Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Akulturasi sebagai salah satu bentuk proses sosial, erat kaitannya dengan pertemuan dua
kebudayaan atau lebih. Sebagai akibat pertemuan tersebut , maka kedua belah pihak saling
mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka mengalami perubahan bentuk. Para ahli
antropologi sejak lama telah tertarik akan peristiwa terjadinya proses akulturasi, dengan maksud
untuk mengetahui dan memahami sejauh mana dari proses tersebut dapat menyebabkan terjadinya
perubahan baik perubahan sosial maupun budaya.
Purwanto (2000:109-110) menyatakan bahwa ruang lingkup perubahan kebudayaan yang dapat
dikatakan sebagai suatu akulturasi, harus ditandai oleh keterkaitan dari two or more autonomous
cultural system. Perubahan yang bersifat akulturasi, dapat disebabkan sebagai akibat direct
cultural transmissions, dan mungkin juga dapat disebabkan oleh kasus-kasus nono kultural seperti
ekologis, demografis, modifikasi sebagai akibat pergeseran kebudayaan, juga karena
keterlambatan kebudayaan, seperti yang kemudian dilanjutkan dengan internal adjustment setelah
traits atau pola-pola suatu kebudayaan asing yang diterima. Selain itu, suatu akulturasi dapat pula
disebabkan oleh suatu reaksi adaptasi bentuk bentuk kehidupan yang tradisional. Semuanya itu
dapat dilihat sebagai dinamika dalam rangka adaptasi yang selektif terhadap sistem nilai, suatu
proses integrasi dan differensiasi; yaitu sebagai akibat perkembangan generasi, dan faktor
bekerjanya peranan dari determinan dan suatu kepribadian tertentu.
Untuk menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat proses akulturasi dituntut
adanya suatu kearifan, dalam pengertian biarlah proses akulturasi tetap berjalan seiring dengan
perkembangan zaman. Namun agar dalam perubahan sebagai akibat dari proses akulturasi baik
sosial maupun budaya agar tidak tercabut dari akar budaya bangsa perlu adanya suatu pedoman
yang dapat menentukan arah perkembangan kebudayaan bangsa. Untuk negara Indonesia
pedoman untuk menangkal lajunya proses akulturasi sudah tercamtum dalam UUD 1945, yaitu
harus mengacu pada nilai-nilai inti Pancasila sebagai konfigurasi kebudayaan bangsa. Untuk itu
menurut Budhisantoso (1997:136), pengembangan kebudayaan nasional harus mampu
mewujudkan pedoman yang menentukan arah perkembangan kebudayaan bangsa yang memiliki
fungsi integratif dan kerangka acuan dalam kehidupan masyarakat majemuk.

DEFINISI AKULTURASI

Salah satu jenis lain yang memiliki ciri yang khusus dalam rangka kontak kebudayaan, adalah
akulturasi. Definisi akulturasi yang sistematik, pertama kali dikemukakan oleh Redfield, Linton
dan Herskovits (1936) yaitu: Acculturation comprehends these phenomena which result when
groups of individuals having different cultures come into continous firt-hand contact, with
subsequent changes in the original cultural pattens of either or both groups(Purwanto, 2000:104).
Dalam perkembangannya definisi akulturasi tersebut banyak mendapat kritikan para antropolog
pada saat itu, hal ini karena ada beberapa poin menurut mereka sangat sulit untuk ditafsirkan yaitu:
(1) apa sebenarnya pengertian continous firt-hand contact; (2) apa pengertian dari groups of
individuals; (3) bagaimanakah hubungan antara akulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan
dan difusi; (4) bagaimanakah hubungan antara akulturasi dan asimilasi; dan (5) apakah akulturasi
sebagai suatu proses ataukah menunjukkan pada suatu keadaan (a process or a condition)
(Purwanto, 2000:105).
Sebagai ilustrasi sulitnya menafsirkan definisi akulturasi tersebut menurut para antropolog ketika
berhadapan dengan berbagai masalah yang bermunculan, yang mencolok adalah modifikasi
kebudayaan yang muncul sebagai akibat kontak yang berlangsung hanya sebentar-sebentar,
misalnya yang terjadi di kalangan kaum misionaris atau pedagang. Dalam beberapa kasus mereka
ini dapat dianggap sebagai pembawa kebudayaan lain. Sekalipun ada kesulitan untuk dapat
dimasukkan sebagai fenomena akulturasi, agaknya kasus tadi bisa dimasukkan dalam ruang
lingkup studi mengenai perubahan kebudayaan. Kesulitan dalam melihat kasus tadi sama dengan
kesulitan dalam membedakan antara akulturasi dengan difusi. Sekalipun demikian, baik akulturasi
maupun difusi, dapat mewakili suatu perubahan kebudayaan, yaitu sebagai jawaban atas
terjadinya penyebaran (transmision) kebudayaan di kalangan kelompok-kelompok. Dalam
hubungan itu Herskovits (1948) dalam Purwanto (2000:105) bahwa dalam memecahkan masalah
itu, lebih mendasarkan atas pertimbangan bahwa difusi adalah suatu penyebaran kebudayaan yang
telah terjadi to be achieved cultural transmission; sedangkan akulturasi adalah proses penyebaran
kebudayaan is cultural transmission in process.
Dalam salah satu tulisannya Thurnwarld (1932) dalam Purwanto (2000:106), bahkan mengatakan
bahwa akulturasi Acculturation is a process, not an isolated event. Sebagai implikasi dari
pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat individual,
karenanya suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru itulah yang disebut dengan
akulturasi.
Dalam pada itu, istilah akulturasi juga sering digunakan untuk membahas berbagai hal yang
berkaitan dengan penyesuaian individu terhadap suatu budaya yang baru, seperti yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990:91), bahwa akulturasi atau culture contact, mempunyai
berbagai arti diantara para sarjana antropologi, tetapi semua sepakat bahwa konsep itu mengenai
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing ini lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Pendapat Koentjaraningrat tersebut memberi pemahaman bahwa akulturasi merupakan proses
sosial untuk mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur kebudayaan asing ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri. Dalam hal ini
Koentjaraningrat (1990:248) mencontohkan pada sebuah kasus bahwa sejak dahulu kala dalam
sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa di muka
bumi yang menyebabkan pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan
yang berbeda-beda dan sebagai akibatnya individu-individu dalam kebudayaan itu di hadapkan
dengan kebudayaan asing.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa akulturasi diartikan percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi (KUBI, 2001:24). Suyono
(1985:15), menyatakan bahwa akulturasi merupakan pengembilan atau penerimaan satu atau
beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang
saling berhubungan atau bertemu. Sedangkan (Lauer, 1993:403) memberi pengertian akulturasi
adalah meliputi fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok atau individu yang berbeda
kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari
salah satu atau kedua kelompok itu. Dohrenwend dan Smith (1962) menyatakan bahwa individu
lebih terakulturasi dalam menerima norma-norma, dan cepat mengikuti segala aktivitas struktural
pada suatu kebudayaan baru (Tangkudung, 2000:29).
Berbagai pendapat para ahli tersebut menganai akulturasi dapat dipahami bahwa akulturasi lahir
apabila kontak antara dua kebudayaan atau lebih itu berlangsung terus menerus dengan intensitas
yang cukup. Menurut Joyomartono (1991:41), akulturasi sebagai akibat kontak kebudayaan ini
dapat terjadi dalam salah satu kebudayaan pesertanya tetapi dapat pula terjadi di dalam kedua
kebudayaan yang menjadi pesertanya. Akulturasi memiliki makna yang berbeda dengan difusi.
Suatu kebudayaan dapat mengambil anasir kebudayaan lain tanpa terjadinya akulturasi.
Terkait dengan persoalan tingkat intensitas perpaduan dua kebudayaan atau lebih, para ahli
antropologi mengajukan beberapa istilah yaitu: (1) substitusi; (2) sinkretisme; (3) adisi; (4)
dekulturasi; (5) orijinasi; dan (6) penolakan (Haviland, 1988:263).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Haviland tersebut, maka penjabarannya sebagai
berikut:
1. Substitusi, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa unsure atau kompleks
unsure-unsur kebudayaan yang ada sebelumnya diganti dengan unsure-unsur baru yang
memenuhi fungsinya, yang melibatkan perubahan structural dalam tingkat yang lebih
kecil.
2. Sinkretisme, ialah istilah untuk menunjukkan adanya unsur-unsur lama bercampur dengan
yang baru dan membentuk sebuah sistem baru. Dalam hal ini kemungkinan terjadi adanya
perubahan yang berarti.
3. Adisi, yaitu istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana unsure atau
kompleks unsure-unsur baru ditambahkan pada yang lama. Dalam hal ini mungkin terjadi
atau tidak terjadi adanya perubahan struktural.
4. Dekulturasi, ialah istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana
bagian substansi sebuah kebudayaan mungkin hilang.
5. Orijinasi, ialah istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana ada
unsure-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang timbul karena
perubahan situasi.
6. Penolakan, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan kondisi dimana perubahan
mungkin terjadi begiotu cepat, sehingga sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya.
Kondisi semacam ini dapat menimbulkan penolakan total, pemberontakan, atau
kebangkitan.

PENYELIDIKAN AKULTURASI DALAM ANTROPOLOGI


Didalam dunia antropologi, persoalan mengenai proses perubahan kebudayaan merupakan suatu
persoalan pokok sejak zaman lahirnya ilmu ini. Pada mulanya perubahan kebudayaan dianggap
sebagai akibat adanya suatu kekuatan yang terdapat didalam inti dari tiap-tiap kebudayaan di
dunia. Kekuatan yang dimaksud didalam tiap-tiap kebudayaan adalah kekuatan evolusi.
Disamping itu, timbul juga anggapan bahwa proses perubahan kebudayaan itu adalah suatu akibat
adanya suatu gerak persebaran dan perpaduan kembali dari kebudayaan-kebudayaan yang ada
dimuka bumi ini yang dikenal dengan istilah difusi.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah timbul lagi suatu penyelidikan baru yang mengkhususkan
perhatiannya kepada proses-proses yang terjadi apabila ada dua kebudayaan berpadu. Menurut
Koentjaraningrat (1958:439-440) ada tiga alasan timbulnya penyelidikan baru yaitu: (a)
bertambahnya kegiatan field work antropologi yang pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad
ke 20 mulai dilakukan oleh sarjana yang berkahlian itu, memberikan kepada dunia ilmiah suatu
pengertian yang mat penting, ialah pengertian bahwa semua masyarakat dan kebudayaan yang
hidup itu selalu berubah dan tak ada yang bersifat statis; (b) gejala yang dilihat oleh para sarjana
antropologi bahwa banyak karangan etnografi itu tidak cocok dengan kenyataan kehidupan
masyarakat dari bangsa yang terlukis dalam etnografi. Suatu karangan etnografi membukukan
suatu kebudayaan pada suatu saat yang tertentu, sedangkan dalam kenyataan hidup, kebudayaan
berubah terus. Gejala itu telah menambah pengertian para sarjana bahwa semua masyarakat dan
kebudayaan yang hidup selalu berubah dan tak ada yang bersifat statis; (c) para sarjana
antropolpogi melihat bahwa dengan bertambah luas dan intensifnya persebaran pengaruh
kebudayaan Barat ke semua pelosok dimuka bumi iji, mulai pada akhir abad ke 19 dan
permulaan abad ke 20, hampir tidak ada lagi suatu kebudayaan yang asli dan yang terpencil dari
pengaruh kebudayaan Barat.
Kesadaran akan dinamisnya suatu masyarakat dan kebudayaan, sehingga menyebabkan timbulnya
penyelidikan-penyelidikan mengenai proses perubahan dinyatakan dengan tegas oleh seorang
sarjana antreopologi yang terkenal B. Malinowski, yang menyatakan bahwa; A new branch of
anthropology must sooner or later be started: the anthropology of the changing Native. Nowadays,
when we are intensely interested, through the new anthropology theory in the problem of contact
and difusion, it seems incredible that hardly any exhaustive studies have been undertaken on the
question of how European influence is being diffused into native communities (Malinowski,
1929:22-34).
Perubahan masyarakat dan kebudayaan yang merupakan perpaduan antara berbagai kebudayaan,
timbul terutama di negara-negara Eropa yang mempunyai daerah-daerah jajahan atau di negeri
Amerika Serikat yang mempunyai didalam wilayahnya penduduk dari suku-suku bangsa Indian.
Di Inggris misalnya, penyelidikan serupa disebut penyelidikan tentang culture contact di Amerika
lebih banyak dipergunakan sebutan penyelidikan acculturation (Herskovit, 1948:538; Beals,
1953:621-624).
Para sarjana antropologi mulai memperhatikan masalah akulturasi dimulai kira-kira tahun 1910,
dengan melakukan penyelidikan dan melukiskan berbagai proses perubahan-perubahan dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian penduduk asli Amerika
yang disebabkan oleh karena pengaruh kebudayaan orang kulit putih dan juga berbagai suku
bangsa di Afrika, Oceania, Filipina dan Indonesia, akibat pengaruh kebudayaan bangsa-bangsa
Eropa (Keesing,1953:19).
Didalam masa kira-kira setelah tahun 1920, publikasi mengenai akulturasi yang merupakan hasil
penyelidikan yang dilakukan oleh para sarjana antropologi selalu bertambah diantaranya yang
ditulis oleh E.W Gifford, menulis tentang gejala akulturasi pada penduduk kepulauan Tonga di
Polinesia (1924); F.M. Keesing tentang akulturasi pada orang Maori (1928); E.C. Parson tentang
pengaruh kebudayaan Spanyol pada kebudayaan orang Indian di Arizona (1928); R. Redfield
tentang pengaruh kebudayaan Spanyol kepada kebudayaan suku-suku bangsa penduduk asli
Mexico (1929); M. Hunter tentang ketegangan-ketegangan dalam masyarakat suku bangsa Pondo
di Afrika Selatan karena tekanan penjajahan dan pengaruh kebudayaan bangsa Inggris (1936);
D.N. Majumdar tentang pengaruh kebudayaan orang Eropa terhadap kehidupan masyarakat asli
di India (1937); Sol Tax tentang soal akulturasi pada penduduk asli dinegara Guatemala (1937);
H.I. Hogbin tentang soal akulturasi pada penduduk asli kepulauan Solomon di Melanesia (1939)
(Koentjaraningrat, 1958:441).
Karangan-karangan para sarjana antropologi tersebut, menurut Koentjaraningrat (1958:441-442)
selain bersifat deskriptif juga ada yang bersifat teoritis. Namun kebanyakan dari karangan
tersebut sebagian besar dalam bentuk deskriptif yang hanya melukiskan satu peristiwa akulturasi
yang konkrit pada satu atau beberapa kebudayaan tertentu yang sedang mendapat pengaruh
kebudayaan lain. Di dalam karangan itu, hal-hal yang dilukiskan antara lain bagaimanakah dan
didalam keadaan apakah sesuatu kebudayaan asli itu dimasuki pengaruh kebudayaan asing;
apakah unsur-unsur kebudayaan asing yang diambil oleh kebudayaan asli dan unsur-unsur
kebudayaan asing apakah yang ditolak; melalui saluran apakah dan pelapisan apakah dalam
masyarakat asli masuk unsur kebudayaan asing; bagaimana reaksi, sikap dan perasaan para
individu pendukung kebudayaan asli terhadap unsur kebudayaan asing; bagaimanakah masyarakat
asli dapat menyesuaikan dan mengasimilasikan unsur-unsur kebudayaan asing tersebut.
Sementara itu, karangan-karangan tentang akulturasi yang bersifat teoritis, artinya karangan-
karangan yang mengabstraksikan dari banyak peristiwa-peristiwa akulturasi beberapa paham
umum mengenai akulturasi. Menurut Koentjaraninggart, karangan-karangan akulturasi secara
abstrak sudah ada sejak tahun 1910 walaupun belum mempunyai dasar yang kuat, misalnya
karangan G. Sergi (1911) tentang pengaruh yang berbeda-beda kekuatannya dari suatu
kebudayaan asing pada berbagai adapt-istiadat dalam suatu kebudayaan asli, karangan O.L. Triggs
(1912) tentang runtuhnya kebudayaan asli yang kena pengaruh kebudayaan asing, kemudian
karangan R.R. Marett (1918) tentang alam pikiran suatu bangsa asli yang kena pengaruh
kebudayaan asing. (Koentjaraningrat (1958:442).
MASALAH POKOK KAJIAN AKULTURASI

Menurut Koentjaraningrat (1958:449-450), bahwa untuk mengkaji proses akulturasi dapat


