Case Gilut
Case Gilut
STATUS PASIEN
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama: luka tidak sembuh-sembuh pada telapak kaki kanan sejak + 3 minggu
SMRS
b. Keluhan tambahan: tidak ada
c. Riwayat Perjalanan Penyakit: +3 minggu SMRS pasien mengeluh luka di telapak kaki
kanan, luka awalnya kecil lama-lama membesar, luka bengkak tercium bau tidak sedap,
pasien merasakan mual (+), muntah (-), demam (+), lemas (+), BAK sedikit, BAB tidak
ada keluhan. Pasien sebelumnya pernah merawat lukanya dengan petugas dari RS
Bhayangkara, luka dibersihkan dengan rutin tetapi luka tetap membesar dan belum
sembuh. Akhirnya pasien berobat ke RSMH
d. Riwayat pengobatan:
- Novorapid 2x8 IU
- Levemir 1x14 IU
e. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik
- Riwayat kencing manis + 10th
- Riwayat darah tinggi +10 tahun
1
Penyakit atau Kelainan Sistemik Ada Disangkal
Alergi : debu, dingin
Penyakit Jantung
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
Penyakit Diabetes Melitus
Penyakit Kelainan Darah
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H
Kelainan Hati Lainnya
HIV/ AIDS
Penyakit Pernafasan/paru
Kelainan Pencernaan
Penyakit Ginjal
Penyakit Rinosinusitis
Epilepsi
g. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan menggosok gigi 2 kali sehari.
2
Respiration rate : 22 x/menit
Temperatur : 36,50C
4. Berat Badan :68 kg
5. Tinggi Badan :160 cm
6. Kesan Gizi : Baik
3
d. Odontogram
e. Status Lokalis
f. Temuan
a. Plak dan debris diregio a,c,d,f dan kalkulus disemua regio
b. Gangren Radix pada 18
c. Nekrosis pulpa pada 38
d. Missing teeth pada 46
e. Lidah terdapat plak berwarna putih
4
g. Perencanaan
a. Plak dan kalkulus gigi : Pro scaling
b. Gangren Radix pada 18 : Pro Extraksi
c. Nekrosis pulpa pada 38 : Cresopane + cavit
d. Missing teeth pada 46 : Pro protesa
e. Lidah terdapat plak berwarna putih : dilakukan swab lidah untuk pemeriksaan
mikrobiologi
f. Dental Health Education
Hematologi
5
1.5.Lampiran Foto Pasien
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1.2 Bentuk Gigi Permanen
Orang dewasa biasanya mempunyai 32 gigi permanen, 16 di tiap rahang. Di tiap rahang
terdapat:
a. Empat gigi depan (gigi insisivus). Bentuknya seperti sekop dengan tepi yang lebar untuk
menggigit, hanya mempunyai satu akar. Gigi insisivus atas lebih besar daripada gigi yang bawah.
b. Dua gigi kaninus yang serupa di rahang atas dan rahang bawah. Gigi ini kuat dan menonjol di
sudut mulut. Hanya mempunyai satu akar.
c. Empat gigi pre-molar/gigi molar kecil. Mahkotanya bulat hampir seperti bentuk kaleng tipis,
mempunyai dua tonjolan, satu di sebelah pipi dan satu di sebelah lidah. Kebanyakan gigi pre-molar
mempunyai satu akar, bebrapa mempunyai dua akar.
d. Enam gigi molar. Merupakan gigi-gigi besar di sebelah belakang di dalam mulut
digunakan untuk menggiling makanan. Semua gigi molar mempunyai mahkota persegi, seperti
blok-blok bangunan. Ada yang mempunyai tiga, empat, atau lima tonjolan. Gigi molar di rahang
atas mempunyai tiga akar dan gigi molar di rahang bawah mempunyai dua akar.
8
Gambar 2.3 Gigi Primer dan Permanen
9
Gambar 2.4 Permukaan-Permukaan Gigi
10
limfatik jaringan pulpa. Oleh karena itu dentin peka terhadap berbagai macam rangsangan,
misal: panas dan dingin serta kerusakan fisik termasuk kerusakan yang disebabkan oleh bor
gigi.
