PBL Blok 30 - Emergency Medicine II - Skenario 1
PBL Blok 30 - Emergency Medicine II - Skenario 1
Pemeriksaan forenzik jenazah meliputi pemeriksaan luar jenazah dan pemeriksaan bedah
jenazah yang biasa disebut dengan autopsi. Pemeriksaan luar jenazah merupakan pemeriksaan tanpa
melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenazah. Pemeriksaan harus dilakukan dengan
teiti dan sistematik, serta kemudian dicata secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenazah,
pakaian, benda-benda disekitar jenazah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologi,
gigi-geligi, dan luka atau cidera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar. Sedangkan
pemeriksaan bedah jenazah menyeluruh adalah pemeriksaan dengan membuka rongga tengkorak,
leher, dada, perut dan panggul serta memeriksa setiap dari organ jenazah. Kadang kala dilakukan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologis, toksikologi, serologi
dan sebagainya guna mencari penyebab kematian dari jenazah.1
Selain itu, ada pula pemeriksaan laboratorium forensik sederhana yang biasa dilakukan pada
kebanyakan kasus kejahatan dengan kekerasan fisik, seperti pembunuhan, penganiayaan,
pemerkosaan dan lain-lain. Pemeriksaan ini dilakukan jika ditemukan darah, cairan mani, air liur,
urin, rambut dan jaringan tubuh lain ditempat kejadian pekara (TKP). Bahan-bahan tersebut
mungkin berasa dari korban atau pelaku kejahatan atau dari keduanya, dan dapat digunakan untuk
membantu mengungkapkan peristiwa kejahatan tersebut secara ilmiah.2
Pada skenario, ditemukan bahwa pada wajah mayat terdapat pembengkakan dan memar,
pada punggungnya terdapat beberapa memar berbentuk dua garis sejajar (railway hematome) dan
didaerah paha disekitar kemaluannya terdapat beberapa luka bakar berbentuk bundar berdiameter
kira-kira 1 sentimeter, lalu di ujung penisnya terdapat luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik.
Sementara itu terdapat pula jejas jerat yang melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang
yang membentuk sudut ke atas. Pada pemeriksaan bedah jenazah ditemukan resapan darah yang
luas di kulit kepala, pendarahan tipis di bawah selaput otak, sembab otak besar, tidak terdapat
resapan darah dikulit leher tetapi sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan
gondok sisi kiri, sedikit busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik perdarahan di
permukaan kedua paru dan jantung serta tidak terdapat patah tulang.
Mengenai jajas atau luka-luka akibat segala bentuk kekerasan yang ditemukan pada jenazah
seperti pada kasus diatas akan dijelaskan pada bagian traumatologi forensik. Pada bagian ini akan
lebih dijelaskan mengenai hasil pemeriksaan pada bedah jenazah. Karena ditemukan resapan darah
yang luas di kulit kepala, pendarahan tipis di bawah selaput otak, dan sembab otak besar, diduga
kasus kematian adalah akibat kekerasan, khususnya kekerasan benda tumpul. Untuk itu
pemeriksaan luka harus dapat mengungkapkan berbagai hal, yaitu penyebab luka, arah kekerasan,
cara terjadinya luka, apakah akibat pembunuhan atau bunuh diri, dan hubungan antara luka yang
ditemukan dengan sebab kematian. Lalu, karena ditemukan sedikit busa halus di dalam saluran
napas dan sedikit bintik-bintik perdarahan di permukaan kedua paru dan jantung, diduga kasus
kematian adalah akibat asfiksia mekanik.
Dugaan penyebab asfiksia mekanik yang dapat menjadi kematian pada skenario adalah
pencekikan karena ditemukan resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok
sisi kiri, dan penjeratan atau gantung karena ditemukan sedikit busa halus di dalam saluran napas
dan sedikit bintik-bintik perdarahan di permukaan kedua paru dan jantung.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, salah satunya
penekanan dinding saluran pernapasan akibat dari penjeratan, pencekikan dan gantung. Pada orang
yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 fase, yaitu:3
1. Fase dispnea, yaitu fase dimana terjadi penurunan kadar oksigen sel darah merah dan
penimbunan karbon dioksida dalam plasma yang akan merangsang pusat pernapasan di
medula oblongata sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi
menjadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama
pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi, yaitu fase akibat tingginya kadar karbon dioksida sehingga timbul
rangsangan terhadap susunan saraf pusat dan akibatnya terjadi konvulsi atau kejang yang
mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang klonik dan akhirnya
timbul spasme opistotonik.
3. Fase apnea, yaitu fase dimana sudah terjadi depresi pusat pernapasan yang hebat. Pada fase
ini pernapasan akan melemah dan dapat berhenti yang berakibat pada penurunan kesadaran.
Selain itu akibat relaksasi sfingter daapt terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
4. Fase akhir, yaitu fase terjadinya paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pada fase ini
pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher namun
jantung akan masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi tergantung dari
tingkat penghalangan oksigen. Umumnya berkisar antara 4-5 menit dengan fase 1 dan 2
berlangsung kurang lebih 3-4 manit dan apabila tidak 100% terjadi halangan oksigen maka waktu
kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.3
Pada pemeriksaan luar jenazah yang dapat ditemukan pada kasus asfiksia adalah:3
Sedangkan pada pemeriksaan bedah jenazah, kelainan umum yang dapat ditemukan pada
kematian akibat asfiksia mekanik adalah:3
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer karena fibrinolisin darah yang meningkat pasca
kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium bagian belakang jantung
daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama lobus bawah pars
diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot
temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring langsung atau
tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena
submukosa dengan dinding tipis).
Pada dugaan kematian akibat asfiksia mekanik dapat dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang (laboratorium) umum dugaan kasus asfiksia seperti pemeriksaan darah rutin, analisa gas
darah dan pemeriksaan urin rutin serta pemeriksaan penunjang khusus sesuai tipe asfiksia mekanik
yaitu pemeriksaan histopatologis.
Asfiksia akan timbul di tingkat organ jika terjadi kegagalan proses oksigenasi di tingkat
organ. Pada asfiksia akan terjadi peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dan pH. Bagaimanapun,
jaringan akan tetap mengkonsumsi oksigen dalam darah sampai PaO2 mencapai kadar yang sangat
rendah. Akan terjadi hipoksia jaringan dan metabolism anaerob yang menghasilkan asam laktat.
Keadaan ini dikompensasi dengan mekanisme buffer bikarbonat dalam darah. Gangguan dari
metabolime tampak dari penurunan kadar ATP akibat metabolism anaerob dan peningkatan kadar
laktat akan berakibat kerusakan sel dan jaringan. Kerusakan ini diakibatkan ion hidrogen pada asam
laktat bersifat toksik pada sel dan jaringan.4
Dari analisis gas darah dapat kita ketahui informasi mengenai oksigenasi pada korban
tersebut. Hambatan yang umumnya ditemui dalam melakukan pemeriksaan ini adalah dalam
pengambilan sampel untuk pemeriksaan.4 Pemeriksaan analisis gas darah pada asfiksia didapatkan
peningkatan kadar PaCO2, penurunan pH, PaO2, bikarbonat dan gangguan pada defisit basa. Pada
penelitiah oleh Mohan asfiksia ditetapkan bila kada PaO2 < 50m H2O, PaCO2 > 55 mm H2O, Ph
< 7,3. Sedangkan American Heart Association menetapkan salah satu kriteria terjadinya asfiksia
adalah adanya asidemia yang ditandai dengan kadar pH < 7,3.4
Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan mikroskopis sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi intravitalitas yang
merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini penting untuk membedakan
apakah luka terjadi pada saat seorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi vital yang umum berupa
perdarahan yaitu ekimosis, petekie, dan emboli.2 Gangguan jalan napas pada pembekapan akan
menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan
peningkatan kadar karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat
meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus kematian yang disebabkan karena asfiksia.2
Gambaran mikroskopis parenkim paru adanya sufokasi pada pembekapan dapat diperoleh
antara lain sebagai berikut:5
Gambar 4. Pemeriksaan histopatologis paru pada sufokasi
Pada gambar 4 di atas terdapat hiperinflasi duktus (ov), kolapsnya alveolus (col), dan edema
interstitial (ed). Hiperinflasi duktus yang terjadi akibat emfisiema yang akut merupakan tanda khas
dari sufokasi.5
Sedangkan pada tersedak (choking/gagging), jika benda asing sudah diinhalasi maka partikel
dari benda asing dapat ditemukan menempel pada mukosa dari trachea dan bronkus. Secara
mikroskopis, pada paru akan terlihat edema interalveolar.5
Gambar 5. Pemeriksaan histopatologi paru pada tersedak
Pada gambar 5 di atas terdapat area kongesti (con) dan pelebaran pembuluh kapiler sampai
mendesak lumen alveoli (panah), terdapat juga benda benda asing pada lumen bronkiolus dan
alveoli (kepala panah). Terdapat juga perdarahan septum (panah ganda).5
Daftar Pustaka
1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al. Visum et repertum dalam Ilmu kedokteran
forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1997.
hal.15-6.
2. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al. Pemeriksaan laboratorium forensik
sederhana dalam Ilmu kedokteran forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 1997. hal.177.
3. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al. Kematian akibat asfiksia mekanik dalam
Ilmu kedokteran forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 1997. hal.55-64.
4. Wardhani, AK. Hubungan antara asfiksia sedang dan berat dengan gagal ginjal akut pada
neonatus di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Januari s/d Desember 2007.
Undergraduate thesis, Medical Faculty, 2008. Tersedia di: http://eprints.undip.ac.id/13521/
5. Delmonte, Carlos M.D., Ph.D.; Capelozzi, Vera Luiza M.D., Ph.D. Morphologic
determinants of asphyxia in lungs: a semiquantitative study in forensic autopsies. American
Journal of Forensic Medicine & Pathology: Juni 2011, 22 (2):139-149.