Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ABSES OTAK

Disusun untuk memenui tugas mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Disusun oleh :
Florisma Arista Riti Tegu (30120116016K)
Nadia Diva Devina (30120116019K)
Pito (30120116003K)
Patarina Virginia Marpaung (30120116029K)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS


PADALARANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan
penyertaan-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Pembuatan makalah ini
sebagai pelaksanaan tugas dari mata kuliah Patofisiologi.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan selama penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan,
oleh karena itu masukan dan kritik saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan
kedepan, sangat kami harapkan. Penulis berharap semoga penulisan makalah ini
mempermudah pemahaman mahasiswa/I dalam mempelajari penyakit abses otak.

Padalarang, 22 November 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jaringan otak merupakan suatu organ yang mempunyai pertahanan proteksi
yang unik. Kerentanan jaringan otak terhadap keberadaan bakteri lebih bermakna bila
dibandingkan dengan kulit kepalanya sendiri. Kejadian infeksi pada kulit
membutuhkan sedikitnya 105 organisme, sedangkan infeksi pada otak dapat terjadi
hanya dengan 100 organisme. Bila salah satu atau lebih sistem pertahanan ini tidak
adekuat, resiko infeksi susunan saraf pusat akan meningkat. Namun sebaliknya dalam
keadaan fungsi pertahanan yang normal, tetap memungkinkan terjadinya infeksi.
Abses otak tetap merupakan topik permasalahan yang aktual dalam wawasan
bedah saraf dari masa ke masa sehubungan dengan labilnya angka morbiditas dan
mortalitas di era antibiotika yang modern ini. Negara yang sedang berkembang
mempunyai insidensi yang lebih besar dibandingkan dengan negara maju. Frekuensi
insidensi abses otak adalah 3-4,3 per satu juta penduduk. Penelitian di Amerika
(Minnesota 1950-1981) menetapkan insidensi abses otak adalah 1,1 per 100.000
penduduk per tahun dengan case fatality ratio 37%. Di Amerika insidensi kasus abses
otak tampak cenderung makin meningkat, yang sering dikaitkan dengan
bertambahnya pasien-pasien yang mengalami gangguan imunologi akibat
infeksiinfeksi oportunistik seperti AIDS. Abses otak dikategorikan tipe yang multipel
bila dijumpai dua atau lebih abses, yang satu sama lain dipisahkan secara jelas oleh
parenkim otak. Insidensi abses multipel berkisar antara 1-15% total kasus abses dalam
penelitian-penelitian terdahulu. sejak diterapkan CT scan sebagai sarana investigasi
diagnostik jumlah kasus yang ditemukan bertambah banyak. Melihat hal ini, maka
perawat harus mengetahui dan mampu mendeteksi secara dini tanda dan gejala serta
dapat melakukan penanganan dan perawatan secara tepat. Peran perawat sangat
penting dalam merawat pasien dengan abses otak.
B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini selain sebagai pelaksanaan tugas pada
mata kuliah Patofisiologi, bertujuan agar mahasiswa semakin mengetahui dan
memahami secara keseluruhan mengenai penyakit abses otak.

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian penyakit abses otak.
b. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi penyakit abses otak.
c. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi abses otak
d. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis dari abses otak.
e. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
abses otak.
f. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada pasien abses otak .
g. Mahasiswa mampu memahami dan melakukan penatalaksanaan medis pada
pasien dengan abses otak.
C. Metode Penulisan

Metode penulisan yang dilakukan dalam penulisan makalah ini melalui studi
kepustakaan yaitu dengan mencari literatur- literatur yang berkaitan dengan penyakit
abses otak.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan makalah ini dibagi sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode
Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Teoritis, yang terdiri dari Pengertian, Etiologi, Patofisiologi,
Manifestasi KLinis, Komplikasi, Pemeriksaan Penunjang, dan Penatalaksanaan
Medis.
Bab III Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
Daftar Pustaka.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
Abses otak merupakan kumpulan dari unsur-unsur infeksius dalam jaringan
otak yang dapat terjadi melalui invasi otak langsung dari trauma intrakranial atau
pembedahan, penyebaran infeksi dari daerah lain seperti sinus, telinga dan gigi
( infeksi sinus paranasal, otitis media, sepsis gigi ) serta penyebaran infeksi dari organ
lain ( abses paru-paru, endokarditis infektif ) ( Arif, 2008).
Abses otak adalah kumpulan bahan supuratif pada parenkim otak yang
disebabkan oleh bakteri piogenik ( Gilroy J, 1992 ).
Abses otak merupakan infeksi sekunder dari fokus-fokus infeksi dari otogenik,
odontogen, trauma, tindakan bedah kranium, infeksi lain di tubuh yang menyebar ke
otak secara perkontinuitatum atau hematogen ( Adam R.D, 1993).
B. Etiologi
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga
tengah, sinusitis (paranasal, etmoidalis, spenoidalis dan maksilaris).
1. Abses dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru
sistemik (empyema, abses paru, bronkhiektase, pneumonia), endokarditis
bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan. Abases otak yang
penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah
yang didistribusi oleh arteri serebri media teruma lobus parietalis, atau serebelum
dan batang otak.
2. Abses dapat dijumpai pada penderita penyakit immonologik seperti pada
penderita AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemotrapi/ steroid
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
3. Abses otak dapat terjadi juga melalui invasi otak langsung dari trauma
intrakranial atau pembedahan, penyebaran infeksi dari daerah lain seperti sinus,
telinga dan gigi (infeksi sinus paranasal, otitis media, sepsis gigi) serta
penyebaran infeksi dari organ lain ( abses paru-paru, endokarditis infektif ).

C. Patofisiologi
Pada umumnya bases otak terjadi akibat masuknya organisme kedalam
susunan saraf pusat akibat trauma kepala, prosedur operasi, melalui proses
penyebaran langsung atau metastasis dari fokus-fokus infeksi. Proses tersebut terjadi
melalui cara ekstensi langsung dimana telinga tengah atau sinus nasal merupakan
suatu basis sebagai osteomielitis yang kemudian diikuti dengan inflmasi dan penetrasi
bahan-bahan infeksi menembus guramater dan leptomeningens serta membuat suatu
traktus supuratif kedalam otak, dan atau dengan cara meneyebab melalui sepanjang
dinding vena yang diperberat oleh tromboflebitis vena-vena pia serta sinus duramater.
Proses dimulai dengan serebritis lokal dengan pelunakan, peradangan dan
hiperemi. Perubahan nekrotik dimulai ditengah diikuti pencairan dan pembentukan
nanah. Fibroblas dan gliosis yang melingkari serebritis membentuk kapsul. Semula
tidak rata, lama kelamaan lebih tegas. Biasanya jarinagan disekitarnya
memperlihatkan tanda edema dan jaringan tersebut dimasuki sel oleh leukosit
polimorfonuklear dan sel plasma, tidak perlu terdapat sel limfosit. Jaringa nekrosis
tersebut membentuk kapsul, waktu yang diperlukan membentuk jaringan nekrosis ini
adalah 4-6 minggu.
Dinamika perkembangan suatu abses otak oleh Britt dan Enzmann
mengidentifikasi empat stadium proses patologi abses otak yaitu:
1. Stadium serebritis dini / Early cerebritis ( 1-3 hari )
a. Respon inflamasi perivaskuler meneglilingi pusat nekrotik pada hari ke
tiga.
b. Terdapat edema pada substansia alba.
c. Munculnya pusat nekrotik dan respon inflamasi lokal di sekeliling
pembuluh darah (mencapai puncak pada hari ke tiga dengan adanya
edema).
d. Pada saat ini lesi tidak dapat dibedakan dari jaringan otak sehat.
2. Stadium serebritis lanjut / Late cerebritis ( 4-9 hari )
a. Pusat nekrotik mencapai bentuk maksimum.
b. Muncul fibroblas ( membentuk kapsul dan menambah neuvaskularisi
perifer dari pusat nekrotik ).
c. Terdapat respon reaktif astrosit di sekitar edema substansia alba.
d. Pus membentuk pembesaran dari pusat nekrotik yang dikelilingi oleh zona
sel inflamasi dan makrofag.
e. Fibroblas membentuk jaringan retikulin yang merupakan prekusor dari
kapsul kolagen.
3. Stadium formasi kapsul dini / Early capsule formation ( 10-13 hari )
a. Penurunan bentuk pusat nekrotik.
b. Terdapat fibroblas dengan deposisi retikulin pada bagian korteks.
c. Di luar kapsul terdapat serebritis dan neovaskularisi dengan peningkatan
astrosit reaktif.
d. Kapsul semakin menebal disekitar pusat nekrotik.
e. Formasi kapsul tersebut membatasi penyebaran infeksi dan perusakan
parenkim otak.
f. Formasi kapsul berkembang lebih lambat pada daerah medial atau ventrikel
karena vaskularisasi yang lebih sedikit pada substansia alba yang lebih
dalam.
4. Stadium formasi kapsul lanjut / Late capsule formation ( >14 hari )
a. Kapsul menebal dengan reaktif kolagen pada minggu ketiga.
b. Ditandai dengan 5 zona histologi:
1) Adanya pusat nekrrotik.
2) Zona perifer dari sel inflamasi dan fibroblas.
3) Kapsul kolagen.
4) Lapisan neovaskularisasi di luar kapsul dengan serebritis sisa ( residual
serebritis ).
5) Zona edema dan gliosis reaktif diluar kapsul.
D. Manisfestasi Klinis
Tanda dan gejala abses otak bervariasi tergantung pada virulensi organisme,
status imun penderita, lokasi abses, jumlah lesi, adanya meningitis, atau ruptur
ventrikel. Yang sering dirasakan penderita adalah demam, nyeri kepala, dan defisit
neurologis fokal. Nyeri kepala biasanya general, kemungkinan karena peningkatan
intrakranial, demikian pula dengan mual muntah. Kejang biasanya general dan lebih
sering pada lesi lobus frontalis. Papil edema tidak berkorelasi dengan ukuran dari
abses tapi lebih kepada munculnya nyeri kepala dan muntah. Defisit neurologis fokal
tergantung pada lokasi, ukuran lesi dan edema disekitarnya. Hemianopsia biasanya
merupakan manisfestasi lesi pada supratentorial.
Trias yang terdiri dari tanda infeksi, tanda peningkatan tekanan intrakranial dan gejala
neurologis fokal. Stadium serebritis terdapat sakit kepala, demam, letargi dan kejang
tetapi sering pula tidak terlihat tanda dan gejala sehingga proses penyakitnya terlihat
akibat adanya lesi desak ruang. Gejala dapat menjadi progresif, terlihat dengan
adanya kelaianan saraf lokal dan tekanan intrakranial yang meningkat. Sakit kepala,
muntah, dan kesadaran mulai menurun dan disertai dengan hemiparesis, hemianopia
atau kelainan neurologi lainnya. Dalam perkembangannya abses otak dapat melalui
tiga fase walaupun secara klinis sulit dibedakan, yaitu:
1. Fase pertama adalah fase ensefalitis atau serebritis, dengan gejala demam,
mengantuk, sakit kepala, kaku dan kejang.
2. Fase kedua adalah fase pembentukan kapsul, dimana terjadi pada saat fase
pertama mulai menurun atau bertambah, yang terjadi beberapa hari sampai
beberapa minggu, namun abses tetap bertambah secara perlahan-lahan.
3. Fase ketiga adalah fase dekompresi serebral, dengan tkanan intrakranial yang
meninggi kelainan fokal dan herniasi unkus dengan penekanan batang otak,
edema papil, hemiparesis, hemianopia, yang lama kelamaan masuk masuk dalam
keadaaan stupor dan gangguan vital.

Goodman mengemukakan empat sindrom kumpulan gejala yang walaupun hal


tersebut tidak spesifik untuk abses otak, tetapi setidaknya merupakan petunjuk yang
cukup bermanfaat untuk mengarahkan diagnosa yaitu:

1. Tipe I ekspansi masa fokal akut.


Penderita-penderita kelompok ini memiliki gejala dan tanda proses desak ruang
dari suatu lesi masa intrakranial yang progresif, dalam beberapa hari bahkan
sampai beberapa jam. Corak gejalanya sesuai dengan lokasi lesi abses seperti
abses dilobus temporal akan menimbulkan kuadranopsia hormonimus superior,
abses serebelum akan menimbulkan tanda-tanda defisit hemisfer serebelum dan
sebagainya. Gejala-gejala tersebut dapat disertai dengan demam yang tidak begitu
tinggi dan juga kesadaran yang berkabut, sehingga kadang-kadang defisit
neurologis ( defisit visuil ) yang masih ringan menjadi terlewatkan.
2. Tipe II hipertensi intrakranial
Keadaan ini menampilkan gejala-gejala dan tanda gangguan neurologis yang
berkaitan dengan peninggian intrakranial seperti: nyeri kepala, mual muntah,
penurunan kesadaran, gangguan daya ingat, dan perubahan personalitas, serta
papil edema.\

3. Tipe III dektruksi difus


Keadaan yang termasuk kategori ini menampilkan gejala-gejala komponen
dekstruksi yang progresif seperti gangguan neurologis yang tidak sesuai dengan
ekstimasi klinis dari keadaan intrakranialnya. Keadaan yang buruk akan terus
berlanjut secara progresif tanpa diikuti terjadi herniasi otak.
4. Tipe IV defisit neurologis fokal
Keadaan dimana gejala yang ada berkembang sedemikian lambatnya sehingga
seringkali diinterpretasi sebagai neoplasma yang tumbuh lamba
E. Komplikasi
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ke ruangan subarakhnoidal.
2. Penyumbatan cairan serebrospinal ; hidrosefalus.
3. Edema otak
4. Herniasi tentorial oleh massa abses otak.
F. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
fisik pada B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
Pemeriksaan fisik biasanya dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV). Pada
klien abses otak biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari 38-41 derajat
celcius.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
1. Tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien abses otak biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma
maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan
bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
2. Fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara,
dan observasi ekspresi wajah sserta aktivitas motorik yang pada klien abses otak
tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan saraf kranial
a. Saraf I
Biasanya pada klien abses otak tidak ada kelainan dan fungsi penciman tidak
ada kelainan.
b. Saraf II
Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papil edema
mungkin didapatkan terutama pada abses otak supuratif disertai abses serebri
dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
c. Saraf III, IV dan VI
Pada tahap lanjut abses otak yang telah menggangu kesadaran, tanda-tanda
perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan
d. Saraf V
Pada klien abses otak umumunya tidak didaptkan paralisis pada otot wajah
dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
e. Saraf VII
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
f. Saraf VIII
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X
Kemampuan menelan baik.
h. Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezeus. Adanya usaha
dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku leher (rigiditas nukal ).
i. Saraf XII
Lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
4. Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordiansi pada abses otak
tahap lanjut mengalami perubahan sehingga klien mengalami kelemahan
ekstremitas dan menggangu aktivitas sehari-hari.
5. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
6. Gerakan Involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien
biasanya mengalami kejang umum terutama pada anak dengan abses otak disertai
denga peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga
berhubungan dengan abses otak.

7. Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik pada abses otak biasanya didapatkan persaan raba normal,
perasaan nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal
dipermukaan tubuh. Perasaan proprioseptif normal dan perasaan diskriminatif
normal.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium rutin dan likuor biasanya tidak memberikan hasil yang
nonspesifik, malah dilaporkan bahwa sepertiga pasien mengalami herniasi
transtentorial akibat tindakan fungsi lumbal.
2. Pemeriksaan darah tepi kadang-kadang terdapat leukositosis. Cairan
cerebrospinal biasanya bersifat jernih dan steril, kecuali bila abses pecah yang
akan menyebabkan terjadinya meningitis. Tekanan cairan cerebrospinal
seringkali meningkat, dengan kadar protein yang sedikit meninggi.
3. Pengukuran kadar C-reaktif Protein ( CRP ), diterapkan unuk membedakan abses
otak piogenik dengan tumor otak atau lesi masa lainnya berkaitan dengan
peningkatan kadanya didalam plasma sewaktu ada proses infeksi akut dan kronis.
4. Pemeriksaan foto rontgen kepala merupakan metode investigasi yang noninvasif.
Pemeriksaan penunjang ini ditujukan untuk mengungkapkan infeksi
intrakaranial, khususnya mengenai penyakit-penyakit inflamasi daerah sinus-
sinus paranasal, piramid, osteomielitis tulang tengkorak, cedera kepala terbuka,
serta deteksi benda asing atau fragmen tulang didalam kepala, serta peningkatan
intrakranial atau gas dalam kavitas abses.
5. Pemeriksaan EEG ( Electroencephalogram ) dapat menunjukkan lokasi abses,
dengan memperlihatkan gelombang delta voltase tinggi pada tempat lesi
supuratif guna melihat adanya pembentukan dan penambahan gelombang delta
setempat.
6. CT ( Computerized Tomography ) sangat baik dalam menentukan letak abses,
setelah evolusi dan resolusi lesi-lesi supuratif, dan dalam menentukan waktu
yang optimal untuk dilaksanakan intervensi pembedahan.
7. MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) bertujuan untuk membedakan antara
bekuan darah dan free flowing blood seperti malformasi arterio-venosus, tumor
atau lesi-lesi nonvaskuler.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Abses otak diobati dengan terapi anti mikroba dan irisan pembedahan atau
aspirasi.
2. Pengobatan anti mikroba diberikan untuk menghilangkan organisme penyebab
atau menurunkan perkembangan virus.
3. Dosis besar melalui intravena biasanya ditentukan pra operatif untuk menembus
jaringan otak dan abses otak. Terapi diteruskan pada pasca operasi.
4. Kortikosteroid dapat diberikan untuk menolong menurunkan peradangan edema
serebri jika klien memperlihatkan adanya peningkatan defisit neurologis.
5. Obat-obat antikonvulsan ( fenitoin, fenobarbital ) dapat diberikan sebagai
profilaksis mencegah terjadinya kejang. Abses yang luas dapat diobati dengan
terapi anti mikroba yang tepat, dengan pemantauan ketat melalui pengamatan
dengan CT-scan.
6. Setelah pengobatan abses otak, defisit neurologis dapat terjadi berupa
hemiparesis, kejang, gangguan pengelihatan, dan kelumpuhan saraf kranial
karena kemungkinan adanya gangguan jaringan otak. Serangan ulang biasanya
terjadi, dengan angka kematian yang tinggi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Abses otak adalah proses supurasi yang menyebabkan tekanan di sekitarnya.
Abses otak dapat berasal dari beberapa sumber infeksi, yaitu fokus infeksi dekat,
misalnya otitis media, mastoiditis, sinusitis paranasal dan fokus infeksi jauh, misalnya
dari paru-paru dan jantung, luka penetrasi, operasi dan akibat komplikasi meningitis
bakterialis. Keberhasilan mengetahui penyebab abses sangat dipengaruhi cara
pembiakan Untuk menegakkan diagnosis abses otak, diperlukan adanya gambaran
klinis yang sesuai serta diperlukan pemeriksaan penunjang, yaitu: EEG
(Electroencephalogram), darah dan CT (Computerised Tomography) scan. Abses otak
diobati dengan terapi anti mikroba dan irisan pembedahan atau aspirasi.
B. Saran
1. Bagi Masiswa/I
Agar masiswa/i dapat lebih mempelajari dan memahami tentang abses otak
sehingga dapat mengaplikasikan dengan baik tindakan dan penanganan serta
perawatan bagi pasien abses otak saat praktek klinik.
2. Bagi Masyarakat
Disarankan bagi masyarakat agar mengetahui dan memahami tentang abses otak
sehingga bila timbul tanda dan gejala dapat melakukan pencegahan dan
penanganan sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gngguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika : Jakarta.
http://www.ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/view/1014/1127
diakses pada tanggal 22 November 2016.

http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15591/1/mkn-des2005-%20(9).pdf
diakses pada tanggal 22 November 2016.

http://www. bedahsarafsolo.com/sites/default/files/ABSES%20SEREBRI.pdf
diakses pada tanggal 22 November 2016.

Anda mungkin juga menyukai