3 Cementum
Cementum adalah penutup luar tipis pada akar yang mirip strukturnya dengan tulang.
4 Pulpa
Pulpa terdapat dalam gigi dan terbentuk dari jaringan ikat yang berisikan urat-urat
syaraf dan pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai dentin. Urat-urat syaraf ini
mengirimkan rangsangan, seperti panas dan dingin dari gigi ke otak, di mana hal ini dialami
sebagai rasa sakit. Rangsangan yang membangkitkan reaksi pertahanan adalah rangsangan
dari bakteri (pada karies), rangsangan mekanis (pada trauma, fraktur gigi, preparasi kavitas,
dan keausan gigi), serta bisa juga disebabkan oleh rangsangan khemis misalnya asam dari
makanan, bahan kedokteran gigi yang toksik, atau dehidrasi dentin yang mungkin terjadi
pada saat preparasi kavitas/pengeboran gigi.
Nervus sensori pada rahang dan gigi berasal dari cabang nervus kranial ke-V atau nervus
trigeminal pada maksila dan mandibula. Persarafan pada daerah orofasial, selain saraf trigeminal
meliputi saraf kranial lainnya, seperti saraf kranial ke-VII, ke-XI, ke-XII.
Nervus Maksila
Cabang maksila nervus trigeminus mempersarafi gigi-gigi pada maksila, palatum, dan
gingiva di maksila. Selanjutnya cabang maksila nervus trigeminus ini akan bercabang lagi menjadi
nervus alveolaris superior. Nervus alveolaris superior ini kemudian akan bercabang lagi menjadi
tiga, yaitu nervus alveolaris superior anterior, nervus alveolaris superior medii, dan nervus
alveolaris superior posterior. Nervus alveolaris superior anterior mempersarafi gingiva dan gigi
anterior, nervus alveolaris superior medii mempersarafi gingiva dan gigi premolar serta gigi molar
11
I bagian mesial, nervus alveolaris superior posterior mempersarafi gingiva dan gigi molar I bagian
distal serta molar II dan molar III.
Nervus Mandibula
Cabang awal yang menuju ke mandibula adalah nervus alveolar inferior. Nervus alveolaris
inferior terus berjalan melalui rongga pada mandibula di bawah akar gigi molar sampai ke tingkat
foramen mental. Cabang pada gigi ini tidaklah merupakan sebuah cabang besar, tapi merupakan
dua atau tiga cabang yang lebih besar yang membentuk plexus dimana cabang pada inferior ini
memasuki tiap akar gigi.
Selain cabang tersebut, ada juga cabang lain yang berkonstribusi pada persarafan mandibula.
Nervus buccal, meskipun distribusi utamanya pada mukosa pipi, saraf ini juga memiliki cabang
yang biasanya didistribusikan ke area kecil pada gingiva buccal di area molar pertama. Namun,
dalam beberapa kasus, distribusi ini memanjang dari caninus sampai ke molar ketiga. Nervus
lingualis, karena terletak di dasar mulut, dan memiliki cabang mukosa pada beberapa area mukosa
lidah dan gingiva. Nervus mylohyoid, terkadang dapat melanjutkan perjalanannya pada
permukaan bawah otot mylohyoid dan memasuki mandibula melalui foramen kecil pada kedua
sisi midline. Pada beberapa individu, nervus ini berkontribusi pada persarafan dari insisivus sentral
dan ligamentum periodontal.
12
Gambar 2.5 Inervasi Gigi
PALATUM DURUM
Terdapat tiga foramen:
foramen incisivum pada bidang median ke arah anterior
foramina palatina major di bagian posterior dan
foramina palatina minor ke arah posterior
13
Bagian depan palatum: N. Nasopalatinus (keluar dari foramen incisivum), mempersarafi gigi
anterior rahang atasBagian belakang palatum: N. Palatinus Majus (keluar dari foramen palatina
mayor), mempersarafi gigi premolar dan molar rahang atas.
PALATUM MOLE
N. Palatinus Minus (keluardari foramen palatina minus), mempersarafi seluruh palatina
mole.
