Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Saat ini sektor pertanian adalah salah satu sektor yang mempengaruhi pembangunan nasional.
Pembangunan sektor pertanian menjadi sesuatu yang penting dan strategis. Pembangunan
pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional. Belajar dari
pengalaman masa lalu dan kondisi yang dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian
menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional.

Pada postingan kali ini akan dibahas tentang pengetian swsembada pangan,faktor-faktor
swasembada pangan dan kendala-kendalanya.

PENGERTIAN

Swasembada dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan. Pengan
adalah bahan-bahan makanan yang didalamnya terdapat hasil pertanian,perkebunan dan lain-lain.
Jadi swasembada pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bahan
makanan sendiri tanpa perlu mendatangkan dari pihak luar.

Pencapaian hasil sektor pertanian

Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2007 s/d 2008 mengalami pertumbuhan
yang mengesankan yaitu sekitar 4.41 persen. Selain itu berdasarkan data kemiskinan tahun 2005-
2008, kesejahteraan penduduk perdesaan dan perkotaan membaik secara berkelanjutan. Berbagai
hasil penelitian, menyimpulkan bahwa yang paling besar kontribusinya dalam penurunan jumlah
penduduk miskin adalah pertumbuhan sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian dalam
menurunkan jumlah penduduk miskin mencapai 66%, dengan rincian 74% di perdesaan dan 55%
di perkotaan.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, Nilai tukar petani (NTP) sebagai salah satu
indikator kesejahteraan petani secara konsisten mengalami peningkatan selama periode tahun
2006-2008 dengan pertumbuhan sebesar 2,52 persen per tahun. Dengan kinerja yang kundusif
seperti itu, neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami peningkatan secara konsisten
selama periode 2005-2008 dengan rata-rata pertumbuhan 29,29 persen per tahun.
Selain itu, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian 1,56%/tahun, lebih tinggi dari rata-rata
pertumbuhan total angkatan kerja (1,24%/tahun) dan tenaga kerja non pertanian yang hanya
sekitar 0,98%/tahun. Melihat kondisi tersebut mengakibatkan rata-rata pertumbuhan nilai investasi
sektor pertanian tahun 2005 2007 mencapai 172,8%/tahun, lebih tinggi dibanding sektor lain.

Selama periode 2004-2008 pertumbuhan produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami
peningkatan yang signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta
ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008 (ARAM III), bahkan bila dibanding
produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46%). Pencapaian
angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai selama ini, sehingga
tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi
untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat international,
sebagaimana terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari
2009. Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh Indonesia dalam
mewujudkan ketahan pangan.

Demikian pula produksi jagung meningkat 9,52% per tahun (dari 11,23 juta ton pipilan kering
tahun 2004 menjadi 15,86 juta ton tahun 2008). Bahkan dibanding produksi jagung tahun 2007,
peningkatan produksi jagung tahun 2008 mencapai 19,34% (naik 2,57 juta ton). Pencapaian
produksi jagung tahun 2008 juga merupakan produksi tertinggi yang pernah dicapai selama ini.
Selanjutnya, produksi kedele juga meningkat 2,98% per tahun dari 723 ribu ton biji kering tahun
2004 menjadi 761 juta ton biji kering tahun 2008 (ARAM III).

Peningkatan produksi tanaman pangan yang spektakuler tahun 2008 (terutama padi, jagung, gula,
sawit, karet, kopi, kakao dan daging sapi dan unggas), dapat dijelaskan oleh beberapa faktor.
Pertama, Tingginya motivasi petani/pelaku usaha pertanian utnuk berproduksi karena pengaruh
berbagai kebijakan dan program pemerintah meliputi penetapan harga, pengendalian impor,
subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis, penyediaan modal, akselerasi penerapan inovasi
teknologi, dan penyuluhan.. Kedua, perkembangan harga-harga komoditas pangan di dalam negeri
yang kondusif sebagai refleksi dari perkembangan harga di pasar dunia dan efektifitas kebijakan
pemerintah. Ketiga, kondisi iklim memang sangat kondusif dengan curah hujan yang cukup tinggi
dan musim kemarau relatif pendek.
Untuk komoditas sumber pangan lainnya, produksi gula/tebu juga meningkat 6,76% per tahun dari
2,05 juta ton tahun 2004 menjadi 2,85 juta ton tahun 2008 (ARAM III). Demikian juga untuk
komoditas daging sapi, baik dari segi populasi maupun produksi daging meningkat cukup besar.
Peningkatan populasi ternak mencapai 12,75% (dari 10,5 juta ekor tahun 2004 menjadi 11,87 juta
ekor tahun 2008), sedangkan produksi daging sapi meningkat 3,83% (dari 339,5 ribu ton menjadi
352,4 ribu ton).

Masalah dan Tantangan dalam Pembangunan Pertanian

Tantangan dan permasalahan mendasar pembangunan sektor pertanian berkaitan dengan sarana
prasarana, permodalan, pasar, teknologi, dan kelembagaan petani, yang masih memerlukan
penanganan yang berkelanjutan disamping munculnya persoalan-persoalan baru. Walaupun
dihadapkan pada berbagai permasalahan dan hambatan, sektor pertanian telah mampu
menunjukkan keberhasilan dan perkembangan yang menggembirakan.

Khusus untuk masalah lahan pertanian, rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain
disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir
khususnya di pulau Jawa. Antara tahun 1978 1998, misalnya konversi lahan sawah irigasi adalah
sebesar satu juta ha. Padahal kenyataannya sawah irigasi masih tetap merupakan sumberdaya
lahan yang terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah masih
memberikan kontribusi sebesar sekitar 90 persen sedangkan pangsa produksi berkisar 95 persen.
Bila terjadi penurunan luas sawah irigasi yang tidak terkendali maka akan mengakibatkan
turunnya kapasitas lahan sawah untuk memproduksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi
kualitas jaringan irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut sebagai sawah sulit
dipertahankan. Yang segera akan terjadi adalah alih fungsi lahan sawah tersebut ke penggunaan
lain (pertanian lahan kering ataupun ke peruntukan non pertanian).

Data empiris menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan produksi padi sawah 4,78 persen
(Tahun 2003-2007), dibutuhkan pertumbuhan luas lahan sawah sebesar 2,47 persen. Hal ini
menunjukkan penambahan luas lahan sawah masih sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi
padi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran yang cukup besar dalam pembangunan pertanian, dimana
selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar adalah untuk sarana dan
prasarana (infrastruktur) yaitu 10,5 persen dan yang kedua adalah bantuan permodalan sebesar 8,5
persen. Urutan berikutnya adalah penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), dan
pendidikan dan latihan (1,3%).

Tidak hanya dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam kebijakan insentif harga juga dilakukan
seperti pada kebijakan insentif harga yang dapat dilihat dari peninjauan HPP setiap tahun. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan HPP gabah sebesar 10% akan mendorong
peningkatan harga beras sebesar 8,1%. Peningkatan harga beras 10% akan meningkatkan jumlah
penduduk miskin sebesar 1%. Peningkatan harga beras 10% meningkatkan inflasi 0,52%. Inilah
tantangan secara makro dalam perekonomian nasional bagaimana disatu sisi dapat meningkatkan
harga untuk kepentingan petani namun dipihak lain ada sebagian masyarakat merasa dirugikan.
Walaupun demikian keberhasilan pembangunan pertanian bisa mengakibatkan jumlah rumah
tangga petani khususnya rumah tangga petani padi dan palawija meningkat sebesar 4,06 persen.

Kebijakan Pangan dari Masa ke Masa

Setelah satu abad, teori Malthus akhirnya terbantahkan. Malthus memprediksi akan terjadinya
kelaparan karena tidak seimbangnya kemampuan lahan untuk pangan dengan pertambahan
penduduk. Karena pesatnya ilmu pengetahuan, kemudian terjadilah revolusi hijau (green
revolution). Revolusi hijau dimulai dengan penemuan persilangan jenis gandum yang responsif
terhadap pupuk yang kemudian disilangkan dengan varietas asal Jepang, dihasilkanlah tanaman
pangan yang dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Rekayasa genetika ini dipelopori oleh
pemenang hadiah nobel bidang pangan dari AS, Borlaug. Pengembangan rekayasa genetika yang
memberi manfaat ini kemudian banyak disebarluaskan di berbagai belahan dunia, seperti di India,
Pakistan, Meksiko maupun beberapa belahan dunia lainnya.

Selanjutnya awal 60-an, IRRI (International Rice Research Institute) sebagai lembaga riset dan
penelitian beras mengembangkan rekayasa genetika dengan mengembangkan padi ajaib, di
mana ditemukan padi dengan umur pendek dan jumlah produksi relatif besar. Itulah yang kita
kenal IR 5 dan IR 8. Inilah tonggak revolusi hijau di tahun 60-70-an. Dengan penemuan semacam
ini, prediksi bencana kelaparan dapat diminimalisasi.

Di era Orde Baru, pada saat pemerintah bercita-cita mewujudkan swasembada pangan,
pengembangan rekayasa genetika sungguh sangat membantu untuk mewujudkannya.
Pada masa penjajahan Belanda dulu, bidang pertanian banyak dikembangkan untuk kepentingan
pemerintah penjajah dengan menerapkan metode tanam paksa. Banyak hasil pertanian yang
favorit dan legendaris di pasaran internasional, seperti rempah-rempah, tembakau, kopi, tebu, dan
lain-lain. Di masa penjajahan Jepang, dengan metode kerja rodi, Jepang memaksa para petani
menanam berbagai hasil pertanian untuk kepentingan mereka, seperti beras, jagung, dan pohon
jarak sebagai bahan bakar.

Di awal kemerdekaan, pembangunan pertanian dipengaruhi semangat nasionalisme dan untuk


mencukupi seluruh kebutuhan rakyat, terutama kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, kedelai,
ketela, kacang tanah, dan kebutuhan akan ikan serta daging. Masih di era ekonomi Soekarno tahun
60-an, pendekatan perencanaan pembangunan mulai dicanangkan seperti intensifikasi,
ekstensifikasi untuk mendukung memenuhi kebutuhan pangan nasional. Walaupun dalam jangka
pendek pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan secara penuh, bahkan terjadi
lonjakan inflasi yang cukup tinggi.

Di masa Orde Baru, dengan anggaran APBN cukup besar yang melanjutkan program intensifikasi
dan ekstensifikasi dengan semangat swasembada pangan, akhirnya secara umum tercapai.
Program pengembangan infrastruktur begitu intensif seperti pembangunan irigasi, waduk dan
bendungan, pabrik pupuk di mana-mana dan berdiri berbagai lembaga penelitian pangan. Kita
masih ingat pemberdayaan petani cukup dominan, seperti kelompencapir, sebagai media
penyambung antara program pemerintah dengan petani. Banyak program lain yang dijalankan,
seperti kredit untuk tani, subsidi pupuk, benih dan lain-lain. Hal itu didukung program
transmigrasi serta pemanfaatan lahan tidur yang disulap sebagai lahan pertanian. Terlepas dari
dampak negatif program-program tersebut, tetapi kebutuhan akan bahan pokok makan terpenuhi.
Tentu program ini berhasil, walaupun nasib dan derajat petani belum sepenuhnya terangkat.

Pada era reformasi sekarang ini, pembangunan pertanian terbawa arus eforia dan warna sosial
politik. Ada kecenderungan kebijakan pemerintah di bidang swasembada pangan mulai terabaikan.
Terbukti pada awal reformasi sampai sekarang ini anggaran di sektor pertanian tidak terlalu besar.
Untuk APBN terakhir hanya sebesar Rp 9 triliun. Disamping itu ada indikasi karena hiruk
pikuknya kebijakan desentralisasi sehingga program swasembada pangan justru terabaikan. Isu-isu
lainnya juga membuat kebijakan ini tidak optimal, karena alasan partisipasi rakyat serta
mekanisme pasar sudah berjalan, artinya petani sudah menyadari mana komoditas yang
menguntungkan maka mereka akan menanamnya. Ada permintaan tinggi maka mereka secara
otomatis akan memenuhi supply-nya. Tetapi kenyataannya berbeda, petani Indonesia masih perlu
dibimbing yang sejalan dengan program pemerintah.

Kalau kita cermati selama ini, kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil terkait dengan
berbagai isu lonjakan harga komoditi pangan sungguh membingungkan. Kebijakan pemerintah
yang ditempuh selama ini cenderung hanya responsif yang mempunyai implikasi jangka pendek,
padahal permasalahannya menyangkut jangka panjang. Kita ambil contoh kebijakan mengenai
minyak goreng tahun lalu, pemerintah kemudian tergopoh-gopoh dengan menaikkan pungutan
ekspor crude palm oil (CPO). Kebijakan ini akhirnya tidak juga efektif, sampai akhirnya
pemerintah merelakan merogoh kocek anggarannya dengan mengambil kebijakan klasik berupa
subsidi minyak goreng, sebagai pro poor. Alangkah sederhananya menyetel sebuah paket
kebijakan yang kelihatan grabak-grubuk itu. Padahal permasalahannya tidak sesederhana itu.
Akhirnya kebijakan ini tidak tuntas. Kita yakin suatu saat permasalahan ini akan muncul kembali.
Dan, instrumen klasik seperti subsidi digunakan lagi sebagai senjata pamungkasnya, sehingga
beban anggaran juga semakin berat. Sekarang pemerintah disibukkan lagi dengan melonjaknya
berbagai harga komoditas pangan kita, termasuk harga kedelai. Kita berharap kebijakan
pemerintah yang diambil akan tuntas. Tidak hanya kebijakan jangka pendek, tetapi semestinya
pemerintah mengambil kebijakan yang lebih permanen dan menyeluruh. Karena secara jangka
panjang kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring kesadaran masyarakat untuk hidup sehat.
Jadi, swasembada pangan selalu menjadi prioritas. Jangan sampai pemerintah seolah gengsi untuk
melanjutkan kebijakan pemerintah Orde Baru, apalagi kebijakan-kebijakan Orde Baru tidak selalu
jelek.

Sudah saatnya pemerintah memikirkan sektor pertanian, perkebunan dan peternakan, sektor yang
dianggap tidak penting di era reformasi. Untuk itu, perlu kebijakan serupa insentif perbankan,
perbaikan infrastruktur pertanian dan lain-lain, yang mendorong kaum muda terlibat dan bersama-
sama menuju cita-cita swasembada pangan.

Swasembada Terkendala Ketersediaan Lahan

Masalah ketersediaan lahan menjadi kendala utama pencapaian swasembada pangan.Menteri


Pertanian Suswono mengatakan, upaya pencapaian swasembada pangan, khususnya untuk
produksi padi, jagung, kedelai, dan gula, masih menghadapi sejumlah kendala, salah satunya
terkait masalah keterbatasan lahan pertanian di dalam negeri.

Untuk mencapai swasembada pangan berkelanjutan, pemerintah menetapkan peningkatan


produksi jagung sebesar 10 persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula
17,56 persen, dan beras 3,2 persen per tahun. Untuk mencapai target ini, diperlukan peningkatan
areal pertanaman, seperti untuk swasembada gula, dibutuhkan lahan tambahan seluas 350.000
hektare (ha) dan kedelai dibutuhkan lahan seluas 500.000 ha. Tapi, ada kendala. Hingga saat ini
pun belum ada kepastian soal lahan, ujarnya.

