Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. SH
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 43 th
Alamat : Dsn. Pereng, Desa Purworejo Gresik
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 29 Mei 2017
B. Anamnesa
1. Keluhan Utama
Keputihan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke klinik kandungan RSUD Ibnu Sina Gresik pada
tanggal 29 Mei 2017 pukul 09.00 WIB. Pasien mengatakan
keputihan sudah 5 bulan ini, warna jernih tidak berbau, gatal (-),
nyeri (+) dibagian bawah perut. Waktu berhubungan tidak keluar
darah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah sakit seperti ini
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini
5. Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya pernah berobat ke bidan tetapi sama bidan di
suruh langsung ke rumah sakit
6. Riwayat Haid
- Menarche : 12 tahun
- Menikah usia : 24 tahun
- Lama menikah : 20 thun
- HPHT : 25 april 2017
7. Riwayat kontrasepsi
- Kontrasepsi susuk/implan
- Kontrasepsi terakhir 1 tahun yang lalu
8. Riwayat persalinan
Suami Cara Penolong Jenis Berat Asi umur
dan persalinan kelamin lahir
anak
1/1 Abortus Curretage
uk 3,5 bln Bidan
1/2 SPT-B Bidan L 3600g ASI 18 th
1/3 SPT-B Bidan P 3500g ASI 10 th

1
9. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum : baik
2. Vital Sign
:Tensi:120/90,Nadi:88x/menit,RR:20x/menit,Suhu:36C
3. BB : 65 kg TB: 160 cm
4. Status Generalis :
Kepala : Normocephali, A/I/C/D: -/-/-/-
Leher : tidak teraba massa, pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor: S1 S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo: vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :I : flat
P : nyeri tekan (-)
P : timpani
A : BU (+) Normal
Ekstremitas : Superior : Edema -/-, Akral: Hangat +/+, CRT:<2 dtk
Inferior : Edema -/-, Akral: Hangat +/+, CRT: <2 dtk
Genitalis :Dalam batas normal
5. pemeriksaan dalam
- pemeriksaan VT tidak dilakukan
- pemeriksaan Inspeculo : terdapat lesi di portio (+)
C. Diagnosa banding
- Servicitis kronis
- Lesi pra cancer cervik
D. Pemeriksaan penunjang
- pemeriksaan test IVA (+)
E. Diagnosis
- Lesi pra cancer cervik
F. Rencana Terapi
- cryotomy

2
BAB II

PENDAHULUAN

Kanker serviks adalah penyakit keganasan dengan mortalitas mencapai


266.000 pada tahun 2012 di seluruh dunia dan Sembilan dari sepuluh (87%)
(4)
kematian akibat kanker serviks terjadi di daerah tertinggal. Berdasarkan data
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 diperkirakan setiap harinya
ada 38 kasus baru kanker serviks dan 21 orang perempuan yang meninggal karena
kanker serviks di Indonesia. Pada tahun 2025 diperkirakan kasus baru kanker
(1)
serviks di Indonesia akan meningkat sebesar 74%.

3
Penemuan dan terapi pada fase lesi prakanker ternyata dapat mencegah
(1)
kejadian kanker serviks dengan keberhasilan mendekati 100%. Namun setelah
kanker terbentuk, prognosis tergantung pada stadium sebagai berikut: stadium 0
(prainvasif), 100%; stadium 1, 90%; stadium 2, 82% stadium 3, 35% ; dan
stadium 4, 10%.

Lesi pra kanker yang dikenal dengan neoplasia intraepitelial serviks (NIS)
merupakan perubahan diplastik epitel serviks secara dini yang mendahului
sebelum terjadinya kanker invasif. Infeksi oleh HPV terutama HPV risiko tinggi
(HR-HPV) tipe 16 atau tipe 18, adalah penyebab utama dari NIS. Berdasarkan
gambaran histologi, NIS dapat dibagi menjadi 3 kategori: displasia ringan (NIS
1), displasia sedang (NIS 2) dan displasia berat/karsinoma in situ (NIS 3).
Perkembangan dari derajat yang lebih rendah ke yang lebih tinggi tidak selalu
terjadi. Semakin berat derajat NIS semakin besar peluang berkembang menjadi
kanker.

