Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

HEPATITIS C

Pembimbing: dr. Suharno, Sp. PD

Disusun Oleh:
Ika Ristianingrum G1A209165
M. Gima Faizal G1A210079
Wibisono Nugraha G1A210080

JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

2011
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
Telah dipresentasikan dan disahkan referat dengan judul:

Hepatitis C

Disusun Oleh :
Ika Ristianingrum G1A209165
Gima Faizal G1A2010079
Wibisono Nugraha G1A2010080

Pada tanggal Mei 2011


Pembimbing

dr. Suharno, Sp. PD


BAB I
Kasus

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 69 tahun
Agama : Islam
Alamat : Dasmara 5/1 Paguyangan
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Tanggal Masuk : 18 April 2011
Tanggal Periksa : 20 Maret 2011
Ruang Rawat : Soka

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama : Muntah darah
b. Keluhan Tambahan : Mual
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 18 April 2011
dengan keluhan muntah darah sejak tiga hari sebelum masuk
rumah sakit. Muntahan yang dikeluarkan sebanyak setengah gelas
belimbing, muntah darah tersebut dikeluarkan dua kali yaitu pada
saat dirawat di puskesmas dan waktu masuk RSMS. Di IGD pasien
muntah sebanyak tiga kali dengan volum satu gelas belimbing.
Darah yang dikeluarkan berwarna merah kehitaman seperti darah
yang sudah beku dan tidak terlihat cair tetapi seperti gumpalan
sebesar dua jari orang dewasa.
Selain muntah darah pasien juga mengeluhkan mual yang
dirasakan sesaat sebelum muntah darah dan hilang sekitar lima
menit setelah muntah darah. Pasien mengaku baru pertama kali
menderita penyakit seperti ini. Sebelum muntah darah, pasien
tidak makan dan minum seperti biasanya. Muntah darah berhenti
setelah pasien dirawat di RSMS. Dia mengeluhkan penurunan
nafsu makan sejak setahun yang lalu karena sekarang hanya makan
satu sampai dua kali dalam sehari dan dalam porsi kecil. Pasien
tidak pernah mengeluhkan nyeri perut ataupun cepat merasa
kenyang sebelumnya. Pasein menyangkal mengeluarkan darah
ataupun benjolan saat buang air besar. Tidak ada perubahan warna
pada air seni saat buang air kecil.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2) Riwayat badan kuning atau penyakit hati : disangkal
3) Riwayat penyakit darah tinggi : sejak 16 tahun yang
lalu
4) Riwayat penyakit kencing manis : disangkal
5) Riwayat asma : disangkal
6) Riwayat penyakit jantung : disangkal
7) Riwayat stroke : satu tahun yang lalu
8) Riwayat transfusi darah : disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Riwayat keluhan yang sama :
Pada tahun 2006 istri pasien pernah menderita keluhan yang sama
yaitu muntah darah berwarna hitam dengan perut yang membesar.
Selain itu pasien mengaku bahwa isterinya pernah menderita
keluhan berupa badan menjadi kuning sebelum sakit muntah
darahnya. Setelah dirawat selama dua minggu, istrinya berobat
jalan. Pada awal tahun 2008, kondisi kesehatan istri pasien
semakin lemah sehingga dirawat kembali. Pada saat itu, dokter
yang merawat merekomendasikan untuk dilakukan cangkok hati
namun pasien menolak. Beberapa waktu kemudian istri pasien
meninggal setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit tersebut.
2) Riwayat penyakit darah tinggi : Ibu pasien menderita
hipertensi
f. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tinggal di tempat yang cukup padat penduduknya.
Dahulu pasien tinggal bersama istri. Istri pasien merupakan seorang
pedagang. Pasien sendiri sebelum sakit seorang pensiunan guru.
Pasien memiliki empat orang anak yang sudah berpisah dengan pasien
karena masing masing anak pasien sudah berkeluarga. Kesan ekonomi
pasien dinilai cukup, dia menggunakan askes untuk biaya kesehatan
sehari-hari. Menu setiap kali makan biasanya sepiring nasi putih, lauk,
sayur dan terkadang diselingi dengan buah-buahan. Kesan asupan gizi
cukup. Riwayat mengkonsumsi obat pegal linu, jamu disangkal.
Minum-minuman beralkohol dan merokok disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


