Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada zaman sekarang pengembangan pembangunan wilayah tidak hanya pada
perkotaan, tetapi juga berkembang di daerah pinggir kota seperti pantai, dan
perbukitan. Lombok merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki
daratan berupa perbukitan, persawahan, dan pantai. Banyak bangunan tinggi, dan
tower telekomunikasi dikembangkan di daerah ini, dimana memiliki resiko lebih
besar mengalami kerusakan akibat terkena sambaran petir. Kerusakan yang
ditimbulkan dapat membahayakan manusia, beserta peralatan yang ada di dalam
gedung tersebut. Selain kerusakan yang ditimbulkan, paling tidak terjadi salah
operasi (mal-function), akibat sambaran petir baik langsung maupun tidak
langsung.
Landasan yang digunakan untuk bangunan tersebut, memiliki strutur tanah,
dan tahanan yang berbeda seperti pada umumnya. Untuk mengamankan gedung,
peralatan listrik, peralatan telekomunikasi, dan makhluk hidup yang ada
disekitarnya dibutuhkan tahanan pentanahan sekecil mungkin, agar terlindungi
dari sambaran petir. Diperlukan adanya proteksi (pengaman) petir untuk landasan
tersebut.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 037015-2004 :Sistem Proteksi Petir
Pada Bangunana Gedung, menyatakan tentang persyaratan dari perlindungan
gedung dari sambaran petir, yaitu Sistem Proteksi Petir (SPP) eksternal dan
internal.SPP eksternal adalah sistem perlindungan gedung terhadap sambaran
langsung dengan jalan menyalurkan arus petir langsung ke bumi. SPP internal
merupakan tindakan tambahan yang dilakukan untuk melengkapi SPP eksternal
untuk mengurangi efek elektromagnetik pada ruangan terproteksi. Untuk
melindungi bangunan, dan makhluk hidup dari sambaran petir langsung, maka
sistem proteksi ekstenal yang akan di butuhkan. SPP eksternal terdiri dari finial,
down conductor dan elektroda pentanahan (grounding ). Untuk dapat
mengalirkan, arus petir ke permukaan bumi, maka di butuhkan sistem pentanahan.
Permasalahan yang penting dalam suatu pentanahan baik, untuk penangkal
petir, atau pentanahan netral sistem tenaga adalah seberapa besar impedansi
sistem pentanahan tersebut. Besar impedansi pentanahan tersebut, dipengaruhi
2

oleh resistivitas relatif tanah, dan konfigurasi sistem pentanahan (Hutauruk,


1991).
Untuk mengetahui nilai impedansi pentanahan, maka dibutuhkan adanya
pengukuran pada nilai resistansi tanah, sedangkan untuk nilai induktansi dan
kapasitansi dapat dihitung menggunakan persamaan yang terdapat di dasar teori.
Pengukuran dapat dilakukan, dengan cara menanamkan elektroda batang pada
kedalaman dan tanah yang berbeda.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain :
a. Bagaimana pengaruh jenis tanah terhadap nilai impedansi tanah ?
b. Bagaimana pengaruh kedalaman elektroda batang terhadap nilai impedansi
pentanahan ?
c. Bagaimana perbandingan nilai impedansi pentanahan pada kedalaman
elektroda batang yang sama dengan kondisi tanah yang bervariasi ?
1.3 Batasan Masalah
Agar penelitian tidak terlalu luas, maka perlu adanya batasan batasan masalah
sebagai berikut :
a. Penelitian ini dilakukan pada tanah padas, tanah pasir, dan tanah sawah.
b. Menggunakan metode tiga titik dengan posisi elektroda utama dan bantu
tidak berubah (tetap).
c. Mengatur kedalaman elektroda batang yaitu 25 cm, 50 cm, 75 cm dan 100
cm.
d. Mengatur jarak antara elektroda utama dengan eletroda arus dan tegangan
masing- masing yaitu 5 m, 7 m, dan 10 m untuk ketiga jenis tanah tersebut.
1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan Tugas Akhir ini adalah :
a. Mengetahui pengaruh jenis tanah terhadap nilai impedansi tanah.
b. Mengetahui pengaruh panjang elektroda batang terhadap nilai impedansi
pentanahan dengan kondisi tanah berbeda.
c. Mengetahui perbandingan nilai impedansi pentanahan pada kedalaman
elektroda batang yang sama dengan kondisi tanah yang bervariasi.
3

1.5 Manfaat Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian diatas, manfaat yang ingin di
capai dalam penelitian ini adalah :
a. Bagi Peneliti sebagai tambahan ilmu pengetahuan khususnya mengenai nilai
tahanan pentanahan.
b. Memberikan wawasan mengenai pengaruh perbedaan kondisi jenis tanah
terhadap kedalaman penanaman elektroda batang.
1.6 Sistematika Penulisan
Di bawah ini adalah sistematika penulisan untuk laporan penelitian, yang
terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan dimana di dalamnya berisikan tentang
latar belakang, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode pengumpulan data dan sistematika
penulisan.
BAB II DASAR TEORI
Berisikan tentang jenis jenis karakteristik tanah, fungsi sistem
proteksi petir (SPP) secara eksternal, penjelesan sistem pentanahan,
jenis jenis pentanahan, rangkaian ekuivalen untuk pengukuran
impedansi tanah, dan rumus rumus perhitungan tentang pentanahan.
BAB III METODE PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini berisikan tentang pengukuran resistansi tanah pada kedalaman
grounding sebesar 25 cm, 50 cm, dan 75 cm pada tanah padas dan
kapur, tanah pasir, tanah lempung, dan tanah pertanian.
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
Berisi analisa dan pembahasan dari hasil data yang sudah diperoleh
saat penilitian serta perhitungan tentang pentanahan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari nilai impedansi tanah pada
kedalaman grounding dan tanah yang divariasikan, serta saran dari
penulis untuk menghitung nilai impedansi tanah pada percobaan
grounding.
4

BAB II
DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Zulfikar (2012), menyatakan bahwa berdasarkan metode C.J Blattner yang
hasilnya untuk tanah pertanian dibawah 2 m penurunan resistansi tanah cenderung
konstan dengan nilai berkisar antara 54,98 Ohm - 2, 8 Ohm, untuk tanah pasir
basah di bawah 2 m penurunan resistansi tanah pasir basah cenderung konstan
dengan nilai berkisar antara 132,1 Ohm 120,41 ohm, serta untuk tanah
bebatuan dibawah 2 m terjadi peningkatan resistansi tanah dengan nilai berkisar
antara 511,4 Ohm 171,68 Ohm.
Wiwik (2013), menyimpulkan bahwa semakin dalam penanaman elektrode
pentanahan baik secara horisontal maupun vertikal mempunyai nilai resistansi
tanah yang rendah. Pelaksanaan pengujian nilai tahanan pentahanan hendaknya
pada musim kemarau untuk mendapatkan hasil yang akurat . Lapisan tanah yang
paling dekat dengan elektrode pentanahan mempunyai luas penampang yang
terkecil sehingga tahanan pentanahannya besar, lapisan tanah berikutnya
mempunyai luas lebih besar sehingga nilai tahanan pentanahan kecil.
Mirwan (2014), menyatakan bahwa semakin dalam penanaman elektroda
batang maka hasil resistansi tanah yang didapatkan akan semakin kecil atau
semakin baik. Nilai tahanan pentanahan pada tanah non reklamasi lebih tinggi
dari nilai tahanan pentanahan pada tanah reklamasi baik dari hasil pengukuran
maupun hasil perhitungan.
Yang, dkk (2014), menyatakan bahwa dalam pengukuran grounding resistensi,
linear metode kabel 3-tiang ini berlaku untuk pengukuran grounding resistensi
untuk bangunan (struktur) dalam air, yang memecahkan masalah tentang
bagaimana mengukur resistansi grounding bangunan (struktur) dalam air, dengan
signifikansi praktis yang besar untuk menilai jika proteksi petir landasan
bangunan (struktur) seperti lintas laut, lintas-sungai dan lintas-danau jembatan,dan
platform pengeboran lepas pantai.
Prasad (2012), menyatakan bahwa resistivitas tanah memainkan bagian yang
sangat penting saat merancang sistem grounding. Pembumian atau sistem
grounding tergantung pada kedua sifat-sifat tanah dan resistivitas bumi. Sifat-
5

sifat tanah yang ditandai dengan resistivitas bumi yang berubah melalui dari
beberapa .m hingga ribu .m tergantung pada jenis tanah dan struktur serta
kelembabannya. Akibatnya sulit untuk menghitung nilai yang resistivitas bumi
tepat. Baik resistivitas sangat rendah atau resistivitas sangat tinggi aman untuk
keselamatan manusia. Resistivitas tanah mempengaruhi nilai resistansi grounding
serta resistansi jaringan.
Kizhlo,dkk (2010), menyatakan bahwa pengukuran yang akurat dari
resistivitas tanah dan sistem grounding resistansi adalah dasar keselamatan listrik.
Namun, faktor geologi dan meteorologi dapat memiliki pengaruh yang besar pada
keakuratan pengukuran konvensional dan validitas metode pengukuran. Dan juga
mencatat bahwa resistivitas lapisan atas secara signifikan bervariasi dari titik ke
titik lain, mencerminkan perbedaan kadar air pada lapisan tanah bagian atas
karena topografi lokal dan parameter lainnya.
Pada penelitian ini peneliti menghitung nilai impedansi pentanahan
berdasarkan kedalaman elektroda batang yang diatur sebesar 25 cm, 50 cm, 75
cm, dan 100 cm dengan jarak antara elektroda utama dan bantu yang semakin
panjang yaitu 5 m, 7 m, dan 10 m. Untuk mendapatkan, nilai impedansi
pentanahan dibutuhkan nilai resistansi, induktansi, dan kapasitansi. Pada nilai
resistansi tanah, diperoleh dari pengukuran yang dilakukan pada tanah padas,
tanah kapur, tanah padas, dan tanah sawah yang berlokasi di Lombok Barat dan
Mataram, sedangkan untuk nilai induktansi, dan kapasitansi dihitung
menggunakan rumus pada landasan teori.
2.2 Landasan Teori
2.2.1. Tanah
Hardiyatmo (2006), tanah adalah himpunan mineral bahan organik, dan
endapan-endapan yang relatif lepas, yang terletak diatas batuan dasar. Ikatan
antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh kabronat, zat organik, atau
oksida-oksida yang mengendap diantara partikel -partikel. Ruang diantara partikel
partikel dapat berisi air, udara, ataupun keduanya. Proses pembentukan tanah
dapat berupa proses fisika dan kimia. Proses pembentukan tanah secara fisik yang
mengubah batuan menjadi partikel partikel yang lebih kecil, terjadi akibat
pengaruh erosi, angin, air, es, manusia, atau hancurnya partikel tanah akibat
6

perubahan suhu. Sedangkan proses pembentukan tanah secara kimia dapat terjadi
oleh pengaruh oksigen, karbondioksida, dan proses kimia lainnya.
2.2.2 Tanah Sawah
Tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan,
atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran
drainase (Hardjowigeno, 2004).Di daerah rawa-rawa sering ditemukan tanah-
tanah sangat masam dengan pH kurang dari 3,0 yang disebut tanah sangat masam
karena banyak mengandung asam sulfat.
Penggenangan merupakan karakteristik khas dari tanah sawah, dimana sawah
harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan penggenangan
pada periode tertentu dalam partumbuhannya. Pada kondisi tergenang, air masuk
ke pori-pori tanah dan menggantikan udara yang ada di dalamnya. Pada kondisi ini
mikroorganisme tanah menggunakan bahan-bahan teroksidasi dalam tanah, untuk
menggantikan oksigen tanah sehingga terjadi reduksi. (Sudadi, 2007).
Tanah sawah memiliki senyawa H2S, karena pada tanah yang digenangi maka
suplai oksigen (O2) akan menurun, dan terjadi reduksi SO42- menjadi H2S. Hasil
reduksi SO42- berfungsi akan mengganti O2 tersebut. Proses reduksi SO42- tanah
sawah sebagai berikut (Darmawidjaya, 1990).
SO42- + 2H2 H2S + 2O2-
Senyawa H2S menghasilkan kation hidrogen H + dan anion sulfid HS-.
H2S H+ + HS

Gambar 2.1 Struktur atom H2S


(Sumber : Purba, 2007)
2.2.3 Tanah Pasir
Tanah pasir dicirikan bertekstur pasir, struktur berbutir, konsistensi lepas,
sangat porous, sehingga daya jerap air dan pupuk sangat rendah, miskin hara
dan kurang mendukung pertumbuhan tanaman. Produktivitas lahan pasir pantai
yang rendah disebabkan oleh factor pembatas yang berupa kemampuan
7

memegang dan menyimpan air rendah, kesuburan dan bahan organik sangat
rendah dan efisiensi penggunaan air rendah (Bambang Kertonegoro, 2001). Tanah
pasir cenderung bersifat basa karena sedikitnya partikel liat serta kurangnya bahan
organik. Untuk memperbaikinya, maka tanaman pasir akan menyerap unsur hara
fosfat (P) dan mengeluarkan nya dalam bentuk H2PO4- (Hanafiah, 2005). Hal ini
menyebabkan, didalam tanah pasir terdapat senyawa H2PO4-. Di dalam unsur
kimia, senyawa H2PO4- merupakan pecahan dari H3PO4 yang unsur H+ terlepas
dari ikatannya, sehingga senyawa H2PO4- memiliki ikatan elektron bersama yang
tidak stabil. Ikatan tidak stabil adalah ikatan yang tidak dapat mengikat elektron
secara bersama. Akibatnya senyawa H2PO4- tidak dapat mengikat elektron petir
secara bersama dan mengalirkan nya ke dalam tanah.

Gambar 2.2 Struktur atom H2PO4-


(Sumber : Purba, 2007)
2.2.4 Tanah Padas
Tanah padas adalah tanah yang amat padat, karena mineral di dalamnya
dikeluarkan oleh air yang terdapat di lapisan tanah sebelah atasnya. Jenis tanah ini
terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan kandungan air,
didalamnya hampir tidak ada karena tanah padas sangat padat bahkan tidak ada
air. Unsur hara yang ada di dalamnya, sangat rendah dan kandungan organiknya,
sangat rendah bahkan hampir tidak ada. Tanah padas tidak cocok digunakan untuk
bercocok tanam. Berdasarkan paparan tersebut, tanah padas tidak memiliki
senyawa kimia.
2.2.5 Struktur Tanah
Struktur tanah mempengaruhi penyerapan air, sehingga masing-masing
tanah memiliki kadar air yang berbeda. Air merupakan substansi kimia dengan
rumus kimia H2O, menghasilkan kation H + dan anion OH . Senyawa H + akan
8

menangkap elektron petir, ke dalam tanah. Hal ini menyebabkan, aliran elektron
petir akan melintasi muatan positif di tanah.
H2O H + + OH

Gambar 2.3 Struktur atom H2O


(Sumber : Purba, 2007)
Muatan positif di dalam tanah akan menangkap muatan elektron petir,
sehingga elektron akan melintasi muatan positif di tanah. Dengan memberikan
asumsi tanah seperti atom, maka aliran elektron dalam tanah akan membentuk
lintasan lingkaran di sekitar muatan positif. Semakin banyak muatan positif di
tanah, maka semakin banyak elektron yang dapat di tangkap. Elektron - elektron
dalam tanah, akan menempati lintasan tertentu sesuai dengan kondigurasi
elektron. Hal ini menunjukan, jika lintasan pertama telah mencapai maksimum,
maka elektron lain akan berpindah ke lapisan berikutnya. Demikian juga untuk
elektron selanjutnya.
2.2.6 Sistem Proteksi Petir (SPP)
Kilat petir merupakan peristiwa alam yaitu proses pelepasan muatan listrik
(electrical discharge), yang berasal dari atmosfer antara awan dan bumi yang
terdiri dari satu sambaran atau lebih. Sambaran petir adalah pelepasan muatan
listrik tunggal pada kilat petir ke bumi (SNI 03-7014.1-20040). Sambaran akan
diawali oleh kanal muatan negatif, menuju daerah yang terinduksi positif, dan
sambaran yang terjadi umumnya adalah sambaran muatan negatif, dari awan ke
tanah.

Gambar 2.4 Proses Pembentukan Awan Bermuatan


(Sumber : Gassing,2012)
9

Posisi Indonesia yang terletak pada koordinat 6 LU - 11 LS 141 BT, telah


menempatkan wilayah Indonesia pada daerah dengan iklim tropis. Pada daerah
tropis, petir memiliki karakteristik sendiri dimana untuk 10-392 kA, dengan
frekuensi 25-200 kHz (Zorro R, 1999).
Sehingga, sambaran petir yang mengenai sistem proteksi listrik, dapat
membuat tanah di sekitar lokasi menjadi konduktif. Oleh karena itu, sebuah
sistem instalasi proteksi petir haruslah memiliki tingkat keamanan yang tinggi,
sehingga tidak memberikan kerusakan, terhadap bangunan, peralatan, serta
makhluk hidup di lingkungan sekitar sambaran petir.
Sistem Proteksi Petir (SPP) memiliki dua konstruksi yaitu internal dan
proteksi. Untuk melindungi bangunan, dan makhluk hidup dari sambaran petir
langsung, maka sistem proteksi ekstenal yang akan di butuhkan. Pada ekternal
proteksi terdapat tiga macam sistem, yaitu terminasi udara, konduktor penyalur,
dan pentanahan (grounding). Untuk dapat mengalirkan, arus petir ke permukaan
bumi, maka di butuhkan sistem pentanahan. Fungsi dari sistem pentanahan (SNI -
03-7015-2004):
a. Menyalurkan arus petir ke bumi;
b.Mengendalikan potensial pada sekitar dari dinding konduktif bangunan;
c. Mencegat arus petir sewaktu menyebar pada permukaan bumi.
2.2.7 Sistem Pentanahan
Sistem pentanahan adalah sistem yang sengaja di buat, untuk
menghubungkan bagian peralatan yang diamankan dengan penghantar netral yang
di tanahkan (hantaran nol), untuk mencegah tegangan sentuh yang terlalu tinggi.
Pentanahan sistem eksternal sangat tergantung dengan tahanan tanah di area
gedung berdiri. Sistem pentanahan biasanya terdapat komponen elektroda
pentanahan untuk mencapai lapisan tanah yang besar tahanannya sekecil
mungkin (SNI 04-0225-2000).
Menurut IEEE Std 142-2007, tujuan sistem pentanahan adalah:
a. Membatasi besarnya tegangan terhadap bumi agar berada dalam batasan yang
diperbolehkan
b.Menyediakan jalur bagi aliran arus yang dapat memberikan deteksi terjadinya
hubungan yang tidak dikehendaki antara konduktor system dan bumi. Deteksi
10

ini akan mengakibatkan beroperasinya peralatan otomatis yang memutuskan


suplai tegangan dari konduktor tersebut
Idealnya tahanan sistem pentanahan harus bernilai 0 ohm untuk mengurangi
setiap tegangan atau gradie tegangan yang di sebabkan arus-arus kesalahan
menjadi nol. Tetapi, ini tidak mungkin, karena keadaan demikian memerlukan
nilai konduktivitas tanah yang besarnya tak terbatas. National Electrical Code
mencantumkan bahwa tahanan sistem pentanahan harus tidak melebihi 25 ohm.
Tabel 2.1 Resistivitas spesifik tanah berdasarkan jenis tanah
Jenis Tanah Resistivitas ( ohm meter)
Sawah, Rawa (tanah Liat) 0-150
Tanah Pasir 200
Tanah Garapan (tanah Liat) 10-200
Sawah, Tanah Garapan (Kerikil) 100-1000
Pegunungan (Biasa) 200-2000
Pegunungan (Batu) 2000-5000
Pinggir Sungai (Berbatu) 1000-5000
(Sumber : Garniwa, 2000)
Tabel 2.2 Resistivitas dari jenis batuan, mineral and cairan kimia
Jenis Tanah Resisitivitas ( ohm meter)
Tanah Padas 8-4000
Basal (Batuan Beku) 103-106
Batu Besi 5x103-106
Marmer 102- 2,5x108
(Sumber : Loke,M.H.,2000)
2.2.8 Rangkaian Ekuivalen
Rangkaian ekuivalen satu elektrode batang dibuat dengan elemen
rangkaian terkonsentrasi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4. Model tersebut
didasarkan kenyataan bahwa impedansi pentanahan tidak bersifat sebagai tahanan
murni tetapi juga berperilaku sebagai induktansi (L) dan kapasitansi (C). Tahanan
murni (R) lebih banyak disebabkan karena adanya sifat resistivitas tanah dimana
sistem pentanahan tersebut ditanam. Induktansi (L) lebih dipengaruhi oleh
panjang konduktor yang ditanam. Seperti halnya sifat induktansi yang lain, maka
makin panjang konduktor yang ditanam maka makin besar induktansi sistem
pentanahannya. Komponen kapasitor dari sistem pentanahan dapat diterangkan
dari konduktor yang saat ini diinjeksi arus berarti konduktor tersebut bertegangan.
Beda tegangan antara konduktor dengan titik nol referensi menyebabkan sifat
11

kapasitansi dari sitem tersebut dengan media tanah yang mempunyai permitivitas
. Dengan demikian, impedansi pentanahan dapat dibuat rangkaian ekuivalennya
seperti gambar berikut (Supardi, 2004).

Gambar 2.5 Rangkaian ekivalen dari sistem pentanahan batang elektroda


(Sumber : Supardi, 2004)
Untuk satu batang elektrode pentanahan yang mempunyai panjang l dan radius r
ditanam tegak lurus pada tanah yang mempunyai resistivitas tanah homogen,
maka elektrode bersama tanah akan mempunyai tahanan, induktansi dan
kapasitansi yang besarnya adalah :
4l
R = 2l [ln 1] (2.1)
r
2l
L = 2. l. ln [ r ] . 107 H (2.2)
l.r
C= 4l . 109 F (2.3)
18.In
r

Tabel 2.3 Nilai pendekatan dari konduktivitas dan dielektrik permitivitas relatif
dari beberapa materi
Material Permitivitas relative (r)
Tanah Pasir 4
Tanah liat (Sawah) 10
Tanah Padas 6
Basal (Batuan Beku) 8
Batu Besi 5
(Sumber : Hafiz, 2013)
Berdasarkan model sistem pentanahan yang dipakai dapat dihitung besarnya
impedansi pentanahan tersebut (Supardi, 2004; Anggoro, 2007).
12

Z = jL (2.4)
Z = j (2) L (2.5)
1
Z = (2.6)
jc
1
Z = (2.7)
j2c
R.Zc
Zt = ZL + (2.8)
R+Zc

2.2.9 Bagian-bagian Sistem Pentanahan


2.2.9.1 Kutub Pentanahan
Kutub pentanahan adalah komponen metal sebagai penghantar listrik yang
bersentuhan dengan tanah/ditanam di dalam tanah untuk mempercepat penyerapan
muatan listrik akibat petir atau tegangan lebih ke tanah. Bentuknya bermacam-
macam tergantung pada keperluannya (Arif, 2011).
2.2.9.2 Hantaran Penghubung
Hantaran penghubung adalah metal penghubung antara kutub pentanahan
dengan terminal, biasanya berupa kawat tembaga pilin /BC draad dengan
diameter minimal 16 mm (Arif,2011).
2.2.9.3 Terminal Pentanahan
Terminal pentanahan adalah terminal atau titik di mana dihubungkan
dengan perangkat peralatan. Biasanya berupa lempeng tembaga cukup panjangnya
15 cm, lebar 3 cm dan tebal 1 cm (Arif, 2011).
2.2.10 Mengukur Resistansi Sistem Pembumian
Resistansi pembumian biasanya diacu sebagai resistansi rod pembumian,
yaitu resistansi ohm-m antara sebuah elektroda pembumian dan sebuah elektroda
acuan (sebagai elektroda bantu) yang dibumikan dan ditempatkan pada jarak yang
jauh dari sistem pembumian yang diuji. Jarak yang jauh ini dimaksudkan agar
tidak terjadi interaksi antara kedua elektroda tersebut.
2.2.11 Metode Tiga Titik (Three-Point-Method)
Metode Tiga Titik (Three-Point-Method) merupakan metode yang
digunakan untuk mengukur pentanahan. Pengukuran tersebut menggunakan
eletroda batang yang akan diukur (ground), dan tambahan 2 batang elektroda
sebagai elektroda bantu (potensial dan current) untuk pengukuran. Pada 3 titik
13

tersebut terdapat titik elektroda pentanahan, titik arus balik, dan titik
potensial. Dua elektroda bantu (potensial dan current) ditanam ke dalam bumi
segaris dan sejajar dengan elektroda (ground). Untuk mendapatkan nilai R, maka
arus akan diinjeksikan dan tegangan diukur seperti pada Gambar 8. Injeksi arus
tersebut didapatkan melalui generator frekuensi/sinyal. Jarak elektroda (ground)
yang terukur dan elektroda bantu (potential) dari jarak antara elektroda terukur
dengan elektroda terluar.
Pengukuran metode tiga titik ini dilakukan beberapa kali dengan penanaman
elektroda tengah di lokasi yang berbeda antara Ground dan Potensial. Titik current
adalah nilai resistansi yang terukur, serta titik ground ke potential adalah nilai
potensial terukur. Agar mendapatkan hasil pengukuran yang akurat, elektroda
harus berada pada jarak yang cukup jauh satu sama lain sehingga dapat
meminimalkan tahanan timbal balik.

Gambar 2.6 Rangkaian Pengukuran Resistansi Pentanahan


(Sumber : IEEE Std 80,2000)
2.2.12 Kerapatan Fluks Listrik
Sekitar tahun 1873 Direktur Loyal Society di London, Michael Faraday
menemukan bahwa muatan total pada bola luar sama besarnya dengan muatan
semula yang di tempatkan pada bola dalam dan hal ini selalu berlaku, tak
tergantung dari bahan di elektrik yang terdapat diantara kedua bola tersebut. Ia
menyimpulkan bahwa ada semacam perpindahan dari bola dalam ke bola luar
yang tidak tergantung dari mediumnya, dan sekarang kita menamakannya sebagai
perpindahan, fluk perpindahan, atau fluks listrik.
14

Eksprimen Faraday juga menunjukan bahwa jika muatan positif terdapat


pada bola dalam makin banyak, maka muatan tersebut akan menginduksi muatan
negative yang harganya mutlaknya makin besar pula, dan menghasilkan
pebandingan yang lurus antara fluks listrik dan muatan yang terdapat dalam bola
tersebut , dan fluks listrik () diukur dalam coulomb (Hyatt, 1994 : 47).
Q=
Kerapatan fluks listrik (D) merupakan vector medan dan merupakan
anggota keluarga kerapatan fluks yang termasuk medan vector, berlainan
dengan himpunan medan gaya yang beranggota intensitas medan listrik (E).
Arah D pada tiap titik merupakan arah garis flukes pada titik tersebut, dan
besarnya sama dengan banyak nya garis fluks yang menembus permukaan yang
normal terhadap garis tersebut di bagi dengan luas permukaan nya. Jika sekarang
bola dalam makin lama mengecil dengan tetap mempertahankan muatan Q, maka
pada limitnya akan terjadi sebuah titik, tetapi kerapatan fluks listrik pada titik r
meter dari titik muatan masih tetap di berikan oleh (Hyatt, 1994 : 48):
Q
= 4r2 ar (2.9)

