Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) berkembang menjadi


masalah kesehatan yang serius di dunia, terutama di Indonesia. Wabah
besar global dimulai di Asia Tenggara pada 1950-an dan hingga 1975,
demam berdarah telah menjadi penyebab kematian utama yang terjadi
pada anak-anak di daerah tersebut. Pada tahun 1968 jumlah kasus DBD di
Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan peningkatan jumlah
kasus yang mencolok yang memperlihatkan eksistensi kejadian luar biasa
(KLB) bahkan terjadi setiap 5 tahun sekali yaitu pada tahun 1973, 1978,
1983 dan tahun 1986. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun
1969, selanjutnya dilaporkan di Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972).
Epidemi pertama dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan
Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Tahun 1990
semua propinsi sudah terjangkit kecuali Timor-Timur dan wabah terakhir
tahun 1988 tercatat sebanyak 48.573 kasus dengan angka kematian 3,3%
tetapi tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia
(Fahmi, 2006).
Demam Berdarah Dengue (DBD) ini merupakan salah satu
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk.
Penularan penyakit ini di pengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor
perilaku masyarakat. Faktor lingkungan antara lain karena kondisi
geografis seperti tingkat ketinggian dari permukaan laut, peralihan musim
yang berkepanjangan yang membuat jentik-jentik nyamuk Aedes aegypti
semakin mudah untuk berkembang biak, kondisi musim seperti angin,
tingkat kelembaban udara dan kondisi hujan yang belum tentu turun tiap
hari yang menyebabkan genangan-genangan air hujan yang berpotensi
menjadi sarang berkembang biaknya jentik-jentik nyamuk, serta kondisi

1
2

kepadatan penduduk, mobilitas penduduk dan transportasi (Nyoman,


2007).
Siklus hidup nyamuk umumnya mulai dari telur, larva (jentik),
pupa (kepompong), dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa. Telur nyamuk
bisa mencapai ratusan butir dan bertahan hidup selama 3 sampai 4 minggu.
Telur-telur nyamuk akan menetas sekitar 2 hari kemudian menjadi jentik-
jentik nyamuk. Jentik-jentik nyamuk ini akan berkembang biak di air
jernih. Nyamuk Aedes aegypti ini sebagai vector penyakit memiliki pola
hidup dan berkembang biak di daerah panas. Untuk mengatasi masalah di
atas maka perlu dilakukan cara yang tepat dalam pemberantasan penyakit
DBD adalah dengan pengendalian vektor nyamuk sebagai penular
(Febriyanti, 2007).
Nyamuk merupakan vektor beberapa penyakit pada hewan dan
manusia. Banyak penyakit pada hewan dan manusia yang penularannya
mutlak memerlukan peran nyamuk sebagai vektor bagi agen penyakitnya,
seperti filariasis dan malaria. Sebagian spesies nyamuk dari genus
Anopheles dan Culex yang bersifat zoofilik berperan dalam penularan
penyakit pada binatang dan manusia, tetapi ada juga spesies nyamuk
antropofilik yang hanya menularkan penyakit pada manusia
(Sudarmaja,2009).

Vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah


kesehatan khususnya di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk
A. aegypti merupakan serangga yang banyak terdapat di daerah perumahan
dan dapat bertindak sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue
(DBD) (Depkes RI, 2010).

Penyebaran penyakit DBD di suatu kawasan harus dikontrol


sehingga penyakit tersebut mendapat penanganan yang tepat. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol penyebaran penyakit yaitu
dengan melakukan pemetaan vektor penyakit tersebut. Belum
ditemukannya obat dan vaksin untuk mengatasi penyakit DBD
mengakibatkan cara pencegahan melalui pemutusan rantai penularan
3

dengan mengendalikan populasi vektor penyakit menjadi penting


(Lestari,2010).

Salah satu upaya memutus mata rantai penyebaran nyamuk tersebut


adalah dengan cara pengendalian vektor dengan menggunakan insektisida.
Saat ini telah banyak insektisida yang digunakan oleh masyarakat,
sayangnya insektisida tersebut membawa dampak negatif pada lingkungan
karena mengandung senyawa-senyawa kimia yang berbahaya, baik
terhadap manusia maupun sekelilingnya (Lailatul et al., 2010).

Banyak sekali jenis produk pestisida rumah tangga atau lebih


dikenal sebagai obat nyamuk, seperti produk pengusir nyamuk dalam
bentuk semprotan, bakar, elektrik, dan oles. Prinsip utama yang harus
diingat dalam menyikapi penggunaan pestisida rumah tangga adalah
semua pestisida merupakan racun dan semua racun pasti berbahaya.
Semua produk yang ditujukan untuk mengendalikan nyamuk adalah
racun,dan tidak ada satupun racun yang aman (Prijono, 2011). Racun yang
terkandung dalam obat nyamuk ini berbahaya, maka pengendalian dengan
menggunakan bahan-bahan kimia dianggap kurang efektif (Depkes RI,
2005), oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yang lebih sederhana dan
tidak merugikan kesehatan (Aryanto, 2008).

Pengembangan insektisida baru yang tidak menimbulkan bahaya


dan lebih ramah lingkungan salah satunya dengan penggunaan
bioinsektisida. Bioinsektisida atau insektisida hayati adalah suatu
insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang mengandung
bahan kimia (bioaktif) yang toksik terhadap serangga namun mudah
terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan
relatif aman bagi manusia. Selain itu, insektisida hayati ini bersifat selektif
(Lailatul et al.,2010).

Tindakan pencegahan dengan memberantas sarang nyamuk dan


membunuh larva serta nyamuk dewasa, merupakan tindakan yang terbaik.
Pemberantasan larva merupakan kunci strategi program pengendalian
4

vektor di seluruh dunia karena dianggap lebih efektif untuk dilakukan


daripada pemberantasan nyamuk dewasa. Hal ini disebakan nyamuk
dewasa bisa terbang dan hidupnya berpindah-pindah, sedangkan larva
berada di tempat perindukan yaitu berada dalam satu tempat yang
tergenang air (Sikka, 2009).

Pemberantasan larva dapat dilakukan dengan menggunakan


larvasida dengan bahan aktif temephos. Produk larvasida yang beredar di
pasar saat ini adalah Abate dengan kandungan temephos 1%. Abate 10
mg/100 liter air ditaburkan ke dalam bak air, setelah Abate ditaburkan
selama satu bulan bak air tidak boleh dikuras karena obat ini menempel di
dinding bak air jadi bila ada jentik, jentik akan mati. Air yang mengandung
Abate tetap aman untuk keperluan mandi ataupun minum, tetapi, air
yang ditaburi Abate berbau kurang sedap, hal ini merupakan salah satu
kelemahan formulasi Abate. Penggunaan Abate secara terus menerus
juga dapat menyebabkan resistensi larva nyamuk tingkat sedang (Raharjo,
2010). Laporan resistensi larva A.aegypti terhadap Abate sudah
ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Kuba,
French, Polynesia, Karibia, dan Thailand. Selain itu juga telah dilaporkan
resistensi larva A. aegypti terhadap Abate di Surabaya dan Jakarta
(Sikka, 2009).

Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap tumbuhan yang


mengandung bahan aktif tertentu yang dapat mengendalikan nyamuk A.
aegypti sehingga dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati
(bioinsektisida). Daun Jeruk purut (Citrus hystrix) telah lama dikenal
sebagai penyedap dalam masakan, pembuatan kue atau dibuat manisan.
Daun jeruk purut berkhasiat stimulan dan penyegar. Kulit buah berkhasiat
stimulan, berbau khas aromatik, rasanya agak asin, dan lama-lama agak
pahit. Tanaman yang juga terlihat cantik jika ditanam dalam pot ini lebih
dahulu dimanfaatkan sebagai bumbu masakan. Daun Jeruk purut biasa
dipakai untuk memperkaya cita rasa sajian atau kaldu (Rukmana, 2008).
5

Daun jeruk purut mengandung flavonoid, saponin dan tanin.


Kandungan flavonoid dalam jeruk purut inilah yang diduga kuat dapat
digunakan sebagai insektisida khususnya terhadap nyamuk A. aegypti.
(Kurniawati, et al., 2006)

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang


dapat berperan menghambat kerja mitokondria sehingga memiliki efek
sebagai inhibitor pernapasan bagi nyamuk (Dinata, 2006). Pada penelitian
sebelumnya, minyak atsiri daun jeruk purut efektif sebagai repellant
daterhadap larva instar II nyamuk Culex Sp. Setelah larva kontak dengan
larutan uji selama 24 jam (Susilowati et al., 2009). Selain itu, ekstrak daun
jeruk purut juga terbukti efektif sebagai anti nyamuk dengan metode
semprot (Nugroho, 2010). Minyak atsiri daun jeruk purut terdiri atas
berbagai senyawa yang mudah menguap dan senyawa alelokimia seperti
terpenoid dan tannin akan menyebabkan larva tidak dapat mencapai berat
kritisnya untuk menjadi pupa sehingga laju metabolism menurun (Siregar,
2005).

Berdasarkan data di atas, maka penulis bermaksud melakukan


penelitian tentang Pengaruh minyak daun jeruk purut (Citrus hystrix)
terhadap larva instar II nyamuk A. aegypti.

B. Rumusan Masalah

Apakah minyak daun jeruk purut (Citrus hystrix) berpengaruh


terhadap larva instar II nyamuk A. aegypti?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini dengan tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh minyak daun jeruk purut
(Citrus hystrix) terhadap larva instar II nyamuk A. aegypti.

2. Tujuan Khusus
6

Untuk menganalisa konsentrasi efektif minyak daun jeruk


purut (Citrus hystrix) terhadap larva instar II nyamuk A.
aegypti.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara


lain sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat
a. Memberikan informasi tentang pengaruh minyak daun jeruk purut
(Citrus hystrix).
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai insektisida
nabati yang lebih murah, efektif, mudah didapat dan aman bagi
manusia.
2. Bagi Peneliti

Menambah wawasan bagi peneliti mengenai kejadian DBD dan


model early warning (peringatan dini) kejadian DBD sehingga dapat
melakukan berbagai upaya pencegahan.

3. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan


a. Dapat memberi sumbangan dan memperluas pengetahuan
mengenai cara alternatif mengontrol nyamuk A. aegypti dengan
bahan tradisional yang bersifat insektisida yaitu dengan
menggunakan minyak daun jeruk purut (Citrus hystrix).
b. Memberikan acuan tambahan bagi tenaga medis dan pemerintah
mengenai pertumbuhan angka kejadian DBD sehingga dapat
meningkatkan pencegahan dan penanganan yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai