kesehatan yang terlatih dan berkompeten juga dapat melakukannya.
Sedangkan untuk prosedur pada pemeriksaannya sangatlah sederhana,
dengan cara, pertama - tama permukaan dari serviks akan diolesi
dengan menggunakan asam asetat 3-5%, sehingga akan menghasilkan
seperti bercak-bercak putih pada permukaan serviks yang terindikasi
abnormal atau dengan kata lain bisa disebut (acetowhite positif) (HOGI,
2018).
17
Pemeriksaan HPV DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) yang dilakukan baik
secara Hybrid capture atau genotyping dapat digunakan untuk
mendeteksi keberadaan dari virus HPV terutama yang tergolong high
risk. Terdapat beberapa peran yang dimiliki dari pemeriksaan HPV ini
dalam menapis kanker serviks, antara lain: negative predictive value
akan meningkat, prediksi lesi pra kanker akan dihasilkan lebih baik, dan
lebih obyektif dibandingkan dari pemeriksaan sitologi saja atau dapat
diartikan (sebagai penapisan kanker serviks) (HOGI, 2018)
2.1.8 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
a. Menunda Onset Hubungan Seksual
Menunda melakukan hubungan seksual sampai usia 20
tahun dan tidak berganti-ganti pasangan seksual akan
mengurangi risiko kanker serviks (Yanty Vidi Novita, 2013).
b. Penggunaan Kontrasepsi Barier
Kontrasepsi yang direkomendasikan untuk mencegah
kanker serviks adalah dengan metode barier seperti kondom
dan diafragma, karena dapat berperan untuk proteksi terhadap
agen virus saat melakukan hubungan seksual (Yanty Vidi
Novita, 2013).
c. Berhenti Merokok
d. Rutin Berolahraga
e. Pola Makan yang sehat
Pada kasus kanker serviks, konsumsi tinggi nutrisi, dan
mineral tertentu terutama yang memiliki kandungan antioksidan
dan antiviral yang tinggi cukup efektif dalam mencegah infeksi
HPV supaya tidak berkembang menjadi neoplasia intraepitelial
tahap lanjut. Contoh sayur dan buah yang mengandung
antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker adalah avokad,
18
bayam, tomat, wortel, dan jeruk. Penelitian lain juga
mengatakan bahwa defisiensi vitamin A, C, E, β-Carotene, dan
asam folat dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker
serviks. Hal tersebut dikarenakan vitamin A, C, E, dan β-
Carotene mengandung antioksidan yang tinggi yang berfungsi
untuk mengatur diferensiasi sel dan menghambat pertumbuhan
sel kanker dengan melindungi DNA/RNA dari pengaruh buruk
yang berasal dari radikal bebas akibat oksidasi karsinogen
bahan kimia. Studi ekperimental juga telah menunjukan bahwa
vitamin A dan turunannya (karotenoid dan retinoid) memainkan
peran penting dalam mengatur pertumbuhan, diferensiasi, dan
apoptosis sel normal dan ganas. Disebutkan juga bahwa
vitamin C dan E dapat melindungi terhadap persistensi HPV
dan menghambat karsinogenesis serviks dengan meningkatkan
fungsi kekebalan dan memodulasi respon inflamasi terhadap
infeksi (Yanty Vidi Novita, 2013).
f. Vaksinasi HPV
Pada kanker serviks pemberian vaksin HPV merupakan
pencegahan primer. Terdapat dua jenis vaksin HPV yaitu vaksin
bivalent dan vaksin quadrivalent. Vaksin bivalent mengandung
dua tipe virus yaitu HPV 16 dan 18. Vaksin quadrivalent berisi
empat tipe virus yaitu HPV 16, 18, 6 dan 11. Tipe virus HPV 16
dan 18 adalah HPV yang bersifat karsinogen atau mempunyai
risiko tinggi untuk kanker serviks, sedangkan HPV 6 dan 11
merupakan HPV yang bersifat non karsinogen atau berisiko
rendah untuk kanker serviks karena HPV 6 dan 11
menyebabkan terjadinya kutil kelamin (kondiloma akuminata)
(Yanty Vidi Novita, 2013).
Vaksin HPV adalah vaksin pencegahan, bukan bertujuan
untuk terapi, maka dari itu pemberian vaksin biasanya dilakukan
19
pada keadaan tidak terinfeksi HPV. Pada wanita yang sudah
melakukan hubungan seksual, pemberian vaksin HPV harus di
dahului dengan pemeriksaan Pap Smear untuk memastikan
tidak ada infeksi HPV atau lesi pra kanker pada serviksnya,
sedangkan pada wanita yang belum melakukan hubungan
seksual dapat dilakukan langsung tanpa Pap Smear.
Pemberian vaksin tidak dianjurkan pada wanita hamil namun
diperbolehkan untuk wanita menyusui. Di Indonesia, pemberian
vaksin yang disarankan adalah pada perempuan usia diatas 10
tahun sampai usia 55 tahun. Rentang usia yang ideal adalah
saat usia 15-25 tahun, karena pada usia tersebut kadar antibodi
HPV 16 dan 18 lebih tinggi 2-3 kali libat dibanding rentang usia
26-45 maupun 46-55 tahun. Pemberian vaksin dilakukan secara
injeksi intramuskular pada otot bahu yang terbesar (m.
deltoideus) pada bulan ke-0, bulan ke-1, dan bulan ke-6 (Yanty
Vidi Novita, 2013).
g. Menjaga Daerah Kewanitaan
Menjaga daerah kewanitaan dengan cara membilas
daerah kewanitaan dengan air yang bersih, dan membasuh
daerah kelamin hendaklah dari arah depan ke belakang untuk
menghindari terjadinya kontaminasi bakteri. Usahakan agar
daerah kewanitaan tetap kering terutama setelah buang air
besar atau buang air kecil agar tidak lembab, karena lingkungan
yang lembab dapat mempermudah suatu infeksi. Selain itu,
memakai celana dalam yang berbahan katun dan tidak terlalu
ketat dapat membantu memperlancar sirkulasi di daerah
kewanitaan agar daerah tersebut tidak lembab. Hal lainnya
yang dapat dilakukan untuk menjaga daerah kewanitaan adalah
dengan mengganti pembalut secara rutin pada saat menstruasi
dan segeralah mengganti pakaian sehabis berenang serta tidak
20
menggunakan sabun yang mengandung bahan kimia yang
keras dan berbusa untuk membersihkan daerah kewanitaan
(Yanty Vidi Novita, 2013).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder kanker serviks berupa deteksi dini yaitu
dengan tes IVA maupun pemeriksaan sitologi Pap Smear. Deteksi dini
bertujuan untuk menemukan stadium secara dini, karena dengan
ditemukannya kanker pada stadium dini maka pengobatan untuk
kanker tersebut akan memberikan hasil yang lebih baik dibanding
yang ditemukan pada stadium lanjut. Deteksi dini yang dikombinasi
dengan pemberian vaksin HPV dapat memberikan manfaat yang
besar dalam pencegahan kanker serviks (Yanty Vidi Novita, 2013).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier kanker serviks yaitu pelayanan di rumah
sakit berupa diagnosis dan pengobatan serta perawatan paliatif (Yanty
Vidi Novita, 2013).
21
BAB 3
Kesimpulan
Lesi pra kanker seviks adalah tahap pra-invasif kanker serviks dan
didahului oleh perubahan abnormal pada sel-sel serviks atau leher rahim.
Hal ini terutama disebabkan oleh virus menular seksual yang disebut human
papilloma virus (HPV). Identifikasi dini lesi pra kanker dengan skrining dapat
dilakukan. Lesi tersebut dapat diidentifikasi dengan salah satu dari tiga
metode: pap smear, inspeksi visual dengan asam asetat (IVA), dan tes DNA
human papillomavirus (HPV). Terapi pada lesi prakanker berbeda dengan
terapi pada stadium lanjut yang harus dilakukan secara invasif serta
prognosis pada pasien juga ditentukan berdasarkan tingkat keparahan
penyakit yaitu sesuai dengan stadium kanker serviks. Terapi karsinoma
serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara histologik, dan
terapinya sangat bergantung dari drajat kanker serviks.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar, D. (2019). JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 3 No. 4 Oktober
2019. JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 3 No. 4 Oktober 2019, 3(4), 37–
43.
2. Bhatla, N., Aoki, D., Sharma, D. N., & Sankaranarayanan, R. (2018).
Cancer of the cervix uteri. International Journal of Gynecology and
Obstetrics, 143, 22–36. https://doi.org/10.1002/ijgo.12611
3. Casanova, R., Chuang, A., Goepfert, A., Hueppchen, N., Weiss, P.,
Beckmann, C., Ling, F., Herbert, W., Laube, D., & Smith, R. (2014).
Beckmann and Ling’s Obstetrics and Gynecology. In American College
of Obstetricians and Gynecologists.
4. Evriarti, P. R., & Yasmon, A. (2019). Patogenesis Human
Papillomavirus (HPV) pada Kanker Serviks. Jurnal Biotek Medisiana
Indonesia, 8(1), 23–32. https://doi.org/10.22435/jbmi.v8i1.2580
5. Fitrisia, C. A., Khambri, D., Utama, B. I., & Muhammad, S. (2020).
Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Lesi Pra
Kanker Serviks pada Wanita Pasangan Usia Subur di Wilayah Kerja
Puskesmas Muara Bungo 1. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(4), 33–43.
https://doi.org/10.25077/jka.v8i4.1147
6. HOGI. (2018). Panduan Nasional Praktek Kedokteran Kanker
Ginekologi. 197.
