Anda di halaman 1dari 2

MENIMBANG KELAYAKAN BIOETANOL SEBAGAI PENGGANTI BENSIN

Sejak Menteri Negara Riset dan Teknologi Dr. Kusmayanto Kadiman me-launching bahan bakar Gasohol BE-10 pada
akhir Januari 2005 yang kemudian didukung dengan terjadinya kenaikan harga minyak mentah dunia sampai menyentuh
US$70/barel, maka bioetanol telah mendapat publikasi yang luas melalui berbagai media cetak dan elektronik maupun
pada pameran-pameran yang digelar pada tahun ini. Reaksi masyarakat sangat beragam, mulai dari yang mendukung
sampai yang menentang. Lebih banyak yang mendukung, antara lain karena masyarakat sedang kesal dengan kenaikan
harga BBM yang dipandang mengancam kehidupan mereka. Terselip harapan, semoga bioetanol dapat menjadi bahan
bakar alternatif yang lebih murah. Adapun yang menentang memberikan argumentasi beragam, mulai dari singkong
yang rakus unsur hara, bioetanol berpotensi menjadi pesaing bahan pangan yang masih impor, sampai dengan
ancaman terhadap keanekaragaman hayati karena pertanian monokultur untuk bahan baku etanol. Para penggemar
otomotif menempuh cara bereaksi yang agak berbeda, mereka rela menempuh jarak ratusan kilometer untuk
mendapatkan bioetanol puluhan liter, mencoba sendiri dan kemudian memberikan laporan lewat tabloid, email maupun
sms.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk secara langsung merespons reaksi masyarakat, tetapi lebih merupakan upaya
memberikan masukan kepada masyarakat, para anggota legeslatif maupun pengambil keputusan di Pemerintah,
sebelum memilih (atau tidak memilih) bioetanol sebagai bahan bakar alternatif di masa depan. Kegunaan teknis
bioetanol sebagai bahan bakar Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar, sesungguhnya seusia dengan
perkembangan industri otomotif. Mobil Ford generasi pertama (Type T) merupakan mobil yang menggunakan bioetanol
sebagai bahan bakar. Sejak bensin diproduksi dengan harga murah pasca Perang Dunia II, bioetanol tersisih karena
harganya tidak cukup kompetitif. Krisis minyak pada tahun 1970-an mengangkat kembali bioetanol sebagai bahan bakar
alternatif di AS, Brazil dan beberapa negara Asia dan Eropa. Bioetanol bersifat multi-guna karena dicampur dengan
bensin pada komposisi berapapun memberikan dampak yang positif. Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 %
dengan bensin (90%), sering disebut Gasohol E-10. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) plus alkohol (bioetanol).
Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional
memiliki ON 92 atau setara Pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling
ramah lingkungan dan di negara-negara maju telah menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl
Tertiary Buthyl Ether (MTBE). Pelarangan MTBE merupakan topik hangat dalam pembahasan Energy Bill di Kongres
dan Senat negara-negara bagian di AS. Pencampuran sampai dengan 24 % masih dapat menggunakan mobil bensin
konvensional. Di atas itu, diperlukan mobil khusus yang telah banyak diproduksi di AS maupun Brazil. Yang populer dan
diminati saat ini adalah Flexible-Fuel Vehicle (FFV). Ini sejenis €œmobil cerdas€ karena dilengkapi
dengan sensor dan panel otomatisasi yang dapat mengatur mesin untuk menggunakan campuran bensin-bioetanol pada
komposisi berapapun. Etanol teknis (95 % etanol, 5 % air) juga digunakan pada mobil khusus alkohol di Brazil, meskipun
akhir-akhir ini kalah pamor dengan mobil FFV. Ketersediaan Bioetanol dapat diolah dari berbagai jenis tanaman berpati
(ubikayu, jagung, sorgum biji, sagu), tanaman bergula (tebu, sorgum manis, bit) serta serat (jerami, tahi gergaji, ampas
tebu). Seluruh jenis bahan baku ini, pada kondisi harga minyak mentah saat ini biaya produksinya kompetitif terhadap
bensin. Untuk tanaman berpati dan bergula, dengan produktifitas rata-rata bioetanol 5.000 liter/ha per-tahun, konsumsi
seluruh bensin sebesar 16 juta kilo per-tahun (tahun 2005) dapat diproduksi dengan budidaya bahan baku seluas 3,2
juta hektar saja (1,7% dari luas daratan Indonesia). Jika dalam waktu dekat ini, bahan baku serat selulosa (jerami dan
sejenisnya) dapat bersaing dengan pati-patian dan gula, jumlah lahan yang digunakan menjadi lebih sedikit. Daya saing
terhadap bensin Biaya produksi bioetanol terkait dengan bahan bakar yang digunakan dalam proses produksinya. Biaya
produksi bioetanol di Brazil termurah karena listrik dan steam yang digunakan dalam proses dapat dipenuhi melalui
pembakaran ampas tebu, sehingga biaya produksinya cuma separuh harga bensin. Sedangkan di AS, karena
menggunakan gas alam sebagai bahan bakar proses, mengalami penigkatan biaya produksi karena gas alam juga ikut
naik bersama kenaikan harga minyak. Sebagai gambaran, per-30 Agustus 2005, ketika harga minyak mentah
US$69,81/barel, harga bensin Rp 6.500,-/liter dan bioetanol Rp 5.600,-/liter (asumsi 1US$1 = Rp10.000). Kompetisi
bahan baku atau peningkatan kesejahteraan petani ? Tanpa dibarengi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan,
industri bioetanol akan berkompetisi secara langsung dengan pengguna tebu/molases, ubikayu, jagung dan bahan baku
lainnya. Pada kondisi kritis ini, industri bioetanol lebih sensitif terhadap peningkatan harga dibandingkan dengan industri
pangan, karena biaya produksi 1 liter bioetanol hampir sama dengan harga 1 kg produk industri pangan. Padahal 1 liter
etanol memerlukan 2 kg bahan baku setara 2 kg produk industri pangan. Jadi, industri bioetanol pasti akan kalah
bersaing dan mencari bahan baku alternatif yang lebih murah. Dengan kata lain, karena kebutuhan bahan baku yang
besar, industri bioetanol sesungguhnya dapat berperan sebagai penyangga harga komoditas pertanian. Petani tidak
perlu cemas harga jatuh, sementara ketahanan pangan menjadi meningkat karena produksi yang berlimpah. Industri
bioetanol mungkin dapat dianalogikan dengan ikan sapu-sapu di kolam. Dengan gerak lamban, dia membalikkan badan
menyorongkan mulutnya menampung sisa-sisa makanan ikan lain, tetapi ketika tidak tersisa makanan di permukaan air,
lumut yang melekat di dinding kolampun dimakan. Dampak positip-negatip terhadap lingkungan Produksi bioetanol dari
tanaman dan penggunaannya pada mesin mobil akan menciptakan keseimbangan siklus karbondioksida, yang berarti
akan mengurangi laju pemanasan global. Pembakaran bensin yang lebih sempurna ketika dicampur bioetanol 10 % saja
akan memperbaiki kualitas udara di kota-kota padat lalu lintas. Di Indonesia hal ini menjadi krusial, karena aditif timbal
(TEL) masih digunakan di luar Jawa-Bali. Tidak murah menggantikan TEL dengan aditif HOMC (High Octane Mogas
Component) karena biaya produksinya sangat mahal. Pengalaman banyak negara menunjukkan, bioetanol menjadi
pilihan yang paling murah. Sisi negatifnya, produksi bioetanol secara besar-besaran berpotensi menyebabkan
penurunan keanekaragaman hayati melalui monokultur bahan baku berikut praktek-praktek pertanian yang merusak
kualitas lahan. Ini bukan masalah baru dan harus diatasi bersama-sama agroindustri lainnya melalui penerapan
http://www.bppt.go.id - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Powered by Mambo Generated: 12 July, 2006, 12:40
pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang terintegrasikan dengan sistem bioindustri nir-limbah. Integrasi
budidaya bahan baku dengan pabrik bioetanol dan peternakan sapi telah terbukti menurunkan biaya investasi, yang
dapat menurunkan kapasitas minimal pabrik. Selain itu, penggunaan aneka ragam bahan baku juga tidak akan banyak
berpengaruh terhadap investasi awal karena prosesnya lebih sederhana dibandingkan dengan proses fermentasi,
distilasi dan dehidrasi. Kebutuhan Investasi versus Penghematan Devisa Tidak ada batasan yang tegas, berapa skala
komersial minimal pabrik bioetanol. Dari 83 buah pabrik bioetanol di AS, skalanya berkisar dari 2,5 kl /hari sampai
dengan 1.000 kL/hari, meskipun pada umumnya di atas 100 kL/hari. Secara hitungan kasar, setiap kelipatan 10 kali
kapasitasnya, biaya investasinya menurun separuhnya. Biaya investasi kilang bioetanol kapasitas 100 kL/hari berkisar
antara Rp 2-3 milyar per-kiloliternya. Dengan harga etanol yang dihitung sama dengan bensin saja, pembangunan 1
pabrik ukuran ini akan menghemat devisa untuk impor bensin sebesar 33.000 kL/tahun x Rp 5.450,- /liter atau Rp
179.850.000.000,-. Gambaran yang rada nakal tapi serius adalah bagaimana kalau subsidi bensin tahun 2005
digunakan untuk membangun pabrik bioetanol ? Seperempat BBM kita adalah bensin. Kalau disepakati subsidi untuk
BBM Rp 89.2 triliun, maka diperoleh angka Rp 22,3 triliun yang dapat digunakan untuk membangun pabrik bioetanol 89
buah @ kapasitas 100 kL/hari. Bioetanol yang dihasilkan adalah 2.937.000 kL/tahun atau mensubsitusi hampir 20 %
kebutuhan bensin di tanah air dengan penghematan devisa Rp 89,2 triliun ! Bioetanol sebanyak ini membutuhkan lahan
seluas 587.000 hektar kualitas biasa sampai marjinal yang dapat ditanami singkong, tebu, sorgum atau jagung sebagai
bahan baku bioetanol. Selanjutnya, silakan anda bayangkan sendiri lapangan pekerjaan yang tercipta di kawasan
pertanian-perdesaan. Kuncinya pada komitmen dan pasar Pembangunan fisik pabrik bioetanol butuh waktu 2 tahun,
sehingga €œmimpi€ di atas kalau dimulai awal tahun 2006 akan menghasilkan bioetanol pengganti
hampir 20 % konsumsi bensin pada tahun 2008-2009. Sebagai contoh riil, Cina pada tahun 2001 belum memproduksi
etanol grade bahan bakar, tetapi dengan komitmen pemerintah Cina yang kuat, maka tanpa terlalu memperhitungkan
pasar, pada tahun 2004 negara Cina telah berhasil memproduksi 2 juta kiloliter bioetanol grade bahan bakar per-tahun.
Kita berada pada momentum yang tepat untuk memilih (atau tidak memilih sekalian) untuk memproduksi bioetanol
sebagai pengganti (sebagian) bensin, karena pasar sedang berpihak pada bioetanol. Harga minyak mungkin akan
fluktuatif, tetapi pengalaman Brazil dan AS membuktikan pilihan mereka tidak salah ketika mereka meneruskan program
bioetanol meskipun harga minyak sering turun tajam pada kurun 1970-2000. Bagaimanapun minyak bumi akan habis,
sehingga fluktuatif sekalipun, tren harga minyak akan cenderung meningkat. €œMimpi€ di atas kertas di
atas, dengan komitmen yang kuat disertai regulasi harga dan lain-lain, mungkin cukup realistik untuk terwujud
seperempat atau seperlimanya. Ditulis oleh Dr. Ir. M. Arif Yudiarto M.Eng. (Kabid Teknologi Etanol dan Derivatif - Balai
Besar Teknologi Pati BPPT) dan Ir. Djuma€™ali M.Si (Pengkaji Etanol BPPT) *****

http://www.bppt.go.id - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Powered by Mambo Generated: 12 July, 2006, 12:40

Anda mungkin juga menyukai