Disusun oleh:
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
1. Definisi Resolusi Konflik
Resolusi Konflik dapat melalui metode kekerasan atau peperangan.
Atau bisa juga dipandang sebagai proses tanpa kekerasan yang mengelola
suatu konflik dengan saling berkompromi, atau melalui bantuan pihak ketiga
yang memfasilitasi atau menerapkan penyelesaian atau resolusi. Proses
resolusi konflik memiliki beragam bentuk dan bisa dilihat pada sebuah
proses kontinum mulai dari proses kolaboratif, partisipatif, informal, tidak
mengikat (Seperti mediasi, konsiliasi, negosiasi pihak ketiga) terhadap
adversarial, fact-oriented, keputusan yang mengikat secara hukum dan
diberlakukan yang timbul dari institusi seperti pengadilan dan pengadilan
(Boulle, 1996 dalam Manning, n.d.).
Pada umumnya, praktik non-adversarial seperti mediasi, negosiasi,
arbitrase dan konsiliasi adalah praktik dari resolusi konflik atau prosedur
Alternate Dispute Resolution (ADR) daripada lembaga adversarial seperti
pengadilan dimana penyelesaian perselisihan dilakukan oleh otoritas eksternal
(Boulle, 1996 dalam Manning, n.d.). Sebaliknya mediasi, konsiliasi atau
negosiasi adalah kegiatan yang memudahkan komunikasi antara pihak yang
terlibat dan ingin menyelesaikan perbedaan mereka secara kooperatif
(Manning, n.d.).
Perkembangan resolusi konflik yang modern lebih mengedepankan
pada konflik yang timbul dari perubahan sosial yang dimana dapat mengarah
pada proses transformasi konflik dalam bentuk kekerasan maupun tanpa
kekerasan, dan menghasilkan sebuah perubahan sosial lebih lanjut dimana
individu atau kelompok yang diasingkan atau tidak dianggap mulai
mengartikulasikan kepentingan mereka dan menantang norma-norma yang
ada dan juga struktur kekuasaan (Clinton, 2011). Contohnya adalah melihat
skema tahap dari konflik dan bentuk intevensi yang mungkin terlihat pada
skema tersebut.
a) Peace keeping atau operasi keamanan yang melibatkan aparat
keamanan dan
militer.
b) Peace making, yakni upaya negoisasi antara kelompok kelompok
yang
berkepentingan.
c) Peace building, yakni strategi atau upaya yang mencoba
mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi
dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar
pihak yang terlibat konflik.
A. KONFLIK SUNNI-SYIAH
Konflik Sunni-Syiah yang pertama terjadi pada tanggal 29
Desember 2011 di desa Bluaran, dan yang kedua terjadi pada tanggal 26
Agustus 2012 di desa Nang-Ker-Nang. Dari dua kasus tersebut, Teguh,
seorang anggota Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban LPSK
mengatakan terdapat 5 penyebab konflik.
1. Adanya fatwa dan seruan MUI Jatim, PWNU Jatim, dan ulama
bassara yang mengatakan bahwa Syiah sebagai aliran sesat
2. Pernyataan dari Bupati Sampang yang menolak keberadaan
masyarakat penganut Syiah di Sampang
3. Putusan pengadilan negeri Sampang yang menyatakan Tajul Muluk
seorang tokoh Sunni dianggap telah melakukan penistaan agama,
kemudian dipenjara 4 tahun
4. Konflik pribadi antara tokoh Syiah dengan tokoh Sunni
5. Pada masa pemilihan bupati Sampang, yang menggalang masa dari
masyarakat Sunni namun kalah
Resolusi Konflik
Resolusi konflik Sunni-Syiah yang terjadi Madura telah ditangani
oleh pemerintahan kabupaten Sampang dan Tim Rekonsiliasi melalui jalan
dialog dengan para ulama, workshop, pembinaan terhadap masyarakat
yang ada di lokasi konflik, dan pembenahan infrastruktur desa. Sejauh ini
proses resolusi yang dilakukan belum juga dapat menyelesaikan konflik
yang terjadi, karena kedua belah pihak mempunyai aspirasi yang berbeda.
Salah satu kendala yang menyebabkan semakin meluasnya konflik Sunni-
Syiah ialah banyaknya pihak-pihak yang masuk pada ranah konflik.
Kendala Resolusi Konflik:
1. Tradisi bheppa, bheppu, guruh ratoh, yaitu suatu tradisi di mana
dalam proses pengambilan keputusan pada masyarakat lebih
mendengarkan apa yang kiai katakan daripada pemerintah
2. Adanya perbedaan pendapat antar ulama Madura yang tergolong
dalam BASSRA
Alternatif Resolusi:
Cara inisiasi resiprokal atau yang dikenal GRIT digunakan karena
dapat mengurangi ketegangan di antara kedua belah pihak, dengan proses
mediasi, komunikasi, dan negosiasi. Pihak inisiator dipilih dari kedua
belah pihak Sunni dan Syiah yaitu Pemkab Sampang dan Tim Rekonsiliasi
[ CITATION Mun14 \l 1057 ]
B. KASUS POSO
Penyebab dari konflik sosial yang terjadi di Poso Wapres
menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama
namun adanya rasa ketidakadilan. awal mula terjadinya konflik karena
adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun
pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal, pada masa
sebelumnya melalui muspida setempat selalu diusahakan adanya
keseimbangan. Argumen yang mengemukakan bahwa adanya unsur suku
dan agama yang mendasari konflik sosial itu adalah sesuai dengan fakta
yaitu bahwa asal mula kerusuhan Poso 1 berawal dari :
a. Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh didalam Masjid
Pesantren Darusalam pada bulan Ramadhan.
b. Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti
Bugis, Jawa, dan Gorontalo, serta Kaili pada kerusuhan ke 3.
c. Pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat muslim di daerah
pedalaman kabupaten terutama di daerah Tentena Dusun Salena,
Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yang memperkuat dugaan bahwa
kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang
mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD Tentena.
d. Penyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol-simbol
perjuangan keagamaan kristiani pada kerusuhan ke 3.
e. Pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh kelompok merah
pada kerusuhan 3. Pada kerusuhan ke 1 dan 2 terjadi aksi saling
bakar rumah penduduk antara pihak Kristen dan Islam.
f. Terjadi pembakaran rumah ibdah Gereja dan Masjid, sarana
pendidikan ke dua belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli
Poso di Lombogia, Sayo, Kasintuvu.
g. Adanya penggerak anggota pasukan merah yang berasal dari suku
Flores, Toraja dan Manado.
h. Adanya pelatihan militer Kristen di Desa Kelei yang berlangsung 1
tahun 6 bulan sebelum meledak kerusuhan ke 3.
Resolusi Konflik:
Dalam upaya menyelesaikan konflik di Poso, telah dilakukan
Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I).
Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001 oleh 24 anggota
delegasi Kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi
Kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut
yakni:
1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan
mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang
melanggar.
3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga
keamanan.
4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak
memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak
asing.
5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua
pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan
satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu,
setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal
secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke
pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan
perselisihan berlangsung.
8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana
ekonomi secara menyeluruh.
10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan
prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah
disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan
pemerintah dan ketentuan lainnya.
Kendala Resolusi Konflik:
Faktor internal yakni rivalitas pertarungan jabatan pemerintah di
Poso antara Politisi Muslim dan Kristen, rivalitas sipil militer dalam
jabatan bupati. Sedangkan faktor eksternal, sektor ekonomi disebakan oleh
beralihnya kepemilikan tanah masyarakat pribumi ke masyarakat migran,
transmigrasi, perusahaan perkebunan, pertambangan, konsesi perusahaan
hutan.
Alternatif Resolusi :
Pendekatan budaya merupakan pendekatan terbaik dan efektif
dalam menghentikan konflik sosial di Poso. Filisopi hidup masyarakat
Poso, Sintuwu Maroso terbukti efektif mengembalikan harmonisasi
kehidupan masyarakat Poso.
Kesimpulan
Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya.
Sementara itu upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru dan bisa bertahan lama diantara kelompok-kelompok
yang bermusuhan. Dengan demikian untuk, untuk dapat mewujudkan pengelolaan
konflik yang baik, ada prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh segenap
komponen masyarakat yang bertikai. Hal yang dibutuhkan disana bukan hanya
kepemimpinan yang berwawasan kedepan, melainkan juga perlu adanya
keinginan yang kuat dari segenap komponen masyarakat
DAFTAR PUSTAKA