BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada zaman sekarang pengembangan pembangunan wilayah tidak hanya pada
perkotaan, tetapi juga berkembang di daerah pinggir kota seperti pantai, dan
perbukitan. Lombok merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki
daratan berupa perbukitan, persawahan, dan pantai. Banyak bangunan tinggi, dan
tower telekomunikasi dikembangkan di daerah ini, dimana memiliki resiko lebih
besar mengalami kerusakan akibat terkena sambaran petir. Kerusakan yang
ditimbulkan dapat membahayakan manusia, beserta peralatan yang ada di dalam
gedung tersebut. Selain kerusakan yang ditimbulkan, paling tidak terjadi salah
operasi (mal-function), akibat sambaran petir baik langsung maupun tidak
langsung.
Landasan yang digunakan untuk bangunan tersebut, memiliki strutur tanah,
dan tahanan yang berbeda seperti pada umumnya. Untuk mengamankan gedung,
peralatan listrik, peralatan telekomunikasi, dan makhluk hidup yang ada
disekitarnya dibutuhkan tahanan pentanahan sekecil mungkin, agar terlindungi
dari sambaran petir. Diperlukan adanya proteksi (pengaman) petir untuk landasan
tersebut.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 037015-2004 :Sistem Proteksi Petir
Pada Bangunana Gedung, menyatakan tentang persyaratan dari perlindungan
gedung dari sambaran petir, yaitu Sistem Proteksi Petir (SPP) eksternal dan
internal.SPP eksternal adalah sistem perlindungan gedung terhadap sambaran
langsung dengan jalan menyalurkan arus petir langsung ke bumi. SPP internal
merupakan tindakan tambahan yang dilakukan untuk melengkapi SPP eksternal
untuk mengurangi efek elektromagnetik pada ruangan terproteksi. Untuk
melindungi bangunan, dan makhluk hidup dari sambaran petir langsung, maka
sistem proteksi ekstenal yang akan di butuhkan. SPP eksternal terdiri dari finial,
down conductor dan elektroda pentanahan (grounding ). Untuk dapat
mengalirkan, arus petir ke permukaan bumi, maka di butuhkan sistem pentanahan.
Permasalahan yang penting dalam suatu pentanahan baik, untuk penangkal
petir, atau pentanahan netral sistem tenaga adalah seberapa besar impedansi
sistem pentanahan tersebut. Besar impedansi pentanahan tersebut, dipengaruhi
2
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Zulfikar (2012), menyatakan bahwa berdasarkan metode C.J Blattner yang
hasilnya untuk tanah pertanian dibawah 2 m penurunan resistansi tanah cenderung
konstan dengan nilai berkisar antara 54,98 Ohm - 2, 8 Ohm, untuk tanah pasir
basah di bawah 2 m penurunan resistansi tanah pasir basah cenderung konstan
dengan nilai berkisar antara 132,1 Ohm 120,41 ohm, serta untuk tanah
bebatuan dibawah 2 m terjadi peningkatan resistansi tanah dengan nilai berkisar
antara 511,4 Ohm 171,68 Ohm.
Wiwik (2013), menyimpulkan bahwa semakin dalam penanaman elektrode
pentanahan baik secara horisontal maupun vertikal mempunyai nilai resistansi
tanah yang rendah. Pelaksanaan pengujian nilai tahanan pentahanan hendaknya
pada musim kemarau untuk mendapatkan hasil yang akurat . Lapisan tanah yang
paling dekat dengan elektrode pentanahan mempunyai luas penampang yang
terkecil sehingga tahanan pentanahannya besar, lapisan tanah berikutnya
mempunyai luas lebih besar sehingga nilai tahanan pentanahan kecil.
Mirwan (2014), menyatakan bahwa semakin dalam penanaman elektroda
batang maka hasil resistansi tanah yang didapatkan akan semakin kecil atau
semakin baik. Nilai tahanan pentanahan pada tanah non reklamasi lebih tinggi
dari nilai tahanan pentanahan pada tanah reklamasi baik dari hasil pengukuran
maupun hasil perhitungan.
Yang, dkk (2014), menyatakan bahwa dalam pengukuran grounding resistensi,
linear metode kabel 3-tiang ini berlaku untuk pengukuran grounding resistensi
untuk bangunan (struktur) dalam air, yang memecahkan masalah tentang
bagaimana mengukur resistansi grounding bangunan (struktur) dalam air, dengan
signifikansi praktis yang besar untuk menilai jika proteksi petir landasan
bangunan (struktur) seperti lintas laut, lintas-sungai dan lintas-danau jembatan,dan
platform pengeboran lepas pantai.