14
CABANG MANDIBULARIS
Persarafan Dentis; Dipersyarafi oleh Nervus Alveolaris Inferior, mempersarafi gigi anterior
dan posterior gigi rahang bawah
PERSARAFAN GINGIVA
a. Permukaan labia dan buccal :
N. Buccalis, mempersarafi bagian buccal gigi posterior rahang bawah
N. Mentalis, merupakan N.Alveolaris Inferior yang keluar dari foramen Mentale
b. Permukaan lingual :
N. Lingualis, mempersarafi 2/3 anterior lidah, gingiva dan gigi anterior dan posterior
rahang bawah
15
2.2. Kandidiasis Oral
2.2.1. Definisi
Infeksi jamur yang disebabkan Candida albicans dinamakan candidiasis atau dalam bahasa
inggris disebut dengan candidosis. Dahulu penyakit ini disebut dengan monialisis karena
organisme yang menyebabkan penyakit candidiasis adalah Monialisis albicans. Kandidiasis oral
adalah infeksi jamur ragi dari genus Kandida pada membran berlendir mulut.
Oral candidiasis merupakan infeksi oportunistik yang umum baik pada oral maupun
perioral yang biasanya dihasilkan dari perkembangan endogenik jamur candida secara berlebihan.
Selain dariCandida albicans, di dalam rongga mulut juga ditemukan spesies candida lainnya seperti
C.tropicalis, C.krusei, C.parapsilosis, C.guilermondi. Spesies-spesies dari candida ini sering
ditemukan dalam rongga mulut tetapi tidak menimbulkan penyakit. Sampai saat ini organisme
yang paling sering menimbulkan penyakit candidiasis yaitu jenis Candida albicans.
2.2.2. Epidemioplogi
Kandidiasis oral dapat menyerang semua umur, baik pria maupun wanita. Meningkatnya
prevalensi infeksi Candida albicans ini dihubungkan dengan kelompok penderita HIV/AIDS,
penderita yang menjalani transplantasi dan kemoterapi maligna. Odds dkk ( 1990 ) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa dari 6.545 penderita HIV/AIDS, sekitar 44.8% adalah
penderita kandidiasis (Anonim, 2011).
2.2.3. Etiologi
Kandida sp merupakan penyebab terbanyak yang menjadi penyebab infeksi oral
dibandingkan aspergillus dan jamur lainnya (Yuvraj, 2010). Pada kondisi normal, setiap orang
memiliki sejumlah kecil jamur didalam tubuhnya, baik pada mulut, vagina, saluran pencernaan
dan lain sebagainya, namun dengan adanya sistem imun yang baik, tubuh terhindar dari infeksi
jamur. (anonim, 2011a). Penyebab kandidiasis oral umumnya adalah jamur Kandida albicans.
Dalam rongga mulut, Kandida albicans dapat melekat pada mukosa labial, mukosa bukal,
dorsum lidah, dan daerah palatum. Selain Kandida albicans, ada 10 spesies Kandida yang juga
ditemukan yaitu C.tropicalis, C.parapsilosis, C.krusei, C.kefyr, C. glabrata, dan
C.guilliermondii, C.pseudotropicalis, C.lusitaniae, C.stellatoidea, dan C.dubliniensis
16
(Anonim, 2011).Beberapa jenis obat-obatan (misalnya antibiotik, steroid dan esterogen) dapat
meningkatkan pertumbuhan jamur karena perubahan keseimbangan organisme alami di mulut.
Selain itu, juga terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya candidiasis, misalnya
diabetes, kehamilan, defisiensi zat besi, asam folat dan vitamin B12 (Anonim, 2011a)
2.2.4. Patogenesis
Kandida menjadi patogenik ketika pada pasien dengan faktor predisposisi sehingga
mempermudah terjadinya infeksi oportunistik. Pada orang yang sehat, umum kandida tidak
menimnbulkan masalah dan tidak tumbuh berlebihan, namun beberapa faktor dapat
menyebabkan perubahan.
17
h) Gigi tiruan
Kandidiasis Pseudomembranosus
Kandidiasis pseudomembranosus sering dikenal dengan sebutan trush, sering kali
ditemukan pada neonatus, pasien dengan terapi kortikosteroid topikal, dan pasien dengan
penurunan sistem imun. Adanya kandidiasis pseudomembranosus pada pasien dewasa dapat
mengindikasikan adanya penyakit sistemik yang mendasari, seperti infeksi HIV. Gambaran
klinis yang ditemukan pada kandidiasis pseudomembranosus berupa multipel plak berwarna
putih yang mirip seperti kejuyang dapat dengan mudah diangkat. Plak tersebut terbentuk dari
hifa. Mukosa dibawah plak tampak hiperemis namun tidak didapatkan ulkus. Saat gejala pasien
merupakan gejala ringan, pasien mungkin mengeluhkan gatal atau gangguan dalam merasakan
makanan (Yuvraj, 2011).
Kandidiasis Atropik
18
Kandidiasis atropik merupakan kandidiasis yang ditandai dengan adanya kemerahan difus
pada mulut dengan mukosa yang relatif kering. Daerah yang kemerahan tersebut sering kali
mengelilingi mukosa disekitar alat-alat yang terpasang pada gigi, misalnya pada gigi pasangan
(Yuvraj, 2011).
Kandidiasis hiperplastik
Bentuk kandidiasis hiperplastik sering disebut sebagai Kandidal leukoplakia walaupun
sebenarnya secara terminologi istilah ini tidak tepat. Hiperplastik leukoplakia tampak sebagai
plak berwarna putih yang tidak dapat dihilangkan dengan cara diusap oleh klinis. Berbeda
dengan leukoplakia, lesi pada kandidiasis hiperplastik dapat sepenuhnya menghilang dengan
pemberian terapi antifungal rutin (Yuvraj, 2011).
19
Gambar 3. Kandidiasis Hiperplastik
Eritematosa Kandidiasis
Lesi klinis dari eritematosa kandidiasis berupa lesi kemerahan atau eritematous. Berbagai
mukosa dapat terlibat, namun umumnya eritematosa kandidiasis melibatkan lidah. Salah satu
bentuk yang umumnya ada pada eritematosa kandidiasis adalah pada palatum durum dan
ginggiva didekat gigi pasangan (Yuvraj, 2011).
Angular Cheilitis
Bentuk klinis terakhir dari kandidiasis oral adalah angular cheilitis. Pada angular cheilitis,
dapat tampak retakan, penglupasan maupun ulserasi yang terdapat pada sudut bibir. Sering kali
bentuk angular cheilitis muncul bersamaan dengan bentuk lain, misalnya bersamaan dengan
tipe eritematosa. (Yuvraj, 2011)
20
bilateral pada sudut bibir (Yuvraj, 2011). Lesi oral yang ada biasanya cukup jelas terlihat
sehingga dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinisnya (Maeve, 2005).
Pada pasien yang status HIV-nya tidak diketahui, adanya lesi oral dapat menjadi
indikasi yang kuat adanya infeksi HIV. Karena hal-hal tersebut, adanya dan perkembangan dari
lesi oral pada pasien dengan HIV dapat digunakan sebagai kriteria masuk dan titik akhir pada
profilaksis dan terapi (Maeve, 2005)
.
2.2.7. Penatalaksanaan
Pada pasien yang kesehatannya normal, tatalaksanan kandidiasis oral cukup sederhana
dan efektif, dimana pemberian medikasi topikal adalah pengobatan yang adekuat. Antifungal
yang yang biasa diberikan adalah suspensi nistatin oral. Harus terjadi kontak antara obat topikal
dengan organisme supaya dapat terjadi eliminasi. Karena pasien seringkali hanya dapat
menahan cairan obat tersebut dalam waktu singkat, dapat pula diberikan clotrimazol troches
sebagai alternatif. Pemberian nistatin maupun clotrimazol diberikan lima kali sehari selama 14
hari, dimana pasien harus melepaskan semua peralatan intraoral, dan kemudian menghindari
makanan maupun minuman aselama 20 menit setelah mengkonsumsi obat (Yuvraj, 2011).
setiap peralatan prostodontik pasien juga harus dilakukan disinfeksi, karena dapat menjadi
sarang berbagai mikroorganisme dan dapat menyebabkan kekambuhan pada pasien.
Penggunaan clorin sebagai cairan pembersih memang efektif sebagai disinfektan namun
merusak peralatan tersebut, sehingga lebih baik menggunakan germicide deodorizer yang
mengandung natrium benzoat, sitrat dan disodium fosfat.
