Anda di halaman 1dari 15

REFLEKSI KASUS

TINEA CRURIS

Oleh :

Intan Palupi
122011101056

Pembimbing :
dr. Hendra Minarto, Sp. KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di
Indonesia, mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi.
Jamur bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan
di tubuh manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi manusia.
Penyakit tersebut antara lain mikosis yang meyerang langsung pada kulit,
mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin jamur yang ada dalam produk makanan,
dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur beracun1.
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi akut dapat terbatas pada daerah
genitor-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela
paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah
tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder
(polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun dapat berupa bercak hitam disertai
sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.1
Kebanyakan Tinea cruris penyebarannya pada musim panas dan banyak
berkeringat. Paling banyak di daerah tropis. Penyebab terseringnya Epidermophyton
Floccosum, namun dapat pula oleh T. Rubrum dan T. Mentagrophytes, yang ditularkan
secara langsung atau tak langsung. Laki-laki sering dijumpai daripada perempuan
dengan perbandingan 3:1.3 Pada orang dewasa lebih sering dijumpai daripada anak-
anak. Pada daerah yang kebersihannya kurang diperhatikan juga beresiko serta
lingkungan yang kotor dan lembap.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tinea kruris adalah dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang mengandung
zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita) yang terjadi pada daerah lipat paha,
perineum dan sekitar anus. Sinonim: eksema marginatum, dhoble itch, jockey itch,
ringworm of the groin. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup1.

2.2 Etiologi
Penyebab dari tinea kruris adalah Trichophyton rubrum (90%), Trichophyton
tonsurans (6%), Epidermophyton fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%).
Infeksi tinea cruris dapat disebabkan oleh infeksi langsung (autoinoculation) misalnya
karena penderita sebelumnya menderita tinea manus, tinea pedis atau tinea unguium.

2.3 Patogenesis
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu
yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui
kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea
pedis, tinea inguium, dan tinea manum.6
Penularan langsung yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang
luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada
stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi
inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari
tempat infeksi sehingga patogen akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh.
Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa
central healing. 7
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan untuk
pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita dapat terjadi melalui tiga tahap :
adhesi pada keratinosit, penetrasi dan perkembangan respon host.7
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia sebagai
elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini harus
dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembapan,
kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam
lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase dan
enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan
maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga
pada patogensis tinea. Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur
menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit. Pertahanan yang baru timbul
pada lapisan kulit yang lebih dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin
yang belum tersaturasi dan dapat menghambat pertumbuhan jamur yang
didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotatik faktor seperti yang dihasilkan juga
oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif,
yang kemudia menghasilkan faktor kemotatik berasal dari komplemen
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun
tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan dermatofita.
Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon Y yang diatur oleh sel
Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita
sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan. Infeksi
akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari perceptan
tumbuhnya keratinosit.
Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun
berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1) atau tipe lambat (tipe IV)
terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi
produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat, terutama
pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen dermatofita
melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian menyebabkan
cross linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel
mast dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.

2.4 Gejala Klinis


Gejala yang ditemukan pada pasien dengan tinea cruris adalah adanya
rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus,
intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen
bagian bawah. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan
yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai
pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita
diabetes mellitus.6
Pada pasien ini, didapatkan bahwa terdapat rasa gatal dan kemerahan di
lipatan paha sampai ke pantat, pasien tinggal di daerah yang beriklim agak
lembap, higienitas tidak baik dan pasien menyangkal adanya riwayat diabetes
mellitus.
Adanya rasa gatal yang dialami oleh pasien disebabkan oleh antigen
dari dermatofita menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Dalam prosesnya, antigen dermatofita melekat
pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian menyebabkan cross
linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast
dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.
Iklim yang lembap dan penggunaan pakaian dalam yang ketat dapat
memicu pertumbuhan jamur apabila higienitas daerah tubuh tersebut tidak
terjaga dengan baik. Pada penyakit diabetes mellitus, sistem imun menurun
sehingga mudah terserang infeksi, termasuk infeksi jamur. 7

2.5 Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis tinea cruris pada pasien ini, ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.6
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio
inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus.
Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal
akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada
tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar
pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus.
Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga
dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.6

2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri
dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang
tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran
likenifikasi.6
Manifestasi tinea cruris :6
1. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal
lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.
2. Daerah bersisik
3. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif.
Sedangkan pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan
skuama diatasnya dan disertai likenifikasi
4. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama
5. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
6. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi
mungkin muncul karena garukan
7. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal
sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin
terdapat pustula folikuler
8. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea
pedis

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa
kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.6
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian
tepi lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek
glass tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk
melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45
kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat,
dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit
yang lama atau sudah diobati, dan miselium
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan
cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan
kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur
biasanya antara 3-6 minggu
c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc
AcidSchiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan
pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam
Pada pasien ini didapatkan dari anamnesis berupa gatal dan kulit berwarna
kemerahan seperti yang sudah dijelaskan di bagian gejala. Kemudian dari pemeriksaan
fisik didapatkan plak eritematosa, skuama, papul, bagian tepi aktif dengan central
healing.

Gambar 2.1 Lesi pada daerah Lipat Paha dan Pantat

Plak eritematosa adalah kemerahan pada kulit dengan diameter lebih dari 1 cm
yang terjadi akibat kongesti kapiler. Skuama adalah sistik yang berupa stratum
korneum yang terlepas dari kulit sehingga merupakan akumulasi keratin dalam jumlah
besar. Central healing adalah proses penyembuhan yang berada di bagian tengah lesi,
sedangkan bagian tepi lesi masih aktif. Umumnya central healing terjadi pada
penyakit yang disebabkan oleh jamur dikarenakan sifat jamur yang tumbuh secara
radier dan adanya produksi enzim keratolisis.4
Kemudian dilakukan juga pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10%
ditemukan hifa bersepta.
Pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% adalah salah satu jenis
pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis penyakit akibat jamur dengan cara
mengerok pada bagian lesi. Kerokan dilakukan secara satu arah dan umumnya dipilih
lesi bagian tepi. Hifa adalah filamen atau benang yang membentuk miselium fungi.
Hifa terlihat pada pemeriksaan langsung penyakit jamur yang disebabkan oleh jenis
kapang (seperti: tinea), sedangkan pada jenis khamir (seperti: Candida albicans) akan
terlihat pseudohifa. Spora adalah unsur reproduktif yang dapat berisifat seksual atau
aseksual dari organisme tingkat rendah. 4
Berdasar tinjauan manifestasi klinis dan interpretasi hasil pemeriksaan,
kemungkinan besar pasien menderita dermatofitosis, yaitu penyakit akibat jamur
Dermatofita yang menyerang bagian tubuh yang mengandung keratin, misalnya:
stratum korneum. Stratum korneum berifat jauh dari sistem imun, terdiri dari sel mati,
serta banyak mengandung lipid dan karbohidrat sehingga cocok untuk media
pertumbuhan jamur. Jenis dematofitosis yang diderita pasien adalah tinea cruris karena
faktor predileksi yang berlokasi di lipat paha. Dermatofita menghasilkan mannan yang
dapat menghambat determinasi jamur oleh hospes dengan melakukan imunosupresi
pada kekebalan dimediasi sel. Penyakit tinea cruris disebabkan oleh jamur golongan
Tricophyton sp., Mycrosporum sp. dan Epidermophyton fluoccosum. Tricophyton
rubrum dan Epidermophyton fluoccosum adalah spesies yang paling sering muncul.
Tinea cruris dapat terjadi pada pria maupun wanita, namun wanita memiliki
kemungkinan lebih besar untuk terserang penyakit ini karena adanya obesitas pada
daerah paha dan sering memakai pakaian ketat. 4

2.6 Penatalaksanaan
Infeksi tinea corporis, cruris, dan pedis dapat diterapi dengan agen topikal
maupun sistemik. Untuk mengobati dermatofitosis, perlu dipertimbangkan juga faktor
lingkungan yang menyebabkan infeksi tinea dan memilih terapi topikal yang tepat
untuk infeksi 9. Pada kasus ini terapi dibagi menjadi terapi nonfarmakologi dan
farmakologi dengan agen anti-jamur.
Nonfarmokologi

Fungi atau jamur tumbuh dengan subur pada lingkungan lembab sehingga
pasien disarankan untuk menggunakan pakaian dan kaos kaki yang longgar berbahan
katun atau bahan sintetis yang tidak membuat kulit lembab. Area yang rentan
terinfeksi harus benar-benar kering sebelum memakai pakaian. Pasien juga disarankan
untuk menghindari berjalan telanjang kaki dan berbagi pakaian dengan orang lain9.

Farmakologi dengan Agen Anti-Jamur

Pada kasus ini diberikan ketoconazole sistemik dan topikal. Agen anti-jamur
dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dan mekanisme kerjanya. Dua kelompok
agen anti-jamur adalah golongan azole dan allylamine. Azole menghambat enzim
lanosterol 14-alfa-demetilase, sebuah enzim yang mengubah lanosterol menjadi
ergosterol, yang merupakan komponen penting dinding sel jamur. Kerusakan membran
mengakibatkan permasalahan permeabilitas sehingga jamur tidak dapat bereproduksi.
Allylamine menghambat squalen epoxidase, sebuah enzim yang mengubah squalene
menjadi ergosterol, mengakibatkan akumulasi squalene sampai tingkat toksik pada sel
dan sel mati. Kedua kelas agen anti-jamur tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Agen lain yang tidak termasuk dalam 2 kelas agen di atas antara lain
tolnaftate (Tinactin), haloprogin (Halotex), ciclopirox (Loprox), dan butenafine
(Mentax) (Tabel 1). Sebagian besar digunakan dua kali sehari selama 2-4 minggu9,10.

Obat per oral yang efektif untuk dematofitosis yaitu ketoconazole yang bersifat
fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat
tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Ketoconazole merupakan kontraindikasi untuk kelainan hepar2.

Tabel 1
Agen Anti-Jamur dan Bentuk Sediaannya

Agen Rx/OTC Solusio/spray Lotion Krim Gel/salep Serbuk


Tolnaftate OTC Ya Ya Ya Ya Tidak
(Tinactin)
Haloprogin Rx Ya Tidak Ya Tidak Tidak

(Halotex)
Cicloporix Rx Lacquer Ya Ya Tidak Tidak
(Loprox)
Clotrimazole OTC Ya Ya Ya Tidak Tidak
(Lotrimin)
Miconazole OTC Ya Ya Ya Tidak Ya
(Micatin)
Ketoconazole Rx Shampoo Tidak Ya Tidak Tidak
(Nizoral)
Sulconazole Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Exelderm)
Oxiconazole Rx Tidak Ya Ya Tidak Tidak
(Oxistat)
Econazole Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Spectazole)
Butenarfine Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Mentax)
Naftifine (Naftin) Rx Tidak Tidak Ya Ya Tidak
Terbinafine Rx Ya Tidak Ya Tidak Tidak
(Lamisil)
Clotrimazole/BMD Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak

(Lotrisone)
Rx = Resep, OTC= over-the-counter, BMD = betamethasone dipropionate
Sumber: American Family Physician, 2002

BAB III
REFLEKSI KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. M
Umur : 84 tahun
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Tajinan
Agama : Islam

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Gatal di daerah pantat dan selangkangan
Riwayat Penyakit Sekarang (autoanamnesa):
Pasien mengeluhkan adanya gatal di daerah pantat dan selangkangan. Gatal ini
dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, gatal dirasakan terus menerus, tidak
memberat pada malam hari.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Pengobatan:
Pasien mendapat pengobatan dari Puskesmas setempat berupa salep, tetapi
pasien tidak tahu namanya. Setelah menggunakan salep tersebut, pasien tidak
merasa membaik, dan pasien merasakan gatalnya bertambah
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat Psikososial:
Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan air sumur

3.3 Status Generalis


Keadaan umum : Baik
Kesadaraan : Compos Mentis
Kepala : Dalam Batas Normal
Leher : Dalam batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Alat kelamin : Lihat Status Dermatologis
Ekstermitas : Dalam Batas Normal

3.4 Status Dermatologis


Gambar
3.1 Gambaran Lesi disekitar Lipat Paha dan Pantat
Regio Gluteal dan inguinal
Terdapat plak eritematosa, berskuama, batas tegas, ukuran diameter lebih dari 10
cm, tepian polisiklik dengan central healing

3.5 Diagnosis Banding


Eritrasma
Kandidosis intertriginosa

3.6 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan jamur yang dicurigai sebagai
penyebab tinea cruris pada pasien, yaitu jamur jenis. Hasil pemeriksaan yang positif
akan menunjukkan gambaran hifa bersepta.

3.7 Diagnosis
Tinea cruris

3.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Sistemik : ketoconazole tablet 200 mg / hari
Topikal: ketoconazole 2% cream dipakai 2x sehari setelah mandi
Non Medikamentosa:
Menggunakan pakaian dalam atau baju yang menyerap keringat
Menjaga kebersihan badan
Kontrol 2 minggu kemudian
3.9 Prognosis
Prognosis ad functionam: baik
Prognosis ad sanam: baik
Prognosis ad kosmetikam: baik

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja. 2011. Budimulja dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ke-
enam. Jakarta: FK UI
2. Utama H, 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamiin. Jakarta: IKK- FK UI
3. Janik, M. P., &Heffernan, M. P. Superficial Fungal Infection :
Dermathopytosis, Onycomycosis, Tinea nigra, Piedra . In: Fitzpatrick
Dermatology in General Medicine. McGraw-Hill: USA. 2008. p 1807-1822.
4. Siregar, R.S. 2005. Atlas berwarna Saripati penyakit kulit. Jakarta:EGC
5. Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment Deepika T.
Lakshmipathy, Krishnan Kannabiran* Vol.2, No.7, 726-731 (2010)
6. Price SA,Wilson L.M. Patofisiologi. Edisi Keenam. 2006. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
7. Weinstein, A., Berman, B. 2002. Topical Treatment of Common Superficial
Tinea Infections. American Family Physician. Volume 65, No. 10. University
of Miami School of Medicine,Miami, Florida.
8. Wiederker, M. 2012. Tinea Cruris. Medscape
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-medication#2. (Diakses
tanggal 14 Juli 2013.)

Anda mungkin juga menyukai