Kematian akibat penyakit ini dapat dicegah bila program skrining dan
pelayanan kesehatan diperbaiki. Sejak tahun 2001 kanker serviks ini masih
merupakan penyebab utama kematian perempuan dan kasusnya turun secara
drastis sebaliknya insidensi NIS meningkat oleh perbaikan penemuan kasus
(2)
semenjak diperkenalkan teknik skrining Papsmear oleh George N. Papaniculou.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 DEFINISI

Lesi prakanker atau yang dikenal dengan Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS)
adalah kelainan pada epitel serviks akibat perubahan sel pada lapisan epitel serviks

4
(1,3,5)
namun kelainan belum menembus lapisan basal (membran basalis). Perlu
ditekankan bahwa sebagian besar (mungkin semua) karsinoma sel gepeng serviks
(2)
invasif berasal NIS.

Berdasarkan gambaran histologi, NIS dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu


NIS 1 displasia ringan, NIS 2 displasia sedang, dan NIS 3 meliputi displasia berat
dan ca insitu, karena seringkali pemeriksaan patologis tidak dapat membedakan
(3)
keduanya secara jelas (NIS 3).

3.2 EPIDEMIOLOGI

Insidensi NIS memuncak pada usia sekitar 30 tahun, sedangkan untuk


karsinoma invasif adalah sekitar 45 tahun. Jelaslah bahwa lesi prakanker
memerlukan waktu bertahun-tahun, mungkin berpuluh tahun, untuk berkembang
(2)
menjadi karsinoma yang nyata.

Kanker serviks adalah penyakit keganasan dengan mortalitas mencapai


266.000 pada tahun 2012 di seluruh dunia dan Sembilan dari sepuluh (87%)
(4)
kematian akibat kanker serviks terjadi di daerah tertinggal. Berdasarkan data
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 diperkirakan setiap harinya
ada 38 kasus baru kanker serviks dan 21 orang perempuan yang meninggal karena
kanker serviks di Indonesia. Pada tahun 2025 diperkirakan kasus baru kanker
(1)
serviks di Indonesia akan meningkat sebesar 74%.

3.3 ETIOLOGI

Penyebab primer kanker serviks adalah infeksi kronik serviks oleh satu
atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yan berisiko tinggi
menyebabkan kanker serviks yang ditularkan melalui hubungan seksual. Infeksi
virus HPV yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 56. HPV
tipe 16 dan 18 ditemukan pada 70% kasus. Infeksi HPV jenis ini dapat
mengakibatkan perubahan sel-sel serviks menjadi lesi intraepitel derajat tinggi

5
(high grade ephitelial lesion/LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sementara
HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik)
berturut-turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44,
(2,5)
53, 54, 55.

3.4 PATOFOSIOLOGI

Pemeriksaan sitologi dapat mendeteksi NIS jauh sebelum tampak kelainan


makroskopik. Kelainan prakanker yang disebut NIS berawal sebagai NIS derajat
ringan
(low grade) dan berkembang menjadi NIS derajat berat (high grade), atau berawal
sudah sebagai NIS derajat berat , bergantung pada lokasi infeksi HPV (risiko
(2)
tinggi versus rendah), dan faktor kontribusi lainnya pada penjamu.

Pada infeksi HPV derajat rendah, DNA virus tidak terintegrasi ke genom
penjamu, dan tetap berada dalam bentuk episomal bebas. Sebaliknya, HPV tipe 16
dan 18 memiliki gen yang setelah terintegrasi ke genom sel penjamu, mengkode
protein yang menghambat atau menginaktifkan gen penekan tumor TP53 dan RB1
di sel epitel sasaran serta mengaktifkan gen terkait siklus sel, seperti siklin E
(2)
sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak terkendali.

Meskipun banyak perempuan mengandung virus ini, hanya sebagian yang


menderita kanker, yang mengisyaratkan bahwa faktor lain berpengaruh pada
risiko kanker. Faktor risiko penting terjadinya NIS dan karsinoma invasif adalah:
usia dini saat mulai berhubungan kelamin; memiliki banyak pasangan sesksual;
pasangan laki-laki memiliki riwayat memiliki banyak pasangan; infeksi persisiten
oleh virus papilloma manusia risiko tinggi. Di antara faktor risiko, yang sudah
(2)
dipastikan adalah merokok dan imunodefisiensi eksogen dan endogen.

Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab


terjadinya degenerasi keganasan. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh
merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Integrasi DNA virus
dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak

6
berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan
(6)
menghambat p53 dan pRb.

Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan


DNA tidak terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. E6 akan mengikat p53 sehingga Tumor
suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan fungsinya, yaitu untuk menghentikan
siklus sel pada fase G1. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini
menyebabkan terlepasnya E2F, yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel
berjalan tanpa kontrol. Penghentian siklus sel pada fase G1 oleh P53 bertujuan
memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah
perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. P53 menghentikan siklus sel
dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin yang berfungsi merangsang siklus sel
untuk memasuki fase selanjutnya. Jika penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan
perbaikan tidak terjadi, maka sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel
yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa kontrol. Selain itu
p53 juga berfungsi sebagai perangsang apoptosis, yaitu proses kematian sel yang
dimulai dari kehancuran gen intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh
untuk mematikan sel yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan
proses apoptosis tidak berjalan. Saegusa et al yang meneliti peranan Bcl-2
mendapatkan peningkatan aktivitas imunologi Bcl-2 pada NIS III dibandingkan
(6)
dengan NIS I-II dan karsinoma invasif.

Penelitian lain tentang Bcl-2 juga mendapatkan penurunan aktivitas Bcl-2


pada karsinoma serviks. Keadaan ini menunjukan bahwa penurunan aktivitas
apoptosis pada karsinoma serviks disebabkan peningkatan aktivitas dari
antiapoptosis. Peningkatan Bcl-2 bukan berarti terjadi penurunan aktivitas
apoptosis, karena mekanisme apoptosis dikontrol oleh banyak gen. Tetapi indeks
apoptosis pada karsinoma sel skuamosa, pada penelitian nampaknya justru
menurun, dan ini dibuktikan oleh beberapa penelitian. Pada penelitian juga
dijumpai adanya penurunan beberapa keluarga Bcl-2, antara lain Bak, caspase 3
(6)
dan caspase 6.

7
Protein E7 menghambat proses perbaikan sel melalui mekanisme yang
berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di fase Go dan G1 tumor suppressor gene
pRb berikatan dengan E2F ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif E2F
merupakan gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen
c-myc, dan N-myc. Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb yang
menyebabkan E2F bebas terlepas, lalu merangsang proto-onkogen c-myc dan N-
myc sehingga akan terjadi proses transkripsi atau proses siklus sel. Kekuatan
ikatan protein E7 dengan pRb berbeda-beda pada beberapa tipe virus HPV,
misalnya: ikatan E7 HPV 6 dan 11 kurang kuat dibandingkan dengan HPV 16
(6)
ataupun 18.

Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan karsinoma serviks di


beberapa rumah sakit di Indonesia menemukan bahwa kejadian infeksi HPV tipe
16 sebesar 44%, tipe 18 sebesar 39% dan tipe 52 sebesar 14%. Sisanya sebesar
14% terdeteksi infeksi HPV multipel. Pada penelitian identifikasi tipe HPV pada
adenokarsinoma, didapatkan bahwa prevalensi HPV pada adenokarsinoma jenis
musinosum, intestinal, endometrioid adalah 91% dan jenis adenoskuamosa 100%.
Sedangkan pada subtipe nonmusinous, clear cell, serous dan mesonefrik tidak
dijumpai infeksi HPV. Kejadian HPV tipe 16, 18, 45, 52, dan 35 adalah berturut-
(6)
turut 50%, 40%, 10%, 2% dan 1%.

HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sejumlah 70% kanker serviks,


sedangkan tipe 16, 18, 33, 45, 31, 58, 52, dan 35 ditemukan pada sejumlah 90%
kanker serviks. Tiga belas tipe HPV (16, 18, 31, 58, 33, 52, 35, 51, 56, 45, 39, 66,
6), pada metaanalisis, dijumpai pada HSIL. Pada LSIL ditemukan HPV tipe 16
(26%), 31 (12%), 51 (11%), 53 (10%). 56 (10%), 52 (9%), 18 (9%), 66 (9%), 58
(6)
(8%), dan tipe lainnya 5%.

3.5 GEJALA KLINIK

Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya
dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Jika sudah terjadi kanker akan
timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu dapat lokal atau
tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat

8
juga terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya
besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir keluar
dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang
berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar. Gejala lain yang timbul dapat
berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan
kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri
(5)
perut kanan atas, kuning, atau pembengkakan) dan lain-lain.

(5,7)
Tabel 1 Klasifikasi neoplasia intraepitel serviks

Ket: NIS: cervical intraepithelial neoplasia / neoplasia intraepitelial serviks;


LISDR: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah; LISDT: Lesi Intraepitel
Skuamosa Derajat Tinggi; ASC-US: atypical squamous cells of undetermined
significance; ASC-H: atypical squamous cells: cannot exclude a high-grade
squamous epithelial lesion.

Keterangan

9
1. Negatif (Kelas I): hasil apusan negatif tanpa adanya sel abnormal atau tidak
dapat terlihat. Hasil apusan bersih dan tidak terdapat sel inflamasi dan tidak
(8)
memiliki bukti keganasan (kanker).

2. Atipikal (Kelas II): Hal ini lebih lanjut dibagi menjadi dua istilah: sel Atypical
squamous cells, cannot exclude high grade lesions (ASC-H) dan atypical
squamous cells of uncertain significance (ASC-US).

Kriteria sitologi untuk diagnosis ASC-US termasuk pembesaran inti ukuran 2,5-3
kali lipat dari sel intermediate dengan sedikit peningkatan rasio inti / sitoplasma,
terdapat variasi ringan dalam ukuran inti dan kontur, dan sedikit hiperkromasia
dengan kromatin. Kriteria sitologi untuk ASC-H yaitu sel skuamosa dengan inti
membesar dan kurang sitoplasma dengan kontur inti tidak teratur. Mungkin ada
bukti regenerasi sel- sel pada serviks atau perubahan sel yang berhubungan
dengan infeksi atau trauma persalinan. Tergantung pada deskripsi lain ahli
patologi mungkin diperlukan pengobatan untuk infeksi, pengecekan ulang PAP
(8,9)
smear, tes DNA, observasi, atau tes diagnostik dengan kolposkopi.

3. Low-grade squamous intraepithelial lesion (Kelas III, displasia ringan):


Klasifikasi ini untuk sel-sel abnormal, yang dapat dianggap sebagai displasia ringan
atau dengan ringan potensial "premaligna". Jika dibiarkan saja, perubahan ini
mungkin kembali ke normal, mungkin tetap sama, atau bisa berkembang menjadi
keganasan selama periode tahunan. Interval untuk pengembangan keganasan dari
(8)
displasia adalah dari 3 sampai 10 tahun.

4.High-grade squamous intraepithelial lesion (Kelas III, IV): Klasifikasi ini


merupakan indikasi dari perubahan tingkat tinggi prakanker. Evaluasi dilakukan
dengan menggunakan kolposkopi. Pengobatan dengan pembekuan atau eksisi
(8)
biasanya diperlukan.

