Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tuhan menciptakan setiap makhluk hidup dengan kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar dirinya. Salah satu ancaman terhadap
manusia adalah penyakit, terutama penyakit infeksi yang dibawa oleh berbagai macam
mikroba seperti virus, bakteri, parasit, jamur. Tubuh mempunyai cara dan alat untuk
mengatasi penyakit sampai batas tertentu. Beberapa jenis penyakit seperti pilek, batuk,
dan cacar air dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Dalam hal ini dikatakan bahwa
sistem pertahanan tubuh (sistem imun) orang tersebut cukup baik untuk mengatasi dan
mengalahkan kuman-kuman penyakit itu. Tetapi bila kuman penyakit itu ganas, sistem
pertahanan tubuh (terutama pada anak-anak atau pada orang dewasa dengan daya tahan
tubuh yang lemah) tidak mampu mencegah kuman itu berkembang biak, sehingga dapat
mengakibatkan penyakit berat yang membawa kepada cacat atau kematian.

Apakah yang dimaksudkan dengan sistem imun? Kata imun berasal dari bahasa
Latin immunitas yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para
senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara
biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga
pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi,
terhadap penyakit menular. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri
dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif
dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau
racunnya, yang masuk ke dalam tubuh.

Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh,
maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan antibodi.
Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi tidak terlalu kuat,
karena tubuh belum mempunyai "pengalaman." Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan
seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga
pembentukan antibodi terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang
lebih banyak. Itulah sebabnya, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya,
dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan
pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau seandainya terkena pun,
tidak akan menimbulkan akibat yang fatal.

Imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah
pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan
tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Contohnya adalah
imunisasi polio atau campak. Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah
antibodi, sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Contohnya adalah
penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan.
Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut
menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah placenta selama masa
kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kasus
Imunisasi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan diagnosa
medis Imunisasi.
1. 2.3 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mengetahui pengkajian pada pasien imunisasi.
b. Mahasiwa mengetahui diagnosa yang muncul pada pasien imunisasi.
c. Mahasiswa mengetahui intervensi yang dapat diberikan pada pasien imunisasi.
d. Mahasiswa dapat melakukan implementasi sesuai intervensi yang telah dibuat
pada pasien imunisasi.
e. Mahasiswa dapat mengevaluasi pasien imunisasi.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari pembuatan askep ini adalah
1. Menambah wawasan bagi pembaca khususnya mahasiswa keperawatan
2. Dapat digunakan sebagai bahan tambahan materi perkuliahan
3. Dapat diterapkan dalam dunia keperawatan profesional
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan


memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang
mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan
kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit
lain diperlukan imunisasi lainnya.

Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem


kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap
serangan penyakit berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi
harus dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.

2.1.1 Tujuan Pemberian Imunisasi

Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk mengurangi
angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa
menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari
dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan,
gondongan, cacar air, tbc, dan lain sebagainya.

2.1.2 Jenis Jenis Imunisasi

1. BCG
2. Hepatitis B
3. Polio
4. DTP
5. Campak
1. Imunisasi BCG
Kepanjangan BCG ? Mungkin karena susah mengucapkannya makanya jarang
yang hafal kepanjangannya. Bacillus Calmette-Guerin. BCG adalah vaksin untuk
mencegah penyakit TBC, orang bilang flek paru. Meskipun BCG merupakan vaksin
yang paling banyak di gunakan di dunia (85% bayi menerima 1 dosis BCG pada tahun
1993), tetapi perkiraan derajat proteksinya sangat bervariasi dan belum ada penanda
imunologis terhadap tuberculosis yang dapat dipercaya.

Royan said : maksudnya, kekebalan yang dihasilkan dari imunisasi BCG ini
bervariasi. Dan tidak ada pemerikasaan laboratorium yang bisa menilai kekebalan
seseorang pada penyakit TBC setelah diimunisasi. Berbeda dengan imunisasi hepatitis
B, kita bisa memeriksa titer anti-HBsAg pada laboratotrium, bila hasilnya > 10 g
dianggap memiliki kekebalan yang cukup terhadap hepatitis B.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan proteksi BCG berkurang


jika telah ada sensitisasi dengan mikobakteria lingkungan sebelumnya, tetapi data ini
tidak konsisten.

Royan said : maksudnya, kalau sih anak sudah kemasukkan kuman TBC
sebelum diimunisasi, proses pembentukan antibbodi setelah diimunisasi kurang
memuaskan.

Karena itu, BCG dianjurkan diberikan umur 2-3 bulan) atau dilakukan uji
tuberkulin dulu (bila usia anak lebih dari 3 bulan.IDAI) untuk mengetahui apakah anak
telah terinfeksi TBC atau belum (lihat jadwal imunisasi) Dan lagi, kekebalan untuk
penyakit TBC tidak diturunkan dari ibu ke anak (imunitas seluler), karena itu anak baru
lahir tidak punya kekebalan terhadap TBC. Makanya ibu-ibu harus segera memberikan
imunisasi BCG buat anaknya.

Perlu diketahui juga, derajat proteksi imunisasi BCG tidak ada hubungannya
dengan hasil tes tuberkulin sesudah imunisasi dan ukuran parut (bekas luka suntikan)
dilengan. Jadi tidak benar kalau parutnya kecil atau tidak tampak maka imunisasinya
dianggap gagal.
Imunsasi BCG diberikan dengan dosis 0,05 ml pada bayi kurang dari 1 tahun,
dan 0,1 ml pada anak. Disuntikkan secara intrakutan.

Royan said : maksudnya disuntikkan ke dalam lapisan kulit (bukan di otot). Bila
penyuntikan benar, akan ditandai kulit yang menggelembung.

BCG ulang tidak dianjurkan karena manfaatnya diragukan. BCG tidak dapat
diberikan pada penderita dengan gangguan kekebalan seperti pada penderita lekemia
(kanker darah), anak dengan pengobatan obat steroid jangka panjang dan penderita
infeksi HIV.

(Sumber : system imun,imunisasi,dan penyakit imun. Prof.Dr.dr. A. Samik


Wahab, Spa(K). Widya Medika)

2. Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B ini juga merupakan imunisasi yang diwajibkan, lebih dari
100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program nasionalnya. Jika menyerang
anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah
terinfeksi virud hepatitis B (VHB) dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang
dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati.

Banyak jalan masuk virus hepatitis B ke tubuh si kecil. Yang potemsial melalui
jalan lahir. Cara lain melalui kontak dengan darah penderita, semisal transfusi darah.
Bisa juga melali alat-alat medis yang sebelumnya telah terkontaminasi darah dari
penderita hepatitis B, seperti jarum suntik yang tidak steril atau peralatan yang ada di
klinik gigi. Bahkan juga bisa lewat sikat gigi atau sisir rambut yang digunakan antar
anggota keluarga.

Malangnya, tak ada gejala khas yang tampak secara kasat mata. Bahkan oleh
dokter sekalipun. Fungsi hati kadang tak terganggu meski sudah mengalami sirosis.
Anak juga terlihat sehat, nafsu makan baik, berat badan juga normal. Penyakit baru
diketahui setelah dilakukan pemeriksaan darah.

Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota keluarga
dicurigai kena Virus Hepatitis B, biasanya dilakukan screening terhadap anak-anaknya
untuk mengetahui apakah membawa virus atau tidak. Selain itu, imunisasi merupakan
langkah efektif untuk mencegah masuknya virus hepatitis B.

Jumlah Pemberian: Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan


pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.

Usia Pemberian Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat,


kondisi bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia
1 bulan, dan usia 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain
imunisasi tsb dilakukan tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu
sebelum usia 24 jam.

Lokasi Penyuntikan: Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan


pada bayi di paha lewat anterolateral (antero= otot-otot bagian depan, lateral= otot
bagian luar). Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi
efektivitas vaksin.

Tanda Keberhasilan: Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun
dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek
kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti
daya tahanya 8 tahun; diatas 500, tahan 5 tahun; diatas 200 tahan 3 tahun. Tetapi kalau
angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya 0
berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.

Tingkat Kekebalan: Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya setelah 3 kali


suntikan, lbih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.

