Mewa Ariani
PENDAHULUAN
Berbicara masalah pangan selalu menarik untuk dibahas karena pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Pemenuhan pangan
merupakan bagian dari hak azasi yang dijamin dalam Undang-Undang (UU) Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas. Demikian ungkapan pembuka dalam UU Pangan No.
18 tahun 2012. Dalam UU tersebut, pangan didefinisikan segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sementara itu, ketahanan
pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Pemerintah terus berupaya memenuhi kebutuhan pangan terutama pangan
pokok melalui berbagai program. Penyediaan pangan dari produksi dalam kurun 2010-
2014 menunjukkan peningkatan seperti untuk padi sebesar 1,63% per tahun.
Peningkatan produksi di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa.
Demikian pula produksi jagung meningkat walaupun dengan tingkat yang lebih rendah
yaitu sekitar 1,11% per tahun dan produksi kedelai meningkat sebesar 1,93% per
tahun. Pemicu peningkatan produksi padi diantaranya karena peningkatan luas panen
seluas 540 ribu ha dan produktivitas sebesar 1,20 kw/ha. Peningkatan produksi jagung
diakibatkan adanya peningkatan produktivitas (2,87%/tahun), namun luas panen
mengalami penurunan sebesar -1,77 persen per tahun (Badan Ketahanan Pangan,
2015).
Kabinet Kerja telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 2 tahun
2015. Dalam RPJMN tersebut disebutkan sasaran pokok pembangunan nasional yang
dicapai pada tahun 2019 di bidang ketahanan pangan terutama terkait dengan
produksi beberapa komoditas pangan sebagai berikut: 1) padi sebesar 82,0 juta ton,
b) jagung sebesar 24,1 juta ton, c) kedelai sebesar 1,92 juta ton, d) gula sebesar 3,8
juta ton, e) daging sebesar 755,1 juta ton dan f) ikan (di luar rumput laut) sebesar
18,7 juta ton.
Kabinet kerja telah menetapkan swasembada berkelanjutan padi dan jagung
serta swasembada kedelai harus dicapai dalam waktu tiga tahun. Padahal dalam
pencapaian hal tersebut, pemerintah juga dihadapkan pada permasalahan
diantaranya alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian, rusaknya infrastruktur/
jaringan irigasi, semakin berkurangnya dan mahalnya upah tenaga kerja pertanian
serta kurangnya peralatan mekanisasi pertanian, dan lainnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, Kementerian Pertanian melaksanakan Program Upaya Khusus (Upsus)
Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai melalui Program Perbaikan Jaringan
Irigasi dan Sarana Pendukungnya. Kegiatannya antara lain pengembangan/
rehabilitasi jaringan irigasi, optimalisasi lahan dan penyediaan sarana dan prasarana
pertanian yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian RI No. 03/
Permentan/OT.140/2/2015 (Kementerian Pertanian, 2015).
Namun demikian, peningkatan produksi atau ketersediaan pangan tidak selalu
menjamin terpenuhinya konsumsi pangan masyarakat atau rumahtangga. Seperti
diungkap oleh Suryana (2014) bahwa terjadi kesenjangan yang cukup lebar antara
rata-rata ketersediaan pangan yang lebih dari cukup dan rata-rata pangan yang benar-
benar dikonsumsi masyarakat yang ternyata masih di bawah rekomendasi.
Ketersediaan pangan yang memadai pada tingkat makro tidak serta merta dapat
meningkatkan kualitas konsumsi dan status gizi masyarakat.
Jumlah penduduk Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai
237,6 juta jiwa, meningkat 61,1% dibandingkan jumlah penduduk tahun 1980. Laju
pertumbuhan penduduk kedepan diperkirakan masih bernilai positif dalam arti masih
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (laju pertumbuhan tahun 2010-2020:1,49
%/tahun) sehingga jumlah penduduk pada tahun 2015 dan 2020 diperkirakan masing-
masing sebesar 255.461,70 dan 271.066,40 ribu jiwa. Perubahan jumlah penduduk
yang bertempat tinggal di kota dari 49,8% tahun 2010 menjadi 53,3% tahun 2015
dan 56,7% pada tahun 2020 juga akan berdampak pada perubahan pola dan tingkat
penyediaan serta konsumsi pangan termasuk akses pangan (http://www.bps.go.id).
Seperti diungkap oleh Satterthwaite, dkk., (2010), urbanisasi mempengaruhi arah
perubahan permintaan pangan agregat melalui peningkatan populasi perkotaan
maupun perubahan pola konsumsi.
Disisi lain, juga terjadi kecenderungan ketimpangan pendapatan antara
kelompok masyarakat kaya dan miskin semakin lebar. Data tahun 2005, menyebutkan
bahwa 40% orang berpendapatan terendah menguasai 22% pendapatan nasional,
namun tahun 2008 porsi tersebut menurun hanya 19%. Sementara pada periode yang
sama, 20% orang berpendapatan tertinggi justru menguasai pendapatan nasional
yang semakin besar dari semula 40% menjadi 45% (Saparini, 2012).
Peningkatan penduduk menuntut adanya peningkatan ketersediaan pangan
agar pangan yang tersedia mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Pangan yang
disediakan tersebut sesuai amanat UU Pangan harus sampai pada upaya pemenuhan
kebutuhan pangan pada tingkat rumahtangga dan individu. Agar pangan yang
disediakan mampu dikonsumsi oleh rumahtangga atau perseorangan maka diperlukan
suatu analisis terkait dengan akses atau distribusi pangan. Akses pangan merupakan
salah satu sub sistem ketahanan pangan yang menghubungkan antara ketersediaan
pangan dengan konsumsi/pemanfaatan pangan. Akses pangan baik apabila semua
rumahtangga atau semua anggota rumah tangga mempunyai sumber daya yang
cukup untuk mendapatkan pangan yang cukup pula baik dari segi kuantitatif, kualitatif
dan keragaman pangan. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan
akses pangan di Indonesia dan solusi kedepannya.
Gambar 1. Food security Conceptual Framework (Sumber USAID dalam FANTA, 2003)
Gambar 2. The Food Security System: A New Conceptual Framework (IFPRI, 2012)
Suryana (2008), hasil Pra WNPG IX bulan Juni 2008 menunjukkan bahwa masalah
ketahanan pangan disebabkan pada rendahnya keterjangkauan pangan sebagian
penduduk. Keterjangkaun pangan masyarakat harus memenuhi tiga hal yaitu fisik,
ekonomi dan sosial. Keterjangkauan fisik artinya masyarakat dapat menjangkau
pangan dengan mudah karena adanya dukungan prasarana dan sarana mobilitas
maupun pasar yang memadai. Keterjangkauan ekonomi artinya jika masyarakat
mempunyai daya beli yang cukup untuk mendapatkan bahan pangan sesuai
kebutuhan dan pilihan setiap individu anggotanya. Keterjangkauan sosial artinya jika
masyarakat terlayani oleh sistem perlindungan sosial yang membantunya
mendapatkan pangan pada saat mengalami kekurangan. Indikator-indikator tersebut
selanjutnya akan digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan indikator yang
sangat mempengaruhi akses pangan di Indonesia dalam tulisan ini.
berpindah menjadi kabupaten Prioritas lebih rendah yaitu Prioritas 4-6 di FSVA 2009.
42 kabupaten yang lain peringkatnya mengalami perbaikan namun masih masuk
kabupaten Prioritas 1-3. 12 kabupaten lainnya masuk menjadi kabupaten Prioritas
yang lebih tinggi. Berpindahnya 12 kabupaten tersebut terutama disebabkan oleh
rendahnya akses jalan terhadap kendaraan roda empat, atau meningkatnya angka
kemiskinan. Kabupaten yang termasuk prioritas 1-3 sebagian besar berada di Provinsi
Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat.
2) Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diolah oleh
Badan Ketahanan Pangan (2015), tingkat konsumsi energi tahun 2014 sebesar
1.949 Kalori/kapita/hari atau 88,6% dari standar kecukupan yang dianjurkan
(hasil WNPG ke X, tahun 2012, anjuran konsumsi energi sebesar 2.200
Kalori/kap/hari). Tingkat konsumsi protein pada tahun yang sama yaitu 56,6
gram/kapita/hari atau 99,4 % dari standar kecukupan yang dianjurkan (anjuran
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 231
Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan
Gambar 3: Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang, Pendek, Kurus, dan Gemuk Pada Balita
Sumber: Indonesia Agency for Food Security, 2013
Permasalahan Akses Pangan
Dengan memperhatikan angka-angka dalam capaian tersebut diatas, dapat
diartikan bahwa masih terjadi permasalahan akses pangan di Indonesia baik berbasis
wilayah maupun rumahtangga dan individu. Masih banyak kabupaten terutama
wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) termasuk wilayah rawan pangan atau
rentan pangan. Secara rata-rata, pangan yang dikonsumsi oleh rumahtangga juga
belum sesuai dengan yang dianjurkan. Beberapa indikator dalam MDGs terkait akses
pangan juga belum dapat sesuai dengan target. Angka kemiskinan dan rawan pangan
memang menurun dari tahun ke tahun, namun penurunannya melambat dan belum
mampu memenuhi target MDGs (terutama untuk kemiskinan). Pertanyaannya adalah
faktor-faktor apakah yang mempengaruhi akses pangan wilayah dan rumahtangga.
Analisis yang dilakukan oleh Suryana (2014) menyimpulkan bahwa terjadi
kesenjangan yang cukup lebar antara rata-rata ketersediaan pangan yang lebih dari
cukup dan rata-rata pangan yang benar-benar dikonsumsi masyarakat yang ternyata
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 233
Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan
3. Geografi Wilayah
Wilayah Indonesia sangat luas dan sebagian berupa pulau-pulau baik pulau
besar maupun pulau kecil. Masih banyak ditemukan wilayah yang terisolasi dari pusat-
pusat kegiatan ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir dan
daerah pedalaman. Pada wilayah ini, hubungan antara pulau atau antar daerah
pedalaman harus dilalui dengan transportasi laut, sehingga untuk pangan yang harus
didatangkan dari luar pulau akan menghadapi kendala apabila keadaan cuaca tidak
memungkinkan untuk melakukan pelayaran. Disisi lain, sarana transportasi laut juga
masih terbatas. Dampak dari hal ini tentu saja adalah terjadinya gangguan pasokan
pangan di wilayah tersebut pada waktu-waktu tertentu dengan harga yang relatif
mahal. Seperti yang disampaikan oleh Alfons; dkk., (2012), potensi kerawanan pangan
cukup besar bagi wilayah-wilayah kepulauan seperti di Maluku. Dengan kondisi
kepulauan, pasokan makanan dapat terputus bila tiba-tiba cuaca menjadi tidak
bersahabat.
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 235
Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan
tangga buruh perkotaan; (2) usaha mikro kecil termasuk rumah tangga yang bekerja
sebagai pekerja keluarga (unpaid worker); dan (3) penduduk miskin yang tidak
memiliki aset maupun pekerjaan (Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/BAPPENAS, 2014).
Gambar 4. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan (%)
Sumber : Susenas, Berbagai Tahun (diolah)
didatangkan dari wilayah lain. Oleh karena itu, jenis pangan yang diproduksi dan
dikonsumsi oleh masyarakat harus sesuai dengan kondisi agroekositem pulau
tersebut. Alfons, dkk., (2012) pulau mandiri pangan di Maluku didasarkan pada konsep
gugus pulau dengan pendekatan laut pulau, dengan menganut prinsip kedaulatan
pangan dengan prioritas keluarga miskin dan kekurangan pangan, mengembangkan
kearifan lokal dalam proses produksi dengan melibatkan kaum perempuan. Selain itu
juga harus mempertahankan pola konsumsi sesuai budaya setempat.
Upaya pembangunan pulau mandiri pangan dilakukan oleh Pemerintah daerah
bekerjasama dengan para pakar dari perguruan tinggi dan kementerian terkait serta
Lembaga Swadaya Masyarakat dalam satu tim untuk bersama-sama menyusun
langkah-langkah pembangunan pulau mandiri pangan. Langkah-langkah harus
dilakukan secara holistik dan komprehensif, mulai dari hulu sampai hilir. Tim mencari
kondisi eksisting potensi pangan pada wilayah kecil, misalnya desa atau kecamatan,
baik cara budidaya, luasan, cara pengolahan dan perilaku konsumsinya. Dengan
adanya kondisi eksisting akan dapat disusun program-program pembangunan pulau
mandiri pangan. Dalam hal ini, inovasi yang dilakukan tidak cukup pada inovasi
teknologi namun juga kelembagaannya, siapa bertanggung jawab apa dan
seterusnya. Namun perlu diingat adalah pengembangan ini harus tetap
memperhatikan koridor budaya dan kearifan lokal baik dari segi produksi maupun
konsumsi sehingga benar-benar makanan yang dikonsumsi masyarakat berasal dari
produksi setempat, sebaliknya apa yang diproduksi akan dikonsumsinya.
Belajar dari efektifitas pesan-pesan sebelumnya maka PGS ini akan berhasil
sesuai yang diharapkan hanya jika dilakukan penguatan Komunikasi Informasi dan
Edukasi (KIE) PGS terutama pada saluran dan intensitas penyampaian pesan PGS.
Penyampaian PGS harus multi saluran dengan intensitas yang tinggi karena pada
hakekatnya merubah pola kebiasaan seseorang relatif sulit, demikian pula untuk
merubah pola konsumsi pangan yang bergizi dan sehat. Berbagai saluran pesan harus
dilakukan seperti media elektronik (TV, Handphone), koran dan penyampaian pesan
PGS ditempat publik seperti stasiun kereta api, bandara, restoran dan lainnya. Hal
yang penting untuk dilakukan adalah penyampaian pesan PGS kepada para wartawan
sekaligus menyamakan persepsi agar mereka tidak salah persepsi dan salah kutip
dalam penyampaian pesan PGS.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M dan Haryono. 2014. Memperkuat Daya saing Pangan Nusantara. Buku.
Memperkuat Daya saing produk Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. IAARD Press.
Badan Pusat Statistik. 2010. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. BPS. Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan. 2014. Pedoman Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Ecker, O and C. Breisinger. 2012. The Food Security System. A New Conceptual
Framework. IFPRI Discussion Paper 01166. Development Strategy and
Governance Division. International Food Policy Research Institute (IFPRI).
FAO. 2008. An Introduction to the Basic Concepts of Food Security. FAO Food Security
Programme.
FAO. 2009a. The State of Food Insecurity in the World 2009: Economic crisesImpacts
and Lessons Learned. Food and Agriculture Organization of the United Nations,
Rome.
________. 2009b. Declaration of the World Summit on Food Security. WSFS 2009/2,
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.
Food and Nutrition Technical Assistance Project (FANTA). 2003. Food Access Indicator
Review. Food and Nutrition Technical Assistance. Academy for Educational
Development 1825 Connecticut Ave, NW Washington, DC 20009-5721.
FAO. 2011. Global Strategic Framework for Food Security and Nutrition. Committee
on World Food Security (CFS). http://www.fao.org/ fileadmin/ templates/ cfs/
Docs1011/WG_GSF.
Indonesia Agency for Food Security. 2013. National Nutrition Strategy Programme in
Indonesia, Prepared for WHO Second International Conference on Nutrition
(ICN2).Jakarta.
Kodyat, B.A. 2014. Pedoman Gizi Seimbang 2014. Permenkes RI No. 41 tahun 2014.
Disampaikan di DIY, tanggal 26 November.
Nikijuluw, V.PH. dan D.G. Bengen. Kapasitas dan Potensi Pulau Kecil Sebagai Kawasan
Mandiri Pangan. Dalam Pasandaran, E., E.E. Ananto, K. Suradisastra, N. S. Saad,
B. Irawan, HAryono dan A. Hendriadi. Penyunting: Membangun Kemandirian
Pangan Pulau-pulau Kecil dan Wilayah Perbatasan. IAARD Press.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18, Tahun 2012 Tentang Pangan. Jakarta.
White, R., B. Stewart and P. ONeill. Access To Food In A Changing Climate. GECAFS.
Global Environmental Change and Food System. Environmental Change Institute.
Oxford University.
Work Stream 5 of the Scottish Government's Food Forum. 2009. Food Affordability.
Access and Security: Their Implications for Scotland's Food Policy - A Report.
244 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan