Anda di halaman 1dari 20

Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat

Mendukung Ketahanan Pangan

UPAYA PENINGKATAN AKSES PANGAN MASYARAKAT


MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

Mewa Ariani

PENDAHULUAN
Berbicara masalah pangan selalu menarik untuk dibahas karena pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Pemenuhan pangan
merupakan bagian dari hak azasi yang dijamin dalam Undang-Undang (UU) Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas. Demikian ungkapan pembuka dalam UU Pangan No.
18 tahun 2012. Dalam UU tersebut, pangan didefinisikan segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sementara itu, ketahanan
pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Pemerintah terus berupaya memenuhi kebutuhan pangan terutama pangan
pokok melalui berbagai program. Penyediaan pangan dari produksi dalam kurun 2010-
2014 menunjukkan peningkatan seperti untuk padi sebesar 1,63% per tahun.
Peningkatan produksi di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa.
Demikian pula produksi jagung meningkat walaupun dengan tingkat yang lebih rendah
yaitu sekitar 1,11% per tahun dan produksi kedelai meningkat sebesar 1,93% per
tahun. Pemicu peningkatan produksi padi diantaranya karena peningkatan luas panen
seluas 540 ribu ha dan produktivitas sebesar 1,20 kw/ha. Peningkatan produksi jagung
diakibatkan adanya peningkatan produktivitas (2,87%/tahun), namun luas panen
mengalami penurunan sebesar -1,77 persen per tahun (Badan Ketahanan Pangan,
2015).
Kabinet Kerja telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 2 tahun
2015. Dalam RPJMN tersebut disebutkan sasaran pokok pembangunan nasional yang
dicapai pada tahun 2019 di bidang ketahanan pangan terutama terkait dengan
produksi beberapa komoditas pangan sebagai berikut: 1) padi sebesar 82,0 juta ton,
b) jagung sebesar 24,1 juta ton, c) kedelai sebesar 1,92 juta ton, d) gula sebesar 3,8
juta ton, e) daging sebesar 755,1 juta ton dan f) ikan (di luar rumput laut) sebesar
18,7 juta ton.
Kabinet kerja telah menetapkan swasembada berkelanjutan padi dan jagung
serta swasembada kedelai harus dicapai dalam waktu tiga tahun. Padahal dalam
pencapaian hal tersebut, pemerintah juga dihadapkan pada permasalahan
diantaranya alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian, rusaknya infrastruktur/
jaringan irigasi, semakin berkurangnya dan mahalnya upah tenaga kerja pertanian

Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 225




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

serta kurangnya peralatan mekanisasi pertanian, dan lainnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, Kementerian Pertanian melaksanakan Program Upaya Khusus (Upsus)
Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai melalui Program Perbaikan Jaringan
Irigasi dan Sarana Pendukungnya. Kegiatannya antara lain pengembangan/
rehabilitasi jaringan irigasi, optimalisasi lahan dan penyediaan sarana dan prasarana
pertanian yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian RI No. 03/
Permentan/OT.140/2/2015 (Kementerian Pertanian, 2015).
Namun demikian, peningkatan produksi atau ketersediaan pangan tidak selalu
menjamin terpenuhinya konsumsi pangan masyarakat atau rumahtangga. Seperti
diungkap oleh Suryana (2014) bahwa terjadi kesenjangan yang cukup lebar antara
rata-rata ketersediaan pangan yang lebih dari cukup dan rata-rata pangan yang benar-
benar dikonsumsi masyarakat yang ternyata masih di bawah rekomendasi.
Ketersediaan pangan yang memadai pada tingkat makro tidak serta merta dapat
meningkatkan kualitas konsumsi dan status gizi masyarakat.
Jumlah penduduk Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai
237,6 juta jiwa, meningkat 61,1% dibandingkan jumlah penduduk tahun 1980. Laju
pertumbuhan penduduk kedepan diperkirakan masih bernilai positif dalam arti masih
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (laju pertumbuhan tahun 2010-2020:1,49
%/tahun) sehingga jumlah penduduk pada tahun 2015 dan 2020 diperkirakan masing-
masing sebesar 255.461,70 dan 271.066,40 ribu jiwa. Perubahan jumlah penduduk
yang bertempat tinggal di kota dari 49,8% tahun 2010 menjadi 53,3% tahun 2015
dan 56,7% pada tahun 2020 juga akan berdampak pada perubahan pola dan tingkat
penyediaan serta konsumsi pangan termasuk akses pangan (http://www.bps.go.id).
Seperti diungkap oleh Satterthwaite, dkk., (2010), urbanisasi mempengaruhi arah
perubahan permintaan pangan agregat melalui peningkatan populasi perkotaan
maupun perubahan pola konsumsi.
Disisi lain, juga terjadi kecenderungan ketimpangan pendapatan antara
kelompok masyarakat kaya dan miskin semakin lebar. Data tahun 2005, menyebutkan
bahwa 40% orang berpendapatan terendah menguasai 22% pendapatan nasional,
namun tahun 2008 porsi tersebut menurun hanya 19%. Sementara pada periode yang
sama, 20% orang berpendapatan tertinggi justru menguasai pendapatan nasional
yang semakin besar dari semula 40% menjadi 45% (Saparini, 2012).
Peningkatan penduduk menuntut adanya peningkatan ketersediaan pangan
agar pangan yang tersedia mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Pangan yang
disediakan tersebut sesuai amanat UU Pangan harus sampai pada upaya pemenuhan
kebutuhan pangan pada tingkat rumahtangga dan individu. Agar pangan yang
disediakan mampu dikonsumsi oleh rumahtangga atau perseorangan maka diperlukan
suatu analisis terkait dengan akses atau distribusi pangan. Akses pangan merupakan
salah satu sub sistem ketahanan pangan yang menghubungkan antara ketersediaan
pangan dengan konsumsi/pemanfaatan pangan. Akses pangan baik apabila semua
rumahtangga atau semua anggota rumah tangga mempunyai sumber daya yang
cukup untuk mendapatkan pangan yang cukup pula baik dari segi kuantitatif, kualitatif
dan keragaman pangan. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan
akses pangan di Indonesia dan solusi kedepannya.

226 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

DIMENSI AKSES PANGAN DALAM KETAHANAN PANGAN DAN GIZI


Dalam buku yang berjudul: An Introduction to the Basic Concepts of Food
Security yang dikeluarkan oleh FAO (2008) mendefinisikan ketahanan pangan seperti
yang digunakan oleh World Food Summit tahun 1996. Pengertian terkait ketahanan
pangan yaitu food security exists when all people, at all times, have physical and
economic access to sufficient safe and nutritious food that meets their dietary needs
and food preferences for an active and healthy life. Konsep ini menekankan aspek
aksesibilitas pada tingkatan rumah tangga mendapatkan legitimasi dibandingkan
dengan konsep-konsep sebelumnya (Dewan Ketahanan Pangan, 2011).
Berdasarkan definisi tersebut, terdapat empat dimensi ketahanan pangan
yaitu: 1) Ketersediaan pangan secara fisik, yang lebih menekankan pada aspek
ketersediaan seperti tingkat produksi pangan, stok dan perdagangan pangan, 2) Akses
fisik dan ekonomi terhadap pangan. Ketersediaan pangan yang cukup tingkat nasional
atau internasional tidak menjamin kecukupan pangan tingkat rumahtangga. Hal ini
terkait dengan ketidak cukupan akses pangan dengan indikator seperti pendapatan,
pengeluaran, pasar dan harga pangan; 3) Pemanfaatan/konsumsi pangan yang
umumnya dikaitkan dengan variasi zat gizi dan kecukupan pangan, seperti kecukupan
energi dan zat gizi lainnya, sebagai dampak dari resultan dari cara menyediakan
pangan, jenis makanan, diversifikasi pangan dan distribusi makanan dalam keluarga.
Kombinasi dari pola konsumsi makanan dan tingkat penyerapan makanan dalam
tubuh akan menentukan status gizi seseorang; 4) Stabilitas dari dimensi 1, 2 dan 3
secara berkelanjutan. Ketidak cukupan pangan (rawan pangan) dapat terjadi sewaktu-
waktu akibat dari ketidakstabilan politik, faktor ekonomi (pengangguran, harga
pangan meningkat, dll).
Dari konsep awal ini berkembang disesuaikan dengan tujuan dan sudut
pandang sehingga dilakukan penjabaran-penjabaran. Namun demikian secara umum,
penjabaran yang dilakukan tetap relevan dengan konsep awal dari akses pangan. Food
and Nutrition Technical Assistance Project/FANTA (2003) menerbitkan buku/laporan
dengan judul Food Access Indicator Review. Kerangka konseptual ketahanan pangan
dan gizi yang digunakan dalam publikasi ini berasal dari USAID (Gambar 1). Dalam
publikasi tersebut disebutkan bahwa terdapat enam indikator akses pangan yang
harus dipertimbangkan untuk dilakukan monitoring dan pemilihan indikator terkait
dengan intervensi program yaitu: 1) Akses pangan rumah tangga tidak cukup untuk
melihat akses pangan tingkat individu dalam rumah tangga tersebut, karena rumah
tangga sebagai kelembagaan sosial berkaitan dengan akses pangan individu.
Sehingga seharusnya ada data distribusi pangan dalam rumah tangga; 2) Akses
pangan adalah kebutuhan akan tetapi kondisi ini tidak cukup untuk menentukan
penggunaan/konsumsi pangan oleh semua anggota rumah tangga. Hal ini terkait
dengan aspek pemeliharaan kesehatan. Jika rumah tangga mempunyai sumber daya
yang cukup untuk pangan semua anggota rumah tangga, namun belum tentu setiap
anggota tersebut secara aktual akan menerima dan menggunakan sesuai dengan
kecukupannya. Makanan yang didistribusikan secara kuantitas dan kualitas pangan
harus berdampak pada kesehatan anggota tersebut; 3) Akses pangan tergantung dari
pendapatan yang diperoleh oleh rumahtangga secara relatif dengan harga pangan
(daya beli); 4) Rumahtangga memiliki berbagai strategi untuk memperoleh
pendapatan. Rumahtangga memiliki akses berbagai sumber daya seperti tenaga kerja,
lahan, ternak, dan modal. Beberapa rumahtangga juga dapat memperoleh atau
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 227


Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

menggunakan sumber daya lain melalui interaksi dengan rumahtangga, organisasi


dan institusi pemerintah lain dan 5) Terdapat dimensi waktu pada akses pangan.
Banyak rumahtangga menghadapi fluktuasi pendapatan baik tahunan maupun dari
tahun ke tahun. Apalagi pada rumahtangga pertanian yang menghadapi perubahan
musim terkait dengan siklus tanaman pangan.
Seperti dalam Gambar 1, akses pangan sebagai jembatan penghubung antara
aspek ketersediaan pangan dan konsumsi pangan. Dalam kerangka mewujudkan
ketahanan pangan dimulai dari adanya lingkungan strategis berupa lingkungan alam,
sosial dan politik yang bersama-sama akan menentukan tingkat produksi pangan dan
pendapatan rumah tangga. Besaran pangan yang diproduksi akan menentukan
besaran ketersediaan pangan yang berdampak pada tingkatan harga pangan. Seperti
hukum ekonomi, jika ketersediaan pangan melimpah maka harga pangan tersebut
akan menurun dan sebaliknya. Aspek daya beli, produksi pangan, transfer/bantuan
pangan berupa tunai atau barang dari luar negeri akan berpengaruh pada akses
pangan rumah tangga. Pangan yang telah diakses oleh rumahtangga atau individu
harus sesuai dengan kaidah/norma gizi baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Pangan yang dikonsumsi belum tentu dapat diserap semua oleh manusia karena
tergantung dari kadar kesehatan dan pola asuh terutama untuk anak-anak. Kedua hal
inilah yang akan menentukan status gizi seseorang, apakah baik, sedang atau kurang
gizi. Dalam buku Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014 yang dikeluarkan
oleh Dewan Ketahanan Pangan (2011) mengartikan gambar tersebut terdapat dua
jalur yaitu jalur pertama adalah jalur ketersediaan dan akses pangan, sedangkan jalur
kedua disebut jalur konsumsi dan gizi. Pelajaran dari Gambar 1 adalah produksi
pangan, daya beli, bantuan pangan, dan stabilisasi harga pangan akan berpengaruh
kepada mudah tidaknya rumahtangga mengakses pangan.

Gambar 1. Food security Conceptual Framework (Sumber USAID dalam FANTA, 2003)

228 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Perubahan konsep ketahanan pangan yang disampaikan pada World Summit


of Food Security tahun 2009, terjadi pengembangan konsep ketahanan pangan yaitu
penambahan konsep dan secara spesifik menambahkan dimensi/pilar ketahanan
pangan (Gambar 2). Pada awalnya, empat dimensi ketahanan pangan adalah
ketersediaan, akses, penggunaan/konsumsi dan stabilitas pangan, ditambah dengan
dimensi gizi sebagai bagian integral dalam konsep ketahanan pangan (FAO 2009b).
Definisi ini bersifat komprehensif dan mencakup semua level (individu, rumahtangga,
nasional, regional dan global) serta mengkoordinasikan tanggung jawab masing-
masing institusi, masyarakat dan pelaku ekonomi untuk menghadapi kerawanan
pangan secara efektif. Kemiskinan merupakan hambatan utama untuk mencapai
ketahanan pangan pada level rumahtangga sehingga pengentasan kemiskinan sangat
penting dalam memperbaiki akses pangan (FAO 1996).
Telah banyak tulisan terkait dengan akses pangan baik secara langsung
maupun tidak langsung karena akses pangan merupakan salah satu elemen penting
dalam ketahanan pangan. Indikator yang berpengaruh pada akses pangan akan
berubah seiring dengan pendalaman dalam konsep ketahanan pangan. Seperti pada
Tabel 1, faktor utama yang berpengaruh pada akses pangan adalah beragam, namun
yang utama terkait dengan: a) Daya beli rumahtangga terhadap pangan, yang berarti
variabel pendapatan dan harga pangan, 2) Produksi pangan yang akan mencerminkan
aspek ketersediaan pangan, 3) Infrastruktur yang terkait dengan distribusi pangan
terutama berupa sarana dan prasarana transportasi, yang memudahkan distribusi
pangan dari satu wilayah ke wilayah lain baik dari satu pulau ke pulau lain maupun
dari desa ke desa lain, serta 4) Perilaku konsumsi pangan.

Gambar 2. The Food Security System: A New Conceptual Framework (IFPRI, 2012)

Dengan memperhatikan Gambar 1 dan 2 serta beberapa literatur yang berasal


dari luar negeri seperti pada Tabel 1, indikator yang berpengaruh pada akses pangan
dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu: a) Aspek ekonomi (pendapatan, harga
pangan dan non pangan, kesempatan kerja); b) Aspek fisik (sarana dan prasarana
perhubungan, infrastruktur daerah, produksi pangan); dan c) Aspek sosial (preferensi
terhadap makanan, pendidikan, konflik/perang, gotong royong, bantuan pangan).

Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 229




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Suryana (2008), hasil Pra WNPG IX bulan Juni 2008 menunjukkan bahwa masalah
ketahanan pangan disebabkan pada rendahnya keterjangkauan pangan sebagian
penduduk. Keterjangkaun pangan masyarakat harus memenuhi tiga hal yaitu fisik,
ekonomi dan sosial. Keterjangkauan fisik artinya masyarakat dapat menjangkau
pangan dengan mudah karena adanya dukungan prasarana dan sarana mobilitas
maupun pasar yang memadai. Keterjangkauan ekonomi artinya jika masyarakat
mempunyai daya beli yang cukup untuk mendapatkan bahan pangan sesuai
kebutuhan dan pilihan setiap individu anggotanya. Keterjangkauan sosial artinya jika
masyarakat terlayani oleh sistem perlindungan sosial yang membantunya
mendapatkan pangan pada saat mengalami kekurangan. Indikator-indikator tersebut
selanjutnya akan digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan indikator yang
sangat mempengaruhi akses pangan di Indonesia dalam tulisan ini.

Tabel 1. Variabel yang Berpengaruh pada Akses Pangan


Sumber Variabel yang Berpengaruh
USAID dalam FANTA Produksi pangan, daya beli, pemberian/pinjaman, pengumpulan
(2003) barang dari alam
IFPRI (2012) Pendapatan, harga, konsumsi, sanitasi dan air, kesehatan,
informasi dan pendidikan
FAO (2011) Pendapatan, harga, pasar, infrastruktur, distribusi makanan antar
anggota keluarga, masalah perempuan
Work Stream 5 of the Harga dan pendapatan, pengetahuan dan nilai, geografi,
Scottish Government's kelompok lokal dan masyarakat, gaya hidup dan tekanan,
Food Forum (2009) perubahan pangan orientasi konsumen

KINERJA DAN PERMASALAHAN AKSES PANGAN

Kinerja Akses Pangan Wilayah


Pada tahun 2005, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) bekerjasama dengan World
Food Programme (WFP) menyusun Peta Kerawanan Pangan Indonesia (Food
Insecurity Atlas-FIA), yang menggambarkan peringkat situasi ketahanan pangan pada
265 kabupaten di 30 provinsi. Kemudian pada tahun 2009 (pada 32 provinsi, 346
kabupaten), DKP dan WFP melakukan pembaharuan data yang kemudian disusun
dalam peta dengan nama Peta Kerentanan Pangan. Indikator yang digunakan tetap
sama, meliputi 13 indikator (9 indikator kerawanan pangan kronis dan 4 indikator
kerawanan pangan sementara/transien). Ke 13 indikator tersebut dikelompokkan
kedalam tiga bagian yaitu: 1) Ketersediaan pangan (ketersediaan bersih
padi+jagung+ubikayu+ubijalar); 2) Akses pangan dan penghidupan (persentase
penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, persentase desa yang tidak memiliki akses
penghubung yang memadai, persentase rumah tangga tanpa akses listrik); 3)
Pemanfaatan pangan (angka harapan hidup pada saat lahir, berat badan balita di
bawah standar, perempuan buta huruf, persentase rumah tangga tanpa akses ke air
bersih, persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dan fasilitas kesehatan);
dan 4) Kerentanan pangan terhadap kerawanan pangan transien (bencana alam,
penyimpangan curah hujan, persentase daerah puso, deforestasi hutan).
Hasil dari peta tersebut sebagai berikut: a) Terdapat 100 kabupaten yang perlu
perhatian khusus pada tahun 2005. Pada tahun 2006 dan 2007 telah dialokasikan
dana oleh pemerintah lebih dari US$ 32 juta; b) Dari 100 kabupaten Prioritas 1-3 di
FIA 2005, 44 kabupaten mengalami perbaikan dari kabupaten Prioritas 1-3 dan
230 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan


Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

berpindah menjadi kabupaten Prioritas lebih rendah yaitu Prioritas 4-6 di FSVA 2009.
42 kabupaten yang lain peringkatnya mengalami perbaikan namun masih masuk
kabupaten Prioritas 1-3. 12 kabupaten lainnya masuk menjadi kabupaten Prioritas
yang lebih tinggi. Berpindahnya 12 kabupaten tersebut terutama disebabkan oleh
rendahnya akses jalan terhadap kendaraan roda empat, atau meningkatnya angka
kemiskinan. Kabupaten yang termasuk prioritas 1-3 sebagian besar berada di Provinsi
Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat.

Kinerja Akses Pangan Masyarakat


Seperti telah diungkap sebelumnya kalau akses pangan baik maka konsumsi
pangan masyarakat atau rumahtangga akan terpenuhi baik secara kuantitatif,
kualitatif dan diversifikasi. Selain itu ukuran untuk melihat sejauh mana capaian akses
pangan dapat dilihat jumlah penduduk miskin, penduduk rawan pangan/kelaparan
dan status gizi balita seperti yang diamanatkan dalam Millenium development Goals
(MDG). Beberapa capaian tersebut sebagai berikut:
1) Ketersediaan pangan sebagai salah satu aspek/dimensi ketahanan pangan yang
penting dalam menjembatani akses pangan, karena kalaupun rumahtangga
mempunyai kemampuan mengakses pangan, namun apabila pangan tidak
tersedia maka kegiatan akses pangan tidak akan terjadi. Oleh karena itu,
indikator ketersediaan pangan dapat sebagai alat untuk mengukur kinerja akses
pangan. Pangan yang disediakan dapat diperoleh dari produksi sendiri maupun
dari impor. Ketersediaan dari berbagai komoditas pangan dikonversi kedalam
satuan energi dan protein sehingga diperoleh angka ketersediaan pangan dalam
bentuk energi dan protein seperti pada Tabel 2. Hasil kesepakatan para ahli gizi
dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke X tahun 2012
merekomendasikan standar anjuran ketersediaan pangan dalam bentuk energi
dan protein per kapita per hari masing-masing sebesar 2400 Kalori dan 63 Gram.
Berdasarkan anjuran tersebut, ketersediaan energi dan protein telah mencukupi
(bahkan jauh dari rekomendasi), atau dapat dikatakan dari sisi ketersediaan
pangan, Indonesia dalam kondisi tahan pangan.

Tabel 2. Perkembangan Ketersediaan Energi dan Protein


Tahun Energi Protein
*
Kalori/Kap/Hari % Gram/Kap/Hari %*
2010 3.801 158,4 94,6 150,1
2011 3.646 151,9 93,1 147,8
2012 3.737 155,7 94,1 149,4
2013 3.882 161,8 90,6 143,7
Keterangan: * % angka ketersediaan terhadap rekomendasi WNPG X,
energi= 2400 Kalori/kap/hari, protein=63 Gram/kap/hari
Sumber: Suryana (2014)

2) Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diolah oleh
Badan Ketahanan Pangan (2015), tingkat konsumsi energi tahun 2014 sebesar
1.949 Kalori/kapita/hari atau 88,6% dari standar kecukupan yang dianjurkan
(hasil WNPG ke X, tahun 2012, anjuran konsumsi energi sebesar 2.200
Kalori/kap/hari). Tingkat konsumsi protein pada tahun yang sama yaitu 56,6
gram/kapita/hari atau 99,4 % dari standar kecukupan yang dianjurkan (anjuran
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 231


Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

konsumsi protein sebesar 57 gram/kap/hari). Sementara itu, keragaman


konsumsi pangan yang diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar
83,4, sedangkan target pada tahun 2014 seharusnya sebesar 93,3.
Perkembangan konsumsi energi, protein dan skor PPH disajikan pada Tabel 3.
Dengan memperhatikan capaian konsumsi tersebut dapat disimpulkan bahwa
masih ada masalah akses pangan pada rumahtangga.

Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Energi, Protein dan Skor PPH


Tahun Energi Protein Skor PPH
(Kalori/kap/hari) (Gram/kap/hari)
2009 1927 54,4 75,7
2010 2025 57,9 85,7
2011 2048 59,1 85,6
2012 1944 55,9 83,5
2013 1930 55,7 81,4
2014 1949 56,6 83,4
Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2015)

3) Salah satu butir kesepakatan dalam MDGs adalah menanggulangi kemiskinan


dan kelaparan, yang mencakup tiga target, diantaranya adalah penurunan
jumlah penduduk miskin dan penduduk yang kelaparan pada periode 1990-2015.
Pada tahun 1990, jumlah penduduk miskin sebesar 15,1% dan target tahun 2015
sebesar 7,55%, sedangkan target jumlah penduduk dengan konsumsi minimum
1.400 Kalori/kap/hari pada tahun 2015 sebesar 8,5% (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2012).  Capaian jumlah penduduk miskin
pada tahun 2014 masih tinggi yaitu 11,25% (RPJMN, 2015), sedangkan untuk
penduduk yang mengkonsumsi energi lebih rendah dari 70% kecukupan (177
Kalori/kap/hari) pada tahun 2013 sebesar 19,04% (BKP, 2014). Capaian jumlah
penduduk miskin masih jauh dari target MDGs, sebaliknya untuk penduduk
rawan pangan. Walaupun demikian dengan masih banyaknya penduduk miskin
dan belum tercapainya target MDGs, maka dapat dikatakan juga masih ada
masalah akses pangan pada sebagian rumahtangga. Secara lengkap
perkembangan data untuk jumlah penduduk miskin dan rawan pangan disajikan
pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia


Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) Persentase Penduduk Miskin
Tahun
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
2005 12,4 22,7 35,1 11,7 20,0 16,0
2006 14,5 24,8 39,3 13,5 21,8 17,8
2007 13,6 23,6 37,2 12,5 20,4 16,6
2008 12,8 22,2 35,0 11,7 18,9 15,4
2009 11,9 20,6 32,5 10,7 17,4 14,2
2010 11,1 19,9 31,0 9,9 16,6 13,3
Maret 2011 11,1 19,0 30,0 9,2 15,7 12,5
Sep-11 11,0 18,9 29,9 9,1 15,6 12,4
maret 2012 10,7 18,5 29,1 8,8 15,1 12,0
Sep-12 10,5 18,1 28,6 8,6 14,7 11,7
Mar-13 10,3 17,7 28,1 8,4 14,3 11,4
Sep-13 10,6 17,9 28,6 8,5 14,4 11,5
Sumber: BPS (2015) dalam www.bps.go.id

232 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Tabel 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Rawan Pangan


Tahun Jumlah penduduk sangat rawan*)
% Juta Jiwa
2010 15,34 35,71
2011 17,41 42,08
2012 19,46 47,65
2013 19,04 47,02
(%/th) 4,81 5,96
*) Konsumsi energi/kapita/hari < 70% dari AKG
Sumber: BPS, diolah BKP dalam Kementan (2015)

4) Dalam MDGs, target tahun 2015 untuk prevalensi balita gizi buruk dan gizi
kurang masing-masing sebesar 3,6% dan 11,9% (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2012). Capaian untuk balita dengan gizi
buruk tahun 2013 sebesar 5,7%, sedangkan untuk balita gizi kurang sebesar
14% (Kemenkes dalam Indonesia Agency for Food Security, 2013).
Perkembangan balita dengan gizi buruk dan gizi kurang hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2013) dapat dilihat pada Gambar 3. Jumlah balita dengan status gizi buruk dan
kurang pada tahun 2013 justru meningkat, bahkan peningkatan cukup tinggi
untuk balita yang pendek. Kondisi ini memperlihatkan bahwa masih ada
permasalahan dalam hal konsumsi pangan dan pola asuh anak, juga masalah
prasarana/sarana kesehatan yang berdampak pada terjadinya balita dengan gizi
buruk atau kurang.

Gambar 3: Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang, Pendek, Kurus, dan Gemuk Pada Balita
Sumber: Indonesia Agency for Food Security, 2013

Permasalahan Akses Pangan
Dengan memperhatikan angka-angka dalam capaian tersebut diatas, dapat
diartikan bahwa masih terjadi permasalahan akses pangan di Indonesia baik berbasis
wilayah maupun rumahtangga dan individu. Masih banyak kabupaten terutama
wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) termasuk wilayah rawan pangan atau
rentan pangan. Secara rata-rata, pangan yang dikonsumsi oleh rumahtangga juga
belum sesuai dengan yang dianjurkan. Beberapa indikator dalam MDGs terkait akses
pangan juga belum dapat sesuai dengan target. Angka kemiskinan dan rawan pangan
memang menurun dari tahun ke tahun, namun penurunannya melambat dan belum
mampu memenuhi target MDGs (terutama untuk kemiskinan). Pertanyaannya adalah
faktor-faktor apakah yang mempengaruhi akses pangan wilayah dan rumahtangga.
Analisis yang dilakukan oleh Suryana (2014) menyimpulkan bahwa terjadi
kesenjangan yang cukup lebar antara rata-rata ketersediaan pangan yang lebih dari
cukup dan rata-rata pangan yang benar-benar dikonsumsi masyarakat yang ternyata
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 233


Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

masih dibawah rekomendasi. Beberapa hasil identifikasi permasalahan akses pangan


wilayah dan rumahtangga dapat diungkap sebagai berikut:

1. Ketimpangan PDRB Antar Wilayah/Provinsi


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai indikator makro menunjukkan
kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh wilayah atau juga
menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu
daerah. Semakin tinggi nilai PDRB menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi
semakin besar dan peluang pemanfaatannya untuk penduduk yang bertempat tinggal
disuatu wilayah tersebut juga semakin besar. Selama 30 tahun (1982-2012) kontribusi
PDRB Kawasan Barat Indonesia (KBI), yang mencakup wilayah Sumatera, Jawa, dan
Bali sangat dominan, yaitu sekitar 80 % dari PDB, sedangkan peran KTI baru sekitar
20 %.
Kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam jangka panjang dapat
memberikan dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Keterbatasan PDRB di
wilayah KTI ini berdampak pada terbatasnya pembangunan sarana dan prasarana di
wilayah tersebut. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau kabupaten di KTI banyak yang
mempunyai kategori wilayah rawan pangan/rentan pangan seperti dalam peta yang
disusun oleh DKP dan WFP. Dampak berikutnya adalah banyaknya kantong-kantong
kemiskinan di wilayah ini. Sebagai gambaran, jumlah penduduk sangat rawan pangan
pada tahun 2013 di wilayah Sumatera antara 16,7-20,6%; di Jawa antara 4,9-20,9%;
sedangkan di wilayah Maluku-Maluku Utara antara 20,6-39,5% dan Papua-Papua
Barat antara 40,1-45,3% (Badan Ketahanan Pangan, 2014).

2. Ketimpangan Pembangunan Sarana dan Prasarana


Indonesia memiliki wilayah yang luas berupa daratan dan lautan.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah masih bias pada wilayah daratan
dan bias pada wilayah yang berada di KBI seperti di Jawa dan Sumatera. Sebaliknya
pembangunan sarana dan prasarana terutama berupa transportasi dari dan ke
wilayah KTI masih terbatas, sehingga harga pangan yang harus didatangkan dari
wilayah lain menjadi sangat mahal. Menurut Purnasihar (2012), daerah pada KBI
mencapai pertumbuhan yang cepat, dan sebaliknya beberapa daerah pada KTI
mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami
kemajuan yang sama karena perbedaan sumber-sumber yang dimiliki serta adanya
kecenderungan investor memilih daerah perkotaan yang telah memiliki fasilitas seperti
sarana prasarana perhubungan, jaringan listrik dan telekomunikasi, perbankan dan
sumber daya manusia yang terampil. Selain itu adanya ketimpangan redistribusi
pembagian pendapatan dari pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan luas
wilayah darat, yang tentu saja sangat merugikan provinsi Maluku yang didominasi
wilayah laut dibandingkan darat sehingga mendorong semakin besar ketimpangan
regional antar daerah. Sementara itu menurut Solihin, D (2008), KBI yang luasnya
hanya 31,25% dari luas wilayah nasional dilayani jalan nasional dan provinsi yang
total panjangnya 37.687,5 km. Sementara itu wilayah KTI yang luasnya 68,75%
dilayani jalan nasional dan propini yang totalnya justru lebih rendah yaitu 33.241,2
km. Kondisi jalan yang rusak berat sebagian besar juga di wilayah KTI.

234 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

3. Geografi Wilayah
Wilayah Indonesia sangat luas dan sebagian berupa pulau-pulau baik pulau
besar maupun pulau kecil. Masih banyak ditemukan wilayah yang terisolasi dari pusat-
pusat kegiatan ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir dan
daerah pedalaman. Pada wilayah ini, hubungan antara pulau atau antar daerah
pedalaman harus dilalui dengan transportasi laut, sehingga untuk pangan yang harus
didatangkan dari luar pulau akan menghadapi kendala apabila keadaan cuaca tidak
memungkinkan untuk melakukan pelayaran. Disisi lain, sarana transportasi laut juga
masih terbatas. Dampak dari hal ini tentu saja adalah terjadinya gangguan pasokan
pangan di wilayah tersebut pada waktu-waktu tertentu dengan harga yang relatif
mahal. Seperti yang disampaikan oleh Alfons; dkk., (2012), potensi kerawanan pangan
cukup besar bagi wilayah-wilayah kepulauan seperti di Maluku. Dengan kondisi
kepulauan, pasokan makanan dapat terputus bila tiba-tiba cuaca menjadi tidak
bersahabat.

4. Besaran dan Ketimpangan Pendapatan Rumahtangga


Salah satu faktor utama yang mempengaruhi akses pangan tingkat
rumahtangga adalah pendapatan rumahtangga. Dengan menggunakan data Susenas,
pengeluaran sebagai proksi pendapatan dan pangsa pengeluaran pangan sebagai
salah satu ukuran kesejahteraan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
rumahtangga relatif stagnan (Gambar 4). Pangsa pengeluaran tahun 2012 sebesar
51,08%, sedangkan pada tahun 2013 sebesar 50,66%. Jumlah pendapatan
rumahtangga belum semuanya mencukupi kebutuhannya sehingga masih ditemukan
penduduk yang miskin dan atau rawan pangan. Dalam Rencana Pembangunan
Kementerian Pertanian 2015-2019 disebutkan bahwa berdasar harga konstan tahun
2000, tingkat pendapatan petani untuk pertanian dalam arti luas maupun pertanian
sempit menunjukkan peningkatan yang diindikasikan oleh pertumbuhan yang positif
masing-masing sebesar 5,64 % dan 6,20 %/tahun selama kurun waktu 20102014.
Namun demikian secara nominal tingkat pendapatan/kapita petani tersebut masih
berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 2014
misalnya, tingkat pendapatan/kapita pertanian dalam arti luas dan sempit masing-
masing sekitar Rp 9.032/kapita/hari dan Rp 7.966/kapita/hari; padahal berdasarkan
Bank Dunia batas garis kemiskinan adalah pendapatan US$ 2/kapita/hari, dengan
tingkat kurs US$ terhadap rupiah tahun 2014 yang telah melewati Rp 10.000/1US$
tentu menunjukkan masih relatif rendahnya tingkat kesejahteraan petani atau
penduduk yang bekerja di sektor pertanian.
Disisi lain, juga masih adanya ketimpangan pendapatan yang berdampak pada
yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Ketimpangan pendapatan
yang dihitung dengan indeks gini menunjukkan dibandingkan dengan tahun 2010,
ketimpangan pendapatan semakin besar yang ditunjukkan dengan besaran indeks gini
yang semakin besar (Tabel 6). Proporsi rumahtangga yang termasuk berpendapatan
rendah juga relatif tetap. Tiga kelompok rumah tangga yang diperkirakan berada pada
40 persen penduduk berpendapatan terbawah adalah: (1) angkatan kerja yang
bekerja tidak penuh (underutilized) terdiri dari penduduk yang bekerja paruh waktu
(part time worker), termasuk di dalamnya adalah rumah tangga nelayan, rumah
tangga petani berlahan sempit, rumah tangga sektor informal perkotaan, dan rumah


Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 235

Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

tangga buruh perkotaan; (2) usaha mikro kecil termasuk rumah tangga yang bekerja
sebagai pekerja keluarga (unpaid worker); dan (3) penduduk miskin yang tidak
memiliki aset maupun pekerjaan (Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/BAPPENAS, 2014).




 
 



  
    
Gambar 4. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan (%)
Sumber : Susenas, Berbagai Tahun (diolah)

Tabel 6. Perkembangan Distribusi Pendapatan


40% 40% 20%
Indeks
Daerah Tahun Berpengeluaran Berpengeluaran Berpengeluaran
Gini
Rendah Sedang Tinggi
2010 17,57 36,99 45,44 0,38
Kota 2011 16,10 34,79 49,11 0,42
2012 16,00 34,53 49,48 0,42
2013 15,40 34,83 49,77 0,43
2010 20,98 38,78 40,24 0,32
2011 19,96 37,46 42,58 0,34
Desa
2012 20,60 37,57 41,82 0,33
2013 21,03 37,96 41,00 0,32
2010 18,05 36,48 45,47 0,38
2011 16,85 34,73 48,42 0,41
Kota+Desa
2012 16,98 34,41 48,61 0,41
2013 16,87 34,09 49,04 0,41
Sumber: BPS (2015). www.bps.go.id

5. Kenaikan Harga Pangan dan Non Pangan


Daya beli rumahtangga merupakan resultante dari variabel pendapatan
rumahtangga dan harga pangan di pasaran. Yovanda (2015), berdasarkan rilis Global
Food Security Index bulan Januari tahun 2015, dijelaskan adanya keterkaitan erat
antara pangan dan energi. Di antaranya dengan harga minyak yang turun 60%, maka
harga pangan turun 2,8%, dan meningkatkan indeks ketahanan pangan pada 79 dari
109 negara. Kenaikan harga tanpa dibarengi kenaikan pendapatan akan menurunkan
daya beli rumahtangga. Kenaikan harga pangan dipicu terutama oleh kenaikan
premium dan terbatasnya pasokan pangan pada periode tertentu. Kenaikan premium
akan meningkatkan harga input produksi dan biaya transportasi, yang kesemuanya
tersebut berdampak pada kenaikan harga pangan dan non pangan. Data laju inflasi
gabungan 66 Kota (2007=100) selama tahun 2010-2013 menunjukkan laju yang besar
pada bahan makanan dibandingkan dengan kebutuhan lainnya kecuali transport
(Tabel 7).

236 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Tabel 7. Laju Inflasi Gabungan 66 Kota (2007=100), 2010-2013


Kelompok 2010 2011 2012 2013
Bahan makanan 15,64 3,64 5,68 11,35
Makanan jadi, minuman, rokok dan 6,96 4,51 6,11 7,45
tembakau
Perumahan, air, listrik,gas, dan bahan 4,08 3,47 3,35 6,22
bakar
Sandang 6,51 7,57 4,67 0,52
Kesehatan 2,19 4,26 2,91 3,70
Pendidikan, rekreasi dan olahraga 3,29 5,16 4,21 3,91
Transpor, komunikasi dan jasa keuangan 2,69 1,92 2,20 15,36
Sumber: BPS (2014)

6. Perilaku Konsumsi Pangan Masyarakat yang Menyimpang


Kurangnya pengetahuan rumahtangga tentang pola pangan dan gizi yang
beragam bergizi seimbang dan aman. Sebetulnya pemerintah telah mempunyai alat
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait pangan dan gizi baik secara
langsung maupun tidak langsung. Program-program tersebut diantaranya adalah
Keluarga Sadar Gizi yang dikenal dengan KADARSI, Gerakan Nasional Sadar Gizi
Menuju Indonesia Prima 2014. Kedua program tersebut yang menjadi motor adalah
Kementerian Kesehatan, sedangkan program Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dimotori oleh Badan Ketahanan pangan,
Kementerian Pertanian (Djauhari, dkk., (2013). Namun demikian, tampaknya
program-program tersebut tidak berdampak secara signifikan pada perubahan
perilaku konsumsi pangan rumahtangga sesuai dengan kaidah atau aturan pangan
dan gizi. Terdapat perilaku yang menyimpang dalam hal konsumsi seperti diungkap
oleh Kariyasa dan Djauhari (2013) adalah pemborosan makanan sehingga cenderung
mengambil makanan dalam jumlah banyak, namun tidak semuanya dikonsumsi
sampai habis. Hal ini terkait dengan persoalan mind-set, budaya makan dan kurang
sadarnya masyarakat akan arti pentingnya kehilangan nilai ekonomi pangan. Bahkan
hasil analisis yang dilakukan oleh Ariani dan Haryono (2014), perilaku konsumsi
makanan telah menyimpang kearah kebarat-baratan. Globalisasi dan liberalisasi
berdampak pada perubahan gaya makan dari makanan yang dibuat di rumah ke arah
makanan jadi dan dari pangan lokal (nusantara) ke pangan asing (impor), yang
diindikasikan dengan berkembang pesatnya waralaba asing di Indonesia. Dampak dari
penyimpangan tersebut pada orang dewasa terjadinya peningkatan penyakit
degeneratif seperti stroke, diabetes melitus dan lainnya sedangkan pada anak balita
terjadi stunting, gizi kurang dan gizi buruk.

UPAYA PENINGKATAN AKSES PANGAN MASYARAKAT


Telah banyak yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan akses
pangan pada rumahtangga yang rawan pangan baik kronis maupun transien.
Program-program tersebut bersifat antisipatif dan kuratif, yang dilaksanakan oleh
banyak kementerian/lembaga. Kementerian Pertanian, melalui Badan Ketahanan
Pangan telah mempunyai program aksi secara reguler untuk meningkatkan akses
pangan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti program P2KP, Mandiri
Pangan, Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM), Pengembangan
Lumbung Pangan Masyarakat, Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi.

 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 237



Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Lembaga ini juga melaksanakan pengembangan model pemberdayaan ketahanan


pangan masyarakat dengan program aksinya adalah Peningkatan Kesejahteraan
Petani Kecil/Smallholder Livelihood Development Project in Eastern Indonesia (SOLID)
dalam rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Keluarga. Program aksi tersebut
didanai oleh IFAD dan dilaksanakan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara (Badan
Ketahanan Pangan, 2014).
Dalam UU Pangan No.18 tahun 2012, banyak sekali tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah dalam membangun ketahanan pangan termasuk
akses/keterjangkauan pangan. Seperti yang tertulis dalam beberapa pasal dan ayat
sebagai berikut: pemerintah dan pemerintah daerah sebagai pihak yang bertanggung
jawab, seperti dalam hal ketersediaan pangan (Pasal 12,ayat 1), mengembangkan
potensi produksi pangan (Pasal 16, ayat 1), melakukan tindakan untuk mengatasi
krisis pangan (Pasal 44, ayat 1), serta mewujudkan keterjangkauan pangan bagi
masyarakat, rumah tangga dan perseorangan (Pasal 46, ayat 1). Beberapa usulan
upaya peningkatan akses pangan sebagai berikut:

1. Pengembangan dan Pembangunan Infrastruktur di Wilayah KTI


Telah terjadi kesenjangan fasilitas dan penghidupan masyarakat di wilayah KBI
dan KTI, yang diindikasikan dengan kesenjangan PDRB, tingginya jumlah penduduk
rawan pangan dan balita dengan gizi kurang. Kesenjangan tersebut dapat dieliminer
melalui pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian
terutama di wilayah KTI seperti sarana transportasi baik berupa jalan maupun
kendaraannya. Tersedianya sarana transportasi tersebut akan meningkatkan
kelancaran arus barang dan jasa dalam upaya menekan harga pangan, peningkatan
ketersediaan pangan dan sekaligus meningkatkan mobilitas masyarakat untuk
mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Dalam RPJM 2015-2019, disebutkan
bahwa pemerintah akan pengembangan wilayah yang dapat mendorong transformasi
dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa
Tenggara dan Papua, dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di Wilayah
Jawa-Bali dan Sumatera. Transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah tersebut
salah satunya melalui penyediaan infrastruktur yang terpadu dan merata.

2. Pembangunan Pulau Mandiri Pangan


Indonesia terdiri dari pulau besar dan pulau kecil dan setiap pulau mempunyai
kapasitas dan fasilitas yang berbeda baik terkait dengan karakteristik sumber daya
manusia maupun karakteristik pola produksi dan konsumsi pangan. Di wilayah KTI
terdiri dari banyak pulau-pulau kecil, yang akses jalan harus ditempuh melalui sarana
transportasi laut, seperti di Provinsi Maluku terdapat 12 gugus pulau yang setiap gugus
mempunyai ciri yang khas. Vikijuluw dan Bengen (tanpa tahun) menyebutkan bahwa
kemandirian pangan secara nasional tidak akan terwujud tanpa adanya kemandirian
di pulau-pulau kecil. Etika dan protokol pembangunan pulau kecil harus diikuti dalam
membangun ekonomi pulau-pulau kecil termasuk pembangunan produksi pangan.
Pembangunan pulau mandiri pangan diharapkan setiap pulau mampu
mencukupi kebutuhannya sendiri terutama untuk pangan pokoknya sesuai dengan
potensi dan budayanya. Akan riskan apabila kebutuhan pangan pokok di pulau-pulau
kecil termasuk pulau terpencil dan terluar kalau kebutuhan pangan pokoknya harus
238 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan


Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

didatangkan dari wilayah lain. Oleh karena itu, jenis pangan yang diproduksi dan
dikonsumsi oleh masyarakat harus sesuai dengan kondisi agroekositem pulau
tersebut. Alfons, dkk., (2012) pulau mandiri pangan di Maluku didasarkan pada konsep
gugus pulau dengan pendekatan laut pulau, dengan menganut prinsip kedaulatan
pangan dengan prioritas keluarga miskin dan kekurangan pangan, mengembangkan
kearifan lokal dalam proses produksi dengan melibatkan kaum perempuan. Selain itu
juga harus mempertahankan pola konsumsi sesuai budaya setempat.
Upaya pembangunan pulau mandiri pangan dilakukan oleh Pemerintah daerah
bekerjasama dengan para pakar dari perguruan tinggi dan kementerian terkait serta
Lembaga Swadaya Masyarakat dalam satu tim untuk bersama-sama menyusun
langkah-langkah pembangunan pulau mandiri pangan. Langkah-langkah harus
dilakukan secara holistik dan komprehensif, mulai dari hulu sampai hilir. Tim mencari
kondisi eksisting potensi pangan pada wilayah kecil, misalnya desa atau kecamatan,
baik cara budidaya, luasan, cara pengolahan dan perilaku konsumsinya. Dengan
adanya kondisi eksisting akan dapat disusun program-program pembangunan pulau
mandiri pangan. Dalam hal ini, inovasi yang dilakukan tidak cukup pada inovasi
teknologi namun juga kelembagaannya, siapa bertanggung jawab apa dan
seterusnya. Namun perlu diingat adalah pengembangan ini harus tetap
memperhatikan koridor budaya dan kearifan lokal baik dari segi produksi maupun
konsumsi sehingga benar-benar makanan yang dikonsumsi masyarakat berasal dari
produksi setempat, sebaliknya apa yang diproduksi akan dikonsumsinya.

3. Peningkatan Pendapatan Masyarakat


Peningkatan daya beli rumahtangga sangat penting sebagai upaya untuk
peningkatan akses pangan. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan pendapatan dan
menjaga stabilitas harga pangan. Upaya peningkatan pendapatan terutama pada
rumah tangga berpendapatan rendah yaitu: 1) angkatan kerja yang bekerja tidak
penuh, yang bekerja paruh waktu (nelayan, petani berlahan sempit, rumah tangga
sektor informal perkotaan, dan rumah tangga buruh perkotaan); (2) usaha mikro kecil
termasuk rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja keluarga, dan (3) penduduk
miskin yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan. Program peningkatan pendapatan
mereka akan berbeda sesuai dengan ketrampilan, aset yang dimiliki dan karakteristik
usaha.
Namun upaya yang utama dilakukan adalah menciptakan perluasan
kesempatan kerja dan usaha dengan membuka lapangan kerja baru di wilayahnya
dan disesuaikan dengan bidang keahlian dan tingkat pendidikannya. Pada umumnya
mereka mempunyai tingkat pendidikan setingkat SD dan SLTP, oleh karena itu
penciptaan lapangan kerja baru mampu untuk menyerap seluas-luasnya angkatan
kerja yang berpendidikan tersebut. Usaha mikro perlu memperoleh dukungan
penguatan teknologi, pemasaran, permodalan, dan akses pasar. Dalam RPJMN 2015-
2019 disebutkan salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
adalah dengan meningkatkan akses terhadap lahan dan aset produktif yang seringkali
membatasi peningkatan produksi dan skala usaha masyarakat kurang mampu.
Ketersediaan sarana dan prasarana perekonomian di daerah pedesaan, akses pada
kredit jasa keuangan dan sumber permodalan lainnya bagi pelaku ekonomi di
pedesaan, serta pemanfaatan riset dan teknologi pertanian, diseminasi dan

Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 239




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

penyediaan informasi teknologi pertanian juga faktor penting dalam mendorong


ekonomi perdesaan.

4. Stabilisasi Harga Pangan dan Non Pangan


Upaya peningkatan akses pangan rumahtangga akan tercapai kalau harga
harga terutama harga pangan terkendali sehingga masyarakat mampu membeli
makanan untuk memenuhi kebutuhannya. Stabilisasi harga pangan dilakukan agar
masyarakat berpendapatan rendah mampu menjangkau pangan yang ada di pasaran.
Stabilisasi pangan pokok yang dilakukan oleh pemerintah saat ini cukup efektif, namun
diperlukan koordinasi dan kekompakan antar kementerian (siapa menjalankan apa)
sehingga stabilisasi harga pangan pokok terjaga terutama di kantong-kantong wilayah
rawan pangan. Pemerintah memonitor neraca ketersediaan pangan (dalam hal ini
produksi pangan) dengan kebutuhan/konsumsinya untuk dapat melakukan tindakan
apabila terjadi gejolak harga pangan.

5. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat akan Pola Pangan Bergizi dan


Sehat
Dalam Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012, pemerintah dan
pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan
untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif dan
produksif (Pasal 60, ayat 1). Salah satu upaya tersebut dilakukan dengan
mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan dan meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan
dengan prinsip gizi seimbang (ayat 2). Disisi lain juga terdapat Peraturan Presiden
No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumber daya Lokal, yang salah satu langkahnya adalah kampanye,
sosialisasi, advokasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan yang bergizi
seimbang dan aman berbasis sumber daya lokal.
Pada saat ini, pemerintah telah selesai menyempurnakan panduan konsumsi
makanan sehari-hari dan berperilaku sehat, berdasarkan Prinsip Gizi Seimbang.
Penyempurnaan dilakukan karena penerapan pesan yang lama belum optimal,
timbulnya masalah gizi ganda dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Panduan ini sebagai acuan bagi pemerintah, pemerintah daerah, tenaga kesehatan
dan pihak terkait dalam penyelenggaraan gizi seimbang. Pesan ini disebut Pedoman
Gizi Seimbang (PGS) yang diluncurkan pada bulan Februari 2014 melalui Permenkes
No. 41 tahun 2014 (Kodyat, 2014). Dalam pedoman ini mempertahankan empat (4)
prinsip atau pilarnya yaitu: a Membiasakan makan beraneka ragam, sesuai dengan
kebutuhan; b) Memelihara kebersihan; c) Aktif bergerak dan olah raga; d) Menjaga
berat badan ideal dengan Indeks Masa Tubuh (IMT). Secara lengkap isi pesan dalam
PGS ada 10 pesan yaitu: 1) Syukuri dan nikmati anekaragam makanan, 2) Perbanyak
makan sayuran dan cukup buah-buahan, 3) Biasakan mengkonsumsi lauk pauk
mengandung protein tinggi, 4) Biasakan mengkonsumsi anekaragam makanan pokok,
5) batasi konsumsi pangan manis, asin dan berlemak, 6) Biasakan sarapan, 7)
Biasakan minum air putih yang cukup dan aman, 8) Biasakan membaca label pada
kemasan pangan, 9) Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih mengalir, 10) Lakukan
aktifitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal. Secara fisual isi pesan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
240 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan


Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Belajar dari efektifitas pesan-pesan sebelumnya maka PGS ini akan berhasil
sesuai yang diharapkan hanya jika dilakukan penguatan Komunikasi Informasi dan
Edukasi (KIE) PGS terutama pada saluran dan intensitas penyampaian pesan PGS.
Penyampaian PGS harus multi saluran dengan intensitas yang tinggi karena pada
hakekatnya merubah pola kebiasaan seseorang relatif sulit, demikian pula untuk
merubah pola konsumsi pangan yang bergizi dan sehat. Berbagai saluran pesan harus
dilakukan seperti media elektronik (TV, Handphone), koran dan penyampaian pesan
PGS ditempat publik seperti stasiun kereta api, bandara, restoran dan lainnya. Hal
yang penting untuk dilakukan adalah penyampaian pesan PGS kepada para wartawan
sekaligus menyamakan persepsi agar mereka tidak salah persepsi dan salah kutip
dalam penyampaian pesan PGS.

Gambar 5. Pesan Gizi Seimbang, 2014


Sumber: Kodyat, 2014

6. Bantuan Pangan (Pemerintah, Swasta, masyarakat)


Program beras untuk rakyat miskin (raskin) yang namanya akan diganti dengan
Rasta (beras untuk Kesejahteraan) dengan memberikan bantuan beras setiap
bulannya kepada rumahtangga miskin yang dilaksanakan sejak terjadinya krisis
ekonomi tahun 1998 dengan target rumah tangga miskin, kemudian pada tahun
2008, targetnya diperluas tidak hanya rumah tangga miskin tetapi juga rumah tangga
rentan atau hampir miskin (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
(2014). Pagu atau jumlah penerima program raskin secara nasional untuk tahun 2015
sebanyak 15.530.897 rumahtangga, tidak mengalami perubahan dari pagu Raskin
2013 dan 2014 (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, 2015).
Kementerian Sosial banyak melakukan aksi peningkatan akses pangan
terutama pada wilayah atau rumahtangga rawan pangan transien akibat adanya
bencana. Program-program tersebut berdampak nyata terhadap peningkatan akses
pangan wilayah dan rumahtangga yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah
penduduk miskin dan penduduk rawan pangan. Namun demikian, program
peningkatan akses pangan untuk wilayah dan rumahtangga tetap harus dilakukan
bahkan perlu dilakukan upaya-upaya khusus agar berdampak pada perbaikan akses
pangan secara signifikan, yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Pemerintah terus mendorong peran swasta melalui
dana Corporate Sosial responsibility (CSR) dan masyarakat untuk berperan serta
dalam pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan baik
dalam kondisi normal maupun bencana.
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 241


Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN


Kinerja akses pangan akan berpengaruh pada capaian ketahanan pangan.
Walaupun ketersediaan pangan mencukupi, namun masih terjadi masalah pangan dan
gizi (penduduk rawan pangan, stunting, kurang gizi). Permasalahan akses pangan
adalah ketimpangan PDRB antar wilayah/provinsi dan pembangunan sarana dan
prasarana, geografi wilayah, besaran dan ketimpangan pendapatan rumahtangga,
kenaikan harga pangan dan non pangan, serta perilaku konsumsi pangan yang
menyimpang. Berdasarkan permasalahan tersebut, upaya peningkatan akses pangan
rumahtangga dapat ditempuh melalui pengembangan dan pembangunan infrastruktur
terutama di wilayah KTI, pembangunan pulau mandiri pangan, peningkatan
pendapatan masyarakat, stabilisasi harga pangan dan non pangan, dan peningkatan
pengetahuan rumahtangga akan pola pangan bergizi dan sehat, serta bantuan pangan
(pemerintah, swasta, masyarakat).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Tanpa Tahun. Definition and Dimensions of Food Security.


http://agriwaterpedia,info/wiki/Definition_and_Dimensions_of_Food_Security.
(diunduh 12 Juni 2015)

Ariani, M dan Haryono. 2014. Memperkuat Daya saing Pangan Nusantara. Buku.
Memperkuat Daya saing produk Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. IAARD Press.

Badan Pusat Statistik. 2010. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. BPS. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta.

Badan Ketahanan Pangan. 2014. Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2013.


Kementerian Pertanian. Jakarta.

Badan Ketahanan Pangan. 2015. Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2014.


Kementerian Pertanian. Jakarta.

Badan Ketahanan Pangan. 2014. Pedoman Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran
Kementerian Pertanian. Jakarta.

Badan Ketahanan Pangan. 2015. Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan.


Kementerian Pertanian. Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar.


Kementerian Kesehatan. Jakarta.

Dewan Ketahanan Pangan. 2011. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014.


Jakarta.

Djauhari, A; T. Pranadji dan M. Ariani. 2013. Memperkuat Komunikasi Informasi dan


edukasi dalam pemasyarakatan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Buku.

242 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Diversifikasi Pangan dan transformasi pembangunan Pertanian. Badan Penelitian


dan Pengembangan Pertanian. IAARD. Press.

Ecker, O and C. Breisinger. 2012. The Food Security System. A New Conceptual
Framework. IFPRI Discussion Paper 01166. Development Strategy and
Governance Division. International Food Policy Research Institute (IFPRI).

FAO. 2008. An Introduction to the Basic Concepts of Food Security. FAO Food Security
Programme.

FAO. 2009a. The State of Food Insecurity in the World 2009: Economic crisesImpacts
and Lessons Learned. Food and Agriculture Organization of the United Nations,
Rome.
________. 2009b. Declaration of the World Summit on Food Security. WSFS 2009/2,
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Food and Nutrition Technical Assistance Project (FANTA). 2003. Food Access Indicator
Review. Food and Nutrition Technical Assistance. Academy for Educational
Development 1825 Connecticut Ave, NW Washington, DC 20009-5721.

FAO. 2011. Global Strategic Framework for Food Security and Nutrition. Committee
on World Food Security (CFS). http://www.fao.org/ fileadmin/ templates/ cfs/
Docs1011/WG_GSF.

Indonesia Agency for Food Security. 2013. National Nutrition Strategy Programme in
Indonesia, Prepared for WHO Second International Conference on Nutrition
(ICN2).Jakarta.

Yovanda, Y.R.2015. Disparitas Harga Pangan Jadi Masalah Krusial. http://ekbis.


sindonews.com/read/974014/34/disparitas-harga-pangan-jadi-masalah-krusial-
1425882655 (diunduh, 13 Juni 2015).

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional (BAPPENAS). 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium Di Indonesia 2011. Jakarta.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional (BAPPENAS). 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM) 2015-2019. Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong Royong. Jakarta.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. 2014. Penyusunan


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019,
Disampaikan dalam Musrenbang Regional. Mataram, 10 Desember.

Kariyasa, K dan A. Djauhari. 2013. Revitalisasi Ketahanan pangan melalui


Pengurangan pemborosan Pangan dan Perbaikan Diversifikasi Pangan. Buku.

Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 243




Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Mendukung Ketahanan Pangan

Diversifikasi Pangan dan transformasi pembangunan Pertanian. Badan Penelitian


dan Pengembangan Pertanian. IAARD. Press.

Kodyat, B.A. 2014. Pedoman Gizi Seimbang 2014. Permenkes RI No. 41 tahun 2014.
Disampaikan di DIY, tanggal 26 November.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2014. Pedoman Umum Raskin


2015. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 54
Tahun 2014. Jakarta.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan. 2015.


Lembar Informasi Dan Sosialisasi Program Raskin 2015. www.raskin.web.id/.../
LEMBAR_INFORMASI_DAN_SOSIALISASI_PR... (18 Juni, 2015).

Kementerian Pertanian. 2015. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.


03/Permentan/O.140/2/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus (UPSUS)
Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai melalui Program Perbaikan
Jaringan Irigasi dan Sarana Pendukungnya Tahun Anggaran 2015. Jakarta.

Nikijuluw, V.PH. dan D.G. Bengen. Kapasitas dan Potensi Pulau Kecil Sebagai Kawasan
Mandiri Pangan. Dalam Pasandaran, E., E.E. Ananto, K. Suradisastra, N. S. Saad,
B. Irawan, HAryono dan A. Hendriadi. Penyunting: Membangun Kemandirian
Pangan Pulau-pulau Kecil dan Wilayah Perbatasan. IAARD Press.

Suryana. 2008. Meningkatkan Keterjangkauan menuju Ketahanan Pangan Keluarga.


Prosiding Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi Untuk Mencapai
Millenium Development Goals. Prosiding Widyakarya nasional Pangan dan Gizi
IX. LIPI. Jakarta.

Suryana. A. 2014. Menuju Ketahanan pangan Indonesia Berkelanjutan 2025:


Tantangan dan Penanganannya. Forum Agro Ekonomi. Volume 32. No.2.
Desember. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Kementan.
Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasisi Sumber daya Lokal. Jakarta.

Purnasihar, S. 2012. Analisis Ketimpangan Pembangunan Regional dan Sektoral di


Indonesia. Tesis Pasca Sarjana UGM. Tidak dipublikasian. Yogyakarta.

Solihin, D. 2008. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia


(KTI) . Bahan Presentasi Tanggal 30 Juni di Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 18, Tahun 2012 Tentang Pangan. Jakarta.

White, R., B. Stewart and P. ONeill. Access To Food In A Changing Climate. GECAFS.
Global Environmental Change and Food System. Environmental Change Institute.
Oxford University.

Work Stream 5 of the Scottish Government's Food Forum. 2009. Food Affordability.
Access and Security: Their Implications for Scotland's Food Policy - A Report.
244 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 


Anda mungkin juga menyukai