21
diabetes karena hal itu dianggap merupakan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan
pertambahan usia.(6)
Diabetes merupakan penyakit metabolisme yang rumit yang ditandai dengan hipofungsi
atau ketiadaan fungsi pulau-pulau Langerhan pankreas, dengan akibat peningkatan kadar
glukosa darah dan ekskresi gula melalui urin.(7) Ada dua tipe diabetes Mellitus :
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM/Tipe I)
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM/Tipe II).(6,7)
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien
diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan
autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap
sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri. Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin
normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga
glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.(6)
Tabel 1. Karakteristik diabetes melitus tipe I dan tipe II
DM TIPE I DM TIPE II
Mudah terjadi Sukar terjadi ketoasidosis
ketoasidosis Pengobatan tidak harus dengan
Pengobatan harus dengan insulin insulin
Onset lambat
Onset akut Gemuk atau tidak gemuk
Biasanya kurus Biasanya terjadi pada umur >
Biasanya terjadi pada umur 45
yang masih muda tahun
Berhubungan dengan HLA-DR3 Tidak berhubungan dengan HLA
dan DR4
Didapatkan antibodi sel islet Tidak ada antibodi sel islet
10%nya ada riwayat 30%nya ada riwayat diabetes pada
diabetes pada keluarga keluarga
30-50 % kembar identik terkena 100% kembar identik terkena
Kriteria diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO
1985:
a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200mg/ dl, atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl, atau
c. Kadar glukosa plasma 200 mg / dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO
22
Menurut Kane et al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau
didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa puasa
kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu dilanjutkan
dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila TTGO abnormal pada dua
kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan.(6)
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM
23
2.3.2. Prevalensi Dan Insiden Diabetes
Pada tahun 1999, Pusat Statistik Kesehatan National melaporkan lebih dari 10 juta orang
Amerika yang hidup dengan diabetes (tersebar antara orang kulit putih, hitam, Hispanic dan ras
lainnya). Pada tahun 1997, diperkirakan 124 juta orang didunia hidup dengan diabetes. Pada
tahun 2010 jumlah orang dengan diabetes di dunia diperkirakan sebanyak 221 juta dan di
beberapa bagian tertentu di dunia (seperti Asia dan Africa) peningkatan penderita diabetes akan
meningkat menjadi 2 atau 3 kali lipat.(8)
Di Indonesia saat ini Penyakit Diabetes Mellitus (DM) belum menempati skala prioritas
utama dalam pelayanan kesehatan. Prevalensi DM di Indonesia sebesar 1,5 2,3 % pada
penduduk usia > dari 15 tahun meningkat menjadi 5,6 % pada tahun 1993. Di Jakarta Prevalensi
DM meningkat ari 1,7 % pada tahun 1982 menjadi 5,7 % pada tahun 1993. DM dapat
menyerang warga segala lapisan umur dan sosial ekonomi, sebagian besar DM adalah tipe 2
yang terjadi lebih dari 90% biasanya pada usia 40 tahun ke atas.(9)
24
goyah dan tanggal. Selain itu, terlalu lama mengonsumsi obat diabetes yang tidak terkontrol
juga mengakibatkan jaringan gusi membesar.(4)
Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa DM dapat menyebabkan kegoyahan yang
didahului adanya penyakit pada jaringan periodontal. Overview dari bukti penelitian tentang
hal ini telah dipublikasikan pada tahun 1994, dimana diteliti 1426 orang berusia antara 25-74
tahun secara cross sectional, menemukan bahwa DM merupakan penyakit sistemik yang
berhubungan dengan kegoyahan gigi dengan OR: 2,32, 95% CI: 1,70 4,60. Dari data cross
sectional, pada penelitian 72 orang penderita DM kasus baru dan 82 orang penderita DM kasus
lama, serta 77 orang sebagai kontrol yang berusia 40--49 tahun, dengan matching umur dan
jenis kelamin, diketahui bahwa penyakit periodontal (periodontitis) lebih banyak pada penderita
DM dibandingkan dengan kontrol, dan pada penderita DM kasus lama lebih banyak daripada
kasus baru. Pada penelitian cross sectional dan longitudinal, diketahui bahwa pada penderita
DM yang tidak terkontrol dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya penyakit
periodontal yang lebih parah dan hilangnya gigi dibandingkan dengan DM yang terkontrol dan
yang tidak menderita DM.(9)
Dalam sebuah penelitian prevalensi penyakit periodontal 9,8% pada 263 pasien dengan
diabetes tipe 1 dibandingkan dengan 1,7 % orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian kecil yang
menghubungkan pasien dengan diabetes tipe 2 dengan penyakit periodontal, memperlihatkan
bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 tiga kali lebih mudah mendapatkan penyakit peridontal
dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian lain menaksirkan ketika orang
dengan diabetes merokok, maka mereka mempunyai kemungkinan 20 kali lebih besar untuk
mengalami periodontitis dengan kehilangan tulang pendukung dibanding dengan mereka yang
tanpa diabetes.(11)
Ada beberapa hipotesa mengenai keterlibatan DM sebagai faktor etiologi penyakit
gingiva dan periodontal :
a. Terjadinya penebalan membran basal
Pada penderita diabetes melitus membran basal kapiler gingiva mengalami penebalan
sehingga lumen kapiler menyempit. Menyempitnya lumen ini menyebabkan terganggunya
difusi oksigen, pembuangan limbah metabolisme, migrasi leukosit polimorfonukleus, dan
difusi faktor-faktor serum termasuk antibodi.
25
b. Perubahan biokimia
Level cyclic adenosine monophospate (cAMP) yang efeknya mengurangi inflamasi pada
penderita diabetes melitus menurun; hal mana diduga menjadi salah satu sebab lebih parahnya
inflamasi gingiva pada penderita diabetes melitus
c. Perubahan Mikrobiologis
Peningkatan level glukosa dalam cairan sulkular dapat mempengaruhi lingkungan
subgingival, yang dapat menginduksi perubahan kualitatif pada bakteri yang pada akhirnya
mempengaruhi perubahan periodontal
d. Perubahan Imunologis
Meningkatnya kerentanan penderita diabetes melitus terhadap inflamsi diduga
disebabkan oleh terjadinya defisiensi fungsi leukosit polimorfonuklear (LPN) berupa
terganggunya khemotaksis, kelemahan daya fagositosis atau terganggunya kemampuannya
untuk melekat ke bakteri. dan
e. Perubahan berkaitan dengan kolagen
Peningkatan level glukosa bisa pula menyebabkan berkurangnya produksi kolagen .
Disamping itu terjadi juga peningkatan aktivitas kolagenase pada gingiva.(7)
Beberapa mekanisme juga telah diusulkan untuk menjelaskan peningkatan penyakit
periodontal pada penderita DM antara lain : respon dari Host, subgingiva mikroflora,
metabolisme kolagen, perdarahan, cairan crevicular gingiva dan faktor keturunan. Berbagai
mekanisme patofisiologi juga mempunyai implikasi dalam peningkatan kehilangan tulang
alveolar pada penderita diabetes.(8)
Oleh karena itu, pengobatan pencegahan periodontal harus dimasukkan dalam
penatalaksanaan yang menyeluruh terhadap pasien dengan diabetes. Pengobatan meliputi
penilaian awal dari progesivitas penyakit mulut, penjelasan tentang kebersihan mulut, instruksi
dan penilaian yang berhubungan dengan pola makan, perlindungan dari penyakit dengan
melakukan pemeriksaan gigi secara periodik.(11)
Yang paling penting dalam pengobatan penyakit periodontitis pada orang dengan diabetes
melitus adalah kontrol gula darah yang teratur. Sebab dalam penelitian didapatkan terdapat
penurunan penyakit periodontitis pada penderita diabetes melitus dengan kadar gula darah yang
terkontrol. (9)
26
2. Karies Dentis
Hubungan antara diabetes dan karies gigi telah diselidiki, namun tidak ada organisasi
yang menjelaskan secara tuntas. Hal ini penting untuk dicatat bahwa pasien dengan diabetes
peka terhadap gangguan sensori mulut, jaringan periodontal, dan produksi air ludah, yang bisa
meningkatkan resiko pembentukan baru atau muncul kembali karies pada gigi.(8)
Laju peningkatan karies gigi pada pasien muda dengan diabetes yang telah dilaporkan
berhubungan dengan gangguan fungsi pembentukan saliva.(11) Faktor pembentukan karies
termasuk unsur-unsur tradisional (sebagai contoh, pengukuran jumlah streptokokus, pada
kerusakan gigi sebelumnya) menunjukkan baik tidaknya pengontrolan dari diabetes. Oleh
karena itu diperlukan penilaian berkelanjutan oleh dokter gigi terhadap gigi busuk yang baru
atau berulang.(8) Dokter gigi juga dapat memberikan pengobatan topical seperti flouride yang
mengandung penyengar mulut dan penganti saliva untuk mencegah karies dan mengurangi
ketidaknyamanan. (11)
27
Lichen Planus secara umum merupakan suatu penyakit kronik mucocutan yang
penyebabnya belum diketahui. Secara umum terjadi karena proses imunologi yang melibatkan
suatu reaksi hipersensitivitas dalam tingkat mikroskopik. Hal ini ditandai dengan infiltrasi dari
limfosit T yang intens (sel CD4+ dan khususnya sel CD8+) yang ditempatkan pada sambungan
antara epitel dan jaringan ikat. Regulasi sel imun lainnya (seperti makrofag, sel dendrit, sel
Langerhans) dapat terlihat terjadi peningkatan jumlah didalam lesi Lichen Planus. Tampaknya
tidak ada hubungan antara Lichen Planus dan hipertensi atau diabetes melitus (ini adalah
sindrom Grispans) yang awalnya diusulkan.
Bagaimanapun, penelitian terhadap 40 pasien dengan Lichen Planus didapatkan 11 pasien
(28 %) mempunyai riawayat diabetes yang laten, dibandingkan dengan yang tidak mempunyai
riwayat pada kelompok kontrol, hal ini menyiratkan kemungkinan adanya hubungan terhadap
imunopathogenesis dari Lichen Planus.(11)
28
Profesional pelayan kesehatan harus siap dalam mendiagnosa kandidiasis dan
memberikan pengobatan tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyebab infeksinya
yang bisa merupakan diagnosa dari diabetes melitus.(8)
6. Gangguan Pengecapan
Lidah merupakan organ utama dalam kesehatan mulut, dan mengalami pengaruh yang
kurang baik pada pasien dengan diabetes. Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa lebih dari
1 3 orang dewasa dengan diabetes mengalami hypogeusia atau penyusutan persepsi pada lidah
yang bisa menghasilkan hiperfagia dan obesitas. Gangguan fungsi sensory ini dapat
menghambat kemampuan untuk memelihara suatu pola makan yang sesuai dan bisa mendorong
regulasi glukosa kearah yang lebih rendah.(8)
Lidah penderita diabetes juga sering membesar dan terasa tebal sehingga terjadi
gangguan pengecapan pada lidahnya.(6)
7. Kerusakan neurosensory
Pasien diabetes dilaporkan mengalami peningkatan keluhan terhadap glossodynia dan
stomatopyrosis. Secara umum, gangguan sensori saraf wajah dan mulut serta sindrom mulut
terbakar dihubungkan dengan diabetes melitus. Pasien kemungkinan mengalami oral
dysesthesias yang lama, yang mana memberikan efek yang kurang baik bagi pemeliharaan
kesehatan mulut.(8)
Sindrom mulut atau lidah terbakar biasanya secara klinis tidak memperlihatkan luka yang
dapat ditemukan, walaupun gejala nyeri dan rasa terbakar dapat terasa berat. Penyebab rasa
mulut terbakar bervariasi dan sering sulit diterjemahkan secara klinis. Gejala nyeri dan terbakar
nampak hasil dari suatu faktor atau kombinasi dari beberapa faktor. Pada diabetes tidak
terkontrol atau secara garis besar terkontrol, faktor penyebabnya bisa meliputi gangguan fungsi
pembentukan saliva, kandidiasis dan abnormalitas neurologi seperti depresi. Neuropati saraf
otonom dan sensorik-motorik merupakan bagian dari sindrom diabetes, dan prevalensi
neuropati pada diabetes melitus mendekati 50% setelah 25 tahun dari awal terjadinya onset dari
penyakit, dengan rata-rata 30 persen pada orang dewasa dengan diabetes.
Neuropati mungkin mendorong perasaan kebas atau perasaan geli pada mulut, mati rasa,
rasa terbakar atau nyeri disebabkan perubahan patologis yang melibatkan persarafan di daerah
29
mulut. Diabetes telah dihubungkan dengan gejala rasa terbakar pada mulut. Bagaimanapun
neuropati pada diabetes dihubungkan dengan nyeri dan rasa terbakar pada bagian tubuh yang
lain seperti pada kaki.
Untuk mengurangi gejala mulut terbakar pada penderita diabetes, faktor yang sangat
menentukan adalah peningkatan terhadap kontrol gula darah, sehingga kekeringan pada mulut
(xerostomia) dan kandidiasis yang merupakan faktor penyebab mulut terbakar dapat di
minimalisir.(11)
30
BAB III
ANALISIS MASALAH
Ny Hasnah, 59 tahun dirawat bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang dan didiagnosis
Gangren diabetikum pedis dextra + anemia penyakit kronik + DM tipe 2. Pasien dikonsulkan ke
poliklinik gigi dan mulut RSMH mengeluh gigi berlubang dan adanya bercak keputihan pada
lidah.
Saat diperiksa, keadaan umum pasien tampak kompos mentis, denyut nadi 88x/m, laju
pernapasan 22x/m, suhu 36,50 C dan tekanan darah 110/70 mmHg. Pada pemeriksaan ekstraoral,
dijumpai bentuk wajah simetris. Pada pemeriksaan intraoral bagian mukosa bukal dalam batas
normal, gusi merah dan membengkak (-), plak (+) diregio a,c,d,f dan kalkulus (+) pada semua
regio. Pada lidah terdapat lesi berupa lapisan plak berwarna putih yang tersebar merata pada
seluruh bagian atas permukaan lidah.
Pada pemeriksaan intra oral bagian mukosa bukal labial dan palatum dalam batas normal
namun, ditemukan debris di regio a,c,d,f dan hubungan rahang ortognatia. Debris disebabkan oleh
sisa makanan yang menempel dan indikasi kurangnya perlindungan kesehatan gigi dan mulut (oral
hygiene) pasien. Hal ini menjadi faktor resiko terjadinya infeksi karena apabila oral hygiene yang
buruk jumlah bakteri yang berkolonisasi di gigi meningkat 2-10 kali lipat dan memungkinkan lebih
banyak bakteri melewati jaringan dan masuk ke pembuluh darah, menimbulkan peningkatan
prevalensi dan besarnya bakteremia.
Pada status lokalis, ditemukan adanya gangrene radiks pada gigi 18 merupakan tempat
subur bagi perkembangbiakan bakteri. Bakteri-bakteri penyebab infeksi kemungkinan besar
berkumpul di daerah Radix, menyebabkan kondisi oral pasien menjadi lebih buruk dan
menimbulkan gangren. Kemudian ditemukan juga nekrosis pulpa pada gigi 38 yang lesinya telah
mengenai bagian pulpa dan terdapatnya kematian pada sistem saraf pada gigi tersebut.
Pada penderita DM tipe 2 terjadi hiperglikemia akut yang menyebabkan perubahan-
perubahan dalam respon imun. Pasien dengan keadaan sering mengalami xerostomia dan dengan
imun yang rendah menyebabkan infeksi jamur Candida dapat berkembang dengan baik. Selain itu
pada DM tipe 2 laju aliran saliva juga bekurang yang mana hal ini menyebabkan proses pembilasan
dan sifat antibakterial dari air ludah juga menurun sehingga menimbulkan kerentanan pada pasien
untuk mengalami infeksi oportunistik. Secara umum pada kasus DM tipe 2 merupakan faktor
31
risiko untuk menimbulkan perubahan yang terjadi di rongga mulut, yaitu kandidiasis, pemeriksaan
klinis didapatkan lidah terdapat lesi berupa lapisan plak berwarna putih, bisa dikerok dan
meninggalkan dasar kemerahan. Diagnosis lesi pada lidah pasien yaitu Suspek kandidiasis e.c DM
tipe 2
32