Anda di halaman 1dari 13

Perencanaan RTNH dengan Metode Participatory Planning Maria Christina Endarwati

PERENCANAAN RUANG TERBUKA NON HIJAU


DI KOTA TIDORE KEPULAUAN DENGAN METODE
PARTICIPATORY PLANNING

Maria Christina Endarwati


Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP ITN Malang

ABSTRAKSI

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keterlibatan masyarakat dalam


penataan ruang adalah hal yang mutlak untuk dilaksanakan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (UUPR), dijelaskan bahwa negara telah memberikan
kewenangan penyelenggaraan penataaan ruang kepada Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam hal pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, dan pengawasan. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan daerah sebagai daerah
otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat. Daerah otonom juga mempunyai
kewenangan yang besar dan bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan penataan ruang, yaitu perencanaan, pemanfaatan,
dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayahnya masing-masing.
Sebagai salah satu kawasan pesisir dan kepulauan, menjadikan Kota
Tidore Kepulauan memiliki karakterisitik yang khas didalam
pengembangan pemanfaatan ruang wilayahnya. Wilayah daratan dan
pesisir yang dimiliki membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang di
Kota Tidore Kepulauan. Berdasarkan kebijakan penataan ruang wilayah
terkait dengan penyediaan ruang terbuka, salah satu potensi yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan pemanfaatan ruang pada wilayah
ini adalah penyediaan ruang terbuka non hijau sebagai faktor utama
yang mempengaruhi perkembangan permukiman dan kebutuhan
prasarana/sarana perkotaan.

Kata Kunci: Keterlibatan Masyarakat, Ruang Terbuka Non Hijau,


Participatory Planning

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan penyelengaraan penataan ruang di kawasan perkotaan
diantaranya adalah semakin menurunnya kualitas permukiman yang
ditunjukkan antara lain oleh: kemacetan, kawasan kumuh, pencemaran (air,

69
Spectra Nomor 17 Volume IX Januari 2011: 69-81

udara, suara, sampah), hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau
(RTH) untuk artikulasi sosial dan kesehatan masyarakat, kurang tersedianya
sarana jaringan pejalan kaki, tidak tersedianya ruang untuk kegiatan sektor
informal, serta bencana alam gempa, banjir dan longsor yang frekuensinya
semakin sering dan dampaknya semakin luas, terutama pada kawasan yang
berfungsi lindung. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang Pasal 28 disebutkan bahwa RTRW Kota
merupakan mutatis mutandis dengan perencanaan RTRW Kabupaten dan
ditambahkan dengan pengaturan tentang rencana penyediaan dan
pemanfaatan RTH, RTNH, prasarana, dan sarana jaringan pejalan kaki,
angkutan umum, kegiatan sektor informal, serta ruang evakuasi bencana.
Sedangkan pada Pasal 65 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan
ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
Kota Tidore Kepulauan adalah salah satu kota di provinsi Maluku
Utara. Kota ini memiliki luas wilayah 9.564,7 km dan berpenduduk
sebanyak 98.025 jiwa. Kota ini sudah terkenal sejak jaman penjajahan
dahulu karena hasil cengkeh dan pala. Sebagai salah satu wilayah yang
berkembang, perkembangan fisik kawasan di wilayah ini ikut terpengaruh
seiring dengan menggeliatnya pembangunan di Kota Tidore. Pembangunan
kota bukan sekedar mengembangkan kota dan meningkatkannya menjadi
lebih luas jangkauannya, melainkan mengoptimalkan pemanfaatan lahan
yang efisien, pemenuhan kebutuhan masyarakat kota yang kontinyu, serta
pencapaian infrastruktur sarana dan prasarana kota yang sustainable dan
teratur (Budi Rahardjo Eko, 1998). Sebagai salah satu kawasan pesisir dan
kepulauan, menjadikan Kota Tidore Kepulauan memiliki karakterisitik yang
khas dalam pengembangan pemanfaatan ruang wilayahnya. Wilayah
daratan dan pesisir yang dimiliki membutuhkan pendekatan yang berbeda
didalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang
di Kota Tidore Kepulauan.
Berdasarkan kebijakan penataan ruang wilayah terkait dengan
penyediaan ruang terbuka, salah satu potensi yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan pemanfaatan ruang pada wilayah ini adalah penyediaan
ruang terbuka sebagai faktor utama yang mempengaruhi perkembangan
permukiman dan kebutuhan prasarana/sarana perkotaan. Keberadaan
ruang terbuka sebagai ruang publik merupakan bagian integral kegiatan
pembangunan dan keberadaan suatu kawasan perkotaan (Darmawan,
2005). Dalam konteks penyediaan ruang terbuka, maka hampir semua kota-
kota di Indonesia mengalami defisit karena jumlah besaran/luas ruang
terbuka yang disediakan oleh Pemerintah Kota tidak mampu menampung
kebutuhan beberapa aktivitas sosial yang semestinya merupakan hak dari
warga kotanya. Salah satu fungsi utama ruang publik adalah sebagai tempat
interaksi antar komunitas untuk berbagai tujuan, baik individu maupun
kelompok. Dalam hal ini ruang publik merupakan bagian dari sistem sosial
masyarakat yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dinamika

70
Perencanaan RTNH dengan Metode Participatory Planning Maria Christina Endarwati

sosial. Berdasarkan Hakim, et al (2003), ruang publik juga berfungsi


memberikan nilai tambah bagi lingkungan, misalnya segi estetika kota,
pengendalian pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta
memberikan image dari suatu kota.
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang dihadapi oleh
Pemerintah Daerah dalam perkembangan aktivitas kawasan perkotaan
adalah:
Pengaruh perkembangan perkotaan yang cenderung mengabaikan
penyediaan ruang terbuka.
Kurangnya keterlibatan peran masyarakat dalam penyediaan ruang
publik perkotaan.
Dalam penelitian peranserta masyarakat dalam perencanaan ruang
terbuka non hijau di Kota Tidore Kepulauan akan merumuskan bentuk
pengembangan kawasan ruang terbuka yang dirancang dengan melibatkan
peran masyarakat dalam rencana desain penyediaan ruang publik
perkotaan berupa kawasan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH).

Tujuan dan Sasaran


Penelitian ini bertujuan untuk peningkatan kualitas tata ruang dengan
melaksanakan amanat Undang-Undang Penataan Ruang terkait dengan
peran serta masyarakat dan Pemerintah Kota dalam merencanakan Ruang
Terbuka Non Hijau (RTNH).
Sasaran yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
teridentifikasinya lokasi dan jenis kegiatan yang dibutuhkan untuk
penyediaan ruang terbuka non hijau dan tersusunnya pedoman/ketentuan
desain ruang terbuka non hijau. Selain itu, juga mendorong peranserta
masyarakat dan Pemerintah Kota melalui penyelenggaraan rencana
penyediaan ruang terbuka non hijau yang dibutuhkan untuk menjalankan
fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah. Dengan tercapainya hal tersebut, maka diharapkan
dapat membangun kesadaran, peranserta aktif, serta prakarsa masyarakat
dalam meningkatkan kualitas tata ruang kota.

TINJAUAN RUANG TERBUKA NON HIJAU


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang diketahui bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka dan
tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang diketahui bahwa ruang terbuka hijau
publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh
Pemerintah Daerah/Kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat

71
Spectra Nomor 17 Volume IX Januari 2011: 69-81

secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah
taman kota, taman pemakaman umum, serta jalur hijau sepanjang jalan,
sungai, dan pantai. Sedangkan yang termasuk ruang terbuka hijau privat,
antara lain adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/
swasta yang ditanami tumbuhan.
Berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau, diketahui bahwa:
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau
mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam.
Ruang terbuka hijau publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang digunakan sepenuhnya
untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Ruang terbuka hijau privat adalah RTH milik institusi tertentu atau
orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan
terbatas, antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung
milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Ruang terbuka non hijau adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan
yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang
diperkeras maupun yang berupa badan air.
Sebuah definisi yang dipublikasi secara luas terdapat pada buku The
Dimension of Urban Design oleh Carmona, et all (2003) mendefinisikan
open space sebagai hamparan lahan tidak terbangun atau secara minimum
terbangun dengan beberapa jenis penggunaan (misalnya: lapangan golf,
lahan pertanian, taman, permukiman kepadatan rendah) atau lahan yang
dibiarkan tidak terbangun untuk tujuan estetika atau ekologis, kesehatan,
kesejahteraan, atau keamanan (misalnya: jalur hijau, jalur banjir, lereng atau
lahan basah).
Ruang terbuka dapat juga diklasifikasi berdasarkan kepemilikan, yaitu:
(1) ruang terbuka privat (lahan pada perumahan atau pertanian milik privat);
(2) ruang terbuka untuk kepentingan umum (lahan yang ditujukan atau
direncanakan sebagai ruang terbuka dengan akses dan penggunaan secara
umum oleh masyarakat); serta (3) ruang terbuka publik (lahan yang dimiliki
secara publik untuk penggunaan rekreasi masyarakat baik aktif ataupun
pasif).

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Keterlibatan Masyarakat dalam Pemilihan Lokasi Perencanaan
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan masyarakat (community
development) sangat bergantung pada peran Pemerintah dan masyarakat,
dimana keduanya harus mampu menciptakan sinergi. Tanpa melibatkan
masyarakat, Pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil pembangunan

72
Perencanaan RTNH dengan Metode Participatory Planning Maria Christina Endarwati

secara optimal. Pembangunan hanya akan melahirkan produk-produk baru


yang kurang berarti bagi masyarakat yang tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya, tanpa peran yang optimal dari
Pemerintah, pembangunan akan berjalan secara tidak teratur dan tidak
terarah yang akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru. Selain
memerlukan keterlibatan masyarakat, pembangunan juga membutuhkan
strategi yang tepat agar dapat lebih efisien dari segi pembiayaan dan efektif
dari segi hasil. Pemilihan strategi pembangunan ini penting karena akan
menentukan dimana peran pemerintah dan dimana peran masyarakat,
sehingga kedua pihak mampu berperan secara optimal dan sinergis.
Pembangunan melalui partisipasi masyarakat merupakan salah satu
upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan
pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumberdaya lokal
berdasarkan kajian musyawarah, yaitu peningkatan aspirasi berupa
keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan
motivasi dan peranserta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan,
dan peningkatan rasa memiliki pada kelompok masyarakat terhadap
program kegiatan yang telah disusun. Didalam perencanaan kebutuhan
RTNH salah satu metode didalam memfasilitasi prakarsa masyarakat adalah
dengan melakukan salah satu teknik perencanaan partisipatif, yaitu
participatory research and development (PRD) yakni suatu upaya memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan bersama dan
kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan
tersebut dengan menggali informasi dari masyarakat melalui forum focus
group discussion (FGD). FGD adalah suatu metode kualitatif yang bertujuan
untuk memperoleh informasi mendalam pada konsep, persepsi, dan
gagasan pada suatu topik.
Rencana pengembangan lokasi RTNH diarahkan di pusat kota Tidore
Kepulauan, yaitu Kecamatan Pulau Tidore dengan beberapa alternatif
penentuan lokasi. Lokasi diarahkan di Kecamatan Pulau Tidore karena
lokasi ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan jumlah
penduduk yang terbanyak menempati pulau ini. serta merupakan Ibukota
dari Kota Tidore Kepulauan. Dalam penentuan lokasi RTNH menggunakan
beberapa kriteria yang diusulkan, yaitu:
1. Urgensi terhadap perubahan wajah kota, dengan kriteria:
Kondisi saat ini sangat tidak teratur (semrawut).
Kondisi saat ini berpotensi menjadi tidak teratur.
Kondisi saat ini dalam kondisi teratur.
2. Kesesuaian dengan kebijakan pembangunan dan pengembangan
kota, dengan kriteria:
Pembangunan sangat mendukung visi dan misi kota.
Pembangunan cukup mendukung visi dan misi kota.
Pembangunan belum mendukung visi dan misi kota.

73
Spectra Nomor 17 Volume IX Januari 2011: 69-81

3. Kesesuaian dengan prioritas pembangunan wilayah, dengan


kriteria:
Lokasi menjadi prioritas pembangunan wilayah.
Lokasi belum menjadi prioritas pembangunan wilayah.
4. Potensi kawasan dalam menumbuhkan perekonomian wilayah,
dengan kriteria
Lokasi perencanaan sangat berpotensi menumbuhkan
perekonomian masyarakat.
Lokasi perencanaan tidak berpotensi menumbuhkan
perekonomian masyarakat.
Dalam pemilihan lokasi perencanaan tersebut terdapat 4 (empat)
alternatif lokasi kawasan yang berpotensi untuk direncanakan. Lokasi
dimaksud adalah:
1. Daerah reklamasi Pantai Tugulafa.
2. Ruang terbuka (open space) di sekitar Kantor Dinas Tata Ruang
dan Kebersihan.
3. Hutan Mangrove di Pantai Tugulufa Soasio.
4. Pantai Rum Bali Bunga di Kecamatan Tidore Utara.