Prasad (2012), menyatakan bahwa resistivitas tanah memainkan bagian yang
sangat penting saat merancang sistem grounding. Pembumian atau sistem
grounding tergantung pada kedua sifat-sifat tanah dan resistivitas bumi. Sifat-
5
sifat tanah yang ditandai dengan resistivitas bumi yang berubah melalui dari
beberapa .m hingga ribu .m tergantung pada jenis tanah dan struktur serta
kelembabannya. Akibatnya sulit untuk menghitung nilai yang resistivitas bumi
tepat. Baik resistivitas sangat rendah atau resistivitas sangat tinggi aman untuk
keselamatan manusia. Resistivitas tanah mempengaruhi nilai resistansi grounding
serta resistansi jaringan.
Kizhlo,dkk (2010), menyatakan bahwa pengukuran yang akurat dari
resistivitas tanah dan sistem grounding resistansi adalah dasar keselamatan listrik.
Namun, faktor geologi dan meteorologi dapat memiliki pengaruh yang besar pada
keakuratan pengukuran konvensional dan validitas metode pengukuran. Dan juga
mencatat bahwa resistivitas lapisan atas secara signifikan bervariasi dari titik ke
titik lain, mencerminkan perbedaan kadar air pada lapisan tanah bagian atas
karena topografi lokal dan parameter lainnya.
Pada penelitian ini peneliti menghitung nilai impedansi pentanahan
berdasarkan kedalaman elektroda batang yang diatur sebesar 25 cm, 50 cm, 75
cm, dan 100 cm dengan jarak antara elektroda utama dan bantu yang semakin
panjang yaitu 5 m, 7 m, dan 10 m. Untuk mendapatkan, nilai impedansi
pentanahan dibutuhkan nilai resistansi, induktansi, dan kapasitansi. Pada nilai
resistansi tanah, diperoleh dari pengukuran yang dilakukan pada tanah padas,
tanah kapur, tanah padas, dan tanah sawah yang berlokasi di Lombok Barat dan
Mataram, sedangkan untuk nilai induktansi, dan kapasitansi dihitung
menggunakan rumus pada landasan teori.
2.2 Landasan Teori
2.2.1. Tanah
Hardiyatmo (2006), tanah adalah himpunan mineral bahan organik, dan
endapan-endapan yang relatif lepas, yang terletak diatas batuan dasar. Ikatan
antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh kabronat, zat organik, atau
oksida-oksida yang mengendap diantara partikel -partikel. Ruang diantara partikel
partikel dapat berisi air, udara, ataupun keduanya. Proses pembentukan tanah
dapat berupa proses fisika dan kimia. Proses pembentukan tanah secara fisik yang
mengubah batuan menjadi partikel partikel yang lebih kecil, terjadi akibat
pengaruh erosi, angin, air, es, manusia, atau hancurnya partikel tanah akibat
6
perubahan suhu. Sedangkan proses pembentukan tanah secara kimia dapat terjadi
oleh pengaruh oksigen, karbondioksida, dan proses kimia lainnya.
2.2.2 Tanah Sawah
Tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan,
atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran
drainase (Hardjowigeno, 2004).Di daerah rawa-rawa sering ditemukan tanah-
tanah sangat masam dengan pH kurang dari 3,0 yang disebut tanah sangat masam
karena banyak mengandung asam sulfat.
Penggenangan merupakan karakteristik khas dari tanah sawah, dimana sawah
harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan penggenangan
pada periode tertentu dalam partumbuhannya. Pada kondisi tergenang, air masuk
ke pori-pori tanah dan menggantikan udara yang ada di dalamnya. Pada kondisi ini
mikroorganisme tanah menggunakan bahan-bahan teroksidasi dalam tanah, untuk
menggantikan oksigen tanah sehingga terjadi reduksi. (Sudadi, 2007).
Tanah sawah memiliki senyawa H2S, karena pada tanah yang digenangi maka
suplai oksigen (O2) akan menurun, dan terjadi reduksi SO42- menjadi H2S. Hasil
reduksi SO42- berfungsi akan mengganti O2 tersebut. Proses reduksi SO42- tanah
sawah sebagai berikut (Darmawidjaya, 1990).