menggunakan pendekatan lima prinsip, yaitu:
1. Principle of integration atau prinsip integrasi yaitu suatu proses dimana unsur-unsur
yang saling berbeda dari kebudayaan mencapai keselarasan dalam kehidupan masyarakat;
2. Principle of function atau prinsip fungsi, yaitu unsur-unsur yang tidak akan mudah hilang,
apabila unsur-unsur itu mempunyai fungsi yang penting dalam masyarakat;
3. Principle of early learning, sebagai prinsip yang terpenting dalam proses akulturasi, yang
menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang dipelajari paling dahulu, pada saat si
individu pendukung kebudayaan masih kecil, akan paling sukar diganti oleh unsur
kebudayaan asing;
4. Principle of utility, yaitu suatu unsur baru yang mudah diterima, bila unsur itu mempunyai
guna yang besar bagi masyarakat;
5. Principle of concretness atau prinsip sifat konkrit yaitu unsur-unsur konkrit lebih mudah
hilang diganti dengan unsur-unsur asing, terutama unsur-unsur kebudayaan jasmani,
benda, alat-alat dan sebagainya.
Dalam ilmu antropologi, terutama yang membahas masalah akulturasi, berbagai hal yang
berkaitan dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih, sejak lama telah diocoba untuk
dirumuskan. Selain membahas masalah metode untuk mengobservasi, mencatat dan
mendeskripsikan suatu proses akulturasi. Ada empat masalah pokok yang berkaitan dengan kajian
akulturasi yaitu:
1. unsur-unsur kebudayaan asing apakah yang mudah diterima atau sukar diterima;
2. unsur-unsur kebudayaan apakah yang mudah diganti atau diubah oleh kebudayaan asing;
3. individu-individu manakah yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing, atau
sebaliknya;
4. berbagai ketegangan dan krisis sosial sebagai akibat terjadinya akulturasi (Purwanto,
2000:186).
Menurut Purwanto (2000:187), berbagai unsur kebudayaan asing yang konkret sifatnya,
cenderung mudah diterima, misalnya beraneka jenis peralatan yang cara pemakaiannya mudah
dipraktekkan. Demikian pula halnya dengan unsure-unsur kebudayaan asing yang ternyata
memiliki manfaat besar pada kebudayaan penerima, seperti sepeda untuk mempercepat perjalanan
atau membantu mengangkut hasil bumi. Unsur-unsur kebudayaan yang memiliki fungsi terjaring
luas dalam suatu masyarakat, biasanya sangat sukar digantikan oleh unsure-unsur kebudayaan
asing, misalnya system kekarabatan. Demikian pula berbagai unsur-unsur kebudayaan yang telah
dipelajari seseorang pada awal sosialisasinya, akan sukar digantikan oleh unsure-unsur
kebudayaan asing, misalnya kebiasaan makan nasi akan sukar digantikan dengan makan roti.
Begitupula dengan unsure-unsur kebudayaan yang berkaitan dengan, termasuk berbagai jenis
upacara adat.
Dalam proses akulturasi, ada berbagai alasan berkaitan dengan siapakah individu-individu yang
cepat atau lambat menerima akulturasi. Menurut Purwanto (2000:187), tidak selalu sepenuhnya
tepat bahwa orang muda lebih responsive daripada orang tua. Cepat atau lambatnya seseorang
menerima unsur-unsur kebudayaan lain, seyogyanya bukan hanya dikaitkan dengan jenis unsur-
unsur kebudayaan asing, tetapi juga berbagai latar belakang yang melingkari diri seseorang dan
kepentingan apa yang terkait.
Akhir-akhir ini, perkembangan yang pesat terhadap studi akulturasi, telah menyebabkan pesatnya
perkembangan ruang lingkup dan metedologi. Bahkan menurut Koentjaraningrat (1958:446),
bahwa penyelidikan terhadap akulturasi telah menghasilkan berbagai kajian ilmiah terutama: (a)
masalah tentang metode-metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan aktivitet-
aktivitet dari suatu masyarakat yang sedang mengalami suatu proses akulturasi; (b) masalah
mengenai proses-proses adaptasi dan asimilasi unsur-unsur kebudayaan asing, yang menyebabkan
tumbuhnya teori-teori yang mencoba menerangkan unsur-unsur asing apakah yang sukar dan
unsur-unsur asing apakah yang mudah masuk diasimilasikan ke dalam kebudayaan yang asli, dan
sebaliknya teori-teori yang mencoba menerangkan unsur-unsur asli apakah yang sukar diganti dan
unsur-unsur asli apakah yang mudah diganti oleh unsur-unsur kebudayaan asing; (c) masalah
mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial sebagai akibat akulturasi yang
menyebabkan timbulnya teori-teori tentang terjadinya dan latar belakang dari gerakan-gerakan
taja adil; (d) masalah mengenai peranan individu dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami
proses akulturasi yang menyebabkan timbulnya teori-teori yang menerangkan alam jiwa dari para
individu dalam suatu masyarakat serupa itu.
Masalah tentang ruang lingkup dan metode antara lain juga dikemukakan oleh Hunter-Wilson
(1935), menganjurkan metode membandingkan golongan-golongan tertentu yang merupakan
bagian dari suatu bangsa dan yang semuanya telah mendapat pengaruh kebudayaan asing. G.
Wagner (1936), menekan bahwa suatu lukisan tentang suatu proses akulturasi yang sedang
dialami oleh suatu bangsa adalah tidak lain suatu lukisan historis tentang suatu bagian kecil dari
sejarah bangsa tersebut. Fortes juga menganjurkan suatu cara penyelidikan dengan langsung dapat
memberikan pengertian tentang proses akulturasi yang terjadi dalam suatu masyarakat. Cara itu
disebut metode repeated observations at interval, mewajibkan penyelidik mendatangi suatu
masyarakat yang sedang mengalami pengaruh kebudayaan asing beberapa kali dengan waktu
antara beberapa tahun. Sedangkan Malinowski (1945), menggunakan three-colum method yaitu
mengklasifikasikan semua bahan keterangan sesuatu proses perubahan kebudayaan ke dalam tiga
kolom yaitu pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing, perpaduan kedua bentuk kebudayaan dan
akibat serta bentuk-bentuk baru yang menjelma (Koentjaraningrat, 1958:448).
Lebih lanjut Koentjaraningrat (1958:449) menjelaskan bahwa proses penerimaan unsur
kebudayaan asing dalam suatu masyarakat ada yang mudah diterima dan ada juga yang sukar
untuk diterima. Dalam hubungan ini Parson (1936:511) menjelaskan bahwa Why have these
traits survived, why have other traits which we have reason to suppose were once a part of
Zapotecan cultur not survived, and why have features or aspects of which we think as
distrinctively Spanish traits not been adopted into the culture.
Akulturasi itu sendiri merupakan proses sosial yang terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat
dengan suatu kebudayaan tertentu, dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan asing yang berbeda
sifatnya. Unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasi dan diintegrasikan ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat,
1990:91). Menurut Soekanto (1990:360), apabila pengaruh dari masyarakat lain diterima tidak
karena paksaan maka hasilnya dinamakan demonstration effect. Proses penerimaan kebudayaan
asing di dalam antropologi budaya disebut akulturasi. Jalan yang dilalui akulturasi menurut
Soekanto, (1990:367-368), dapat dibedakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga
kemasyarakatan dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat. Meskipun ia sendiri
menyatakan bahwa lembagalah suatu waktu mendapat penilaian tertinggi menjadi saluran utama.
Foster (dalam Koentjaraningrat, 1990:100-102) mengatakan bahwa proses akulturasi suatu
kebudayaan terhadap kebudayaan asing sebagai berikut: (1) hampir semua proses akulturasi
dimulai dari golongan atas yang biasanya tinggal di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan
yang lebih rendah di daerah pedesaan. Proses ini biasanya terjadi dengan perubahan sosial dan
ekonomi; (2) perubahan dalam sektor-sektor ekonomi hampir selalu menyebabkan perubahn yang
penting dalam asas-asas kehidupan kekarabatan; (3) penanaman tanaman untuk eksport dan
perkembangan ekonomi uang merusak pola-pola gotong royong tradisional, dan karena itu
berkembanglah sistem pengerahan tenaga kerja yang baru; (4) perkembangan sistem ekonomi
uang juga menyebabkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan makan, dengan segala akibatnya
dalam aspek gizi, ekonomi maupun sosial; (5) proses akulturasi yang berkembang cepat
menyebabkan berbagai pergeseran sosial yang tidak seragam dalam semua unsur dan sektor
masyarakat, sehingga terjadi keretakan masyarakat; (6) gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat
dianggap sebagai salah satu tahap dalam proses akulturasi.
Untuk mengkaji proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan asing dapat mengunakan pendekatan
lima prinsip, yaitu: (1) berdasarkan teori yang dikemukakan oleh E.C. Parson (1936), yaitu
principle of integration atau prinsip integrasi, yang kemudian dianut oleh A.L Krober (1948),
yang mengemukakan suatu unsur kebudayaan asli tak mudah dapat diganti, apabila unsur itu telah
diintegrasikan, seolah-olah menjadi satu di dalam suatu sistem; (2) Robert K. Merton (1949),
mengungkapkan bahwa suatu unsur itu tak akan mudah hilang, apabila unsur itu mempunyai
fungsi penting di dalam masyarakat. Teorinya berdasarkan principle of function atau prinsip
fungsi sebagai prinsip terpenting di dalam proses akulturasi; (3) selanjutnya yang berdasarkan
principle of early learning, dengan anggapan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang dipelajari
paling dahulu, di dalam masa si individu pendukung kebudayaan itu masih berumur anak-anak,
akan paling sukar diganti oleh unsur-unsur kebudayaan asing, yang dianut antara lain oleh E.M
Brunner, M. Sapiro, M.J. Herskovits; (4) ada pula yang beranggapan bahwa suatu unsur asli akan
sukar hilang, atau suatu unsur baru akan mudah diterima, apabila unsur-unsur-unsur itu
mempunyai guna yang besar bagi masyarakat. Teori ini berdasarkan prinsip guna atau principle
of utility, dianut oleh hampir semua sarjana; (5) ada pula yang beranggapan bahwa unsur-unsur
yang konkrit itu lebih mudah hilang diganti dengan unsur-unsur asing terutama unsur-unsur
jasmani, benda-benda, alat-alat dan sebagainya. Teori ini di dasarkan principle of concreteness
atau prinsip sifat konkrit, dianut oleh hampir semua sarjana (Koentjaraningrat, 1958:459-450).
Kajian-kajian teori akulturasi akhir-akhhir ini, perkembangannya pesat telah menyebabkan
pesatnya perkembangan ruang lingkup dan metodelogi. Kajiannya dijadikan dasar pengungkapan
fenomena hubungan-hubungan sosial, tidak hanya terbatas antar ras, bangsa dan negara tetapi juga
antar kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal dalam suatu lingkungan atau daerah yang
sama. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lauer (1993:403); Sapardi (1991:20), yang
menyatakan bahwa pada dasarnya akulturasi merupakan fenomena yang dihasilkan sejak kedua
kelompok atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti
perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau kedua kelompok itu.

PENELITIAN MASALAH AKULTURASI

Penelitian akulturasi yang dilakukan oleh semua ahli antropologi di masa lalu, biasanya dilakukan
berdasarkan suatu kerangka kerja yang hampir sama, baik di negara-negara persemakmuran, di
Amerika Serikat maupun di Amerika Latin. Kecuali di Inggris kajian tentang akulturasi lebih
dikenal dengan studi mengenai kontak-kontak kebudayaan (cultur contact) (Purwanto,2000:102).
Perhatian terhadap studi akulturasi baik di Amerika bermula dari reaksi terhadap suatu upaya
rekontruksi memory cultur. Sementara itu di Inggris, minat terhadap fenomena kontak-kontak
kebudayaan, banyak dilakukan oleh para fungsionalisme, tetapi umumnya bermula dari reaksi
terhadap studi tentang memory culture Lebih lanjut di jelaskan oleh Purwanto (2000:103)
bahwa rasa tertarik untuk mengkaji kontak-kontak kebudayaan disebabkan oleh: (a) urgensi
aplikasi praktis dari ilmu antropologi di daerah jajahan; (b) sebagai bagian dari reaksi akan
keterbatasan akan pendekatan fungsionalisme.
Dalam pada itu, menurut Purwanto (2000:103) adanya perbedaan dalam kajian terhadap studi
akulturasi, agaknya kegunaan studi akulturasi di Inggris, Perancis dan Belanda lebih ditujukan
guna memecahkan masalah-masalah praktis di daerah jajahan, sedangkan di Amerika,
perkembangan pesat dari studi akulturasi lebih berkaitan dengan berbagai masalah sosial yang
timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi (malaise). Lebih lanjut menurut Purwanto
(2000:104) di Amerika, akulturasi sebagai lapangan studi displin antropologi dapat dikatakan
masih relatif baru, yaitu dalam pertemuan tahunan di American Anthropological Association
tahun 1936 yang membuahkan Memorandum for the Study of Acculturation yang dieditor oleh
Robert Redfield, Ralph Linton dan Melville J. herskovits.
Persoalan-persoalan terpenting yang termuat dalam memorandum tersebut antara lain
(Koentjaraningrat, 1958:444) tentang:
1. Pembatasan dari lapangan penyelidikan akulturasi dan soal defenisi dari faham
akulturasi
2. Metode-metode untuk mengumpulkan bahan tentang suatu proses akulturasi
3. Proses akulturasi yang harus diperhatikan oleh seorang penyelidik dalam menganalisa
hal-hal seperti masalah sub daerah khusus dalam daerah dari suatu kebudayaan asli
terutama yang mendapat pengaruh kebudayaan asing; lapisan masyarakat khusus dalam
masyarakat dari suatu kebudayaan asli yang terutama mendapat pengaruh kebudayaan
asing; hubungan persahabatan, permusuhan, penjajahan atau lain antara bangsa yang
saling berpadu kebudayaannya; seleksi dari unsur-unsur dalam suatu pengaruh
kebudayaan asli yang tak dapat diganti dengan unsur-unsur baru dari kebudayaan asing;
proses penerimaan dari unsur-unsur kebudayaan asing oleh kebudayaan asli.
4. Peranan individu dalam suatu proses akulturasi, artinya mengenai sijap, cara berpikir,
perasaan dari individu yang hidup dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami
suatu akulturasi
5. Akibat dari sesuatu peristiwa akulturasi pada sesuatu masyarakat, terutama mengenai
reaksi dari seluruh bagian-bagian masyarakat terhadap peristiwa akulturasi yang sedang
dialami.
Masalah mengenai ketegangan dan krisis-krisis sosial sebagai akibat akulturasi, antara lain dianut
oleh W.H.R. River (dalam Koentjaraningrat, 1958:451), tentang berkurangnya penduduk
Kepulauan Melanesia yang sedang mengalami krisis masyarakat sebagai akibat akulturasi.
Demikian juga sarjana Amerika, telah sadar akan adanya krisis-krisis sosial dalam kehidupan
suku-suku bangsa Indian di Amerika. Di Amerika penyelidikan-penyelidikan terhadap akulturasi
ditinjau dari sudut culture and personality, ini, menurut Koentjaraningrat (1958:451) dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu:
1. Penyelidikan-penyelidikan yang hendak mengetahui apakah sebabnya didalam suatu
masyarakat itu ada individu-individu yang kolot, yang tak suka menerima unsure-unsur
kebudayaan asing, sedangkan ada individu-individu yang maju yang cepat menerima
unsure-unsur kebudayaan asing.
2. Penyelidikan-penyelidikan yang hendak menyelidiki apakah yang menyebabkan
perbedaan-perbedaan diantara isi alam jiwa dari pada individu-individu yang termasuk
golongan kolot, dengan isi alam jiwa dari pada individu-individu yang termasuk golongan
maju.
Beberapa contoh penyelidikan akulturasi yang dipandang dari sudut individu yang termasuk
golongan pertama adalah yang dilakukan oleh E.Z.Vogt (1951) dalam Koentjaraningrat
(1958:452) yang menyelidiki 12 orang bekas pejuang didalam tentara Amerika Serikat yang
merupakan anggota suku bangsa Navaho dari Negara New Mexico. Dari ke 12 orang tersebut ada
beberapa yang telah kembali hidup seperti dahulu sebagai pengembala domba, dan ada beberapa
yang hidup tak teratur dan seolah-olah tak dapat kembali lagi kedalam kehidupan masyarakat, dan
ada beberapa yang telah meninggalkan masyarakat Navaho dan hidup mendapat pekerjaan
ditengah-tengah masyarakat orang Amerika kulit putih. Objek dari penyelidikan Vogt, adalah
ke 12 orang individu Navaho tersebut, semua mempunyai latar belakang yang sama, semua masuk
tentara pada masa yang yang sama dan semua juga keluar dari tentara sesudah perang pada masa
yang sama. Objek itu diselidiki dengan tiga metode yaitu metode life-history approach, metode
pengujian isi alam jiwa dengan Rorschact test, dan metode pengujian isi alan jiwa dengan
thematic apperception test.
Hasil yang diperoleh atas penyelidikan tersebut Vogt berkesimpulan bahwa sikap berbeda-beda
dari ke 12 orang Navaho tersebut disebabkan karena isi jiwa dan tabiat yang berlainan. Mereka
yang dahulu dalam masyarakat Navaho dapat mengalami suatu kepuasan hidup, datang kembali
dan hidup secara adat Navaho kolot; mereka yang dahulu dalam masyarakat Navaho mengalami
berbagai ketegangan dan rasa tak puas dan yang disamping itu dapat mudah mempelajari ara-cara
hidup baru orang Barat, akhirnya mereka yang dahulu didalam masyarakat Navaho mengalami
berbagai ketegangan dan rasa tak puas, tetapi yang tak mudah dapat mempelajari hal-hal baru,
mereka itulah yang sekarang sebagai bekas pejuang mengalami kehidupan tak teratur.
Contoh dari suatu penyelidikan yang termasuk golongan kedua adalah penyelidikan yang
dilakukan G.D. Spindler (1955) dalam Koentjaraningrat (1958:453) yang mempelajari suatu
sample dari 68 orang anggota suku bangsa Menomini, yang tinggal pada suatu reservation terletak
di daerah antara danau besar Superior dan Michigan di negara Michigan, Amerika Serikat untuk
mempelajari perbedaan-perbedaan diantara isi alan jiwa dari individu-individu yang termasuk
golongan kolot, dengan isi alam jiwa dari individu yang termasuk maju. Suku bangsa Monomini
adalah suatu bangsa yang telah berkenalan dengan kebudayaan Barat sejak 300 tahun yang lalu.
Dalam melakukan penyelidikan tersebut Spindler membagi ke 68 orang Menomini ke dalam lima
golongan berdasarkan 23 unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu antara lain pendidikan, penakaian
bahasa Monomini di dalam rumah tangga.

PENYELIDIKAN MENGENAI AUKULTURASI DI INDONESIA

Penelitian tentang akulturasi dalam masyarakat Indonesia, menurut Koentjaraningrat (1958:454),


pertama kali dilakukan oleh para sarjana Ilmu Filologi dan Ilmu Arkeologi dan dikalangan para
sarjana Antropologi Budaya masalah ini kurang mendapat perhatian, meskipun dalam waktu yang
lama masalah akulturasi mendapat perhatian mereka juga. Adanya perhatian dari para sarjana
Ilmu Filologi dan Arkeologi terhadap soal akulturasi di Indonesia karena mereka tertarik akan
adanya perpaduan antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia dan soal perpaduan
antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Indonesia. Metode yang digunakan dalam
menyelidiki perpaduan berbagai kebudayaan tersebut dilakukan dengan cara menelusuri dari
manuskrip-manuskrip kuno, dari prasasti-prasasti dan hasil-hasil seni bangunan dan seni pahat.
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh ahli Filologi dan ilmu archeology tersebut,
mereka menyimpulkan bahwa: (1) kebudayaan yang sedang ada dalam keadaan berpadu itu lepas
dari individu-individu yang memangkunya; (2) kebudayaan-kebudayaan yang sedang ada dalam
keadaan terpadu itu dari sudut unsure-unsur atau kompleks unsure-unsur yang terlepas
(Keontjaraningrat, 1958:455).
Perhatian terhadap penyelidikan akulturasi di Indonesia, tidak hanya dilakukan oleh para sarjana
Filologi dan ilmu archeology, tetapi juga dilakukan oleh para sarjana hukum adat seperti Snouck
Hugronje dan Van Vollenhoven. Dimana dari hasil penyelidikannya mereka beranggapan bahwa
kebudayaan manusia, masyarakat manusia, sistim hukum adatnya itu selalu berubah. Menurut
Snouck Hugronje dan Van Vollenhoven, dalam perubahan hukum adat tersebut ada beberapa hal
yang perlu dipertanyakan adalah: (1) bagaimanakah proses perubahan hukum adat dapat diketahui
oleh yang berwajib; (2) sampai dimanakah kemungkinan berbagai sistim hukum adat dari berbagai
daerah hukum adat yang berbeda-beda itu, dapat berubah dan berkembang kearah kesatuan dan
bagaimana pihak berwajib dapat dengan sadar mengendali proses perobahan itu
(Koentjaraningrat, 1958:456).
Lebih lanjut dikatakan oleh Van Vollenhopen (dalam Koentjaraningrat, 1958:456) bahwa
perubahan hukum adat yang berbeda-beda itu, dengan unifikasi hukum adat hanya mungkin
dilaksanakan dalam batas-batas satu rechtsbekken. Bahkan menurut B. Ter Haar (dalam
Koentjaraningrat, 1958:455), hakim merupakan tokoh penting didalam perkembangan hukum
adat kearah unifikasi. Didalam memutuskan suatu perkara hakim harus memperhatikan cara
berpikir dan keadaan lingkungan sosial dari persekutuan hokum yang bersangkutan. Dengan
berubahnya keadaan masyarakat maka berubah pula cara hakim memutuskan perkara hukum adat
dalam peradilan.
Perhatian para sarjana antropologi budaya terhadap akulturasi di Indonesia, dibandingkan dengan
sarjana lainnya seperti sarjana filologi, archeology dan hukum adat masih belum begitu
mengembirakan dalam artian dilihat dari jumlah sarjana menggeluti masalah ini hanya beberapa
orang saja itupun hanya dilakukan secara sambil lalu. Salah satu contoh menurut Koentjaranigrat
yang dilakukan oleh N. Adriani yang merupakan sarjana bahasa dan sastra Indonesia yang
menterjemahkan kitab-kitab suci dan kitab gereja agama Nasrani di dalam bahasa-bahasa daerah
di Sulawesio Tengah, termasuklah karangan-karangan tentang kebudayaan-kebudayaan suku-
suku bangsa penduduk Sulawesi Tengah yang ditulisnya dengan sambil lalu dan tidak menjadi
tujuan utama. (Koentjaraningrat, 1958:457).
Karangan tentang akulturasi yang benar-benar ditulis oleh seorang sarjana antropologi budaya
baru muncul pada antara tahun 1925-1929 yang dilakukan oleh B.J.O Schrieke. Dari hasil
penyelidikannya yang dilakukan beliau, dapat menyimpulkan beberapa anggapan teoritis yang
ada padanya yaitu: (1) didalam membicarakan soal-soal akulturasi, beliau tidak mengkhususkan
pada soal-soal perpaduan kebudayaan antara kebudayaan-kebudayaan Indonesia asli dan
kebudayaan orang orang Eropa, tetapi kepada soal-soal perpaduan antara kebudayaan-kebudayaan
pada umumnya; (2) beliau tidak memakai istilah-istilah acculturation atau culture contact tetapi
istilah seperti culture ontleening dan cultuur antwikkeling; (3) beliau sebagai penganut faham
fungsionalisme beranggapan bahwa suatu unsure kebudayaan asing itu hanya diterima oleh
sesuatu kebudayaan asli, apabila unsure itu dapat diolah kedalam suatu unsure asli; (4) didalam
membicarakanpersoalan apakah suatu unsure itu asal dari kebudayaan asli atau dari kebudayaan
asing, terlebih dahulu si penyelidik harus tahu bagaimanakah unsure itu bisa diterima oleh
kebudayaan yang bersangkutan (Koentjaningrat, 1958:458).
Sarjana antroipologi budaya lainnya yang menulis tentang akulturasi di Indonesia antara lain
AC.Kruyt dan A.W. Nieuwenhuis, yang menulis tentang akulturasi kebudayaan pada penduduk
daerah Poso di Sulawesi Tengah dan kebudayaan suku bangsa penduduk penduduk asli
Kalimantan. Disamping itu, sarjana antropologi budaya lain yang juga menulis tentang akulturasi
di Indonesia seperti J.P. Duyvendak pada tahun 1935 yang menulis tentang ethnologi Indonesia.
Perhatian terhadap akulturasi setelah perang dunia kedua semakin besar terutama yang dilakukan
oleh J.Van Baal (1948-1949) dimana beliau beranggapan krisis masyarakat itu disebabkan karena
usaha orang Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan zaman baru (Koentjaraningrat, 1958: 461-
463).
Dari sudut pandang ekonomi tentang akulturasi di Indonesia juga ditulis oleh D.H. Burger (1948-
1950), beliau beranggapan bahwa krisis yang sekarang sedang dialami masyarakat Indonesia itu
sebagai suatu akibat dari suatu perubahan dari susunan perekonomian yang sederhana ke suatu
susunan perekonomian yang kompleks. Perubahan itu menurut Burger (dalam Koentjaraningrat,
1958:463) melalui empat zaman:
1. Zaman pertama, dimulai abad ke 17, hubungan antara masyarakat Jawa dengan orang
Eropa melalui saluran antara Raja-Raja dengan Pedagang Belanda.
2. Zaman kedua, dimulai kira 1800, hubungan antara masyarakat Jawa dengan orang Eropa
berlangsung melalui saluran para Bupati dengan pegaweai-pegawai Belanda.
3. Zaman ketiga, mulai pertengahan abad ke 19, hubungan antara masyarakat Jawa dengan
kebudayaan Eropa berlangsung melalui saluran para Lurah dengan pegawai-pegawai
Belanda.
4. Zaman keempat, mulai abad ke 20, hubungan antara masyarakatJawa dengan kebudayaan
Eropa berlangsung melalui saluran antara rakyat dengan pegawai Belnda.
Sarjana Sosiologi seperti W.F. Wertheim, juga memandang peristiwa akulturasi di Indonesia
sebagai suatu krisis masyarakat yang menimbulkan berbagai persoalan. Untuk memecahkan
persoalan itu, ia menyarankan untuk mencari kembali secara mendalam sejarah dari proses
perkembangan masyarakat Indonesia yang oleh beliau diistilahkan dengan mencari kembali The
social history of Indonesia (Wertheim, 1956:vii).
Kajian tentang akulturasi pada saat ini terutama di Jawa sudah banyak dilakukan oleh para
sarjana, baik dalam dan luar negeri. Salah satu penelitian yang cukup berpengaruh adalah
penelitian yang dilakukan oleh Geertz (1989) pada masyarakat Jawa di Mojokuto. Dari hasil
penelitiannya itu Geertz melahir suatu pandangan sinkretisme dalam kehidupan keagamaan orang
Jawa yang dikembangkannya dalam dikotomi abangan-santri-priyayi untuk melihat pola
hubungan sosio religius masyarakat Jawa. Dalam hubungan itu Poetra (2001:350) mengatakan
bahwa sebagian ahli antropologi menganggap sinkretisme sebagai salah satu dari tiga hasil sebuah
proses akulturasi, yakni: (1) penerimaan (acceptance); (2) penyesuaian (adaptation); (3) reaksi
(reaction).

WUJUD AKULTURASI DAN MEKANISME PERUBAHAN UNSUR-UNSUR


KEBUDAYAAN DI INDONESIA

Wujud akulturasi kebudayaan yang berasal dari luar yang diterima dan dipakai oleh masyarakat
Indonesia antara lain (http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_118/sej106_04.htm) sebagai
berikut:
1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta
yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya
perbendaharaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak
ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu - Budha pada abad 5 - 7 M,
contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk
perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang
ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 - 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan
adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan
huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang
menggunakan huruf Jawa Kuno.

2. Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke
Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme. Dengan
masuknya agama Hindu - Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai
menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha yang berkembang di
Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau
dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Tentu Anda bertanya apa yang dimaksud dengan
Sinkritisme? Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua
kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di
Indonesia, berbeda dengan agama Hindu - Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-
perbedaan tersebut dapat Anda lihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau
Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu
Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India yang merupakan daerah
asalnya .
3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan, misalnyat dalam organisasi
politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh
India. Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang
berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun
temurun. Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang
keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R
Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Pemerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan
ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila
raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan Majapahit, pada waktu
pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan
juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat.

4. Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan
kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama
dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh
misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M. Di samping adanya
pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan
menggunakan Candrasangkala. Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat
dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau
Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna ilang
kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat
tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang
merupakan tahun runtuhnya Majapahit.

5. Peralatan Hidup dan Teknologi


Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan
Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan
candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di
Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang
tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk
untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Kemudian dilihat dari bentuk dasar maupun
fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah
punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang
berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia
sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan
salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk
memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.
Dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang
dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda
yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih. Dengan demikian fungsi
candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan
dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan
fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi
yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa. Sedangkan
candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas
atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia
memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur budaya
India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.

6. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan .
Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar
timbul), gambar timbul pada candi banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan
dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha. Kisah-kisah yang terdapat dalam relief pada candi
peninggal Hindu dan Budha mengemabil cerita asli, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan
oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia.
Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu
berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Dalam pada itu, wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu
ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis
oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan
kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti
aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam
bahasa Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh
punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda yang
disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan
menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu ceritera dalam
seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang
merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang
tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan
wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun
Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah
mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-
tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya
Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam
lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
DAFTAR PUSTAKA

Beals, R. 1953. Acculturation, Antrhropology Today, Chicago: University of Chicago Press.


Budhisantoso, S. 1997. Pembangunan Nasional Indonesia Dengan Berbagai Persoalan Budaya
Dalam Masyarakat Majemuk, Dalam: E.K.M. Masinambow (ed), Koentjaraningrat dan
Antropologi di Indonesia, Jakarta: AAI Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia.
Geertz, Clifford. 1989. Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Jakarta: Grafiti Press.
Herskovits, M.J. 1948. Man and His Works, The Sciences of cultural Anthropology, New York:
Alfred A. Knopf.
Joyomartono, Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat Dalam Pembangunan.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Kesing, Roger M. & Felix M Kesing. 1953. New Perspectives in Cultural Anthropology, New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc/
Koentjaraningrat. 1958. Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan
Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia.-------------------. 1990.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djembatan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia( KUBI). 2001. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI.
Lauer,Robert.H.1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial(Terjemahan), Jakarta: Rineka Cipta.
Malinowski. Bromslaw. K. 1929. A. Scientific Theory of Culture and other Essay, New York:
Oxford University.
Parson, Talcott. 1936. Essays in Sociological Theory, New York: The Free Press.
Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Putra, Heddy Sri Ahimsa 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra,
Yogyakarta: Galang Press.
Sapardi. 1991. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan
Parindu, Jakarta: Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Pressindo.
Soekanto,Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Edisi Baru, Jakarta: Rajawali
Press.
Tangkudung, Joanne. 2000. Adaptasi Etnik Pendatang Terhadap Kebudayaan Sunda Menurut
Ciri-Ciri Sosiografis,Bandung: Tesis Program Pascasarjana Unpad.
Wertheim, W.F. 1956. Indonesian society in transition. A. Studi of social change, Bandung: W.
van Hoeve. IAD.
Wujud Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia,
http://www.edukasi.net/modul_online/MO_118/sej106_04.htm

Anda mungkin juga menyukai