5. Kanker (Kelas V): Klasifikasi ini menunjukkan probabilitas tinggi kanker dan
diperlukan evaluasi lengkap untuk menentukan sejauh mana lesi kanker. Sebuah
(8)
rencana perawatan untuk hasil terbaik dapat ditentukan.

10
3.6 DIAGNOSIS

3.6.1 Pemeriksaan Sitologi

WHO merekomendasikan usia wanita untuk diskrining antara usia 30


tahun atau lebih, dan termasuk wanita muda dengan mempunyai faktor resiko
tinggi karena hanya sebagian kecil dari infeksi HPV yang menetap selama
bertahun-tahun dapat menyebabkan kanker invasif. Kanker serviks biasanya
berkembang 10-20 tahun dari awal prakanker menjadi kanker invasif. Namun
skrining kanker serviks dapat pada wanita usia muda yang mempunyai bukti
risiko tinggi untuk terjadi NIS 2. Bila skrining dengan inspeksi visual dengan
asam asetat (IVA) atau sitologi hasilnya negatif dapat diperiksa kembali 3-5 tahun.
(10)

Pada pemeriksaan sitologi, spesimen yang diambil yaitu dari dari sel
serviks bagian luar (ektoserviks) dan kanalis servikalis (endoserviks) yang
menggunakan prosedur pewarnaan sel vagina dan servikal untuk memberikan
gambaran yang jelas dari kromatin inti sehingga dapat ditentukan perubahan sel-
sel serviks yang mengarah pada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal dalam
(10)
serviks.

3.6.2 Kolposkopi

Pada perempuan dengan ASC-US dan skrining HPV negatif, maka


(11)
pemeriksaan dengan kolposkopi perlu dilakukan. Kolposkopi adalah pemeriksaan
serviks, vagina dan vulva dengan melihat serviks pada pembesaran 10-20 kali maka
dapat terlihat ukuran dan batas dari lesi abnormal pada permukaan serviks. Pada
kolposkopi, serviks dioles dengan larutan asam asetat 3-5% atau lugol untuk
membersihkan lendir yang meliputi permukaan serviks. Perubahan yang dapat terjadi
yaitu adanya bercak putih dan vaskuler yang atipik yang menandakan adanya
aktivitas selular yang hebat. Kolposkopi digunakan sebagai alat diagnostik yang
memiliki sensitivitas tinggi (sekitar 85%) dan spesifiktas sekitar 70% untuk deteksi
prakanker dan kanker. Kolposkopi digunakan untuk mengevaluasi prakanker dan lesi

11
kanker, membantu mengidentifikasi luasnya lesi, memandu biopsi dan membantu
(10)
pengobatan dengan krioterapi atau LEEP.

(12)
Gambar 1 Epitel squamous dan epitel kolumnar pada serviks

12
(12)
Gambar 2 Serviks abnormal

(13)
Tabel 2 Klasifikasi kolposkopi epitel serviks abnormal

Temuan kolposkopi normal - Epitel skuamosa asli


- Epitel kolumnar
- Zona transformasi normal
Temuan kolposkopi abnormal - Epitel acetowhite-flat,
(pada zona transformasi) mikropapiler, atau
microconvoluted
- Punktasi
- Mosaik
- Yodium negatif
- Pembuluh darah atipik
Kolposkopi suspek knaker invasif - Sambungan skuamokolumnar tidak
(kolposkopi tidak memuaskan) Nampak
- Inflamasi berat atau atrofi berat
- Serviks tidak Nampak
Temuan miscellaneous - Permukaan mikropapiler yang
tidak berwarna putih
- Kondiloma eksofitik
- Inflamasi
- Atrofi
- Ulkus

(12,13)
Tabel 3 Indeks kolposkopi Coplleson
Tidak signifikan Gambaran acetowhite epitel tidak jelas
atau semitransparan. Batas tidak jelas,

13
dengan atau tanpa kaliber pembuluh
darah (fine punctuation/fine mosaic),
dengan pola teratur dan jarak antara
kapiler dekat. Tidak ada pembuluh
darah atipikal.
Signifikan Acetowhite epitel jelas, batas tegas,
perubahan vaskuler berukuran lebar,
ireguler, berbentuk koil (coarse
punctuation/mosaic). Terdapat
permbuluh darah atipikal dan
terkadang permukaannya ireguler,
mengindikasikan terdapatnya lesi
kanker invasif.

3.6.3 Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)

Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan


yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi
asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata
(5)
telanjang.

Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan


cara
memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-
5%.
Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga
akan
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang
bersifat
hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan
kolaps dan
jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel
mendapat
sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar
sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih
(5)
(acetowhite).

14
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih
juga
setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan
cepat
menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya
lebih
tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam
sehingga
terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin
tinggi

derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat


perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat
akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang
sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil
gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih
(mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat
bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan
(5)
oleh proses keratosis.

Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih


(acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam
asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker,
pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak direkomendasikan menjalani
skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini
biasanya berada pada endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa
(5)
dilihat dengan inspeksi spekulum.

(5)
Tabel 4 Kategori temuan IVA

Kategori IVA Temuan klinik

1. Normal Licin, merah muda, bentuk porsio normal

15
2. Infeksi Servisitis (inflamasi, hiperemis)

Banyak fluor

Ektropion

Polip

3. Positif IVA Plak putih

Epitel acetowhite (bercak putih)

4. Kanker lahir Rahim Pertumbuhan seperti bunga kol

Pertumbuhan mudah berdarah

(5)
Tabel 5 Kategori temuan IVA

Kategori IVA Temuan klinik

1. Negatif - Tak ada lesi bercak putih (acetowhite


lesion)

- Bercak putih pada polip endoservikal


atau kista nabothi

- Garis putih mirip lesi acetowhite pada


sambugan skuamokolumnar

Samar, transparan, tidak jelas, terdapat


lesi bercak putih yang ireguler pada
serviks
2. positif 1 (+) - Lesi bercak putih yang tegas,
membentuk sudut (angular), geographic
acetowhite lessions yang terletak jauh
dari sambungan skuamokolumnar

3. Positif 2 (++) - Lesi acetowhite yang buram, padat dan


berbatas jelas sampai ke sambungan

16
Skuamokolumnar

- Lesi acetowhite yang luas,


circumorificial, berbatas tegas, tebal
dan padat

- Pertumbuhan pada leher Rahim menjadi


Acetowhite

3.6.4 Metode Inspeksi Visual dengan Iodium Lugol (IVIL/VILI)

Metode ini dikenal juga dengan Schillers test, dengan menggunakan cairan
iodium sebagai pengganti asam asetat. Epitel skuamosa mengandung glikogen,
dimana lesi prakanker dan lesi invasif mengandung sedikit atau tidak ada glikogen.
Iodium adalah zat glycophilic dan diserap oleh epitel skuamosa, sehingga memberi
warna coklat atau
hitam. Epitel kolumnar tidak mengalami perubahan warna karena tidak
mengandung glikogen. Metaplasia imatur dan lesi inflamasi hanya mengandung
sedikit glikogen dan ketika diberikan pewarnaan dengan iodium, tampak seperti
bergaris, dan area dengan batas tidak jelas. Lesi prakanker dan lesi invasif tidak
menyerap iodium (karena tidak mengandung glikogen) sehingga tampak berbatas
(14)
tegas, tebal, area berwarna kuning sampai jingga.

17
Gambar 3 perubahan wrna setelah pemberian lugols iodine

3.7 TERAPI PADA NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKS

Banyak modalitas yang dimiliki dalam usaha melakukan pengobatan


terhadap NIS. Laser ablasi dan krioterapi biasa digunakan untuk displasia ringan
dan cold knife, konisasi, atau laser konisasi biasa digunakan untuk displasia
moderat. Di samping modalitas terapi destruksi, didapatkan terapi eksisi seperti
LEEP, LLETZ, konisasi, sampai histerektomi.