Kondisi ini menjadikan satu lahan pertanian terpaksa dimanfaatkan untuk menanam berbagai
komoditas tanaman pangan secara bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan
dilematis dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman. Jika menggenjot produksi kedelai,
misalnya, maka produksi jagung akan turun. Ini karena lahan yang ada dimanfaatkan untuk
kedelai dansebaliknya Selama ini kedua komoditas itu ditanam secara bergantian.Sebenarnya
Badan Pertanahan Nasional telah menjanjikan lahan 2 juta ha dari total lahan yang telantar 7,3 juta
ha untuk areal penanaman pangan. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan tersebut

Lebih jauh Suswono menjelaskan, kendala lain yang dihadapi dalam pencapaian swasembada
pangan terkait masih tingginya alih fungsi (konversi! lahan pertanian ke nonpertanian. Saat ini,
konversi lahan pertanian telah mencapai 100.000 ha per tahun. Sedangkan kemampuan
pemerintah dalam menciptakan lahan baru hanya maksimal 30.000 ha, sehingga setiap tahun
justru terjadi pengurangan lahan pertanian.Di samping itu, perubahan iklim yang mengakibatkan
cuaca tidak menentu serta keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada
produk strategis tersebut

Di lain pihak, Suswono mengingatkan pemerintah daerah untuk mewaspadai serangan hama
wereng batang cokelat pada tanaman padi. Apalagi hingga saat ini telah menyebabkan kerugian
petani di sejumlah daerah. Jika serangan wereng tersebut semakin meluas, maka dikhawatirkan
bisa mengganggu ketahanan pangan nasional. Perhatian aparatur di daerah bisa meminimalisasi
dampak serangan wereng.Tentunya ini juga akan menyelamatkan petani dari kerugian ekonomi
yang lebih besar. tuturnya.

Karena itu. Kementerian Pertanian meminta para kepala dinas pertanian di daerah, yang juga
merupakan sekretaris dewan ketahanan pangan provinsi dan kabupaten/-kota, untuk mengambil
inisiatif dalam upaya mengoordinasikan pengendalian hama wereng batang cokelat. Selain itu juga
penguasaan koordinasi intra serta antarlembaga pemerintah, baik di tingkat pusat, daerah, maupun
di lapangan.Sementara itu, Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Ati
Wasiati menyebutkan, berdasarkan laporan periode 18 Mei 2010, luas pertanaman padi yang
terkena serangan wereng seluas 26.008 hektare, di mana 268 hektare mengalami puso. Serangan
wereng menyebar di 130 kabupaten di Indonesia.

Faktor Untuk Mencapai Swasembada Pangan

Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam
perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya:

1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.

Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian


swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam
urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.

Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk
memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog
secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika
Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga.
Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.

2. Teknologi dan Pendidikan.

Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk
meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi
pertanian kepada para petani.

Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi
baru dimengerti dan digunakan secara benar agar dapat meningkatkan produksi pangan. Faktor
lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk
kimia.

3. Koperasi Pedesaan.

Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan
pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua
bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).

Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa).
Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.

4. Prasarana.

Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan
pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada
beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan
prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada
beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan.

KESIMPULAN

Swasembada pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi tingkat permintaan
akan suatu bahan pangan sendiri tanpa perlu melakukan impor dari pihak luar. Dan juga
swasembada pangan adalah terhindarnya suatu negara dari kelaparan.

SUMBER

http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/m/edef-konten-view-mobile.asp?id=20080313124040

http://www.iasa-pusat.org/artikel/strategi-dan-pencapaian-swasembada-pangan-di-indonesia.html

http://bataviase.co.id/node/225086

http://forum.detik.com/keberhasilan-semu-sby-di-sektor-pertanian-perspektif-pertanian-indonesia-
t104426.html

Anda mungkin juga menyukai