Indikator Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang sakit berat

3. Polio
Imunisasi polio ada 2 macam, yang pertama oral polio vaccine atau yang sering
dilihat dimana mana yaitu vaksin tetes mulut. Sedangkan yang kedua inactivated polio
vaccine, ini yang disuntikkan. Kalo yang tetes mudah diberikan, murah dan mendekati
rute penyakit aslinya, sehingga banyak digunakan. Kalo yang injeksi efek proteksi lebih
baik tapi mahal dan tidak punya efek epidemiologis. Selain itu saat ini MUI telah
mengeluarkan fatwa agar pemakaian vaksin polio injeksi hanya ditujukan pada
penderita yang tidak boleh mendapat vaksin polio tetes karena daya tahan tubuhnya
lemah

Polio atau lengkapnya poliomelitis adalah suatu penyakit radang yang


menyerang saraf dan dapat menyebabkan lumpuh pada kedua kaki. Walaupun dapat
sembuh, penderita akan pincang seumur hidup karena virus ini membuat otot-otot
lumpuh dan tetap kecil.

Di wikipedia dijelaskan bahwa Polio sudah dikenal sejak zaman pra-sejarah.


Lukisan dinding di kuil-kuil Mesir kuno menggambarkan orang-orang sehat dengan
kaki layu yang berjalan dengan tongkat. Kaisar Romawi Claudius terserang polio ketika
masih kanak-kanak dan menjadi pincang seumur hidupnya.

Virus polio menyerang tanpa peringatan, merusak sistem saraf menimbulkan


kelumpuhan permanen, biasanya pada kaki. Sejumlah besar penderita meninggal karena
tidak dapat menggerakkan otot pernapasan. Ketika polio menyerang Amerika selama
dasawarsa seusai Perang Dunia II, penyakit itu disebut momok semua orang tua,
karena menjangkiti anak-anak terutama yang berumur di bawah lima tahun. Di sana
para orang tua tidak membiarkan anak mereka keluar rumah, gedung-gedung bioskop
dikunci, kolam renang, sekolah dan bahkan gereja tutup.

Virus polio menular secara langsung melalui percikan ludah penderita atau
makanan dan minuan yang dicemari.

Pencegahannya dengan dilakukan menelan vaksin polio 2 (dua) tetes setiap kali
sesuai dengan jadwal imunisasi.

4. DTP
Deskripsi Vaksin Jerap DTP adalah vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan
tetanus yang dimurnikan, serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi yang teradsorbsi
ke dalam 3 mg / ml Aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai
pengawet. Potensi vaksin per dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertussis, 30 IU difteri dan
60 IU tetanus.
Indikasi Untuk Imunisasi secara simultan terhadap difteri, tetanus dan batuk
rejan.

Komposisi Tiap ml mengandung : Toksoid difteri yang dimurnikan 40 Lf


Toksoid tetanus yang dimurnikan 15 Lf B, pertussis yang diinaktivasi 24 OU
Aluminium fosfat 3 mg Thimerosal 0,1 mg

Dosis dan Cara Pemberian Vaksin harus dikocok dulu untuk menghomogenkan
suspensi. Vaksin harus disuntikkan secara intramuskuler atau secara subkutan yang
dalam. Bagian anterolateral paha atas merupakan bagian yang direkomendasikan untuk
tempat penyuntikkan. (Penyuntikan di bagian pantat pada anak-anak tidak
direkomendasikan karena dapat mencederai syaraf pinggul). Tidak boleh disuntikkan
pada kulit karena dapat menimbulkan reaksi lokal. Satu dosis adalah 0,5 ml. Pada setiap
penyuntikan harus digunakan jarum suntik dan syringe yang steril.

Di negara-negara dimana pertussis merupakan ancaman bagi bayi muda,


imunisasi DTP harus dimulai sesegera mungkin dengan dosis pertama diberikan pada
usia 6 minggu dan 2 dosis berikutnya diberikan dengan interval masing-masing 4
minggu. Vaksin DTP dapat diberikan secara aman dan efektif pada waktu yang
bersamaan dengan vaksinasi BCG, Campak, Polio (OPV dan IPV), Hepatitis B, Hib.
dan vaksin Yellow Fever.

Kontraindikasi Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan


suntikan pertama DTP. Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir
atau gejala-gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi dari
komponen pertussis. Imunisasi DTP kedua tidak boleh diberikan kepada anak yang
mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama DTP. Komponen pertussis harus
dihindarkan, dan hanya dengan diberi DT untuk meneruskan imunisasi ini. Untuk
individu penderita virus human immunodefficiency (HIV) baik dengan gejala maupun
tanpa gejala harus diberi imunisasi DTP sesuai dengan standar jadual tertentu.

5. Campak
Imunisasi campak, sebenarnya bayi sudah mendapatkan kekebalan campak dari
ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun
sehingga butuh antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit
campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali
terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya campak hanya diderita
sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena
lagi.

Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet)
penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang
berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul
gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerahabn dan berair, si kecilpun merasa silau
saat melihat cahaya. Kemudian, disebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang
akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare. satu-dua hari kemudian
timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5 derajat celcius.

Seiring dengan itu barulah muncul bercak-bercak merah yang merupakan ciri
khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Awalnya
haya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan
dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian
tibih saja dan tidak banyak.

Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan
sendirinya. Bercak merah pun akan berubah menjadi kehitaman dan bersisik, disebut
hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau sembuh
dengan sendirinya. Umumnya dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh
benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini tetaplah meminum obat yang sudah
diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat
simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum
ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak.

Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi
komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya
di sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang
terjadi biasanya berupa radang paru-paru dan radang otak. Komplikasi ini yang
umumnya paing sering menimbulkan kematian pada anak.

Usia dan Jumlah Pemberian Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia
6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari
ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia
balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12
bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mump Rubella).

2.1.3 Efek Imunisasi

Efek Imunisasi

Imunisasi memang penting untuk membangun pertahanan tubuh bayi. Tetapi,


orangtua masa kini seharusnya lebih kritis terhadap efek samping imunisasi yang
mungkin menimpa Si Kecil.

Pertahanan tubuh bayi dan balita belum sempurna. Itulah sebabnya pemberian
imunisasi, baik wajib maupun lanjutan, dianggap penting bagi mereka untuk
membangun pertahanan tubuh. Dengan imunisasi, diharapkan anak terhindar dari
berbagai penyakit yang membahayakan jiwanya.

Di lain pihak, pemberian imunisasi kadang menimbukan efek samping. Demam


tinggi pasca-imunisasi DPT, misalnya, kerap membuat orangtua was-was. Padahal, efek
samping ini sebenarnya pertanda baik, karena membuktikan vaksin yang dimasukkan ke
dalam tubuh tengah bekerja. Namun, kita pun tidak boleh menutup mata terhadap fakta
adakalanya efek imunisasi ini bisa sangat berat, bahkan berujung kematian. Realita ini,
menurut Departemen Kesehatan RI disebut "Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi"(KIPI).
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan (KN PP) KIPI, KIPI adalah
semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah
imunisasi.
- Tidak Ada yang Bebas Efek Samping

Menurut Komite KIPI, sebenarnya tidak ada satu pun jenis vaksin imunisasi
yang aman tanpa efek samping. Oleh karena itu, setelah seorang bayi diimunisasi, ia
harus diobservasi terlebih dahulu setidaknya 15 menit, sampai dipastikan tidak terjadi
adanya KIPI (reaksi cepat).

Selain itu, menurut Prof. DR. Dr. Sri Rejeki Hadinegoro SpA.(K), untuk
menghindari adanya kerancuan antara penyakit akibat imunisasi dengan yang bukan,
maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu.
"Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat. Dilihat dari gejalanya
pun, dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya," terang Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.

Pada umumnya, semakin cepat KIPI terjadi, semakin cepat gejalanya. Pada
keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (pasca-vaksinasi
rubella), bahkan 42 hari (pasca-vaksinasi campak dan polio). Reaksi juga bisa
diakibatkan reaksi simpang (adverse events) terhadap obat atau vaksin, atau kejadian
lain yang bukan akibat efek langsung vaksin, misalnya alergi. "Pengamatan juga
ditujukan untuk efek samping yang timbul akibat kesalahan teknik pembuatan,
pengadaan, distribusi serta penyimpanan vaksin. Kesalahan prosedur dan teknik
pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul kebetulan," demikian
Sri.

Penelitian Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM), AS,


melaporkan, sebagian besar KIPI terjadi karena faktor kebetulan. "Kejadian yang
memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik
pelaksanaan atau pragmatic errors)," tukas dokter yang berpraktek di RSUPN Cipto
Mangunkusumo ini.

Stephanie Cave MD, ahli medis yang menulis "Yang Orangtua Harus Tahu
tentang Vaksinasi Pada Anak" menyebutkan, peluang terjadinya efek samping vaksin
pada bayi dan anak-anak adalah karena mereka dijadikan target imunisasi massal oleh
pemerintah, pabrik vaksin, maupun dokter. Padahal, imunisasi massal yang memiliki
sikap "satu ukuran untuk semua orang" ini sangat berbahaya. Karena, "Setiap anak
adalah pribadi tersendiri, dengan bangun genetika, lingkungan sosial, riwayat kesehatan,
keluarga dan pribadi yang unik, yang bisa berefek terhadap cara mereka bereaksi
terhadap suatu vaksin," demikian Cave.

- Beberapa Kejadian Pasca-Imunisasi

Secara garis besar, tidak semua KIPI disebabkan oleh imunisasi. Sebagian besar
ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini
beberapa faktor KIPI yang bisa terjadi pasca-imunisasi:

1. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusukan jarum suntik, baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan. Sedangkan
reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope atau
pingsan.

2. Reaksi vaksin
Gejala KIPI yang disebabkan masuknya vaksin ke dalam tubuh umumnya sudah
diprediksi terlebih dahulu karena umumnya "ringan". Misal, demam pasca-imunisasi
DPT yang dapat diantisipasi dengan obat penurun panas. Meski demikian, bisa juga
reaksi induksi vaksin berakibat parah karena adanya reaksi simpang di dalam tubuh
(misal, keracunan), yang mungkin menyebabkan masalah persarafan, kesulitan
memusatkan perhatian, nasalah perilaku seperti autisme, hingga resiko kematian.

3. Faktor kebetulan
Seperti disebut di atas, ada juga kejadian yang timbul secara kebetulan setelah
bayi diimunisasi. Petunjuk "faktor kebetulan" ditandai dengan ditemukannya kejadian
sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat, dengan karakterisitik serupa
tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

4. Penyebab tidak diketahui


5. Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke
dalam salah satu penyebab, maka untuk sementara dimasukkan ke kelompok
"penyebab tidak diketahui" sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya,
dengan kelengkapan informasi akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

'Imunisasi itu Aman' Ilmu Pengetahuan atau Fiksi?

Keraguan tentang aman-tidaknya imunisasi bukan sesuatu yang mengada-ada.


Saat ini sudah ada puluhan ribu kejadian buruk akibat imunisasi yang dilaporkan, dan
puluhan ribu lainnya yang tidak dilaporkan. Pada anak-anak, imunisasi (dan antibiotik)
bertanggung jawab untuk sebagian besar reaksi negatif dibanding obat-obat resep
lainnya. Jadi realitanya, tidak ada obat yang aman untuk setiap anak. Dan, beberapa
obat lebih berbahaya daripada beberapa obat lainnya.

Keamanan imunisasi seharusnya berlandaskan pada ilmu pengetahuan yang


baik, bukan hipotesa, pendapat, keyakinan perorangan, atau pengamatan. Namun
faktanya, hingga kini banyak yang tidak diketahui para ilmuwan tentang cara kerja
imunisasi di dalam tubuh pada tingkat sel dan molekul. Tes yang memadai untuk
imunisasi juga tidak ada. Yang juga kurang, adalah pengertian tentang efek jangka
panjang dari imunisasi massal bagi bayi dan anak-anak. Yang diketahui adalah, sejak
akhir tahun 1950-an, ketika imunisasi massal mulai diwajibkan di Amerika Serikat,
telah terjadi peningkatan kasus kelainan sistem imun dan persarafan, termasuk kesulitan
memusatkan perhatian, asma, autisme, diabetes anak-anak, sindroma keletihan
menahun, kesulitan belajar, rematoid artritis, multipel sklerosis, dan masalah kesehatan
yang menahun lainnya.

Di Amerika Serikat dan tempat-tempat lain di dunia, adanya peningkatan besar


jumlah masalah medis yang terkait dengan imunisasi yang dilaporkan orangtua dan
profesional kedokteran, telah mencetuskan suatu gerakan yang menuntut dilakukannya
lebih banyak kajian yang lebih baik tentang potensi efek buruk jangka panjang atau
menahun dari imunisasi.
Imunisasi kadang dapat mengakibatkan efek samping. Ini adalah tanda baik
yang membuktikan bahwa vaksin betuk-betul bekerja secara tepat.

Efek samping yang biasa terjadi adalah sebaagai berikut:

1. BCG: Setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil dan merah ditempat
suntikan. Setelah 23 minggu kemudian pembengkakan menjadi abses kecil dan
kemudian menjadi luka dengan garis tengah 10 mm. Luka akan sembuh sendiri
dengan meninggalkan luka parut yang kecil.
2. DPT: Kebanyakan bayi menderita panas pada waktu sore hari setelah
mendapatkan imunisasi DPT, tetapi panas akan turun dan hilang dalam waktu 2
hari. Sebagian besar merasa nyeri, sakit, kemerahan atau bengkak di tempat
suntikan. Keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu mendapatkan pengobatan
khusus, akan sembuh sendiri.Bila gejala diatas tidak timbul tidak perlu
diragukan bahwa imunisasi tersebut tidak memberikan perlindungan dan
Imunisasi tidak perlu diulang.
3. POLIO : Jarang timbuk efek samping.
4. CAMPAK : Anak mungkin panas, kadang disertai dengan kemerahan 410 hari
sesudah penyuntikan.
5. HEPATITIS : Belum pernah dilaporkan adanya efek samping.
Perlu diingat efek samping imunisasi jauh lebih ringan daripada efek penyakit
bila bayi tidak diimunisasi.

2.2 Penyakit Penyakit Yang Ditimbulkan Pada Anak Yang Tidak Di Imunisasi

Imunisasi, tak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tapi juga ampuh untuk
mencegah dan menangkal timbulnya penyakit serta kematian pada anak-anak. Lalu
mengapa kadangkala orangtua kerap mengabaikan tindakan penting tersebut? Bukankah
lebih baik mencegah daripada mengobati?

Sesuai dengan yang diprogramkan oleh organisasi kesehatan dunia WHO


(Badan Kesehatan Dunia), Pemerintah Indonesia menetapkan ada 12 imunisasi yang
harus diberikan kepada anak-anak. 5 Diantaranya merupakan imunisasi yang wajib
diberikan sebab fungsinya adalah untuk mencegah anak dari serangan penyakit
penyakit seperti :

1. Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun
di negara maju

faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit ( resiko
penyakit ).

Resiko Infeksi TB Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah : anak
yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah endemis,
penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang tidak sehat.

2. Hepatitis B yang disebabkan virus hepatitis B yang berakibat pada hati


Penyakit hepatitis B pada bayi menjadi kronik jauh lebih besar (lebih dari 90
persen) dibandingkan kemungkinan pada orang dewasa. "Oleh karena itu, bagi bayi
vaksin hepatitis B mutlak perlu.

Ciri-ciri penderita hepatitis B umumnya tak diketahui secara jelas karena


penderita seperti orang sehat. Akibatnya ia tak segera menyadari dirinya telah tertular
virus hepatitis B, bahkan sudah menularkannya kepada orang lain. "Sebaiknya, mereka
yang memiliki gejala kuning pada mata, kulit, lesu, tak memiliki nafsu makan serta
sakit lambung-seperti maag yang tak sembuh dalam tempo enam bulan-segera periksa
ke dokter.

Virus hepatitis B diketahui sebagai salah satu virus yang paling mudah menular.
Bahkan, penularan virus ini 100 kali lebih menular daripada HIV (virus penyebab
AIDS), dan diperkirakan menginfeksi 10 kali lebih banyak daripada HIV. Virus itu
menyerang hati dan merusak organ tubuh secara tak langsung melalui gangguan sistem
kekebalan. Pada serangan tahap awal masih bisa disembuhkan jika segera diobati.
Namun, jika penyakit berkembang lebih berat maka ia akan mencapai tahap hepatitis
akut, sirosis (pengerasan hati), sampai kemudian mengakibatkan munculnya kanker
hati.

3. Penyakit polio. Penyakit ini disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran


orang yang terinfeksi. Anak yang terkena polio dapat menjadi lumpuh layuh.
Poliomyelitis atau Polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan
oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki
aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan
kadang kelumpuhan. Kata Polio sendiri berasal dari bahasa

Yunani yaitu , atau bentuknya yang lebih mutakhir


, dari "abu-abu" dan "bercak". Virus Polio termasuk
genus enteroviorus, famili Picornavirus. Bentuknya adalah ikosahedral tanpa sampul
dengan genome RNA single stranded messenger molecule. Single RNA ini membentuk
hampir 30 persen dari virion dan sisanya terdiri dari 4 protein besar (VP1-4) dan satu
protein kecil (Vpg). Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit
peradaban. Polio menular melalui kontak antarmanusia. Virus masuk ke dalam tubuh
melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi
feses.

Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat
menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam
hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi
pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Penyebab penyakit polio terdiri atas tiga
strain yaitu strain 1 (brunhilde) strain 2 (lanzig), dan strain 3 (Leon). Strain 1 adalah
yang paling paralitogenik atau yang paling ganas dan sering kali menyebabkan kejadian
luar biasa atau wabah. Strain ini sering ditemukan di Sukabumi.

Sedangkan Strain 2 adalah yang paling jinak. Penyakit Polio terbagi atas tiga
jenis yaitu Polio non-paralisis, Polio paralisis spinal, dan Polio bulbar. -Polio non-
paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot
pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh. -Polio Paralisis Spinal Jenis
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk
anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai.

Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu
penderita dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering
ditemukan terjadi pada kaki. Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap
oleh kapiler darah pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh.

Poliovirus menyerang saraf tulang belakang dan neuron motor -- yang


mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun, pada
penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini biasanya
akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi
ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring
dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan
neuron motor.

Neuron motor tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan
dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan
pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas -- kondisi ini disebut acute flaccid
paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menye-babkan kelumpuhan
pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut
quadriplegia. -Polio Bulbar Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan
alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron motor yang
mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai otot yang
mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan
dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur
pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbgai fungsi
di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung,
usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu
pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga sepuluh persen
penderta yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka
tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf
kranial yang bertugas mengirim ''perintah bernapas'' ke paru-paru.

Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban
dapat ''tenggelam'' dalam sekresinya sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi
perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan sebelum masuk ke
dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah
menggunakan ''paru-paru besi'' (iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah
dengan cara menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan
udara ditambah, paru-paru akan mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru
akan mengembang. Dengan demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi
yang jauh lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian.

Penyakit Polio dapat ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut dan
tenggorokan) atau dari tinja penderita yang telah terinfeksi selain itu juga dapat menular
melalui oro-fecal (makanan dan minuman) dan melalui percikan ludah yang kemudian
virus ini akan berkembangbiak di tengorokan dan usus lalu kemudian menyebar ke
kelenjar getah bening, masuk ke dalam darah serta menyebar ke seluruh tubuh.

Penularan terutama sering terjadi langsung dari manusia ke manusia melalui


fekal-oral (dari tinja ke mulut) atau yang agak jarang terjadi melalui oral-oral (mulut ke
mulut). Virus Polio dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan
dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber penularannya.

Penularan terutama terjadi akibat tercemarnya lingkungan leh virus polio dari
penderita yang telah terinfeksi, namun virus ini hidup di lingkungan terbatas. Virus
Polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap formaldehide dan
larutan klor. Suhu yang tinggi dapat cepat mematikan virus tetapi pada keadaan beku
dapat bertahun-tahun masa hidupnya.

4. Penyakit campak (tampek)


Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi virus
yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan
selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi
virus campak golongan Paramyxovirus.

Penularan infeksi terjadi karena menghirup percikan ludah penderita campak.


Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam
kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada.

Penyebab Campak, rubeola, atau measles Adalah penyakit infeksi yang sangat
mudah menular atau infeksius sejak awal masa prodromal, yaitu kurang lebih 4 hari
pertama sejak munculnya ruam. Campak disebabkan oleh paramiksovirus ( virus
campak). Penularan terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun
tenggorokan penderita campak (air borne disease ). Masa inkubasi adalah 10-14 hari
sebelum gejala muncul.

Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan


kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama
1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah: - bayi berumur lebih dari 1
tahun - bayi yang tidak mendapatkan imunisasi - remaja dan dewasa muda yang belum
mendapatkan imunisasi kedua.

Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa: -
Panas badan - nyeri tenggorokan - hidung meler ( Coryza ) - batuk ( Cough ) - Bercak
Koplik - nyeri otot - mata merah ( conjuctivitis )

2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik
Koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah
timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang
mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam
tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping.
Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan
ruam di wajah mulai memudar.
Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu
tubuhnya mencapai 40 Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita
mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang.

Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama
beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan merebak
ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.

5. Difteri, pertusis dan tetanus. Difteri disebabkan bakteri yang menyerang


tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal.
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.
Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian
atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa
kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui
benda atau makanan yang terkontaminasi.

Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram


positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Gejala
utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan
hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis berwarna
putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut sampai
tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan
sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena menyerang otot
jantung, ginjal dan jaringan syaraf.

Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-
anak yang belum diimunisasi. Pada tahun 2000, di seluruh dunia dilaporkan 30.000
kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit ini

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan
(wikipedia.org).
Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang terdapat di
tanah, kotoran hewan, debu, dan sebagainya. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia
melalui luka yang tercemar kotoran. Di dalam luka bakteri ini akan berkembang biak
dan membentuk toksin (racun) yang menyerang saraf.

UNICEF (United Nations Childrens Fund/Dana PBB untuk Anak-Anak)


menyebutkan dalam situsnya bahwa tetanus sangat berisiko terkena pada bayi-bayi yang
dilahirkan dengan bantuan dukun bayi di rumah dengan peralatan yang tidak steril;
mereka juga beresiko ketika alat-alat yang tidak bersih digunakan untuk memotong tali
pusar dan olesan-olesan tradisional atau abu digunakan untuk menutup luka bekas
potongan (www.unicef.org). Angka kematian yang diakibatkan oleh tetanus berkisar
antara 15-25%.

Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit infeksi bakterial yang menyerang
sistem pernapasan yang melibatkan pita suara (larinks), trakea dan bronkial. Infeksi ini
menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan serangan batuk
yang parah. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis yang bersarang di
saluran pernapasan dan sangat mudah tertular.

Pertusis dapat menyerang segala umur, 60 % menyerang anak-anak yang


berumur kurang dari 5 tahun. Penyakit ini akan menjadi serius jika menyerang bayi
berumur kurang dari 1 tahun. Biasanya pada bayi yang baru lahir dan keadaannya
menjadi lebih parah. Pada tahun 2000 diperkirakan 39 juta kasus terjadi dan 297.000
kematian terjadi didunia yang diakibatkan oleh pertusis.

2.3 Imuisasi MMR

2.3.1 Defenisi

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak,


Campak Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan
pada usia anak 16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan.
Semula vaksin ini ditemukan secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian
digabung menjadi vaksin kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup
Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah dilemahkan, Componen Antigen
Rubella dari virus hidup Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan Antigen gondongen dari
virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9.

2.3.2 Tujan

Tujuan diberikannya imunisasi MMR ini adalah untuk mencegah atau


mengurangi terjadinya infeksi pada anak yang disebabkan penyakit-penyakit,
gondongan dan rubela.

2.3.3 Efek Samping

Beberapa ahli memang ada yang mengkhawatirkan dengan pemberian MMR ini,
dapat memberikan autisme yang disebabkan pelarut MMR mengandung Tiomersal,
tetapi dugaan tersebut tidak terbukti. Seperti yang dikemukakan Andrew Wakefield
tahun 1998, MMR tidak terbukti menyebabkan autisme karena sampel yang diteliti
hanya pada 12 pasien. Itulah sebabnya hingga sekarang, MMR tetap aman untuk
diberikan pada anak mengingat pentingnya imunisasi ini terhadap perlindungan anak,
ungkapnya.

Pencegahan sindrom rubela congenital merupakan tujuan pemberian imunisasi


rubela. Rubela adalah penyakit yang cukup berbahaya apabila terjadi diawal kehamilan,
karena dapat menimbulkan kelainan jiwa, kelahiran prematur, dan cacat bawaan.

Apabila cacat dari lahir, bayi dapat mengalami cacat dalam bentuk, tuli, kelainan
mata, kalainan jantung, kelainan saraf, mikrosefali, dan retardasi mental. Untuk
menghindar penyakit ini, ibu-ibu harus memiliki kekebalan rubela sejak kecil, sehingga
diharapkan penyakit tersebut tidak akan terjadi pada bayi yang akan dilahirkan.
2.4 Penyakit Yang Kemungkinan Akan Ada Bila Tidak Mendapat Imunisasi

MMR

Vaksin MMR merupakan vaksin yang diberikan kepada anak untuk mencegah
penyakit campak, gondongan, dan campak Jerman.

2.4.1 Bedanya campak biasa dan campak jerman itu apa?

Campak biasa, berbeda dari campak Jerman atau rubela. Campak Jerman
umumnya memiliki dampak lebih ringan dan tidak fatal. Umumnya pun terjadi pada
anak usia 5 sampai 14 tahun.

Memang gejalanya hampir sama dengan campak biasa, seperti flu, batuk, pilek
dan demam tinggi. Yang membedakan, bercak merah pada rubela tidak timbul terlalu
banyak dan tidak separah campak biasa, juga cepat menghilang dalam waktu 3 hari.
Gejala lain, umumnya nafsu makan anak akan menurun karena terjadi pembengkakan
pada limpa.

Justru kita harus lebih khawatir bila rubela menyerang wanita hamil karena
virusnya bisa menular pada janin melalui plasenta. Bila janin tertular maka anak yang
dilahirkan akan mengalami sindrom rubela kongenital dengan kelainan-kelainan,
misalnya mata bayi mengalami katarak, tidak bisa mendengar, terjadi pengapuran di
otak, juga banyak terjadi anak-anak tumbuh dengan keterbelakangan perkembangan.

Setiap anak perempuan harus mendapat vaksinasi rubela. Hal ini untuk
mengantisipasi terjadinya rubela serta melindungi janin yang dikandungnya kelak. Tak
hanya pada perempuan, vaksinasi rubela pun penting bagi kaum pria. Gunanya
mencegah agar tidak terserang rubela dan menulari sang istri yang mungkin tengah
hamil nanti.
2.4.2 Tidak Adanya Hubungan Antara Terjadinya Autisme Dengan Imunisasi

Mmr

1. Akhir-akhir ini pada sebagian masyarakat tersebar informasi tentang dugaan


adanya hubungan antara autisme dengan imunisasiMMR (Measles, Mumps,
Rubella).
2. Imunisasi adalah pemberian vaksin pada tubuh seseorang dengan tujuan untuk
meningkatkan kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu. Pemerintah telah
melaksanakan Program Imunisasi sejak lebih dari 30 tahun yang lalu dan telah
berhasil menurunkan angka kesakitan dan angka kematian dari berbagai
penyakit menular. Program Imunisasi di Indonesia mencakup antara lain
pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan bayi terhadap penyakit
tuberkolosa (vaksin BCG), difteria , batuk rejan, dan tetanus (vaksin DPT),
poliomyelitis (vaksin Polio), campak (vaksin Campak), dan hepatitis B (vaksin
Hepatitis B). Program Imunisasi juga mencakup pemberian vaksin untuk
meningkatkan kekebalan ibu dan bayi terhadap penyakit tetanus (vaksin TT) dan
peningkatan kekebalan anak sekolah dasar terhadap penyakit difteri dan tetanus
(vaksin DT).
3. Autisme adalah gangguan petumbuhan anak yang kronik dengan gejala utama
gangguan interaksi sosial, komunikasi, serta keterbatasan perhatian dan aktifitas,
biasanya terjadi pada usia di bawah 3 tahun.
4. Vaksin MMR merupakan vaksin yang diberikan kepada anak dengan maksud
untuk mencegah penyakit campak, gondongan dan campak Jerman (German
measles). Di Indonesia, vaksin MMR telah digunakan untuk imunisasi anak di
berbagai rumah sakit dan klinik, walaupun belum termasuk dalam jenis vaksin
yang digunakan dalam Program Imunisasi Nasional. Vaksin MMR yang
dipasarkan di Indonesia telah mendapat izin edar setelah dilakukan evaluasi
terhadap efektifitas, keamanan, dan mutu vaksin oleh Komite Nasional Penilai
Obat Jadi (KOMNAS POJ). Di negara-negara maju, vaksin MMR digunakan
secara luas untuk imunisasi anak.
5. Keamanan vaksin MMR telah dibuktikan dengan berbagai penelitian di luar
negeri. Penelitian yang dilakukan mencakup pengamatan pasca pemasaran (post
marketing surveillance) selama 30 tahun terhadap 250 juta dosis vaksin MMR di
lebih dari 40 negara di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Asia. Laporan
terakhir mengenai keamanan vaksin telah pula dilakukan di Finlandia sejak
tahun 1982 selama 14 tahun. Studi tersebut dilakukan pada 1,8 juta anak yang
menggunakan 3 juta dosis vaksin MMR. Pemantauan dilakukan terhadap semua
kejadian serius setelah imunisasi dan hasilnya menunjukkan tidak ada laporan
kasus autisme yang berhubungan dengan penggunaan vaksin MMR. Hasil
tersebut sesuai dengan Specific hypothesis driven studies yang pernah dilakukan
sebelumnya. Berdasarkan kajian tersebut diatas, Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kaitan antara kejadian
autisme pada anak dengan imunisasi MMR. Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial, Badan Pengawas Obat Dan Makanan, dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia akan terus memantau dan mengkaji efektifitas serta keamanan
semua vaksin yang digunakan di Indonesia, termasuk vaksin MMR. Masyarakat
dan segenap tenaga kesehatan di Indonesia diharapkan tidak perlu khawatir
mengenai keamanan vaksin MMR.

2.4.3 Imunisasi Penyebab Autis ? Kekawatiran Terhadap Thimerosal Dan Autis

Dr Widodo Judarwanto SpA

Dari waktu ke waktu jumlah penyandang spektrum Autis tampaknya semakin


meningkat pesat. Autis seolah-olah mewabah ke berbagai belahan dunia. Di beberapa
negara terdapat kenaikan angka kejadian penderita Autisme yang cukup tajam. Autis
adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial. Di Amerika Serikat disebutkan Autis terjadi pada 60.000 15.000 anak
dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan angka kejadian autis 10-20 kasus
dalam 10.000 orang.

Kontroversi yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan hubungan


Autis dengan imunisasi anak. Banyak orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan
informasi bahwa beberapa jenis imunisasi khususnya kandungan Thimerosal dapat
mengakibatkan Autis. Akibatnya, anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi
untuk menghindari penyakit-penyakit justru yang lebih berbahaya. Penyakit tersebut
adalah hepatitis B, Difteri, Tetanus, pertusis, TBC dan sebagainya. Banyak penelitian
yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa Autis tidak berkaitan dengan
thimerosal. Memang terdapat teori atau kesaksian yang menunjukkan bahwa Autis dan
berhubungan dengan thimerosal.

Thimerosal atau Thiomersal adalah senyawa merkuri organik atau dikenal


sebagai sodium etilmerkuri thiosalisilat, yang mengandung 49,6% merkuri. Bahan ini
digunakan sejak tahun 1930, sebagai bahan pengawet dan stabilizer dalam vaksin,
produk biologis atau produk farmasi lainnya. Thimerosal yang merupakan derivat dari
etilmerkuri, sangat efektif dalam membunuh bakteri dan jamur dan mencegah
kontaminasi bakteri terutama pada kemasan vaksin multidosis yang telah terbuka.
Selain sebagai bahan pengawet, thimerosal juga digunakan sebagai agen inaktivasi pada
pembuatan beberapa vaksin, seperti pertusis aseluler atau pertusis whole-cell. Food
and Drug Administration (FDA) menetapkan peraturan penggunaan thimerosal sebagai
bahan pengawet vaksin yang multidosis untuk mencegah bakteri dan jamur. Vaksin
tunggal tidak memerlukan bahan pengawet. Pada dosis tinggi, merkuri dan metabolitnya
seperti etilmerkuri dan metilmerkuri bersifat nefrotoksis dan neurutoksis. Senyawa
merkuri ini mudah sekali menembus sawar darah otak, dan dapat merusak otak.

WHO (Worls Health Organization), FDA (Food and Drug Administration), EPA
(US Enviromental Protection Agency), dan ATSDR Amerika Serikat (Agency for Toxis
Substances and Disease Registry) mengeluarkan rekomendasi tentang batasan paparan
etilmerkuri yang masih bisa ditoleransi antara 0,1 0,47 ug/kg berat badan/hari.
Kandungan yang ada di dalam vaksin adalah etilmerkuri bukan metilmerkuri.
Etilmerkuri hanya mempunyai paruh waktu singkat di dalam tubuh, sekitar 1,5 jam,
selanjutnya akan dibuang melalui saluran cerna. Sedangkan metilmerkuri lebih lama
berada di dalam tubuh.

Pendapat yang mendukung Autis berkaitan dengan Thimerosal : Terdapat


beberapa teori, penelitian dan kesaksian yang mengungkapkan Autisme mungkin
berhubungan dengan imunisasi yang mengandung Thimerosal. Toksisitas merkuri
pertama kali dilaporkan tahun 1960 di Minamata Jepang. Konsumsi ikan laut yang
tercemari limbah industri, sehingga kadar merkuri yang dikandung ikan laut tersebut
mencapai 11 mcg/kg dan kerang 36 mcg/kg (batas toleransi kontaminasi sekitar 1
mcg/kg). Penelitian pada binatang ditemukan efek neurotoksik etilmerkuri dan metil
merkuri. Ditemukan kadarnya di dalam otak cukup tinggi pada metil merkuri. Hal ini
menunjukkan bahwa merkuri dapat menembus sawar darah otak.

Saline Bernard adalah perawat dan juga orang tua dari seorang penderita
Autisme bersama beberapa orang tua penderita Autis lainnya melakukan pengamatan
terhadap imunisasi merkuri. Mereka bersaksi di depan US House of Representatif (MPR
Amerika) bahwa gejala yang diperlihatkan anak Autis hampir sama dengan gejala
keracunan merkuri. Beberapa orang tua penderita Autis di Indonesiapun, berkesaksian
bahwa anaknya terkena autis setelah diberi imunisasi

Penelitian dan rekomendasi yang menentang Thimerosal menyebabkan Autis


Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa Thimerosal tidak mengakibatkan
Autis juga lebih banyak lagi. Kreesten M. Madsen dkk dari berbagai intitusi di denmark
seperti Danish Epidemiology Science Centre, Department of Epidemiology and Social
Medicine, University of Aarhus, Denmark Institute for Basic Psychiatric Research,
Department of Psychiatric Demography, Psychiatric Hospital in Aarhus, Risskov,
National Centre for Register-Based Research, University of Aarhus, Aarhus,Denmark,
State Serum Institute, Department of Medicine, Copenhagen, Denmark mengadakan
penelitian bersama terhadap anak usia 2 hingga 10 tahun sejak tahun 1970 hingga tahun
2000.
Mengamati 956 anak sejak tahun 1971 hingga 2000 anak dengan autis. Sejak
thimerosal digunakan hingga tahun 1990 tidak didapatkan kenaikkan penderita auitis
secara bermakna. Kemudian sejak tahun 1991 hingga tahun 2000 bersamaan dengan
tidak digunakannya thimerosal pada vaksin ternyata jumlah penderita Autis malah
meningkat drastis. Kesimpulan penelitian tersebut adalah tidak ada hubungan antara
pemberian Thimerazol dengan Autis.

Stehr-Green P dkk, Department of Epidemiology, School of Public Health and


Community Medicine, University of Washington, Seattle, WA, bulan Agustus 2003
melaporkan antara tahun 1980 hingga 1990 membandingkan prevalensi dan insiden
penderita autisme di California, Swedia, dan Denmark yang mendapatkan ekposur
dengan imunisasi Thimerosal. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa insiden
pemberian Thimerosal pada Autisme tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.
Geier DA dalam Jurnal Americans Physicians Surgery tahun 2003, menungkapkan
bahwa Thimerosal tidak terbukti mengakibatkan gangguan neurodevelopment
(gangguan perkembangan karena persarafan) dan penyakit jantung. Melalui forum
National Academic Press tahun 2001, Stratton K dkk melaporkan tentang keamanan
thimerosal pada vaksin dan tidak berpengaruh terhadap gangguan gangguan
neurodevelopment (gangguan perkembangan karena persarafan).

Hviid A dkk dalam laporan di majalah JAMA 2004 mengungkapkan penelitian


terhadap 2 986 654 anak pertahun didapatkan 440 kasus autis. Dilakukan pengamatan
pada kelompok anak yang menerima thimerosal dan tidak menerima thimerosal.
Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna. Disimpulkan bahwa pemberian
thimerosal tidak berhubungan dengan terjadinya autis.

Menurut penelitian Eto, menunjukkan manifestasi klinis autis sangat berbeda


dengan keracunan merkuri. Sedangkan Aschner, dalam penelitiannya menyimpulkan
tidak terdapat peningkatan kadar merkuri dalam rambut, urin dan darah anak Autis.
Pichichero melakukan penelitian terhadap 40 bayi usia 2-6 bulan yang diberi vaksin
yang mengandung thimerosal dan dibandingkan pada kelompok kontrol tanpa diberi
thimerosal. Setelah itu dilakukan evaluasi kadar thimerosal dalam tinja dan darah bayi
tersebut. Ternyata thimerosal tidak meningkatkan kadar merkuri dalam darah, karena
etilmerkuri akan cepat dieliminasi dari darah melalui tinja. Selain itu masih banyak lagi
peneliti melaporkan hasil yang sama, yaitu thimerosal tidak mengakibatkan Autis.

Bagaimana sikap kita sebaiknya ? Bila menyimak dan mengetahu kontroversi


tersebut tanpa memahami dengan jelas, maka masyarakat awam bahkan beberapa
klinisipun jadi bingung. Bila terpengaruh oleh pendapat yang mendukung keterkaitan
Autis dan imunisasi tanpa melihat fakta penelitian lainnya yang lebih jelas. Maka, akan
mengabaikan imunisasi dengan segala akibatnya yang jauh lebih berbahaya pada anak.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentang Thimerosal tidak mengakibatkan Autis
secara epidemiologis lebih bisa dipercaya untuk menunjukkan sebab akibat. Laporan
beberapa penelitian dan kasus jumlahnya relatif tidak bermakna dan dalam populasi
yang kecil. Hanya menunjukan kemungkinan hubungan tidak menunjukkan sebab
akibat. Beberapa institusi atau badan kesehatan dunia yang bergengsi pun telah
mengeluarkan rekomendasi untuk tetap meneruskan pemberian imunisasi MMR. Hal ini
juga menambah keyakinan bahwa memang Thimerosal dalam vaksin memang benar
aman.

Walaupun paparan merkuri terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil
saja yang mengalami gejala Autis. Peristiwa tersebut mungkin berkaitan dengan teori
genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Metalothionein merupakan
suatu rantai polipeptida liner tediri dari 61-68 asam amino, kaya sistein dan memiliki
kemampuan untuk mengikat logam. Pada penderita Autis tampaknya didapatkan adanya
gangguan metabolisme metalotionin. Gangguan metabolisme tersebut dapat
mengakibatkan gangguan ekskresi (pengeluaran) logam berat (merkuri dll) dari tubuh
anak autis. Gangguan itu mengakibatkan peningkatan logam berat dalam tubuh yang
dapat mengganggu otak, meskipun anak tersebut menerima merkuri dalam batas yang
masih ditoleransi.

Pada anak sehat bila menerima merkuri dalam batas toleransi, tidak
mengakibatkan gangguan. Melalui metabolisme metalotionin pada tubuh anak, logam
berat tersebut dapat dikeluarkan oleh tubuh. Tetapi pada anak Autis terjadi gangguan
metabolisme metalotionin.Kejadian itulah yang menunjukkan bahwa imunisasi yang
mengandung thimerosal harus diwaspadai pada anak yang beresiko Autis, tetapi tidak
perlu dikawatirkan pada anak normal lainnya.

Penelitian atau pendapat beberapa kasus yang mendukung keterkaitan Autisme


dengan imunisasi, tidak boleh diabaikan bergitu saja. Sangatlah bijaksana untuk lebih
waspada, bila anak sudah mulai tampak ditemukan penyimpangan perkembangan atau
perilaku sejak dini. Dalam kasus tersebut untuk mendapatkan imunisasi yang
mengandung Thimerosal harus berkonsutlasi dahulu dengan dokter anak. Mungkin
harus menunda dahulu imunisasi yang mengandung thimerosal sebelum dipastikan
diagnosis Autis dapat disingkirkan. Dalam hal seperti ini, harus dipahami dengan baik
resiko, tanda dan gejala autis sejak dini.

Bila anak tidak beresiko atau tidak menunjukkan tanda tanda dini terjadinya
Autis maka tidak perlu kawatir untuk mendapatkan imunisasi tersebut. Kekawatiran
terhadap imunisasi tanpa didasari pemahaman yang baik, akan menimbulkan
permasalahan kesehatan yang baru pada anak kita. Dengan menghindari imunisasi,
beresiko terjadi akibat berbahaya dan dapat mengancam jiwa. Bila anak terkena infeksi
yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi.

2.5 Jadwal Pemberian Imunisasi

1. Jadwal pemberian Vaksin Hepatitis B diberikan dalam satu seri yang terdiri dari
3 kali suntik.
Pertama : Bila ibu adalah pembawa virus dalam darahnya, maka vaksin
harus diberikan paling lama 12 jam setelah lahir. Tetapi bila ibu bukan
pembawa virus, bisa diberikan pada kontrol di bulan pertama atau kedua.
Kedua : Kalau yang pertama diberikan segera setelah lahir, yang kedua
diberikan antara bulan pertama dan kedua. Bila yang pertama diberikan
setelah sebulan, maka yang kedua diberikan antara bulan ketiga dan
keempat.
Ketiga : Diberikan pada usia 6 bulan untuk yang mendapatkan vaksin
pertama sebelum usia 1 bulan. Untuk yang mendapatkan vaksin pertama
setelah usia 1 bulan, diberikan pada usia antara 6 s/d 18 bulan.
Resiko yang mungkin timbul Resiko serius yang berkaitan dengan
pemberian vaksin HBV sangat jarang terjadi. Biasanya efek samping
hanya bagian bekas suntik menjadi kemerah-merahan.
Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan
ringan. Bila ada reaksi alergi serius terhadap suntikan vaksin.
Setelah pemberian Setelah vaksinasi panas badan anak mungkin naik,
dan juga daerah sekitar bekas suntikan menjadi merah. Untuk itu anda
bisa memakai obat penurun panas (Tempra, Sanmol, dll), dan kompres
dengan air hangat bagian bekas suntikan.
2. Jadwal pemberian Diberikan sebagai satu seri yang terdiri dari 5 kali suntik.
Yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15 s/d 18 bulan dan terakhir saat
sebelum masuk sekolah (4 s/d 6 tahun). Dianjurkan untuk mendapatkan vaksin
Td (penguat terhadap difteri dan tetanus) pada usia 11 s/d 12 tahun atau paling
lambat 5 tahun setelah imunisasi DTP terakhir. Setelah itu direkomendasikan
untuk mendapatkan Td setiap 10 tahun.
Resiko yang mungkin timbul Seringkali pemberian vaksin ini
menimbulkan panas badan ringan atau panas di sekitar bekas suntikan
yang diakibatkan oleh komponen pertussis dalam vaksin.
Menunda pemberian : Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan
ringan. Bila anak memiliki kelainan syaraf atau tidak tidak tumbuh
secara normal, komponen pertussis dari vaksin dianjurkan untuk tidak
diberikan danhanya DT (difteri & tetanus) saja. Bila setelah
mendapatkan vaksin DTP (DTaP) timbul gejala seperti dibawah
konsultasikan dengan dokter anak sebelum mendapatkan vaksin lainnya :
kejang-kejang dalam 3 s/d 7 hari setelah imunisasi kejang-kejang yang
makin memburuk dibanding sebelumnya apabila pernah mengalaminya
reaksi alergi kesulitan makan atau gangguan pada mulut, tenggorokan
atau muka panas badan lebih dari 40 derajat Celcius (105 derajat
Fahrenheit) pingsan dalam 2 hari pertama setelah imunisasi terus
menangis lebih dari 3 jam di 2 hari pertama setelah imunisasi
Setelah pemberian : Anak mungkin mengalami panas badan ringan dan
atau kemerah-merahan di sekitar bekas suntikan. Untuk mencegah panas
badan kadangkala dokter anak memberikan resep obat sebelum
imunisasi. Segera hubungi dokter anak anda apabila timbul gejala-gejala
seperti diatas.
3. HIB (Haemophilus Influenza Tipe B) Jadwal pemberian Diberikan pada usia 2
bulan, 4 bulan dan sekitar 6 bulan. Setelah itu diberikan sebagai penguat pada
usia 12 s/d 15 bulan.
Resiko yang mungkin timbul Sangat sedikit sekali efek sampingan yang
pernah ditemukan, kecuali kemerah-merahan dan nyeri pada bagian
bekas suntikan atau panas badan ringan.
Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan
ringan. Bila ada reaksi alergi setelah imunisasi, maka pemberian vaksin
Hib berikutnya harus dihentikan.
Setelah pemberian Persiapkan obat-obatan untuk penurun panas badan
ringan.
4. POLIO Jadwal pemberian Diberikan pada usia 3 bulan, 4 bulan, 5 bulan, 12 s/d
18 bulan dan saat sebelum masuk sekolah (4 s/d 6 tahun). Imunisasi pertama dan
kedua adalah IPV sedang dua terakhir dengan OPV. Namun apabila tidak ada
gangguan dianjurkan untuk mendapatkan vaksin semuanya secara IPV. Untuk
itu konsultasikan dengan dokter anak anda mana yang terbaik untuk kasus anak
anda.
Resiko yang mungkin timbul Bagi anda yang belum pernah mendapatkan
imunisasi polio pada saat balita dianjurkan untuk imunisasi dengan IPV
sebelum anak anda mendapatkan vaksin polio secara OPV. Ini untuk
mencegah penularan virus polio hidup yang terkandung dalam vaksin
OPV ke anda.
Menunda pemberian Apabila anak memiliki gangguan kekebalan tubuh,
vaksin IPV lebih baik daripada OPV. Sebagai catatan, untuk anak-anak
tipe ini harus dihindari kontak dengan anak lain yang baru saja menerima
vaksin OPV sampai sekitar 2 minggu setelah vaksinasi. Vaksin IPV tidak
boleh diberikan kepada anak yang memiliki alergi serius terhadap
antibiotika neomycin atau streptomycin. Untuk itu sebaiknya diberikan
vaksin tipe OPV.
Setelah pemberian Untuk IPV, sering menimbulkan panas badan ringan
dan nyeri atau kemerah-merahan di sekitar bekas suntikan. Untuk OPV
tidak ada gejala pasca imunisasi apapun.
5. BCG Jadwal pemberian Diberikan satu kali pada usia 2 bulan.
Resiko yang mungkin timbul Jarang ditemui adanya reaksi berlebihan
terhadap vaksin ini.
Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan
ringan.
Setelah pemberian Seperti vaksin lainnya cukup siapkan obat penurun
panas, apabila tidak ada gejala lain yang serius.
6. MMR / CAMPAK Jadwal pemberian Diberikan sebagai satu seri yang terdiri
dari dua kali pemberian. Yaitu pada usia 12 s/d 15 bulan dan saat sebelum
masuk sekolah (4 s/d 6 tahun) atau pada usia 11 s/d 12 tahun.
Resiko yang mungkin timbul Jarang sekali timbul masalah serius akibat
vaksin ini.
Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan
ringan. Bila memiliki alergi terhadap telur atau antibiotika neomycin.
Bila menerima gamma globulin dalam selang waktu 3 bulan sebelum
imunisasi. Bila memiliki gangguan kekebalan tubuh akibat kanker atau
sedang menjalani terapi kemo atau radiasi.
Setelah pemberian Seperti vaksin lainnya cukup siapkan obat penurun
panas, apabila tidak ada gejala lain yang serius.

Tabel jadwal imunisasi umum

JADWAL JENIS VAKSIN


PEMBERIAN

Waktu Lahir BCG, HEPATITIS B (DOSIS I)

Umur 1 bulan HEPATITIS B (DOSIS II)

Umur 2 bulan DPT dan POLIO (DOSIS I)

Umur 3 bulan DPT dan POLIO (DOSIS II)

Umur 4 bulan DPT dan POLIO (DOSIS III)

Umur 5 bulan POLIO (DOSIS IV)

Umur 6 bulan HEPATITIS (DOSIS III)

Umur 9 bulan CAMPAK

Umur 15 bulan MMR

DPT (DOSIS IV), POLIO (DOSIS


Umur 18 bulan
V)

Kelas 1 SD DT (DOSIS I dan II)

2.6 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Anak dan/atau Orang Tua
a. Nama
b. Alamat
c. Telepon
d. Tempat dan tanggal lahir
e. Ras/kelompok entries
f. Jenis kelamin
g. Agama
h. Tanggal wawancara
i. Informan
2. Keluhan Utama
Apakah terdapat masalah kesehatan anak baik secara fisik maupun psikis
yang memerlukan perawatan karena akan berpengaruh terhadap
kelangsungan imunisasi yang akan dilakukan.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Apakah anak pernah mengalami sakit sebelumnya.
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang bersifat menular dan
menurun.
4. Pengkajian Fisik
a. Keadaan Umum
b. Tingkah Laku
c. BB dan TB
d. Pengkajian Head to toe.
5. Data Fokus
a. Subjektif:
- Orang tua mengungkapkan keinginan untuk meningkatkan perilaku
mencegah penyakit infeksi.
- Orang tua mengekspresikan keinginan untuk meningkatkan
pengetahuan mengenai standar imunisasi
- Mengungkapkan kebigungan dan kekhawatiran ketika anak tiba-tiba
mengalami hipertermi, demam, rewel.

b. Objektif:
- Anak gelisah.
- Pernafasan cepat dan nadi meningkat.
- Orang tua memperlihatkan perubahan psikologi (tampak bingung,
cemas)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat timbul dari tindakan
imunisasi pada anak meliputi:
1. Defisiensi pengetahuan keluarga (ibu) mengenai jadwal imunisasi,
jenis imunisasi efek samping imunisasi berhubungan dengan kurang
terpajannya informasi.
2. Kesiapan meningkatkan status imunisasi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.

C. INTERVENSI
No Diagnosa NOC NIC Rasional
. Kep.
1. Defisiensi Setelah diberikan 1. Mengkaji tingkat 1. Untuk mengetahui
pengetahuan asuhan keperawatan pengetahuan keluarga sejauh mana
keluarga (ibu) selama waktu yang mengenai jadwal , pengetahuan
mengenai telah direncanakan, jenis dan gejala yang keluarga pasien
jadwal diharapkan orang dapat timbul setelah tentang gejala gejala
imunisasi, tua mampu imunisasi diberikan yang muuncul tiba-
jenis mengetahui jadwal tiba
imunisasi, dan jenis imunisasi 2. Memberikan HE 2. Untuk menambah
dan efek serta mengatasi efek kepada orang tua anak iinformasi yang
samping b/d dari imunisasi pada mengenai jenis diketahui agar dapat
kurang anak dengan kriteria imunisasi dasar yang melakukan
terpajannya evaluasi: harus di dapatkan imunisasi secara
informasi. 1. Keluarga pasien pada anak serta waktu lengkap dan tepat.
dapat memahami pemberian dan cara
mengenai gejala pemberiannya.
yang timbul
setelah imunisasi
dilakukan. 3. Jelaskan mengapa 3. Memberikan
2. Keluarga pasien gejala-gejala tersebut pengetahuan kepada
mampu muncul. orang tua pasien
melaksanakan mengenai gejala-
prosedur yang gejala tiba-tiba yang
seharusnya muncul,
dilakukan dengan penyebabnya
benar dan tepat. 4. Memberikan HE 4. Mengajarkan
3. Keluarga dapat tentang penanganan penanganan
menyebutkan efek imunisasi yaitu sederhana yang tepat
kembali yang apa yang dapat untuk mengatasi hal
dikatakan oleh tim dilakukan ibu-ibu di itu.
kesehatan rumah.

sebelumnya. 5. Menambah
5. Jelaskan jenis obat pengetahuan ibu
yang diberikan oleh mengenai obat yang
tenaga medis mulai dapat dipakai untuk
dari fungsinya, dan menanggulangi
cara gejala yang muncul
pengkonsumsiannya akibat imunisasi
untuk menangani efek serta cara
yang dapat terjadi. penggunaannya.

2. Kesiapan Setelah diberikan 1. Kaji kesiapan anak 1. Saat anak mau


meningkatkan asuhan dalam meningkatkan bercerita dan
status keperawatan status imunisasinya, mengungkapkan isi
imunisasi. selama waktu yang tanyakan apakah ia hatinya secara
telah direncanakan, pernah diimunisasi leluasa berarti ia
diharapkan sebelumnya, jika anak telah menerima kita
kesiapan keluarga tidak mau bercerita, sebagai bagian dari
dapat optimal tunggu beberapa saat, lingkungan kecilnya.
dalam dan pada saat ia Sebelum memulai
meningkatkan bercerita, berikan tindakan imunisasi
status imunisasi, kesempatan untuk akan sangat efektif
dengan kriteria anak memilih jika anak mau
evaluasi: gayanya bercerita menerima petugas
1. Klien dapat agar lebih leluasa. dalam lingkungan
meningkatkan mereka.
perilaku mencegah
panyakit infeksi. 2. Kaji pengalaman anak 2. Pengalaman dapat
2. Klien dapat tentang imunisasi, menjadi pendukung
meningkatkan baik yang ia alami atau menjadi
pengenalan langsung atau yang ia penghalang
terhadap ketahui dari tergantung dari
kemungkinan lingkungannya. bagaimana
masalah yang pengalaman itu
berkaitan dengan dipahami oleh anak.
imunisasi. Maka dari itu
3. Klien dapat diperlukan adanya
meningkatkan penelaahan oleh
pengenalan petugas agar
terhadap pemberi imunisasi tidak
imunisasi. meninggalkan kesan
4. Klien dapat yang dekstruktif
meningkatkan pada anak, terutama
status imunisasi. anak yang belum
5. Klien dapat pernah diimunisasi.
3. Berikan image
meningkatkan 3. Jujur dan terbuka
tentang imunisasi
pengetahuan apa adanya akan
yang sederhana dan
tentang standar membuat
sesuai pemahaman
imunisasi. komunikasi lebih
anak, jangan
6. Klien dapat baik dan tidak
mengada-ada atau
meningkatkan terkesan ada
berbohong pada anak.
pencatatan tentang topeng dalam
imunisasi. pembicaraan,
terutama saat kontak
dengan anak
mengenai tindakan
invasif dalam
imunisasi.
Keluarga: Keluarga:
1. Kaji kesiapan 1. peran serta keluarga
keluarga dalam akan sangat
meningkatkan status membantu
imunisasi anak. pemberian imunisasi
pada anak.

2. Kaji hambatan - 2. Hambatan dapat


hambatan yang menjadi indikator
dihadapi keluarga saat sejauh mana
imunisasi anak keberhasilan
sebelum-sebelumnya. imunisasi telah
tercapai.
3. Kaji respon dan
penanganan yang 3. Efek ikutan sering
dilakukan keluarga timbul pada
dalam mengurangi/ beberapa kasus
menghilangkan efek imunisasi,
ikutan yang timbul penanganan yang
akibat imunisasi. tepat sangat
diperlukan.
4. Berikan dukungan
terhadap perilaku 4. Apresiasi akan
keluarga yang telah meningkatkan
melakukan imunisasi semangat dalam
sebagai pencegahan usaha pencegahan
dini terhadap penyakit penyakit dan
dan perbaiki keluarga akan
pemahaman yang merasa telah
menyimpang tentang melakukan hal yang
imunisasi. baik untuk anaknya.

5. Tingkatkan kesiapan
keluarga dalam 5. Imunisasi yang
perilaku pencegahan teratur dapat
dini penyakit ditumbuhkan sejak
misalnya melalui dini sebagai bagian
imunisasi selanjutnya dalam usaha
dan pengenalan lebih preventif terhadap
lanjut mengenai penyakit infeksi.
imunisasi.

6. Berikan gambaran
jadwal imunisasi anak 6. Gambaran umum
sesuai usia. imunisasi yang
wajib serta anjuran
untuk anak dapat
membantu orang tua
dalam rangka
penentuan dan
pencatatan tentang
imunisasi anak.
3. Risiko Setelah dilakukan 1. Observasi kondisi 1. Jika anak sedang
hipertermi tindakan keperawatan kesehatan anak sakit, imunisasi
berhubungan selama 1x15 menit sebelum dan setelah tidak disarankan
dengan diharapkan : imunisasi, pastikan untuk diberikan,
proses a) Tidak terjadi anak sehat untuk karena akan
imunisasi hipertermi pada menjalani imunisasi memperburuk
anak kondisi pasien.
b) Keluarga dapat Lihat pula kondisi
memberikan anak setelah
penangan efektif diimunisasi karena
jika risiko ini dapat membuat
terjadi pada pasien mengalami
beberapa imunisasi deman dan
a. Kriteria Hasil : hipertermi pada
a) Bayi tidak beberapa imunisasi.
menunjukan tanda
tanda hipertermi 2. Observasi tingkat 2. Untuk mengetahui
(konvulsi, kulit pemahaman keluarga sejauh mana
kemerahan, kejang, mengenai hipertermi pengetahuan
takikardia, dan penanganannya keluarga dan
takipnea, dan kulit mempermudah
terasa hangat) penanganan.
b) Suhu tubuh anak 3. Beri pemahaman 3. Meningkatkan
dalam batas terhadap tanda pengetahuan
normal (36- tanda hipertermi keluarga pasien
37,5C) (ringan s.d berat) tentang hipertermi.
c) Jika terjadi
hipertermi, 4. Ajari keluarga cara 4. Menambah
keluarga tidak sederhana menangani pengetahuan pada
panik dan dapat hipertermi ringan di keluarga pasien
memberikan rumah seperti tentang tahap tahap
penanganan yang kompres hangat dan penanganan
tepat di rumah. pemberian obat sederhana.
antipiretik.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Handbook of


Nursing Diagnosis) Edisi 10. Jakarta : EGC.

Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta :


EGC.

Nurari, Amin Huda dan Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 1.
Jogjakarta : MediAction Publishing.

Ranuh dkk. 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta : EGC.

Supartini, Yupi. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai