Anda di halaman 1dari 3

Mengenang Soeharto (1) 11/19/16, 2:34 AM

Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih No. 5811
Kamis, 31 Januari 2008

Mengenang Soeharto (1)


Jenderal Besar dan Para Letnannya
Halaman Utama
Tajuk Rencana
Nasional
Oleh
Ekonomi Atmadji Sumarkidjo
Uang & Efek
JAKARTA Minggu 27 Januari 2008, Jenderal Besar HM Soeharto
Jabotabek meninggal dunia. Dengan demikian, Jenderal Besar terakhir sudah tidak
Nusantara ada lagi. Seperti diketahui, Indonesia hanya ada tiga orang yang
menyandang jenderal bintang lima: Panglima Besar Sudirman, Abdul Haris
Luar Negeri Nasution, dan Pak Harto.
Olah Raga Di Amerika Serikat, Jenderal Bintang Lima (General of the Army) diberikan
atas keputusan Kongres AS, dan hanya sekali diberikan. Dan mereka yang
Iptek mendapatkan adalah para jenderal pemimpin Perang Dunia II lalu.
Hiburan Mereka itu antara lain, Douglas MacArthur, Dwight D. Eisenhower, Omar
Bradley, dan George Marshall. Jenderal yang hebat-hebat di Vietnam,
Feature Korea, dan Irak (sekarang) tidak bakalan mendapat keistimewaan tersebut
Mandiri lagi.
Meskipun pemberian kehormatan jenderal besar di Indonesia merupakan
Ritel keputusan dari Panglima ABRI, tidak ada yang meragukan bahwa
Hobi pemberian penghargaan kepada ketiga tokoh yang telah wafat itu tidak
bisa lebih tepat lagi. Pak Dirman adalah pendiri dan Bapak TNI,
Wisata
sementara Pak Nas selama 15 tahun ber-zig-zag untuk mampu memimpin
Eureka TNI di tengah-tengah masa kacau, pemberontakan dan ego para
koleganya yang sarat dengan muatan politik.
Kesehatan
Adalah kemudian Jenderal Besar Soeharto yang mengendalikan dan
Cafe & Resto memimpin NKRI dan para jenderal yang mempunyai sikap bermacam-
Hotel & Resor macam, dan bisa menjadi potensi pesaing atau membahayakan
kedudukannya. Memang tidak mudah untuk melakukan kontrol dan kendali
Asuransi terhadap para jenderal itu, sebagian besar di antaranya (antara 1966-
Otomotif 1988) adalah kolega atau junior yang punya pengalaman dalam Perang
Kemerdekaan dan berbagai operasi militer yang lain. Mereka punya
Properti pengaruh dan pengikut yang tidak bisa disepelekan.
Budaya Ketika Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) menggantikan almarhum Letjen Akhmad Yani, langkah
CEO awalnya adalah mengandalkan para perwira di Kostrad sebagai orang-
Opini orang yang membantunya.
Foto Letkol Ali Murtopo, Letkol Wahono kemudian menjadi penghubung
Karikatur Soeharto dengan banyak pihak.
Kemudian Soeharto juga menggunakan sejumlah perwira dari G-V Koti
Komentar Anda (Komando Operasi Tertinggi) di bawah pimpinan Brigjen Soetijipto, SH.
Tentang SH Soetijipto membawahi sejumlah perwira pekerja dan rajin, serta teliti
seperti Letkol Ckh Sudharmono, SH dan Lettu Drs Moerdiono.
Letjen Soeharto kemudian juga menetapkan sejumlah perwira tinggi
sebagai staf umum di MBAD, menggantikan para jenderal yang tewas
pada 1 Oktober 1965. Orang-orang yang dianggap dicurigai, seperti
Mayjen Pranoto Rekso Samudra disingkirkan, dan kemudian ditangkap.
Kemudian, Soeharto menempatkan para perwira yang ia percaya pada
kedudukan penting seperti Pangdam dan pasukan-pasukan khusus. Untuk
waktu yang lama, umpamanya, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, tetap

file:///Volumes/Data/Dropbox/Dropbox/Indonesia%20-%20Military%2esia%20-%20Defense%20policy/Education/mengenang%20suharto.html Page 1 of 3
Mengenang Soeharto (1) 11/19/16, 2:34 AM

menjadi Komandan RPKAD sebelum ia dipindah menjadi Pangdam


XVII/Tjendrawasih di Irian Barat. Pangdam VI/Siliwangi yang secara pribadi
dekat dengan Bung Karno diberhentikan dengan cara yang halus.
Mayjen Ibrahim Adjie dijadikan Dubes di Inggris dan sebagai penggantinya
ditunjuk Brigjen HR Dharsono yang anti-Soekarno. Jabatan Panglima
Kostrad diberikan kepada Brigjen Kemal Idris, juga salah seorang
kepercayaannya.
Kelak trio Sarwo-Dharsono-Kemal Idris itu menjadi penjuru menghadapi
kelompok-kelompok pro-Bung Karno.
Memang Pak Harto sangat hati-hati memilih para panglima di Pulau Jawa
karena kedudukan mereka yang sangat penting. Pilihan untuk
menempatkan Brigjen Soemitro sebagai Pangdam VIII/Brawijaya adalah
dengan pertimbangan itu, karena di Jawa Timur para pengikut Bung Karno
yang fanatik sangat banyak.
Sementara itu di Kota Surabaya, pengaruh dan kekuatan KKo (Korps
Komando) AL tidak bisa diabaikan, karena Panglima KKo Mayjen (KKo)
Hartono pernah mengatakan merah kata Bung Karno, merah kata KKo.
Putih kata Bung Karno, putih kata KKo. Korps Komando mempunyai
kekuatan dan persenjataan yang sangat besar karena dikembangkan
untuk operasi pembebasan Irian Barat tahun 1962.
Konsolidasi
Pada tahun 1968, praktis konsolidasi ABRI telah berhasil diselesaikan oleh
Jenderal Soeharto. Organisasi Hankam diubah, posisi Menteri/Panglima
angkatan yang selama di Presiden Soekarno membuat masing-masing
matra mempunyai akses langsung ke presiden ditiadakan. Pimpinan
tertinggi setiap matra adalah kepala staf yang melapor kepada panglima
ABRI. Organisasi Departemen Pertahanan Keamanan dibangun terpisah
dari struktur markas besar ABRI.
Muka-muka baru ditampilkan oleh Soeharto, sementara para jenderal yang
tadinya dianggap setia kepadanya tersingkir. Trio Sarwo-Dharsono-Kemal
kemudian kehilangan gigi, karena Sarwo dipindahkan mula-mula ke Irian
lalu ke Medan, menjadi Pangdam II/Bukit Barisan. Ia tidak pernah lagi
memimpin pasukan.
Dharsono dicopot dari posisi Pangdam Siliwangi yang strategis dan tidak
pernah memegang posisi militer lagi. Kemal Idris sejak meninggalkan
Kostrad tidak pernah menduduki posisi strategis, meskipun pangkatnya
terus naik.
Selain itu, Jenderal Soeharto juga memisahkan organisasi Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dari struktur ABRI,
meskipun para stafnya ada yang merangkap jabatan di ABRI dan
Kopkamtib. Pada tahun 1970, jabatan Panglima Kopkamtib diberikan
kepada Jenderal TNI Soemitro, sementara baru tahun 1973, jabatan
Menteri Pertahanan/Keamanan merangkap Panglima ABRI diberikan
kepada Jenderal M. Panggabean.
Kopkamtib adalah sebuah super body, berhak atas nama ketertiban dan
stabilitas berhak menangkap siapa pun yang dianggap ke penjara.
Sementara itu, ABRI mempunyai senjata dan SDM yang relatif modern dan
bisa digerakkan ke mana saja.
Menyatukan keduanya, diperhitungkan bisa membahayakan kekuasaan
Presiden Soeharto. Kebijakan itu justru menimbulkan gesekan antara
pusat-pusat kekuatan, karena ada sebuah organisasi lain yang tidak ada di
struktur ABRI, Dephankam, atau malahan Kopkamtib, tetapi mampu
menggalang massa dan kekuatan.
Badan itu adalah Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Mayjen Ali
Murtopo, jelas melakukan operasi berdampak politis, tetapi tidak sejalan
dengan kebijakan yang dianut oleh Kopkamtib.
Presiden Soeharto tentu melihat pertarungan yang terjadi di bawah
permukaan itu, tetapi sengaja membiarkan hal itu terjadi sambil
memainkan perimbangan di antara keduanya pada tingkatan yang tidak
akan membahayakan kedudukan Presiden.
Baik Ali Murtopo maupun Soemitro adalah jenderal yang tidak diragukan
kesetiaannya kepada Soeharto, tetapi nama Soemitro (sering disebut
sebagai Soemitro gendut) popular di kalangan mahasiswa dan pers
karena intensitas hubungannya dengan para mahasiswa.
Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari atau Malapetaka Limabelas Januari)
membuat keseimbangan itu berubah. Kerusuhan yang terjadi di Kota
Jakarta selama dua hari akibat kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka,

file:///Volumes/Data/Dropbox/Dropbox/Indonesia%20-%20Military%2esia%20-%20Defense%20policy/Education/mengenang%20suharto.html Page 2 of 3
Mengenang Soeharto (1) 11/19/16, 2:34 AM

diambil alih tanggung jawabnya oleh Jenderal Soemitro, meskipun Kepala


Staf Kopkamtib Laksamana Soedomo menawarkan pengunduran diri.
Soemitro oleh Presiden tadinya ditawarkan sebagai Dubes RI untuk
Washington DC, tetapi ia menolak dan memilih pensiun dini pada usia 48
tahun. n

Penulis adalah wartawan, pengamat masalah militer dan penulis biografi


militer Jenderal M. Jusuf dan Letjen TB Silalahi.

Copyright Sinar Harapan 2003

file:///Volumes/Data/Dropbox/Dropbox/Indonesia%20-%20Military%2esia%20-%20Defense%20policy/Education/mengenang%20suharto.html Page 3 of 3

Anda mungkin juga menyukai