7. Kusumawati, Y., Nugrahaningtyas, R. W., & Rahmawati, E. N. (2016).
Pengetahuan, Deteksi Dini dan Vaksinasi HPV sebagai Faktor
Pencegah Kanker Serviks di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 11(2), 204. https://doi.org/10.15294/kemas.v11i2.4208
8. Malahayati, J. P., & Masyarakat, P. K. (2019). November 2019.
International Journal of Co-Operative Accounting and Management,
Volume 2, Number 1. https://doi.org/10.36830/ijcam.2(1)
9. Georgescu, S.R. et al. (2018) ‘New insights in the pathogenesis of
23
HPV infection and the associated carcinogenic processes: The role of
chronic inflammation and oxidative stress’, Journal of Immunology
Research. doi:10.1155/2018/5315816.
10. Getinet, M. et al. (2021) ‘Precancerous Lesions of the Cervix and
Associated Factors among Women of East Gojjam, Northwest
Ethiopia, 2020’, Cancer Management and Research, 13.
doi:10.2147/CMAR.S338177.
11. Kassa, R.T. (2018) ‘Risk factors associated with precancerous cervical
lesion among women screened at Marie Stops Ethiopia, Adama town,
Ethiopia 2017: A case control study’, BMC Research Notes, 11(1).
doi:10.1186/s13104-018-3244-6.
12. Kornovski, Y. et al. (2021) ‘Precancerous lesions of the cervix —
aetiology, classification, diagnosis, prevention’, Oncology in Clinical
Practice. doi:10.5603/OCP.2021.0027.
13. Ocviyanti Dwiana, Handoko Yohanes. Peran Dokter Umum dalam
Pencegahan Kanker Serviks di Indonesia. Jurnal Indonesia Medical
Association, Volume: 63, Nomor:1. 2013:1-3
14. Taye, B.T., Mihret, M.S. and Muche, H.A. (2021) ‘Risk factors of
precancerous cervical lesions: The role of women’s socio-
demographic, sexual behavior and body mass index in Amhara region
referral hospitals; case-control study’, PLoS ONE, 16(3 March).
doi:10.1371/journal.pone.0249218.
15. Tsehay, B. and Afework, M. (2020) ‘Precancerous lesions of the cervix
and its determinants among Ethiopian women: Systematic review and
meta-analysis’, PLoS ONE. doi:10.1371/journal.pone.0240353.
16. WHO (2021) Guideline For Screening and Treatment of Cervical Pre-
cancer Lesions for Cervical Cancer Prevention, Who.
17. Wikjosastro, H.,et all. (editor). Serviks Uterus. Ilmu Kandungan. Edisi
Kedua.
24
18. FIGO Committee on Gynecologic Oncology: FIGO staging for
carcinoma of the vulva, cervix, and corpus uteri. Int J Gynaecol Obstet 125
(2): 97-8, 2014. [PUBMED Abstract].
19. National Cancer Institute. Stage Information About Cervical Cancer.
Available at
tp://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/cervical/HealthProfe
ssional/page3#figure_420_e last update : April 21, 2015. Last
accessed Mei 3th 2015.
20. American Cancer Society. New Screening Guidlines for Cervical
Cancer. 2012. Available at : http://www.cancer.org/cancer/news/new-
screening- guidelines-for-cervical-cancer Accesed Mei 5th 2015.
21. Small, W., Bacon, M. A., Bajaj, A., Chuang, L. T., Fisher, B. J.,
Harkenrider, M. M., Jhingran, A., Kitchener, H. C., Mileshkin, L. R.,
Viswanathan, A. N., & Gaffney, D. K. (2017). Cervical cancer: A global
health crisis. In Cancer (Vol. 123, Issue 13, pp. 2404–2412). John
Wiley and Sons Inc. https://doi.org/10.1002/cncr.30667
22. Susiatmi, S. A., Chabibah, N., & Aisyah, R. D. (2020). Hubungan
Riwayat Kanker, Keputihan dan Aktifitas Terhadap Pemeriksaan
Inspeksi Visual Asetat (IVA). Jurnal Ilmiah Kesehatan, 13(2), 128–133.
https://doi.org/10.48144/jiks.v13i2.262
23. Indrawati, N. D., & Puspitaningrum, D. (2020). Buku ajar lesi pra
kanker wanita usia subur (pemeriksaan skrining tes iva).
25