A. Keadaan Umum : Sakit Sedang
B. Kesadaran : Compos Mentis
C. Vital Sign : Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 72x/menit, isi penuh, reguler
Respirasi : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,5 0 C
TB : 164 cm
BB : 49 kg
IMT : 18,2 (Normal)
D. Status Generalis :
1. Kepala : Simetris, mesocephal, VT (-)
2. Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
3. Hidung : Discharge (-)
4. Telinga : Simetris kanan kiri, discharge (-)
5. Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-)
6. Leher :
Inspeksi : Trakea di tengah, JVP (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe (-)
7. Kulit : ikterus (-)
8. Toraks
a. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba SIC V LMC sinistra
Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPS dextra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dextra
Batas kiri atas SIC II LMC sinistra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
Auskultasi : S1 > S2 di apeks reguler, bising (-), gallop (-)
b. Paru
Inspeksi : dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi
interkostal (-), tidak ada benjolan
Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru, batas paru-hepar SIC
VI linea midclavicularis dextra
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Rbh (-/-), Rbk -/-,
Wheezing (-/-)
9. Abdomen
Inspeksi : cekung, venektasi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), undulasi (-)
10. Ekstremitas
Superior : edema (-/-), clubbing finger (-/-)
Inferior : edema (-/-), clubbing finger (-/-)

IV. Resume
A. Anamnesis
Pasien laki-laki berusia 69 tahun datang dengan keluhan:
1. Muntah darah berwarna hitam seperti darah beku sejak tiga hari
sebelum masuk rumah sakit
2. Mual dirasakan bertepatan sebelum muntah dan penurunan nafsu
makan sejak setahun yang lalu.
3. Menyangkal mengeluhkan nyeri perut ataupun cepat merasa kenyang
sebelum sakit.
4. Tidak terdapat gangguan dalam buang air besar ataupun buang air
kecil.
5. Tidak pernah mengalami keluhan yang sama dan riwayat badan kuning
sebelumnya.
6. Isteri pasien mengalami keluhan yang sama dengan pasien pada tahun
2006.
7. Perkerjaan sebagai pensiunan guru di Papua.
8. Riwayat konsumsi jamu-jamuan, alcohol dan pengobatan mandiri
berlebihan disangkal.
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sedang, Kooperatif
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital : TD = 130/70 mmHg
N = 72x /menit, isi penuh, regular
RR = 20x/menit
S = 36,5 C
Status Generalis :
Mata : Konjungtiva Anemis (+/+)
Kepala, hidung, telinga, mulut, leher, jantung, abdomen, ekstremitas dalam
batas normal
Status Lokalis:
Abdomen:
Inspeksi : cekung, venektasi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), undulasi (-)
V. Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium
1) Darah Lengkap
Hb 9,8 gr/dl (13 16 g/dl)
Leukosit 3980/ uL (5.000-10.000 /mL)
Ht 30 % (40 48 %)
Eritrosit 3,3 x 106/ uL (4,5-5,5 /mL)
Trombosit 88.000/uL (150.000 400.000 /mL)
MCV 90,2 fl (82-92 pq)
MCH 30,9 pg (31-37 %)
MCHC 34,2 % (32-36 gr/dl)
Hitung Jenis :
Basofil 0,3% (1-3 %)
Eosinofil 0,3% (0-1 %)
Batang 0% (2-6 %)
Segmen 60,7% (50-70 %)
Limfosit 12,7% (20-40 %)
Monosit 6% (2-8 %)
2) Kimia Klinik
SGOT 122 uL
SGPT 112 uL
Ureum 36,4
Kreatinin 0,82
GDS 95 gr/dl
3) Elektrolit
Na 136
Kalium 4,1
Clorida 106
HbsAg (-)
Anti HCV ( +)
B. Pemeriksaan USG Abdomen
Kesan:
Multipel nodul hepar dengan ukuran terbesar 2,1 cm cenderung
merupakan gambaran metastase
Tak tampak nodul lien maupun para aorta
C. Pemeriksaan Foto Thorax PA
Cor tak membesar
Pulmo tak tampak kelainan
D. Pemeriksaan Petanda Tumor
PSA 0,9 ng/ml (N <= 4 ng/ml)

VI. Diagnosis Kerja


Hepatitis C Kronis
Pansitopenia

VII. Usulan Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Hb Serial
b. Pemeriksaan Biopsi Hati
c. Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi

VIII. Terapi
a. Non Medikamentosa
1) Menghindari konsumsi alkohol dan gorengan
2) Menghindari pemakaian obat berlebih tanpa indikasi jelas
3) Edukasi tentang cara penularan dan risiko perjalanan penyakit ke
arah kronis
b. Medika mentosa
1) IVFD RL 20 tpm
2) Inj Ranitidin 2x50 mg iv
3) Inj Kalnex 2x25omg iv
4) Inj Vitamin K 1x1 iv
5) Impepsa syrup 3x1 cth
6) Bilas Lambung
IX. Prognosis
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Pendahuluan
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu
dari lima jenis virus meliputi virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B
(HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E
(HEV). Semua virus tersebut merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B.
Hepatitis viral akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di
seluruh dunia. Penyakit tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-
2 juta kematian setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada
donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara
0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus akut
menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan kedua
setelah hepatitis A (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh
hepatitis B (6,4%-25,9%).
Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta
orang telah terinfeksi virus ini. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi
mengenai infeksi VHC, namun menurut laporan lembaga tranfusi darah
didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi populasi umum di Jakarta
prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi terbanyak adalah
berhubungan dengan tranfusi darah terutama yang dilakukan sebelum
penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga dihubungkan
dengan status ekonomi yang rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual
yang berisiko tinggi. Infeksid ari ibu ke anak juga dilaporkan sangat jarang
terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV karena jumlah
VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi.
Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa dapat terjadi infeksi VHC
melalui tindakan-tindakan medic seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis
maupun operasi. Selain itu, VHC juga dapat ditransmisikan melalui luka
tusukan jarum. Pada umumnya, genotip yang didapatkan di Indonesia adalah
genotip 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotype 2 dan 3. Prevalensi yang
tinggi didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien
dialysis (70%). Pada saliva juga didapatkan VHC akan tetapi infeksi VHC
melalui saliva dan kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat
tidak efisien untuk terjadinya infeksi dan transmisi VHC.

B. Virus Hepatitis C
Virus hepatitis C temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus yang
memiliki selubung glikoprotein dengan RNA rantai tunggal

Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui
reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel hati
maupun limfosit B atau reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati,
VHC akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk
melakukan translasi protein dan kemudian replica RNA. Struktur gen VHC
adalah sebuah RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa
dengan daerah open reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang
tidak ditranslasikan. Kedua ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini
dipakai untuk identifikasi adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC
dilakukan oleh ribosom sel hati yang akan membaca RNA VHC dari satu
bagian spesifik tersebut.

C. Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit
dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan
model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau
partikel virus secara langsung masih belumjelas. Namun beberapa bukti
menunjukan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel
sel hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi
pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui
pula mempengaruhi proses signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan
penekanan regulasi imunologik dan apoptosis, adanya bukti bukti ini
menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus
berlangsung
Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik,
reaksi CTL yang relative lemah masih mampu merusak sel sel hati dan
melibatkan proses inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan virus
maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan
terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivasi
limfosit sel T helper (TH) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi
aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya
respon CTL.
Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-, TGF-1, akan menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan
menyebabkan aktivitas sel sel Stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini
yang sebelumnya dalam keadaan tenang (quicent) kemudian berpoliferasi
dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblast, yang dapat menghasilkan
matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam
menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus
menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis
semakin lama semakin banyak dan sel sel yang ada semakin sedikit. Proses ini
dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosi hati
Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan proses
inflamasi berupa neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di
daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal)
dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging
fibrosis/nekrosis) gambaran yang khas untuk infeksi VHC adalah agregat
limfosit di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi
akibat VHC
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan
dalam proses keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat
dilakukan scoring untuk inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan
untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli
patologi. Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi intra dan
interoobserver yang baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK.
Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan
hepatitis C. Tingkatan tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi pada
hepar antara lain:
0 : yaitu tidak ada luka
1 : luka yang minimal
2 : luka yang terjadi dan meluas ke area dari hepar termasuk pembuluh
darah
3 : fibrosis sudah mulai menyebar dan menghubungkan dengan area lain
4 : sirosis dengan luka tingkat lanjut

D. Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam
empat tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat
timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap hepatitis
virus tergantung pada dosis inokulan yang ditularkan dan jalur penularan.
Makin besar dosis inokulan makin pendek fase inkubasinya.
2. Fase Prodormal (Pre Ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya ikterus.
Biasanya ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah,
gejala saluran napas atas dana anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia
berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di
kuadran kanan atas atau epigastrium yang kadang diperberat dengan
aktivitas.
3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat bersamaan
dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah timbulnya ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodormal dan
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen
Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut
biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5%-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim hanya kurang dari 1%
yang menjadi fulminan.
Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau
bergejala minimal. Hanya 20-30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis
akut 7-8 minggu setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut
sangat sukar dikenali karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga
sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV.
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut
didapatkan adanya gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis
akut karena virus lain. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT
meningkat sampai beberapa kali di atas batas normal tetapi umumnya tidak
melebihi 1000U/ liter.
Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis
dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan serta merupakan penyebab
utama sirosis hati, penyakit hati stadium akhir dan kanker hati. Sering kali
proses ini tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati
berjalan terus. Hilangya VHC setelah hepatitis kronis sangat jarang terjadi.
Diperlukan waktu sekitar 20-30 tahun untuk terjadi sirosis hati yang akan
terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis. Sekitar 15-25% dari orang yang
terinfeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dengan alasan yang tidak diketahui.
(CDC)
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada
pemeriksaan fisik maupun labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati.
Pada pasien dimana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati
bermakna, sedangkan diantara pasien dengan peningkatan ALT, hamper semua
sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat. Progesivitas hepatitis
kronis menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain asupan alcohol,
koinfeksi dengan hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan usia tua saat
terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati
dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa melalui
sirosis hati walaupun kondisi seperti ini jarang terjadi.
Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat
memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya
sirosis hati dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan
tubuh. Adanya koinfeksi tersebut juga mempersulit pengobatan dengan
antiretrovirus karena memperbesar porsi pasien yang menderita gangguan
fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi HIV. Di Indonesia,
kasus ini sering terjadi pada pengguna jarum suntik yang menggunakan alat
suntik bergantian.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi
ekstra hepatic antara lain crioglobunemia dengan komplikasi-komplikasinya
(glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura dan atralgia), sicca syndrome,
lichen planus dan porphyria cutanea tarda. Patofisiologi manifestasi gejala
ekstra hepatic belum diketahui dengan jelas namun dihubungkan dengan
kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu
respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah
sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya kejadian limfoma non
Hodgin pada pasien dengan infeksi HCV.

E. Diagnostik
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibodi
yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus menginfeksi pasien. Antibodi ini
akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif.
Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi VHC pada infeksi akut, namun
antibodi terhadap VHC masih terus bertahan bertahun tahun (18-20 tahun).
Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik enzyme
immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini
adalah antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural (ns 3,4 dan 5)
sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari VHC. Dikenal beberapa
generasi pemeriksaan antibodi VHC ini dimana antigen yang digunakan
semakin banyak sehingga saat ini generasi III mempunyai sensitivitas dan
spesivitas yang sangat tinggi antibodi terhadap VHC dapat dideteksi pada
minggu ke 4-10 dengan sensivitas mencapai 99% dan spesivitas 90%. Negatif
palsu dapat terjadi terrhadap pasien dengan difesiensi sistem kekebalan tubuh
seperti pada pasien HIV, gagal ginjal. Immunobolt assay dulu digunakan untuk
tes konfirmasi pada meraka dengan anti HCV positif dengan EIA. Saat ini
dengan tingkat spesifitas dan sensivitas EIA yang sudah sedemikian tinggi, tes
konfirmasi ini tidak diragukan lagi.
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini
dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran
infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun dalam hati relative
sangat kecilsehingga diperlukan teknik amplifikasi agar terdeteksi. Teknik
polymerase chain reaction (PHC) dimana gen VHC digandakan oleh enzyme
polymerase digunakan sejak ditemukan virus ini dan sat ini umumnya
digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun untuk
mengetahui jumlah virus VHC (secara kuantitatif). Teknik ini juga dipakai
dalam menentukan genotip VHC.teknik lain adalah dengan menggadakan
signal yang didapat dari gen VHC yang terikat pada probe RNA sehingga
dapat dihitung jumlah kuantitativ VHC . hasil kedua pemeriksaan ini sulit
dibandingkan satu dengan yang lainnya walupun saat ini ada standarisasi
dalam satuan pemeriksaan sehingga dimasa datang diharapkan satu
pemeriksaan dapat diikuti atau dilakukan pemeriksaan ulang dengan
pemeriksaan lain dengan hasil yang dapat dibandingkan. Untuk menentukan
genotip VHC selain dengan teknik VCR, juga digunakan teknik hibridasi atau
dengan melakukan sequencing gen VHC.
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC
dilakukan pada penapisan darah untuk tranfusi darah. Umumnya unit
transfusi darah menggunakan deteksi anti VHC dengan EIA maupun dengan
cara imunokomotrografi, namun hasil terdapat kasus kasus pasien yang
terinfeksi oleh VHC maupun deteksi VHC sudah dinyatakan negatif. Teknik
deteksi nukleotida lebih sensitif daripada deteksi anti VHC karna itu di dunia
saat ini telah dikembangkan teknik menggunakan real time PCR yang dapat
mendeteksi RNA VHC dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 50
kopi/ml). selain itu, tekhnologi menggunakan teknik transcripted mediated
amplification (TMA) juga telah dikembangkan untuk meningkatkan
sensitivitas deteksi VHC. Teknik yang sangat sensitif ini berguna untuk
mendeteksi infeksi VHC dikalangan pasien maupun dikalangan masyarakat
umum untuk tranfusi darah

F. Hepatitis Kronis
Hepatitis kronis merupakan suatu sindrom klinis dan patologis yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi ditandai oleh berbagai tingkat
peradangan dan nekrosis pada hati yang berlangsung terus menerus tanpa
penyembuhan paling sedikit enam bulan. Sirosis hati merupakan stadium akhir
hepatitis kronis dann ireversibel yang ditandai oleh fibrosis yang luas dan
menyeluruh pada jaringan hati disertai dengan pembentukan nodulus.
Klasifikasi secara histopatologis membedakan hepatitis kronis menjadi tiga
macam antara lain:
1) Hepatitis Kronik Persisten
Hepatitis kronik persisten ditandai dengan serbukan sel radang bulat pada
daerah portal. Arsitektur lobular tetap normal dan tidak ada fibrosis
kalaupun ada hanya sedikit. Limiting plate pada hepatosit antara daerah
portal dan kolom hepatosit tetap utuh. Tidak terjadi piece meal necrosis.
Pada jenis ini biasanya tidak berkembang ke arah sirosis hepatis.
2) Hepatitis Kronik Lobular
Hepatitis kronis lobular sering pula disebut sebagai hepatitis akut
berkepanjangan karena perjalanan penyakit lebih dari tiga bulan. Pada tipe
ini ditemukan adanya tanda peradangan dan daerah nekrosis pada lobules
hati. Hepatitis kronis lobular dapat mengalami perkembangan ke arah
sirosis hepatis akan tetapi prosesnya lambat.
3) Hepatitis Kronik Aktif
Hepatitis kronis aktif ditandai dengan serbukan sel radang bulat terutama
limfosit dan sel plasma di daerah portal yang menyebar dan mengadakan
infiltrasi ke dalam lobules hati sehingga menyebabkan erosi limiting plate
dan menimbulkan piece meal necrosis. Terdapat dua tipe hepatitis kronis
aktif yaitu:
a) Tipe berat yaitu ditemukan septa jaringan ikat menyebar ke kolom-
kolom hepatosit sehingga menyebabkan kelompokan hepatosit yang
terisolasi dan menimbulkan gambaran rosette. Tampak pula intra
hepatic bridging antara portal sentral atau portal dengan portal. Pada
jenis ini dapat berkembang ke sirosis hepatis dalam waktu yang
relative cepat.
b) Tipe ringan ditandai dengan erosi ringan pada limiting plate dan juga
piece meal necrosis yang ringan saja tanpa adanya pembentukan
rosette ataupun bridging.

G. Penatalaksanaan
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan
nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Menurut panduan
penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai normal. Hal ini
mungin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT di atas batas nilai
normal biasanya sudah menunjukan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan
biopsi hati. Bila nilai ALT normal, harus diketahui terlebih dahulu apakah nilai
normal ini menetap (persisten) atau berfluktuasi dengan memonitor nilai ALT
setiap bulan untuk 4 5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi
merupakan indikasi untuk, melakukan terapi namun bila nilai ALT tetap
normal, biopsi hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis
yang sudah terjadi.
Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya merupakan
fibrosis hati ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka
biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun menderita
infeksi HCV. Niali fibrosis hati pada tingkat menengah atau tinggi, sudah
merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati,
maka pemberian interferon harus berhati-hati karena dapat menimbulkan
penurunan fungsi hati secara bermakna. Pengobatan hepatitis C kronik adalah
dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila
genotype HCV adalah genotype 1 dna 4, maka terapi perlu diberikan selama
48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terpai cukup diberikan selama 24
minggu.
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon
dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb <10 g/dL,
lekousit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang
berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk terapi dengan
interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjaljuga tidak
diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan
ginjal yang terjadi.Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2
hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali
pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau
dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5
ug/kg BB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk Peg-
Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin
dnegan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-
70kg 1000 mg setiap hari, dan >70kg 1200mg setiap hari dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan
pemeriksaan RNA HCV secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV
resisten terhadap pengobatan dengan interferon dan tidak memerlukan
pemeriksaan RNA HCV 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan
setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA HCV kualitatif. Bila
RNA HCV tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik
yang menetap (sustained virological response atau SVR) dan RNA HCV
kembali positif, pasien dianggap kambuh (relapser). Mereka yang tergolong
kambuh ini dapat kembali diberikan Interferon dan ribavirin nantinya dengan
dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan Interferon
konvensional, Peg Interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa peneliti
menganjurkan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif 12 minggu setelah terapi
dimulai untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana prognosis
dikatakan baik bila RNA HCV turun >2 log.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala
menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya),
depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi
sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin
dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
asmping tersebut, pemantauan pasien mutlak dilakukan. Pada awal pemberian
interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratories (Hb,
lekousit, trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat
dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb<8 gr/dL,
lekousit <1500/uL atau kadar neutrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL,
depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti depresi, atau timbul
gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi
HCV lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa
hal. Pada pasien dengan genotype 1 hanya 40% pasien yang berhail
dieradikasi sedangkan untuk genotype lain, tingkat keberhasilan terapi dapat
mencapai lebih dari 70%. Peg Interferon dilaporkan mempunyai tingkat
keberhasilan terapi yang lebih baik daripada interferon konvensional. Hal lain
yang juga berpengaruh dalam kurangnya keberhasilan respons terapi dengan
interferon adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis
kelamin laki-laki, berat badan berlebih (obesitas), dan tingkat fibrosis hati
yang berat.
Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik
daripada pasien pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada
kelompok pasien ini interferon dapat digunakan secara monoterapi tanpa
ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3 bulan. Namun sulit untuk
menentukan infeksi akut HCV karena tidak adanya gejala akibat infeksi virus
ini sehingga umunya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Apabila
jelas infeksi akut enjadi tersebut terjadi misalnya pada tenaga medis yang
secara rutin dilakukan anti HCV dengan hasil negatif dan kemudian setelah
tertusuk jarum anti-HCV menjadi positif maka monoterapi dengan interferon
dapat diberikan.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat
diberikan bila jumlah CD4 pasien ini <200 sel/mL. bila CD4 kurang dari nilai
tersebut, respons terapi sangat tidak memuaskan. Untuk pasien dengan ko-
infeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk HCV sudah sekaligus
mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterpai bersama-
sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV.
BAB III
Pembahasan