3.7.1 Krioterapi

Krioterapi merupakan prosedur sederhana untuk destruksi area prakanker


pada serviks dengan cara pembekuan. Cryoprobe diletakkan pada serviks dan
membekukan permukaannya menggunakan gas karbon dioksida (CO2) atau
nitrous oxide (N2O). Cryoprobe diterapkan pada serviks dua kali selama tiga
menit setiap kali dengan jarak 5 menit (teknik double-freeze). Krioterapi sangat

18
efektif untuk pengobatan lesi kecil, tapi untuk lesi yang lebih besar angka
(10)
kesembuhan di bawah 80%.

o
Penyemprotan NO2 mengakibatkan pendinginan suhu ujung probe -65 C
o o
sampai -85 C, jauh di bawah suhu letal -20 C. Dengan penyemprotan tersebut akan
o
terbentuk bunga es setebal 7 mm. 5 mm bagian proksimal bersuhu kurang dari -20 C
o
akan mengalami nekrosis, sedangkan 2 mm tepi bunga es tersebut yang bersuhu 0 C
o
sampai - 20 C akan mengalami regenerasi. Dengan kenyataan ini diasumsikan bahwa
krioterapi tidak dapat mematikan jaringan lebih dalam dari 5 mm. Pada HSIL sering
disertai keterlibatan kripta kelenjar serviks sehingga efektivitas krioterapi pada HSIL
tidak memadai dan lebih dianjurkan eksisi daripada krioterapi untuk menangani
(13)
HSIL.

Sabagai akibat dari pembekuan tersebut terjadi perubahan-perubahan


tigkat seluler dan vaskuler yaitu (1) sel-sel mengalami degidrasi dan mengerut; (2)
konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi
(5)
kompleks lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskuler.

(15)
Gambar 4 Alat krioterapi

3.7.2 Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP)

LEEP atau Large Loop Excision of The Transformation Zone (LLETZ)


adalah penghapusan daerah abnormal pada serviks dengan menggunakan kawat
panas. Hal ini membutuhkan unit electrosurgical yang menghasilkan tegangan

19
rendah konstan dan transmisi ke perangkat loop kawat, yang digunakan untuk
menghilangkan jaringan abnormal. LEEP bertujuan untuk menghapus kedua lesi
dan seluruh zona transformasi. Teknik ini berhasil mengeradikasi prakanker
(7)
sebanyak 90% kasus. LEEP dipergunakan untuk lesi intraepithelial derajat
tinggi (HISL) karena kedalaman pengambilan jaringan dapat lebih besar sehingga
seluruh kripta endoserviks dapat terambil yang mungkin luput pada pemakaian
(13)
krioterapi.

3.7.3 Konisasi

Konisasi adalah eksisi pada daerah berbentuk kerucut dari serviks dengan
menggunakan cold knife conization termasuk ektoserviks dan endoserviks. Tingkat
konisasi akan tergantung pada ukuran lesi dan kemungkinan ditemukan kanker
(17)
invasif.
(16)
Konisasi direkomendasikan untuk pengobatan NIS 2 dan NIS 3.