Tabel 1.
Visualisasi Kondisi Kawasan Alternatif Perencanaan

Alternatif Lokasi Visualisasi Lokasi Alternatif Perencanaan

Kawasan Pantai
Tugulafa

Kawasan Open
Space di sekitar
Kantor Dinas Tata
Ruang &
Kebersihan

Kawasan Hutan
Mangrove di Pantai
Tugulafa

74
Perencanaan RTNH dengan Metode Participatory Planning Maria Christina Endarwati

Alternatif Lokasi Visualisasi Lokasi Alternatif Perencanaan

Kawasan Pantai
Rum Bali Bunga

Sumber : Hasil Survey

Dari hasil FGD terpilih kawasan yang prioritas untuk direncanakan


sebagai kawasan RTNH di Kota Tidore Kepulauan, yaitu kawasan hutan
mangrove yang akan diintegrasikan dengan kawasan Pantai Tugulafa.

Hasil Keterlibatan Masyarakat dalam Mendesain Lokasi Pilihan


Didalam kegiatan FGD tersebut masyarakat melakukan proses
merancang atau mendisain Lokasi RTNH. Masing-masing kelompok
berdiskusi dan merancang RTNH di lokasi pengembangan RTNH yang
sudah disepakati bersama.

Gambar 1.
Diskusi Kelompok yang Difasilitasi oleh Peneliti

Gambar 2.
Proses Desain Kelompok I

75
Spectra Nomor 17 Volume IX Januari 2011: 69-81

Gambar 3.
Proses Desain Kelompok II

Gambar 4.
Proses Desain Kelompok III

Setelah selesai mendesain/merancang, maka setiap kelompok


mempresentasikan karyanya. Presentasi ini hanya untuk dipaparkan saja
dan dilakukan diskusi, lalu menetapkan grand design yang nantinya akan
dapat digunakan untuk merancang wilayah tersebut.

Hasil Disain Kelompok I


Dari hasil diskusi Kelompok I dapat disimpulkan bahwa kelompok I
ingin mengidentifikasi penggunaan lahan yang ada di lokasi perencanaan.
Setelah itu, mereka merencanakan sisa kawasan hutan mangrove yang
masih ada sebagai tempat wisata yang bernuansa alam bagi masyarakat
Kota Tidore Kepulauan. Di lokasi bakau mereka menginginkan adanya
jembatan dan jalan-jalan yang bisa digunakan untuk menyusuri kawasan
tersebut, serta taman bermain anak-anak. Dengan demikian, anak-anak bisa

76
Perencanaan RTNH dengan Metode Participatory Planning Maria Christina Endarwati

bermain sambil belajar apa manfaat hutan mangrove, sehingga mereka bisa
turut menjaga kelestarian hutan bakau.

Gambar 5.
Hasil Desain Kelompok I

Hasil Desain Kelompok II


Hasil dari Kelompok II merekomendasikan desain kawasan hutan
mangrove dapat digunakan sebagai mangrove beach resort, sehingga
diharapkan dapat menambah penghasilan daerah, dalam hal ini Pemerintah
Kota Tidore Kepulauan, dan juga dapat memberikan peluang kerja kepada
masyarakat sekitar lokasi perencanaan. Dengan demikian, konsep yang
ditawarkan adalah adanya cottage yang berupa tempat istirahat dan juga
gazebo, jogging track, jalan-jalan dari material yang bersahabat dengan
alam, sehingga tidak merusak fungsi dan manfaat kawasan hutan mangrove
tersebut.

Gambar 6.
Hasil Desain Kelompok II

77
Spectra Nomor 17 Volume IX Januari 2011: 69-81

Hasil Desain Kelompok III


Kelompok III merekomendasikan beberapa hal penting di dalam
pelestraian hutan mangrove, yaitu sebagai daerah tangkapan air serta
melindungi wilayah sekitar dari abrasi dan angin. Disamping itu, juga
merekomedasikan harus dibangun suatu garis batas yang jelas, sehingga
tidak tercampur dengan kawasan terbangun agar lebih mudah dalam
perencanaannya. Diharapkan juga ada suatu tambatan perahu dekat lokasi
perencanaan serta tempat untuk memancing buat penduduk setempat.

Gambar 7.
Hasil Desain Kelompok III

Grand Design Pengembangan Kawasan Terbuka Non Hijau


Dari hasil sketsa desain masyarakat tersebut, setelah dilakukan
proses analisis, mediasi, perancangan, dan pengukuran lahan, maka ada
beberapa alternatif grand design sebagaimana yang diinginkan oleh
masyarakat, yaitu sebagai berikut:

RTNH Sebagai Sarana Rekreasi


Kawasan hutan mangrove dijadikan sebagai sarana rekreasi
berwawasan lingkungan (mangrove ecopark). Jalan-jalan setapak yang
berbentuk jembatan-jembatan dirancang melintas di tengah hutan mangrove
hingga ke hutan nipah. Kawasan dilengkapi dengan gazebo (sabua) di
setiap titik yang telah ditentukan, dimana pengunjung yang akan melintas di
kawasan mangrove ecopark ini dapat beristirahat sejenak di gazebo (sabua)
yang telah tersedia.

78
Perencanaan RTNH dengan Metode Participatory Planning Maria Christina Endarwati

Gambar 8.
Grand Design RTNH Sebagai Sarana Rekreasi

RTNH Sebagai Sarana Interaktif Antar Komunitas


Dibangun plaza yang direncanakan sebagai area interaksi bagi
masyarakat sekitar kawasan. Plaza ini dilengkapi dengan area tempat duduk
serta arena bermain dan jogging track

Gambar 9.
Grand Design RTNH Sebagai Sarana Interaksi Antar Komunitas

79
Spectra Nomor 17 Volume IX Januari 2011: 69-81

RTNH Sebagai Pemberi Nilai Tambah Estetika Kota


Posisi lokasi RTNH merupakan etalase bagi Kota Tidore Kepulauan,
dimana wajah Kota Tidore Kepulauan dapat dilihat dari kondisi mangrove ini.
Oleh karena itu, penataan yang sekaligus mengkonservasi kawasan ini
menjadi upaya yang cukup strategis.

Gambar 10.
Grand Design RTNH Sebagai Penambah Estetika Kota

RTNH Sebagai Sarana Pendidikan


Kawasan magrove ini, selain sebagai sarana rekreatif, juga sebagai
sarana pendidikan, dimana masyarakat dapat mengenal jenis-jenis
mangrove yang ada dan kawasan ini.

Gambar 11.
Grand Design RTNH Sebagai Sarana Pendidikan

80
Perencanaan RTNH dengan Metode Participatory Planning Maria Christina Endarwati

KESIMPULAN
Kesimpulan dari FGD bersama masyarakat Kota Tidore Kepulauan
menghasilkan adanya dukungan masyarakat untuk melestarikan hutan
bakau (mangrove) yang ada di wilayah Pantai Tugulufa. Selain itu, mereka
juga mengharapkan agar ide-ide dalam mengembangkan kawasan tersebut
dapat ditampung dalam perencanaan khususnya dalam RTNH Kota Tidore
Kepulauan. Mereka akan bahu membahu menjaga kelestarian bakau dan
menginginkan agar hasil ataupun gagasan mereka dapat dituangkan dalam
perencanaan dan pembangunan kawasan tersebut. Proses partisipasi
masyarakat tersebut diharapkan dapat diterapkan juga untuk wilayah lain,
sehingga masyarakat dapat turut berperanserta membangun dan
merancang wilayahnya sendiri.

Pustaka Acuan
Budirahardjo, Eko. 1998. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Bandung: Penerbit
Alumni.
Carmona, et al. 2003. Public Space Urban Space: The Dimension of Urban Design.
London: Architectural Press.
Darmawan, Edy. 2005. Analisa Ruang Publik: Arsitektur Kota. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen PU. 2009. Penyediaan
Pemanfaatan Ruang terbuka Non Hijau di wilayah kota/Kawasan Perkotaan.
Hakim, Rustam dan Hadi Utomo. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur
Lansekap: Prinsip Unsur dan Aplikasi Desain. Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2005 Tahun 2005 tentang
Pedoman dan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.

81

Anda mungkin juga menyukai