Anda di halaman 1dari 20

Allah subhanahu wa taala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan

sembelihlah hewan. (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan,
Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah
menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied. Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha
dan Ikrimah (Taisirul Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih
Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-
hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha tipis)

Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405
dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda Aisyah
radhiyallahuanha menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa
senang karenanya. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat
Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan
hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama
menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada
sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari
pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri
kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syiar islam dan lebih
sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi 7/521).

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:


Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah
Rabiah (guru Imam Malik), Al Auzai, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, Laits bin Saad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan:
Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan
tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu (lih. Syarhul Mumti,
III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun
tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami. (HR. Ibnu
Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Pendapat kedua menyatakan Sunnah Muakkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat
mayoritas ulama yaitu Malik, Syafii, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang
mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Masud Al Anshari radhiyallahu
anhu. Beliau mengatakan, Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku
mengira qurban itu adalah wajib bagiku. (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad
shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, Aku melihat Abu Bakar dan Umar
sementara mereka berdua tidak berqurban. (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya
shahih) Ibnu Hazm berkata, Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang
menyatakan bahwa qurban itu wajib. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul
Ahkaam, IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika
dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama
memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: selayaknya bagi mereka
yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih
menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu alam. (Tafsir Adwaul Bayan,
1120)

Yakinlah! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban
yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdoa: Yaa
Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq. Dan yang kedua berdoa: Yaa Allah,
berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit). (HR. Al Bukhari 1374 &
Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al Anaam (hewan ternak tertentu) yaitu
onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan
adanya ijma (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan
tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah
yang artinya, Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat
nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak
(bahiimatul anaam). (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, Bahkan jika
seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada
jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban
seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka
qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah (Syarhul Mumti, III/409)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota
keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana
hadits Abu Ayyub radhiyallahuanhu yang mengatakan, Pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi
dirinya dan keluarganya. (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul
Muslim, 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota
keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia
dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh
umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih
beliau mengatakan:Yaa Allah ini qurban dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.
(HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa
4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: Kaum muslimin
yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Adapun yang dimaksud: kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang,
dan onta 10 orang adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari
satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya
untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan
status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu
kepada pemilik hewan?

Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan
kepada orang yang diberi sedekah.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu
Abbas radhiyallahuanhu beliau mengatakan, Dahulu kami penah bersafar bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun
berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami
berserikat sebanyak tujuh orang. (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya
urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari
7 orang yang ikut urunan.

Arisan Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk
qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban
meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn
Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam
Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya
aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah
kelahiran.

(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk
membeli unta qurban. Beliau ditanya: Kamu berhutang untuk beli unta qurban? beliau
jawab: Saya mendengar Allah berfirman: ( kamu memperoleh kebaikan yang
banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36). (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj: 36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.
Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah
pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh
Ibn Utsaimin mengatakan: Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan
pelunasan hutang dari pada berqurban. (Syarhul Mumti 7/455). Bahkan Beliau pernah
ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada
temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: Jika di hadapkan dua permasalahan
antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang,
lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat. (lih. Majmu
Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan


ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama
yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya
mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang.
Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban
dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera
dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh
temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu
hal yang baik. Wallahu alam.

Qurban Kerbau?

Para ulama menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi
sebagai satu jenis (Mausuah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara
tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafiiyah (lih. Hasyiyah Al
Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir
22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:

Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan
domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci
penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Anam 143. Apakah
boleh berqurban dengan kerbau?

Beliau menjawab:

Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka
(jenis hewan) yang Allah sebut dalam alquran adalah jenis hewan yang dikenal orang arab,
sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab. (Liqa Babil Maftuh
200/27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa
disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu
alam.

Urunan Qurban Satu Sekolahan

Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian
sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani
iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di
hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan
tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syariat. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa
dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah
masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing
hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi qurban seperti di
atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.

Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya
mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk
dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal.
Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya
meskipun ada yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit.
Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan
pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa
Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama bersikap keras dan
menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bidah, mengingat tidak ada tuntunan dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban
atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau
shallallahu alaihi wa sallam.
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar
keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk
kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari
catatan kaki Syarhul Mumti yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin
51.

Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu alaihi wa sallambersabda,


Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadzaah. (Muttafaq alaih)

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:

No. Hewan Umur minimal

1. Onta 5 tahun

2. Sapi 2 tahun

3. Kambing jawa 1 tahun

4. Domba/ kambing gembel 6 bulan


(domba Jadzaah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):

Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas orang yang
melihatnya menilai belum buta meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu
matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun
senja. ulama madzhab syafiiyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan
untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
Sakit dan tampak sekali sakitnya.
Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal.
Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh
dijadikan hewan qurban.
Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh
untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti 3/294).

Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):

Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong


Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun
kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh
pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak
berhidung. Wallahu alam

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)


(**) Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari
ketika berqurban. Beliau menjawab: Ada empat cacat dan beliau berisyarat dengan
tangannya. (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi).
Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan
tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat
jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi
7/464)

(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua
cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dloif, sehingga sebagian ulama
menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban.
(Syarhul Mumthi 7/470)

Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya
adalah firman Allah taala yang artinya, barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar
Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati. (QS. Al Hajj: 32).
Berdasarkan ayat ini Imam Syafii rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban
disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl
mengatakan, Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban.
Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang
gemuk-gemuk. (HR. Bukhari secara muallaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu
Nuaim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)

Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah
berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-
masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu
alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu anhu tentang budak yang lebih
utama. Beliau bersabda, Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan
pemiliknya (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)

Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau
onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh
Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi 7/458). Disamping itu,
terdapat alasan lain diantaranya:

Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor,
baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan
keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang
dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafii. (lih. Al
Muhadzab 1/74)
Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah
Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun
pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil
sunnah, sehingga jelas salahnya.

Apakah Harus Jantan?

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu
Kurzin radliallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Aqiqah untuk
anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan
maupun betina. (HR. Ahmad 27900 & An Nasai 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani).
Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafii mengatakan: Jika dibolehkan
menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini
juga boleh untuk berqurban. (Al Muhadzab 1/74)

Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina.
Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.

Larangan Bagi yang Hendak Berqurban

Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang
yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu
alaihi wa sallam beliau bersabda, Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama
(bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh
sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya. (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk
cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian
saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan
maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).

Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk
anggota keluarga shohibul qurban?

Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku
bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:

Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau
berqurban.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya.
Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya
untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti 7/529)

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk
menyembelih (qurban). (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun
malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al
Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban
Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh
dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia
menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih
sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum
muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)

Tempat Penyembelihan

Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ied
diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk
menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin
bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu Umar
mengatakan, Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing
dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat. (HR. Bukhari 5552).

Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah
sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)

Penyembelih Qurban

Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh
diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: Saya tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Hal ini berdasarkan
hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa
pada saat qurban Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta
qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi
Thalib radhiallahu anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)

Tata Cara Penyembelihan

Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.


Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang
menyaksikan penyembelihannya.
Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat.
Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
Ketika akan menyembelih disyariakan membaca Bismillaahi wallaahu akbar ketika
menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar
Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan
menurut Imam Syafii hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir Allahu akbar para
ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan
bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
o hadza minka wa laka. (HR. Abu Dawud 2795) Atau
o hadza minka wa laka anni atau an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).
atau
o Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, Allahumma taqabbal
minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban) (lih. Tata Cara
Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat doa khusus yang
panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu alam.

Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?

Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:

Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan shalawat
ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bidah.
Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak
murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti 7/492)

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:

Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul


qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah
berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
Dihadiahkan kepada orang yang kaya
Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan
jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.

Dari Salamah bin Al Akwa dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari
ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit. Ketika datang tahun
berikutnya maka para sahabat mengatakan, Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan
sebagaimana tahun lalu ? Maka beliau menjawab, (Adapun sekarang) Makanlah sebagian,
sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu
masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian
membantu mereka dalam hal itu. (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama
perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban.
Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama
sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan
sedekah pada orang miskin, ed.)

Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang
kafir, sebagaimana kata Imam Malik: (diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih
aku sukai. Sedangkan syafiiyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada
orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban
yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As SyafiI mengatakan:
Dalam Al Majmu (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban
sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang
wajib. (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)

Lajnah Daimah (Majlis Ulama saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging
qurban kepada orang kafir.

Jawaban Lajnah:

Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Muahid (****) baik karena
statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati
mereka namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby,
karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan
kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan
keumuman firman Allah:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah 8)

Demikian pula Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma binti Abu
Bakr radhiallahu anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih
musyrik. (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena
status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan
sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah
pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

(****) Kafir Muahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin.
Termasuk orang kafir muahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin
resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir
Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.

Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala,
teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu
mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi
penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua
kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian
apapun darinya kepada tukang jagal. (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman
keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada
nilainya. (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)

Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama,
meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas
dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

Catatan:

Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala
dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat
jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang
tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli
tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri:
Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah
haram. Beliau juga mengatakan: Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena
hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas). (Fiqh Syafii 2/311).
Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya,
baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya.
Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan
(disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.

Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwa Beliau pernah diperintahkan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan
seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun
pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun. (HR. Bukhari
dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, Kami mengupahnya dari uang kami
pribadi. (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/379)

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau
kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para
ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk
orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin.. (Taudhihul Ahkaam,
IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: Haram
menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal. Perkataan beliau ini dikomentari
oleh Al Baijuri: Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal
diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram. (Hasyiyah
Al Baijuri As Syafii 2/311).

Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan
memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak
diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah
kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah
Khusus?

Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari
shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia
qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa
dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus
berikut:

Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi
mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya
transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang
ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan
menjawab: TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.

Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status
panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban
sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-
makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan
panitia maka ini tidak diperbolehkan.

(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam
zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan amil qurban. Akibatnya mereka
beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat
memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia
pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan.
Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status
sahabat Ali radhiallahu anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi
shallallahu alaihi wa sallam.

Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit

Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak
bisa lepas dari fiqh praktis menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui
ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi
kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada
Allah wahai kaum muslimin sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi
oleh Sang Peletak Syariah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi
qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syariat meskipun jalurnya
kelihatannya lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat
sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk
ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.

Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu pernah
mengurusi qurbannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi
tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu anhu bingung ngurusi kulit dan
kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan
syariat. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa
dilakukan beberapa solusi berikut:

Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin
sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi
mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak
mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi
pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual
kulit.
Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan
atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan
bagian hewan qurban kepada yayasan).

Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar
daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan
hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?

Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-
orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafiiyah
mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat
lain di luar tempat tinggal shohibul qurban selama tidak ada maslahat yang menuntut hal
itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat
lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada
tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama
menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap
disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa
Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380

Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan
daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam karena tiga hal:

Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu anhum tidak pernah
mengajarkannya
Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.

Wallaahu waliyut taufiq.

Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan
silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah
wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga
risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini
bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah taala, sesungguhnya Dia Maha
Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil
aalamiin.

Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428

Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah

Dari Ibn Abbas radhiallahu anhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


:



: .
Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang
dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para sahabat bertanya: Tidak pula
jihad? Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: Tidak pula jihad, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun. (HR. Abu
Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)

Berdasarkan hadis tersebut, ulama sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama
bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari Arafah)

Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Said bin Jubair (Murid terbaik
Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh
dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.

Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?

Terdapat hadis yang menyatakan: Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya
pahala puasa satu tahun. Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul
Zauzy (Al Maudhuat 2/198), As Suyuthi (Al Masnu 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul
Majmuah).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena
hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas
maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin Affaanah).
Wallaahu alam.

Sumber: https://muslim.or.id/446-fiqih-qurban.html

Anda mungkin juga menyukai