Anda di halaman 1dari 12

Resolusi Konflik SARA di Indonesia

Mata Kuliah Psikologi Perdamaian

Disusun oleh:

Ika Nisa Rodiyah 111311133051


Yosevi Mega Zenita 111411131010
Norwe Febi Lestari 111411131055
Aisyah Aulia Rahim 111411131066
Mery Retrofita Sari 111411131076
Naventa Audinata 111411131099
Esa Astrid Karimah L 111411131102
Zakiatul Aini 111411131109

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
1. Definisi Resolusi Konflik
Resolusi Konflik dapat melalui metode kekerasan atau peperangan.
Atau bisa juga dipandang sebagai proses tanpa kekerasan yang mengelola
suatu konflik dengan saling berkompromi, atau melalui bantuan pihak ketiga
yang memfasilitasi atau menerapkan penyelesaian atau resolusi. Proses
resolusi konflik memiliki beragam bentuk dan bisa dilihat pada sebuah
proses kontinum mulai dari proses kolaboratif, partisipatif, informal, tidak
mengikat (Seperti mediasi, konsiliasi, negosiasi pihak ketiga) terhadap
adversarial, fact-oriented, keputusan yang mengikat secara hukum dan
diberlakukan yang timbul dari institusi seperti pengadilan dan pengadilan
(Boulle, 1996 dalam Manning, n.d.).
Pada umumnya, praktik non-adversarial seperti mediasi, negosiasi,
arbitrase dan konsiliasi adalah praktik dari resolusi konflik atau prosedur
Alternate Dispute Resolution (ADR) daripada lembaga adversarial seperti
pengadilan dimana penyelesaian perselisihan dilakukan oleh otoritas eksternal
(Boulle, 1996 dalam Manning, n.d.). Sebaliknya mediasi, konsiliasi atau
negosiasi adalah kegiatan yang memudahkan komunikasi antara pihak yang
terlibat dan ingin menyelesaikan perbedaan mereka secara kooperatif
(Manning, n.d.).
Perkembangan resolusi konflik yang modern lebih mengedepankan
pada konflik yang timbul dari perubahan sosial yang dimana dapat mengarah
pada proses transformasi konflik dalam bentuk kekerasan maupun tanpa
kekerasan, dan menghasilkan sebuah perubahan sosial lebih lanjut dimana
individu atau kelompok yang diasingkan atau tidak dianggap mulai
mengartikulasikan kepentingan mereka dan menantang norma-norma yang
ada dan juga struktur kekuasaan (Clinton, 2011). Contohnya adalah melihat
skema tahap dari konflik dan bentuk intevensi yang mungkin terlihat pada
skema tersebut.
a) Peace keeping atau operasi keamanan yang melibatkan aparat
keamanan dan
militer.
b) Peace making, yakni upaya negoisasi antara kelompok kelompok
yang
berkepentingan.
c) Peace building, yakni strategi atau upaya yang mencoba
mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi
dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar
pihak yang terlibat konflik.

Skema siklus hidup konflik melihat perkembangan dari perubahan


sosial yang damai, hingga pembentukan konflik, konflik kekerasan, dan
kemudian transformasi konflik dan kembali ke perubahan sosial yang damai.
Tapi ini bukan satu-satunya jalan, rutannya bisa berubah dari formasi konflik
menjadi transformasi konflik dan kembali ke rsosial, menghindari kekerasan
Atau bisa juga dari formasi konflik hingga kekerasan Konflik kembali ke
terciptanya konflik baru.
2. Kemampuan Menumbuhkan Inisiatif Resolusi Konflik
Bodine and Crawford dalam [ CITATION Jon01 \l 1057 ]
merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam
menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya:
a. Kemampuan orientasi Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik
meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang
menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga
diri.
b. Kemampuan persepsi Kemampuan persepsi adalah suatu
kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu
dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi
seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk
menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
c. Kemampuan emosi Kemampuan emosi dalam resolusi konflik
mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi,
termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif
lainnya.
d. Kemampuan komunikasi Kemampuan komunikasi dalam resolusi
konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami
lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami; dan
meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan
emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional.
e. Kemampuan berfikir kreatif Kemampuan berfikir kreatif dalam
resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk
memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan
keluar.
f. Kemampuan berfikir kritis Kemampuan berfikir kritis dalam
resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan
menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.

Tidak jauh berbeda, Scannell juga menyebutkan aspek aspek yang


mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah
konflik meliputi keterampilan berkomunikasi, kemampuan menghargai
perbedaan, kepercayaan terhadap sesama, dan kecerdasan emosi [ CITATION
Sca10 \l 1057 ].

3. Hambatan dalam Resolusi Konflik

Mnookin (1992) menjelaskan bahwa ada 4 hal yang menjadi


penghalang atau hambatan bernegosiasi dalam resolusi konflik, yaitu:

1. Hambatan pertama adalah strategic barriers, yaitu berkaitan dengan


dilema yang melekat dalam proses negosiasi. Setiap negosiasi secara
khas melibatkan ketegangan antara: (a) menemukan kepentingan
bersama dan memaksimalkan keuntungan bersama, atau (b)
memaksimalkan keuntungan salah satu pihak dimana berarti satu pihak
mendapat lebih banyak keuntungan sedangkan pihak yang lain kurang
diuntungkan.
Masing-masing pihak dapat memberikan kontribusi yang dapat
dikombinasikan secara strategis, atau dengan memanfaatkan perbedaan
yang ada sehingga menciptakan negosiasi yang membuat kedua belah
pihak lebih baik. Untuk menciptakan nilai, sangat penting bahwa
pilihan diciptakan berdasarkan kepentingan dan preferensi yang
mendasari kedua belah pihak. Hal ini menunjukkan pentingnya
openness dan disclosure, sehingga berbagai pilihan dapat dianalisis
dan dibandingkan dari perspektif semua pihak. Namun, beberapa orang
memanfaatkan hal ini sebagai bagian dari taktik mereka supaya
mendapat keuntungan yang lebih banyak dari pihak lain. Pihak yang
lebih terbuka akan mendapat keuntungan yang relatif lebih kecil. Hal-
hal tersebut seringkali menyebabkan kebuntuan yang tidak perlu dan
yang lebih mendasar lagi, kegagalan untuk menemukan opsi atau
alternatif yang membuat kedua belah pihak lebih baik.

2. Hambatan kedua timbul sebagai akibat dari masalah principal/agent.


Dalam banyak perselisihan, principal tidak melakukan negosiasi atas
nama mereka sendiri melainkan bertindak melalui agen yang mungkin
memiliki insentif yang agak berbeda dari prinsipal mereka. Masalah
dasarnya adalah bahwa insentif untuk agen (baik itu pengacara,
karyawan, atau petugas) yang bernegosiasi atas nama pihak yang
mengajukan perselisihan dapat menyebabkan kegagalan dalam
memenuhi kepentingan principal itu sendiri.

3. Hambatan ketiga adalah kognitif. Hal ini berhubungan dengan


bagaimana pikiran manusia memproses informasi, menghadapai dan
mengevaluasi risiko dan ketidakpastian, serta membuat kesimpulan
dan penilaian. Misalnya pada suatu ketika kita dihadapkan pada dua
pilihan, dimana pilihan A merupakan hal yang sangat menguntungkan
bagi kita sedangkan pilihan B merupakan hal yang menguntungkan
kita namun presentase dalam mendapat keuntungan itu hanya 25%.
Seringkali kita akan memilih pilihan yang resiko kerugiannya lebih
kecil. Penghindaran risiko menunjukkan bahwa sebagian besar dari
kita tidak akan berspekulasi untuk keuntungan. Proporsi orang yang
akan berspekulasi menghindari kerugian jauh lebih besar daripada
mereka yang berspekulasi untuk mewujudkan keuntungan.
4. Hambatan keempat dan terakhir adalah "devaluasi reaktif," berkaitan
dengan fakta bahwa tawar-menawar adalah proses interaksi sosial
dimana masing-masing pihak terus-menerus menarik kesimpulan
tentang maksud, motif, dan itikad baik dari pihak yang lain. Devaluasi
reaktif pastinya bisa menjadi penghalang bagi penyelesaian konflik
yang efisien. Hal ini menunjukkan bahwa pertukaran konsesi dan
kompromi yang diajukan di antara lawan bisa sangat bermasalah.
Ketika satu pihak secara sepihak menawarkan konsesi dan setelah
pihak yang lain menilai, mereka bereaksi dengan mendevaluasi
tawaran tersebut, hal ini jelas dapat membuat resolusi konflik menjadi
sulit. Penerima konsesi unilateral cenderung percaya bahwa lawannya
tidak melepaskan nilai sebenarnya dan karena itu mungkin menolak
gagasan bahwa dia seharusnya menawarkan sesuatu yang bernilai
nyata sebagai imbalan.

4. Penerapan Resolusi Konflik pada SARA di Indonesia

A. KONFLIK SUNNI-SYIAH
Konflik Sunni-Syiah yang pertama terjadi pada tanggal 29
Desember 2011 di desa Bluaran, dan yang kedua terjadi pada tanggal 26
Agustus 2012 di desa Nang-Ker-Nang. Dari dua kasus tersebut, Teguh,
seorang anggota Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban LPSK
mengatakan terdapat 5 penyebab konflik.
1. Adanya fatwa dan seruan MUI Jatim, PWNU Jatim, dan ulama
bassara yang mengatakan bahwa Syiah sebagai aliran sesat
2. Pernyataan dari Bupati Sampang yang menolak keberadaan
masyarakat penganut Syiah di Sampang
3. Putusan pengadilan negeri Sampang yang menyatakan Tajul Muluk
seorang tokoh Sunni dianggap telah melakukan penistaan agama,
kemudian dipenjara 4 tahun
4. Konflik pribadi antara tokoh Syiah dengan tokoh Sunni
5. Pada masa pemilihan bupati Sampang, yang menggalang masa dari
masyarakat Sunni namun kalah

Resolusi Konflik
Resolusi konflik Sunni-Syiah yang terjadi Madura telah ditangani
oleh pemerintahan kabupaten Sampang dan Tim Rekonsiliasi melalui jalan
dialog dengan para ulama, workshop, pembinaan terhadap masyarakat
yang ada di lokasi konflik, dan pembenahan infrastruktur desa. Sejauh ini
proses resolusi yang dilakukan belum juga dapat menyelesaikan konflik
yang terjadi, karena kedua belah pihak mempunyai aspirasi yang berbeda.
Salah satu kendala yang menyebabkan semakin meluasnya konflik Sunni-
Syiah ialah banyaknya pihak-pihak yang masuk pada ranah konflik.
Kendala Resolusi Konflik:
1. Tradisi bheppa, bheppu, guruh ratoh, yaitu suatu tradisi di mana
dalam proses pengambilan keputusan pada masyarakat lebih
mendengarkan apa yang kiai katakan daripada pemerintah
2. Adanya perbedaan pendapat antar ulama Madura yang tergolong
dalam BASSRA
Alternatif Resolusi:
Cara inisiasi resiprokal atau yang dikenal GRIT digunakan karena
dapat mengurangi ketegangan di antara kedua belah pihak, dengan proses
mediasi, komunikasi, dan negosiasi. Pihak inisiator dipilih dari kedua
belah pihak Sunni dan Syiah yaitu Pemkab Sampang dan Tim Rekonsiliasi
[ CITATION Mun14 \l 1057 ]

B. KASUS POSO
Penyebab dari konflik sosial yang terjadi di Poso Wapres
menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama
namun adanya rasa ketidakadilan. awal mula terjadinya konflik karena
adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun
pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal, pada masa
sebelumnya melalui muspida setempat selalu diusahakan adanya
keseimbangan. Argumen yang mengemukakan bahwa adanya unsur suku
dan agama yang mendasari konflik sosial itu adalah sesuai dengan fakta
yaitu bahwa asal mula kerusuhan Poso 1 berawal dari :
a. Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh didalam Masjid
Pesantren Darusalam pada bulan Ramadhan.
b. Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti
Bugis, Jawa, dan Gorontalo, serta Kaili pada kerusuhan ke 3.
c. Pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat muslim di daerah
pedalaman kabupaten terutama di daerah Tentena Dusun Salena,
Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yang memperkuat dugaan bahwa
kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang
mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD Tentena.
d. Penyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol-simbol
perjuangan keagamaan kristiani pada kerusuhan ke 3.
e. Pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh kelompok merah
pada kerusuhan 3. Pada kerusuhan ke 1 dan 2 terjadi aksi saling
bakar rumah penduduk antara pihak Kristen dan Islam.
f. Terjadi pembakaran rumah ibdah Gereja dan Masjid, sarana
pendidikan ke dua belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli
Poso di Lombogia, Sayo, Kasintuvu.
g. Adanya penggerak anggota pasukan merah yang berasal dari suku
Flores, Toraja dan Manado.
h. Adanya pelatihan militer Kristen di Desa Kelei yang berlangsung 1
tahun 6 bulan sebelum meledak kerusuhan ke 3.
Resolusi Konflik:
Dalam upaya menyelesaikan konflik di Poso, telah dilakukan
Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I).
Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001 oleh 24 anggota
delegasi Kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi
Kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut
yakni:
1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan
mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang
melanggar.
3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga
keamanan.
4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak
memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak
asing.
5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua
pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan
satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu,
setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal
secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke
pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan
perselisihan berlangsung.
8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana
ekonomi secara menyeluruh.
10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan
prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah
disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan
pemerintah dan ketentuan lainnya.
Kendala Resolusi Konflik:
Faktor internal yakni rivalitas pertarungan jabatan pemerintah di
Poso antara Politisi Muslim dan Kristen, rivalitas sipil militer dalam
jabatan bupati. Sedangkan faktor eksternal, sektor ekonomi disebakan oleh
beralihnya kepemilikan tanah masyarakat pribumi ke masyarakat migran,
transmigrasi, perusahaan perkebunan, pertambangan, konsesi perusahaan
hutan.
Alternatif Resolusi :
Pendekatan budaya merupakan pendekatan terbaik dan efektif
dalam menghentikan konflik sosial di Poso. Filisopi hidup masyarakat
Poso, Sintuwu Maroso terbukti efektif mengembalikan harmonisasi
kehidupan masyarakat Poso.
Kesimpulan
Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya.
Sementara itu upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru dan bisa bertahan lama diantara kelompok-kelompok
yang bermusuhan. Dengan demikian untuk, untuk dapat mewujudkan pengelolaan
konflik yang baik, ada prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh segenap
komponen masyarakat yang bertikai. Hal yang dibutuhkan disana bukan hanya
kepemimpinan yang berwawasan kedepan, melainkan juga perlu adanya
keinginan yang kuat dari segenap komponen masyarakat
DAFTAR PUSTAKA

Clinton, B. (2011). Introduction to Conflict Resolution: Concepts and Definitions.


RAMSBOTHAM PRINT(3rd Edn), 15(15), 334.
Hendrajaya, Liliek dkk. (2010). Ragam konflik dl indonesia: corak dasar dan
Resolusinya. Jakarta: BPPKP.
LPSK Temukan 5 Penyebab Konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura. (2013, Mei
7).. Diakses pada Juni 16, 2017, dari detikNews:
http://news.detik.com/berita/2240068/lpsk-temukan-5-penyebab-konflik-
sunni-syiah-di-sampang-madura/2
Manning, C. (n.d.). Defining Conflict Resolution. Retrieved from
http://www.dialmformediation.com.au/Defining Conflict Resolution.pdf
Mnookin, R. H. (1992). Why negotiations fail: An exploration of barriers to the
resolution of conflict. Ohio State Journal on Dispute Resolution, 8(2),
235-249.
Muin, H. A. 2008. Sumber-sumber Konflik di Poso dan Penanganannya Dalam
Konflik Komunal: Studi Kasus Poso 1998-2007. Tesis Magister pada
Program Magister Studi Pembangunan Alur Studi Pertahanan Sekolah
Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Intitut Teknologi
Bandung
Munawaroh, M. L. (2014). Penyelesaian Konfllik Sunni-Syiah di Sampang
Madura. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Anda mungkin juga menyukai