SO42- + 2H2 H2S + 2O2-
Senyawa H2S menghasilkan kation hidrogen H + dan anion sulfid HS-.
H2S H+ + HS
memegang dan menyimpan air rendah, kesuburan dan bahan organik sangat
rendah dan efisiensi penggunaan air rendah (Bambang Kertonegoro, 2001). Tanah
pasir cenderung bersifat basa karena sedikitnya partikel liat serta kurangnya bahan
organik. Untuk memperbaikinya, maka tanaman pasir akan menyerap unsur hara
fosfat (P) dan mengeluarkan nya dalam bentuk H2PO4- (Hanafiah, 2005). Hal ini
menyebabkan, didalam tanah pasir terdapat senyawa H2PO4-. Di dalam unsur
kimia, senyawa H2PO4- merupakan pecahan dari H3PO4 yang unsur H+ terlepas
dari ikatannya, sehingga senyawa H2PO4- memiliki ikatan elektron bersama yang
tidak stabil. Ikatan tidak stabil adalah ikatan yang tidak dapat mengikat elektron
secara bersama. Akibatnya senyawa H2PO4- tidak dapat mengikat elektron petir
secara bersama dan mengalirkan nya ke dalam tanah.
menangkap elektron petir, ke dalam tanah. Hal ini menyebabkan, aliran elektron
petir akan melintasi muatan positif di tanah.
H2O H + + OH
kapasitansi dari sitem tersebut dengan media tanah yang mempunyai permitivitas
. Dengan demikian, impedansi pentanahan dapat dibuat rangkaian ekuivalennya
seperti gambar berikut (Supardi, 2004).
Tabel 2.3 Nilai pendekatan dari konduktivitas dan dielektrik permitivitas relatif
dari beberapa materi
Material Permitivitas relative (r)
Tanah Pasir 4
Tanah liat (Sawah) 10
Tanah Padas 6
Basal (Batuan Beku) 8
Batu Besi 5
(Sumber : Hafiz, 2013)
Berdasarkan model sistem pentanahan yang dipakai dapat dihitung besarnya
impedansi pentanahan tersebut (Supardi, 2004; Anggoro, 2007).
12
Z = jL (2.4)
Z = j (2) L (2.5)
1
Z = (2.6)
jc
1
Z = (2.7)
j2c
R.Zc
Zt = ZL + (2.8)
R+Zc
tersebut terdapat titik elektroda pentanahan, titik arus balik, dan titik
potensial. Dua elektroda bantu (potensial dan current) ditanam ke dalam bumi
segaris dan sejajar dengan elektroda (ground). Untuk mendapatkan nilai R, maka
arus akan diinjeksikan dan tegangan diukur seperti pada Gambar 8. Injeksi arus
tersebut didapatkan melalui generator frekuensi/sinyal. Jarak elektroda (ground)
yang terukur dan elektroda bantu (potential) dari jarak antara elektroda terukur
dengan elektroda terluar.
Pengukuran metode tiga titik ini dilakukan beberapa kali dengan penanaman
elektroda tengah di lokasi yang berbeda antara Ground dan Potensial. Titik current
adalah nilai resistansi yang terukur, serta titik ground ke potential adalah nilai
potensial terukur. Agar mendapatkan hasil pengukuran yang akurat, elektroda
harus berada pada jarak yang cukup jauh satu sama lain sehingga dapat
meminimalkan tahanan timbal balik.
Jika intensitas medan listrik radial dari sebuah muatan listrik dalam ruang hampa
ialah
Q
= 4 2
ar (2.10)
0r
Fluks listrik yang menembus setia permukaan tertutup sama dengan muatan total
yang dilingkingi oleh permukaan tersebut.
Sumbangan Gauss, seorang matematikawan besar di dunia, sebenarnya bukanlah
menyatakan huku di atas , tetapi dalam memberikan bentuk matematis dari
pernyataan tersebut yang akan kita lakukan sekarang.
Fluks total yang menembus permukaan tertutup didapat dengan
menjumlahkan sumbangan difrensial yang menembus tiap-tiap unsur permukaan
S (Hyatt, 1994 : 51)
= d = permukaan Ds . dS (2.12)
tertutup
karena, arus berbanding lurus dengan muatan listrik (I Q), dan muatan listrik
berbanding lurus dengan kerapatan muatan (Q ).
2. Material tanah dianggap homogen, sehingga distribusi arus petir (Ip) dalam
tanah ke segala arah akan sama, dengan menggunakan sistem koordinat tabung,
maka penyebaran arus (Ip) ke arah sumbu radial (r) akan sama besar.
3. Jika area (A) yang terdistribusi aliran arus petir akan semakin luas, maka
penyebaran kerapatan arus (J) semakin kecil, sehingga penyebaran aliran arus
di dalam tanah semakin kecil. Hal ini di sebabkan karena, kerapatan arus
berbanding lurus dengan arus (J I).
2.2.14 Sistem Koordinat Tabung
Sistem koordinat tabung merupakan versi tiga dimensi dari koordinat poral
dala geometri analitik. Dalam koordinat kutub dua dimensi, sebuah titik pada
bidang ditentukan oleh jarak dari titik asal, dan sudut antara garis
menghubugkan titik asal dengan titik tersebut dan garis radial (sembarang) yang
dipilih sebagai acuan (refrensi). Dalam koordinat tabung tiga dimensi ditentukan
juga jarak z dari titk yang ditinjau dengan bidang z = 0 yang merupakan bidang
acuan yang tegak lurus terhadap garis = 0 (Hyatt, 1994 : 13).
Gambar 2.7 Posisi koordinat dan vektor dasar dalam sistem koordinat
silinder
(Sumber : Schaum, 2013)
Gambar 2.7 memperlihatkan posisi dari koordinat titik P pada sistem
adalah u1= , u2= , dan u3 = z. Dimana didefinisikan arahnya tegak lurus
terhadap bidang z, dan merupakan sudut yang terbentuk dengan arah menjauhi
bidang x. Koordinat z adalah sama untuk koordinat kartesian. Titik perpotongan
dari tiga bidang yang saling tegak lurus, dimana bidang datar = tetapan, =
tetapan dan z = tetapan,dimana 0 < < , 0 < <2 dan - <z<. Sistem
koordinat atbung dapat menganalisa medan listrik (E).
17
dengan,
r = yay = a (2.21)
r = zaz (2.22)
r r = a zaz (2.23)
18
menghasilkan,
E = 2 (2.24)
40 (2 )3/2
Jika bahan dielektrik dari medium yang dilalui diperhitungkan maka persamaan
(2.29) menjadi,
E = 2 (2.25)
4(2 )3/2
Dengan,
= r x 0
2.2.15 Analisa Jarak Elektroda
Metode tiga titik digunaka ada pengukuran nilai resistansi di tanah padas,
pasir dan sawah . Metode tiga titik, yaitu menggunakan elektroda batang yang
akan diukur (ground), dan tambahan 2 batang elektroda sebagai elektroda bantu
(potensial dan current) untuk pengukuran. Pada 3 titik tersebut terdapat titik
elektroda pentanahan, titik arus balik, dan titik potensial. Pada penelitian ini
menggunakan jarak 5 m, 7 m, dan 10 m. Model penggambaran dari metode ini,
dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.9 Metode tiga titik dengan jarak elektroda yang sama
Jika di asumsikan, jarak pada elektroda merupakan jarijari (r) tabung, maka
dapat dilihat pada Gambar 4.7 berikut.
Gambar 2.10 Metode tiga titik dengan jarak elektroda yang diasumsikan
sebagai jari-jari (r) tabung
19
= (2.27)
2.2.17 Arus Konduksi (Ic) dan Arus Displacement/ Perpindahan (Id)
Elektroda pengetanahan (grounding) yang terinjeksi arus petir, maka arus di
dalam tanah akan mengalir secara konduksi (Ic) maupun secara perpindahan(Id).
Arus konduksi (Ic) dominan dipengaruhi oleh konduktifitas tanah(t), dimana
kondutifitas adalah ukuran dari kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan
arus listrik, sedangkan arus perpindahan (Id) dominan dipengaruhi oleh frekuensi
arus (Elektromagnetika, schaum, 1993). Semakin tinggi frekuensi arus petir (f),
maka aliran arus perpindahan atau arus displacement (Id) akan semakin
meningkat, karena Id merupakan fungsi dari frekuensi (Elektromagnetika,
Schaum, 2013). :
= + (2.28)
= (2.29)
20
= (2.30)
Karena = ; = ; = ; dan = 2 maka :
= (2.31)
= (2.32)
2.2.18 Potensial Listrik (V) dan Beda Potensial diantara Dua Titik (V).
Potensial pada suatu titik didefinisikan sebagai : kerja yang diperlukan untuk
membawa satu satuan muatan positif dari titik acuan nol ke titik tersebut. Medan
potensial suatu muatan titik adalah linier terhadap muatan, sehingga prinsip
superposisi dapat dipakai. Akibatnya potensial sistem muatan pada suatu titik
tidak bergantung pada lintasan yang diambil untuk membawa muatan uji ke titik
tersebut. Jadi medan potensial sebuah muatan titik bermuatan Qn pada titik rn
hanya berhubungan dengan jarak |r - rn| dari Qn ke titik di r tempat potensial
tersebut dicari. Untuk acuan titik nolak berhingga, didapatkan, (Hayt Jr., 2004).
V(r) = (2.33)
40 | |
rapat garis-garis gaya (B) dan berbanding terbalik dengan permeabilitasnya ().
B = H. (2.36)
Vektor kerapatan fluks magnetik B seperti juga namanya sudah menyatakan
anggota keluarga medan vektor keraptan fluks. Salah satu kemungkinan dari
analogi antara medan listrik dan medan magnet, bandingkanlah Hukum Bio-
Savart dengan Hukum coulumb, akibatnya analogi antara antara H dengan E,
sebagai berikut :
21
I1 1 12
dH2 = 2 (2.37)
412
1 12
dE2 = 2 (2.38)
40 12
Kedua hukum tersebut menyatakan hukum kebalikan kuadrat terhadap jarak, dan
kedua nya menunjukan hubungan linier antara sumber dari medan. Hubungan
antara,
B = 0 H, dan (2.39)
D = 0 E (2.40)
Hal ini menyebabkan terjadinya mengakibatkan analogi antara B dan D. Jika B
diukur dalam weber per meter persegi, maka fluks magnetik harus diukur dalam
weber. Bila fluks () didefinisikan sebagai fluks yang menembus suatu luas
permukaan,
= B. dS Wb (2.41)
Penganalogian tersebut mengingatkan kita pada fluks listrik () yang diukur
dalam Coulumb, dan hukum Gauss menyatakan bahwa fluks listrik total yang
menembus permukaan tertutup sama dengan jumlah muatan yang dilingkunginya.
= D. dS = Q (2.42)
Muatan Q merupakan sumber garis fluks listrik dan garis ini mulai berakhir
masing-masing muatan positif dan negatif.
Medan H membentuk lingkaran sepusat di lingkaran nya. Karena B = H,
medan B berbentuk seperti itu juga. Garis fluks magnetik selalu tertutup tidak
berakhir pada muatan magnetik. Karena hal tersebut maka bentuk hukum Gauss
untuk medan magnet ialah
B. dS = 0 (2.43)
Induktansi
Pendifinisian setara untuk induktansi dapat dilakukan dengan memakai
pandangan energi,
2WH
L= (2.44)
I2
22
Dengan I menyatakan arus total yang yang mengalir dalam lintasan tertutup dan
WH ialah energi dari medan magnetik yang timbul oleh arus tersebut. Jika kita
nyatakan energi potensial dalam kuantitas medan magnetik,
B.H dv
L= (2.46)
I2
Jika B ganti dengan x A, maka
1
L = I2 H . ( x A)dv (2.47)
2.2.20 Kapasitansi
Sekarang kita tinjau dua konduktor yang ditanam di dalam bahan dielektrik
yang serbasama. Konduktor M1 berisi muatan postitif dan M1 berisi muatan
negative yang besarnya sama.
Marilah kita tandai beda potensial antara M2 dan M1 tersebut dengan V0.
Sekarang kita boleh mendifinisikan kapasitansi kedua sistem konduktor ini
sebagai rasio besar muatan total dalam konduktor terhadap beda potensial antara
konduktor tersebut (Hyatt, 1994 : 128).
Q
C= (2.48)
Sebagai contoh pertama kita ambil kabel sesumbu (koaksial) atau kapasitor
sesumbu dengan jari-jari dalam a, jari-jari lua b dan panjang L. Dalam hal ini
tidak diperlukan pekerjaan berat untuk menurunkannya, karena beda potensial
telah diketahui, dan kuantitas tersebut dibagi dengan muatan total L L.
2L
C= (2.49)
ln(b/a)