BAB IV

PENUTUP

20
Lesi prakanker atau yang dikenal dengan Neoplasia Intraepitel Serviks
(NIS) adalah kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel
epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal (membrana basalis).
NIS disebabkan karena infeksi dari Human papillomavirus. Menurut gambaran
histologi NIS dibagi menjadi 3 kategori yaitu NIS 1 sesuai dengan displasia
ringan, NIS 2 sesuai dengan displasia sedang, dan NIS 3 meliputi displasia berat
serta karsinoma insitu. Terminologi ini juga dikonfirmasikan dengan sistem
Bethesda, yaitu NIS 1 dan infeksi HPV sebagai lesi intraepitelial skuamosa derajat
rendah (LISDR) serta NIS 2 dan NIS 3 sebagai lesi intraepitelial skuamosa derajat
tinggi (LISDT). Berdasarkan perjalanan alamiah dari NIS, disimpulkan bahwa
makin rendah derajat kelainan maka makin besar kemungkinan regresi menjadi
normal. Sebaliknya, makin berat derajat kelainan maka makin besar kemungkinan
menjadi lesi yang lebih berat.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Ocviyanti Dwiana, Handoko Yohanes. Peran Dokter Umum dalam
Pencegahan Kanker Serviks di Indonesia. Jurnal Indonesia Medical
Association, Volume: 63, Nomor: 1. 2013:1-3
2. Tumor Serviks. Buku Ajar Patologi Robbins. Ed. 7. Jakarta: EGC, 2007:767-
770
3. Iskandar TM. Pengelolaan Lesi Prakanker Serviks. Indonesian Journal of
Cancer Vol.
III. 2009: 97-102
4. Globocan 2012. Cancer Fact Street. Estimated Incidence, Mortality and
Prevalence Worldwide in 2012 IARC. [cited: 2015 May. 23]. Available from:
http://www.globocan.iarc.fr/old/FactSheets/cancers/cervix-
new.asp#MORTALITY
5. Nuranna Laila, Purwoto Gatot, Madjid Omo A, dkk. Skrining Kanker Leher
Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008:24-33
6. Andrijono. Vaksinasi HPV Merupakan Pencegahan Primer Kanker Serviks.
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 57. 2007: 153-158
7. Comprehensive Cervical Cancer Control: A Guide to Essential Practice 2nd
ed. World Health Organization. 2014:123-145
8. Pfenninger J. Pap Smear Information. [cited on 25 Februari 2015].2011.
Available from: http://www.mpcenter.net/patient_ed/pap_smear_info.html
9. Tewari L, Chaudary C. Atypical Squamous Cell of Undetermined
Significance: A Follow Up Study. 2010: 225-227
10. Comprehensive Cervical Cancer Control: A Guide to Essential Practice 2nd
ed. World Health Organization. 2014:123-145
11. Massad L. Stewart, Einstein Mark H., Huh Warner K., et.all. 2012 Updated
Consensus Guidelines for the Management of Abnormal Cervical Cancer
Screening Tests and Cancer Precursors. American Society for Colposcopy and
Cervical Pathology. Journal of Lower Genital Tract Disease, Volume 17, Number
5, 2013: S1-S27
12. Colposcopic Appearance of the Normal Cervix. Colposcopy and Treatment of
Cervicl Intraepithelial Neoplasia: A Beginner's Manual. International Agency

22
for Research on Cancer Screening group. 45-54 [cited: 2015 April 1].
Available from: http://screening.iarc.fr/colpochap.php?lang=1&chap=6

13. Lesi Prakanker. Onkologi Ginekologi. Ed.I. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2006:399-429
14. Sherris, Jacqueline, Castro Wendy, Levin Carol et all. The Case for Investing
in Cervical Cancer Prevention. Cervical Cancer Prevention Issues in Depth.
Alliance for Cervical Cancer Prevention (ACCP). 2004:15-16
15. Colposcopic Appearance of the Normal Cervix. Colposcopy and Treatment of
Cervical Intraepithelial Neoplasia: A Beginner's Manual. International Agency
for Research on Cancer Screening group. 45-54 [cited: 2015 April 1].
Available from: http://screening.iarc.fr/colpochap.php?lang=1&chap=6
16. Cheng X, Feng Y, Wang X, et al. The effectiveness of conization treatment for
post-menopausal women with high-grade cervical intraepithelial neoplasia.
2012:185-188

17. Lumban Tobing Maringan Diapari, Sahiratmadja Edhyana, Dinda Mufti,


Hernowo Bethy Suryawathy, Susanto Herman. Human Papillomavirus
Genotypes Profile in Cervical Cancer Patients at Dr. Hasan Sadikin General
Hospital, Bandung, Indonesia. Asian Pasific Journal of Cancer Prevention,
Volume 15, 2014: 5781-5785

23

Anda mungkin juga menyukai