Pada kasus tersebut dapat diketahui bahwa keluhan utama berupa muntah
darah berwarna hitam. Gejala prodormal yang muncul adalah penurunan nafsu
makan tanpa disertai adanya nyeri perut pada kuadran kanan atas ataupun pada
epigastrium sebelumnya. Dia juga menyangkal pernah mengalami kelainan pada
buang air besar maupun buang air kecil. Pasien menyangkal bahwa urin pernah
berwarna cokelat seperti teh ataupun feses yang berwarna kehitaman sepert petis.
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami hal yang serupa ataupun riwayat
badan berwarna kuning. Namun, istri pasien dinyatakan meninggal karena
penyakit hati. Tahun 2006, istrinya mulai sakit dan mengeluhkan muntah darah
yang berulang berwarna hitam seperti kopi. Pada tahun 2008, istrinya meninggal
setelah menjalani pengobatan sekitar dua tahun. Pasien merupakan pensiunan
guru. Dia menyangkal pernah menjalani transfuse darah, membuat tato
ditubuhnya ataupun memakai narkoba dengan jarum suntik sebelumnya. Dia juga
menyangkal mengkonsumsi obat-obatan warung ataupun jamu-jamuan sebelum
sakit.
Gejala prodromal pada pasien ini tidak terlihat secara jelas. Pasien
mungkin tertular hepatitis C dari isterinya yang meninggal pada tahun 2008. Pada
pemeriksaan fisik tidak diketemukan tanda apapun yang mengarah ke hepatitis
kronis. Pemeriksaan darah lengkap didaptkan pansitopenia dapat dikarenakan
perdarahan yang terjadi yaitu hematemesis. Pemeriksaan tes fungsi hati
didapatkan kenaikan 2-3 kali dari batas normal SGOT dan SGPT. Selain itu, tes
Anti HCV juga sudah dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi virus
hepatitis C dan ternyata ditemukan positif.
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukam untuk mengetahui kondisi hepar
secara detail, ternyata didapatkan multipel nodul hepar dengan ukuran terbesar 2,1
cm cenderung merupakan gambaran metastasis. Sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan lain untuk mengkonfirmasi sumber kankernya. Kecurigaan mengarah
pada keganasan di prostat dan paru. Pemeriksaan PSA dilakukan untuk mengetahu
adanya keganasan di prostat dan hasilnya adalah 0,9 ng/ml (N <= 4 ng/ml).
Pemeriksaan rontgen thoraks dilakukan untuk mengetahui gambaran paru dan
tidak didapatkan kelainan pada paru.
Prostate Spesific Antigen (PSA) merupakan protein yang diproduksi oleh
sel kelenjar prostat yang merupakan marker biologic atau petanda tumor.. Test
PSA adalah mengukur PSA dalam darah. Pada kanker prostat ataupun BPH dapat
terjadi peningkatan level PSA. Saat ini belum terdapat bukti bahwa prostatitis dan
BPH dapat menyebabkan kanker akan tetapi masih mungkin jika seorang laki-laki
dengan prostatitis dan atau BPH berkembang menjadi kanker prostat.
Konsensus penanganan hepatitis Eropa dan Amerika menekankan untuk
perlunya dilakukan biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronis bisa
sangat fluktuatif dan adanya fibrosis signifikan tidak bisa diketahui tanpa
dilakukan biopsi hati. Biopsi hati diperlukan untuk menentukan prognosis seiring
dengan terjadinya sirosis hati ataupun penyakit hati lanjut.
Terapi pada kasus ini lebih cenderung terapi simptomatik. Pemberian
Vitamin K dan Kalnex ditujukan untuk meminimalisir perdarahan yang terjadi.
Sedangkan ranitidine dan sucralfat diberikan untuk melindungi lambung pasien.
Bilas lambung dilakukan pada saat pertama kali pasien datang dengan
menggunakan air dingin sebanyak 150-250cc melalui NGT untuk tujuan
menurunkan distensi abdomen.
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan saluran cerna atas yaitu:

Anamnesis, Px Fisik, VS
Hemostasis
(NGT, Hb, Ht, Platelet, PT,
APTT, CT, BT, RL)
Cristaloid dan atau Coloid
Hemodinamik stabil Hemodinamik tidak stabil
Perdarahan tidak aktif Perdarahan aktif

Terapi empiris:
Vitamin K 3x1 amp
Omeprazole/ PPI
Antasid
Sukralfat
TD >90/60 TD >90/60
AH2
MAP > 70 MAP > 70
Nadi < 100x/menit Nadi < 100x/menit
Hb > 9,9 gr% Hb > 9,9 gr%
Tes Tilt (-) Tes Tilt (-)
Kesadaran
menurun
Akral dingin

Evaluasi efektif

Somatostatin
Ocreotide
Vasopresin dan
nitrat
Perdarahan berhenti Perdarahan berlanjut

Tamponade balon

Radiologi SCBA/ Perdarahan berhenti


Rujuk untuk endoskopi Perdarahan meneteap

Operasi
Terapi definitif
Tes tilt merupakan salah satu prosedur medis yang digunakan untuk
mendiagnosis disautonomia atau sinkop.Pasien berdiri diatas meja untuk
mencetuskan siinkop dengan dimonitor menggunakan EKG dan tekanan darah.
BAB IV
Kesimpulan

1. Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang
telah terinfeksi virus ini.
2. Virus hepatitis C temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus yang memiliki
selubung glikoprotein dengan RNA rantai tunggal
3. Gambaran klinis hepatitis virus meliputi fase prodormal, fase ikterus, fase
ikterus dan fase konvalosen.
4. Hepatitis kronis dibedakan menjadi hepatitis kronis persisten, hepatitis kronis
lobular dan hepatitis kronis aktif.
5. Pemeriksaan EIA, anti HCV dan PCR dapat dilakukan untuk mendiagnosis
hepatitis C
6. Terapi menggunakan interferon dan ribavirin pada hepatitis C kondisi lanjut
atau yang berkembang kea rah kronis.
7. Penatalaksanaan awal pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian
atas terutama hematemesis adalah mengendalikan hemodinamik terlebih
dahulu.
Daftar Pustaka

Rino A Gani.2005.Pengobatan Terkini Hepatitis Kronis B dan C. Divisi


Hepatologi Bagian Penyakit Dalam FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Dapat diakses di http://pdpersi.co.id

Rino A Gani.2006.Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I


Edisi IV.Jakarta: FKUI. Hal 441-4

Andri Sanityoso.2006. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI. Hal 429-31

Pangestu Adi. 2006.Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian


Atas.Dalam:Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edis IV.Jakarta:FKUI. Hal
291-4

Abdurachman SA. 2004.Hepatitis Virus Kronis. Dalam:Buku Ajar Penyakit


Dalam Jilid I Edisi Ketiga.Jakarta: FKUI. Hal 262-3

Alan Franciscus.2007.HCV Diagnostic Tools: Grading and Staging Liver


Biopsy.Hepatitis C Support Project.

Jake Liang et al.2000.Phatogenesis, Natural History, Treatment and Prevention of


Hepatitis C.Ann Intern Med 132:296-305.

Win Kuang Shen et al. 1999.Utility of a single-stage isoproterenol tilt table test in
adults a randomized comparison with passive head-up tilt. J Am Coll
Cardiol, 33:985-990. Dapat diakses di
http://content.onlinejacc.org/cgi/content/full/33/4/985#FIG1

Prostate-Specific Antigen (PSA) Test. Dapat diakses di


http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/detection/PSA

http://en.wikipedia.org/wiki/Tilt_table_test

Anda mungkin juga menyukai