Jika intensitas medan listrik radial dari sebuah muatan listrik dalam ruang hampa
ialah
Q
= 4 2
ar (2.10)
0r

Maka dalam ruang hampa,


=0 (2.11)
2.2.13 Hukum Gauss
Hasil eksprimen dengan memakai bola sepusat dapat disimpulkan sebagai
hokum eksprimental dengan menyatakan bahwa fluks listrik yang menembus
setiap permukaan bola khayal yang terletak di antara bola konduktor tersebut
sama dengan jumlah muatan di dalam permukaan khayal tersebut.kerapatn
fluksnya akan berubah dari kerapatan semula terbagi secara secara semitris
menjadi konfigurasi yang tidak diketahui, tetapi +Q pada setiap konduktor dalam
akan menimbulkan muatan induksi Q pada bola yang melingkunginya.
Eksprimen faraday ini mengarah pada pernyataan di bawah yang dikenal sebagai
Hukum Gauss :
15

Fluks listrik yang menembus setia permukaan tertutup sama dengan muatan total
yang dilingkingi oleh permukaan tersebut.
Sumbangan Gauss, seorang matematikawan besar di dunia, sebenarnya bukanlah
menyatakan huku di atas , tetapi dalam memberikan bentuk matematis dari
pernyataan tersebut yang akan kita lakukan sekarang.
Fluks total yang menembus permukaan tertutup didapat dengan
menjumlahkan sumbangan difrensial yang menembus tiap-tiap unsur permukaan
S (Hyatt, 1994 : 51)
= d = permukaan Ds . dS (2.12)
tertutup

Integral resultannya merupakan integral tertutup, hal ini dikarenakan adanya


gambaran lingkaran kecil pada tanda integral untuk menunjukan bahwa integral
tersebut harus dilakukan pada permukaan tertutup. Permukaan seperti itu sering di
sebut permukaan GaussI. Sekarang didaptkan rumusan matematis hokum Gauss
sebagai berikut (Hyatt, 1994 : 51):
= Ds . dS = muatan yang di lingkungi = Q (2.13)
Muatan yang dilingkungi dapat terdiri dari beberapa muatan titik, dalam hal ini
(Hyatt, 1994 : 51),
Q = Qn (2.14)
Atau muatan garis,
Q = L dL (2.15)
Muata permukaan
Q = s dS (2.16)
Muatan volume
Q = v dV (2.17)
Hukum Gauss dapat di terapkan di dalam pentanahan, saat arus diinjeksikan
pada elektroda batang, maka arus tersebut akan terdistribusi secara merata menuju
setiap permukan dan lapisan tanah. Hal ini disebabkan arus berbanding lurus
dengan muatan listrik (Q=I).
1. Arus sambaran petir (Ip) akan terdistribusi secara merata pada seluruh
permukaan elektroda pengetanahan, sehingga masing-masing elektroda yang di
tanam akan memiliki kerapatan muatan yang sama ( ). Hal ini disebabkan
16

karena, arus berbanding lurus dengan muatan listrik (I Q), dan muatan listrik
berbanding lurus dengan kerapatan muatan (Q ).
2. Material tanah dianggap homogen, sehingga distribusi arus petir (Ip) dalam
tanah ke segala arah akan sama, dengan menggunakan sistem koordinat tabung,
maka penyebaran arus (Ip) ke arah sumbu radial (r) akan sama besar.
3. Jika area (A) yang terdistribusi aliran arus petir akan semakin luas, maka
penyebaran kerapatan arus (J) semakin kecil, sehingga penyebaran aliran arus
di dalam tanah semakin kecil. Hal ini di sebabkan karena, kerapatan arus
berbanding lurus dengan arus (J I).
2.2.14 Sistem Koordinat Tabung
Sistem koordinat tabung merupakan versi tiga dimensi dari koordinat poral
dala geometri analitik. Dalam koordinat kutub dua dimensi, sebuah titik pada
bidang ditentukan oleh jarak dari titik asal, dan sudut antara garis
menghubugkan titik asal dengan titik tersebut dan garis radial (sembarang) yang
dipilih sebagai acuan (refrensi). Dalam koordinat tabung tiga dimensi ditentukan
juga jarak z dari titk yang ditinjau dengan bidang z = 0 yang merupakan bidang
acuan yang tegak lurus terhadap garis = 0 (Hyatt, 1994 : 13).

Gambar 2.7 Posisi koordinat dan vektor dasar dalam sistem koordinat
silinder
(Sumber : Schaum, 2013)
Gambar 2.7 memperlihatkan posisi dari koordinat titik P pada sistem
adalah u1= , u2= , dan u3 = z. Dimana didefinisikan arahnya tegak lurus
terhadap bidang z, dan merupakan sudut yang terbentuk dengan arah menjauhi
bidang x. Koordinat z adalah sama untuk koordinat kartesian. Titik perpotongan
dari tiga bidang yang saling tegak lurus, dimana bidang datar = tetapan, =
tetapan dan z = tetapan,dimana 0 < < , 0 < <2 dan - <z<. Sistem
koordinat atbung dapat menganalisa medan listrik (E).
17

Gambar 2.8 Geometri medan di sekitar muatan garis


(Sumber : Hyatt, Jr, 2006)
Gambar 2.8 memperlihatkan kontribusi intensitas medan listrik (E) yang
ditimbulkan oleh unsur muatan yang terdapat pada jarakz dari titik asal yaitu:
(Hayt, JR., 2004)
dQ = L dz (2.18)
menghasilkan,
dE = dE a+ dEz a az (2.19)
Jika kita pegang dan tetap ketika kita bergerak turun naik sepanjang
garis muatan dengan mengubah z, muatan garis tersebut tetap kelihatan
memanjang ke jarak tak berhingga ke kedua arah. Hal tersebut menunjukan
sumbu simetri dan adanya medan yang bukan merupakan fungsi dari z, dan
menghasilkan pertambahan unsur kontribusi pada intensitas medan listrik (E),
yang arahnya menjauhi unsur muatan tersebut. Tidak ada unsur yang
menimbulkan komponen dari intensitas medan listrik ke arah , sehingga E =
nol. Untuk unsur E dan Ez, tidak berharga nol. Bila unsur Ez dari unsur muatan
yang berjarak sama diatas dan dibawah titik tempat kita menentukan medan, maka
unsur Ez akan saling meniadakan sehingga yang ada hanya komponen E atau Er
saja, dan besaran besaran ini berubah terhadap atau r (Hayt Jr., 2004).
()
dE = (2.20)
40 | |3

dengan,
r = yay = a (2.21)
r = zaz (2.22)
r r = a zaz (2.23)
18

menghasilkan,

E = 2 (2.24)
40 (2 )3/2

Jika bahan dielektrik dari medium yang dilalui diperhitungkan maka persamaan
(2.29) menjadi,

E = 2 (2.25)
4(2 )3/2

Dengan,
= r x 0
2.2.15 Analisa Jarak Elektroda
Metode tiga titik digunaka ada pengukuran nilai resistansi di tanah padas,
pasir dan sawah . Metode tiga titik, yaitu menggunakan elektroda batang yang
akan diukur (ground), dan tambahan 2 batang elektroda sebagai elektroda bantu
(potensial dan current) untuk pengukuran. Pada 3 titik tersebut terdapat titik
elektroda pentanahan, titik arus balik, dan titik potensial. Pada penelitian ini
menggunakan jarak 5 m, 7 m, dan 10 m. Model penggambaran dari metode ini,
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.9 Metode tiga titik dengan jarak elektroda yang sama
Jika di asumsikan, jarak pada elektroda merupakan jarijari (r) tabung, maka
dapat dilihat pada Gambar 4.7 berikut.

Gambar 2.10 Metode tiga titik dengan jarak elektroda yang diasumsikan
sebagai jari-jari (r) tabung
19

Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat bahwa jarak elektroda diasumsikan


sebagai jari-jari (r) tabung, dengan menggunakan teori Gauss, menyatakan bahwa
fluks listrik total yang menembus setiap permukaan tertutup, sama dengan muatan
total yang dilingkungi oleh permukaan tersebut ( = Q). Hal ini di sebabkan, fluks
listrik () berbanding lurus dengan muatan listrik (Q).
Dengan teori Gauss, saat arus diinjeksikan pada elektroda batang, maka arus
tersebut akan terdistribusi secara merata menuju setiap permukan dan lapisan
tanah. Hal ini disebabkan arus berbanding lurus dengan muatan listrik. Arus yang
terinjeksi juga akan mengalir secara merata setiap titik pada radius (r) elektroda
batang, sehingga pada masingmasing jarak elektroda terinjeksi arus yang sama
merata.
2.2.16 Arus dan Muatan Listrik
Arus listrik petir bersifat impuls, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai nilai puncak arus petir yaitu 10-6. Muatan-muatan listrik yang bergerak
terhadap waktu (t) menghasilkan arus listrik (I). Satuan arus listrik adalah Ampere
yang di definisikan sebagai laju pergerakan muatan melalui suatu titik acuan
tertentu (menembus suatu acuan bidang tertentu) sebesar satu Coulomb per detik
(Hyatt Jr., 2004).

= (2.26)

= (2.27)
2.2.17 Arus Konduksi (Ic) dan Arus Displacement/ Perpindahan (Id)
Elektroda pengetanahan (grounding) yang terinjeksi arus petir, maka arus di
dalam tanah akan mengalir secara konduksi (Ic) maupun secara perpindahan(Id).
Arus konduksi (Ic) dominan dipengaruhi oleh konduktifitas tanah(t), dimana
kondutifitas adalah ukuran dari kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan
arus listrik, sedangkan arus perpindahan (Id) dominan dipengaruhi oleh frekuensi
arus (Elektromagnetika, schaum, 1993). Semakin tinggi frekuensi arus petir (f),
maka aliran arus perpindahan atau arus displacement (Id) akan semakin
meningkat, karena Id merupakan fungsi dari frekuensi (Elektromagnetika,
Schaum, 2013). :
= + (2.28)
= (2.29)
20

= (2.30)

Karena = ; = ; = ; dan = 2 maka :

= (2.31)
= (2.32)
2.2.18 Potensial Listrik (V) dan Beda Potensial diantara Dua Titik (V).
Potensial pada suatu titik didefinisikan sebagai : kerja yang diperlukan untuk
membawa satu satuan muatan positif dari titik acuan nol ke titik tersebut. Medan
potensial suatu muatan titik adalah linier terhadap muatan, sehingga prinsip
superposisi dapat dipakai. Akibatnya potensial sistem muatan pada suatu titik
tidak bergantung pada lintasan yang diambil untuk membawa muatan uji ke titik
tersebut. Jadi medan potensial sebuah muatan titik bermuatan Qn pada titik rn
hanya berhubungan dengan jarak |r - rn| dari Qn ke titik di r tempat potensial
tersebut dicari. Untuk acuan titik nolak berhingga, didapatkan, (Hayt Jr., 2004).

V(r) = (2.33)
40 | |

Potensial titik A terhadap titik B didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan


dalam memindahkan suatu muatan positif Q, dari B ke A.
.
= = = . (2.34)


= . (2.35)
2.2.19 Fluks Magnetik Dan Kerapatan Fluks Magnetik
Kuat medan magnet di suatu titik di dalam medan magnet ialah besar gaya
pada suatu satuan kuat kutub di titik itu di dalam medan magnet m adalah kuat
kutub yang menimbulkan medan magnet dalam Ampere-meter. R jarak dari kutub
magnet sampai titik yang bersangkutan dalam meter. dan H = kuat medan titik itu
N Weber
dalam : A.m atau dalam . Kuat medan magnet di suatu titik sebanding dengan
m2

rapat garis-garis gaya (B) dan berbanding terbalik dengan permeabilitasnya ().
B = H. (2.36)
Vektor kerapatan fluks magnetik B seperti juga namanya sudah menyatakan
anggota keluarga medan vektor keraptan fluks. Salah satu kemungkinan dari
analogi antara medan listrik dan medan magnet, bandingkanlah Hukum Bio-
Savart dengan Hukum coulumb, akibatnya analogi antara antara H dengan E,
sebagai berikut :
21

I1 1 12
dH2 = 2 (2.37)
412
1 12
dE2 = 2 (2.38)
40 12

Kedua hukum tersebut menyatakan hukum kebalikan kuadrat terhadap jarak, dan
kedua nya menunjukan hubungan linier antara sumber dari medan. Hubungan
antara,
B = 0 H, dan (2.39)
D = 0 E (2.40)
Hal ini menyebabkan terjadinya mengakibatkan analogi antara B dan D. Jika B
diukur dalam weber per meter persegi, maka fluks magnetik harus diukur dalam
weber. Bila fluks () didefinisikan sebagai fluks yang menembus suatu luas
permukaan,
= B. dS Wb (2.41)
Penganalogian tersebut mengingatkan kita pada fluks listrik () yang diukur
dalam Coulumb, dan hukum Gauss menyatakan bahwa fluks listrik total yang
menembus permukaan tertutup sama dengan jumlah muatan yang dilingkunginya.
= D. dS = Q (2.42)
Muatan Q merupakan sumber garis fluks listrik dan garis ini mulai berakhir
masing-masing muatan positif dan negatif.
Medan H membentuk lingkaran sepusat di lingkaran nya. Karena B = H,
medan B berbentuk seperti itu juga. Garis fluks magnetik selalu tertutup tidak
berakhir pada muatan magnetik. Karena hal tersebut maka bentuk hukum Gauss
untuk medan magnet ialah
B. dS = 0 (2.43)
Induktansi
Pendifinisian setara untuk induktansi dapat dilakukan dengan memakai
pandangan energi,
2WH
L= (2.44)
I2
22

Dengan I menyatakan arus total yang yang mengalir dalam lintasan tertutup dan
WH ialah energi dari medan magnetik yang timbul oleh arus tersebut. Jika kita
nyatakan energi potensial dalam kuantitas medan magnetik,
B.H dv
L= (2.46)
I2
Jika B ganti dengan x A, maka
1
L = I2 H . ( x A)dv (2.47)

2.2.20 Kapasitansi
Sekarang kita tinjau dua konduktor yang ditanam di dalam bahan dielektrik
yang serbasama. Konduktor M1 berisi muatan postitif dan M1 berisi muatan
negative yang besarnya sama.
Marilah kita tandai beda potensial antara M2 dan M1 tersebut dengan V0.
Sekarang kita boleh mendifinisikan kapasitansi kedua sistem konduktor ini
sebagai rasio besar muatan total dalam konduktor terhadap beda potensial antara
konduktor tersebut (Hyatt, 1994 : 128).
Q
C= (2.48)

Sebagai contoh pertama kita ambil kabel sesumbu (koaksial) atau kapasitor
sesumbu dengan jari-jari dalam a, jari-jari lua b dan panjang L. Dalam hal ini
tidak diperlukan pekerjaan berat untuk menurunkannya, karena beda potensial
telah diketahui, dan kuantitas tersebut dibagi dengan muatan total L L.
2L
C= (2.49)
ln(b/a)

2.2.21 Pengaruh Arus Listrik Dalam Tubuh Manusia


Maksud utama mengetanahkan sistem adalah menjamin keselamatan
manusia pada saat gangguan. Tubuh manusia sangat peka terhadap arus listrik
karena itu arus gangguan sekecil apapun sangat berbahaya dan harus dihindari.
Dua fungsi tubuh sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia yaitu
pernafasan dan sirkulasi darah. Tabel 2.6 memperlihatkan besaran arus dan gejala-
gejala akibat arus yang mengalir dalam tubuh seseorang (IEEE std 80-2000).
23

Tabel 2.4 Batasan-batasan arus dan pengaruhnya pada manusia


I(mA) Pengaruh pada tubuh manusia
0-0,9 Belum dirasakan pengaruhnya, tidak
menimbulkan reaksi apa-apa
0,9-1,2 Terasa adanya arus listrik, tetapi tidak
menimbulkan akibat kejang, kontraksi
atau kehilangan kontrol
1,2-1,6 Mulai terasa seakan-akan ada yang
merayap di dalam tangan
1,6-6 Mulai terasa seakan-akan ada yang
merayap di dalam tangan
6-8 Tangan mulai kaku, rasa kesemutan
makin bertambah
13-15 Rasa sakit tidak tertahankan, penghantar
masih dapat melepaskan dengan gaya
yang besar sekali
15-20 Otot tidak sanggup lagi melepaskan
penghantar
20-50 Dapat mengakibatkan kerusakan pada
tubuh manusia
50-100 Batas arus yang dapat menyebabkan
kematian
(Sumber : IEEE std 80-2000)

Anda mungkin juga menyukai