Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix)


1. Taksonomi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Suku : Sapindales
Famili : Rutaceae (suku jeruk-jerukan)
Marga : Citrus
Jenis : Citrus hystrix

2. Morfologi
Morfologi tanaman jeruk purut hampir sama dengan jenis jeruk
lainya, karakteristik yang khas dari jeruk purut dapat diamati secara visual.
Pohonnya rendah atau perdu, namun bila dibiarkan tumbuh alami dapat
mencapai ketinggian 1,2m. Batang yang tua bewarna hijau tua, berbentuk
bulat dan berduri. Duri-durinya pendek, kaku, hitam, ujungnya coklat dan
panjangnya 0,2 cm-1,00 cm (Rukmana, 2008).
Letak daun jeruk purut terpencar atau silih berganti dan bertangkai
agak panjang serta bersayap lebar. Bentuk daun bulat telur, ujungnya
tumpul, berbau sedap (Rukmana, 2008).

7
8

Gambar. 2.1 tumbuhan jeruk purut


(Sumber: Nugroho, 2010)

3. Habitat
Plasma nutfah aneka jeruk purut (Citrus hystrix) berasal dari
dataran cina Nikolai Ivanovich Vavilov ahli botani Soviet, memastikan
bahwa tanaman jeruk purut berasal dari kawasan Indo-Malaya yang
mencakup Indo-Cina, Malaysia, Indonesia, dan Filipina (Rukmana, 2008).
Penyebaran tanaman jeruk purut ke berbagai negara di dunia telah
berlangsung ratusan tahun yang lalu. Tanaman jeruk purut banyak ditanam
di berbagai daerah sub tropik, seperti Indonesia, California, Florida, dan
Australia (Rukmana, 2008).

4. Kandungan Kimia
Daun mengandung flavonoid, tanin 1,8%, steroid triterpenoid dan
minyak atsiri 1-1,5%. Kulit buah mengandung saponin, tanin 1%, steroid
triterpenoid dan minyak atsiri yang mengandung sitrat 2-2,5% (Rukmana,
2008).
Triterpenoid adalah senyawa metabolit sekunder yang kerangka
karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan diturunkan dari
hidrokarbon C 30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berbentuk siklik
atau asiklik dan sering memiliki gugus alkohol, aldehida, atau asam
karboksilat (Widiyati, 2006).
Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang
mengandung intisiklopentana. Dahulu sering digunakan sebagai hormon
9

kelamin, asam empedu, dll. Pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak
senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Tiga senyawa
yang biasa disebut fitosterol terdapat pada hampir setiap tumbuhan tinggi
yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Robinson, 2007).
Senyawa steroid triterpenoid bebas merupakan salah satu
kandungan metabolit sekunder yang banyak digunakan sebagai obat antara
lain untuk mengobati gangguan kulit, diabetes, gangguan menstruasi,
malaria, kerusakan hepar, antifungi, antibakteri dan antivirus. Senyawa
steroid triterpenoid pada saponin banyak digunakan sebagai bahan baku
untuk pembuatan hormon steroid sebagai insektisida, anti inflamasi dan
analgesik. Triterpenoid sebagai insektisida dimana triterpenoid ini dapat
mempertahankan serangga dalam stadium imatur yang berlangsung lebih
lama dari waktu normal sehingga tidak dapat moulting atau ganti kulit
dengan sempurna (Robinson, 2007).
Minyak atsiri atau minyak eteris adalah minyak yang bersifat
mudah menguap, yang terdiri dari campuran zat yang mudah menguap,
dengan komposisidan titik didih yang berbeda-beda serta diperoleh dari
tanaman dengan cara penyulingan uap (Guenther, 1987).
Sebagian besar minyak atsiri terdiri dari persenyawaan kimia
mudah menguap, termasuk golongan hidrokarbon siklik dan hidrokarbon
isosiklik serta turunan hidrokarbon yang telah mengikat oksigen. Minyak
atsiri memiliki sifat yang menguntungkan, salah satunya yaitu dapat
berperan sebagai bakterisida dan fungisida, karena memiliki sifat
bakterisida itulah beberapa jenis minyak atsiri telah digunakan untuk
mengobati infeksi urogenital (Guenther, 1987).
Karakteristik minyak daun jeruk purut (Citrus hystrix) terutama
didominasi oleh minyak atsiri yang mengandung sitronelal sebesar 70,3%,
linalool 4,6%, sabinen 2,7%, sitronelol 6,3%, sitronelil asetat 1,9%,
kariofilin 1,9% dan geraniol. Kandungan yang paling mendominasi
komposisi minyak jeruk purut adalah sitronelal (Baskoro, 2005).
10

Pada penelitian sebelumnya, ekstrak daun jeruk purut sangat efektif


digunakan sebagai biolarvasida yang telah membunuh 95% larva nyamuk
Culex Sp. Setelah kontak dengan ekstrak selama 24 jam dengan harga
LC95 adalah 26,99%. Selain itu, dari hasil penelitian tersebut juga
didapatkan hubungan LC95 dengan konsentrasi ekstrak, yaitu semakin
kecil nilai LC95 semakin kecil konsentrasi ekstrak yang digunakan (Dyah,
2009).
Flavonoid merupakan golongan yang digambarkan sebagai deretan
senyawa C6-C3-C6 adalah sahabat asam askorbat atau vitamin C pada
makanan alami. Keduanya termasuk vitamin yang larut air dan secara
alami banyak terdapat pada jenis makanan yang sama. Artinya, flovonoid
dan vitamin C selalu dapat ditemukan bersama-sama dalam makanan.
Vitamin ini ditemukan oleh ilmuwan Rusia, Dr.Albert Sznet-Gyorgyi,
pada 1936 dalam selaput putih di bagian dalam buah sitrus (jeruk) (Miller,
1996). Fungsi flavonoid untuk tumbuhan adalah pengaturan tumbuh,
pengaturan fotosintesis, antimikroba, antivirus, dan bekerja terhadap
serangga (Grayer, 1992).
Flavonoid adalah salah satu golongan fenol alam terbesar yang bisa
menjadikan nyamuk mati dengan cara adanya kontak flavonoid dengan
nyamuk yang kemudian masuk melalui mulut, kemudian menuju spirakel
sistem pernapasan pada permukaan tubuh nyamuk sehingga menyebabkan
kelayuan saraf dan kerusakan spirakel. Hal ini menyebabkan adanya
gangguan metabolisme energi di dalam mitokondria dan menghambat
sistem pengangkutan elektron (Bloomquist, 1999). Gangguan pada system
pengangkutan electron ini akan menghalangi produksi ATP dan
menyebabkan penurunan pemakaian oksigen oleh mitokondria. Akibatnya,
dapat menyebabkan adanya gangguan pernapasan pada nyamuk sehingga
nyamuk tidak bisa bernafas dengan adekuat dan menyebabkan nyamuk
mati (Dinata,2006) .
Flavonoid memiliki sejumlah manfaat lain selain sebagai racun
serangga. Manfaat pertama, terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur
11

fotosintesis, kerja antimiroba dan antivirus. Manfaat kedua, terhadap


manusia, yaitu sebagai penghambat perdarahan, antibakterial, antivirus,
antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, anti neoplastik, antithrombotik,
serta vasodilator (Brodnitz et al., 2004). Selain itu, fungsi dan kegunaan
lainnya adalah untuk meningkatkan ketahanan selaput pembuluh darah
rambut atau kapiler pembuluh darah yang menghubungkan pembuluh nadi
dengan pembuluh darah kecil, dan mengatur kemampuan daya serapnya.
Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan penyerapan vitamin C dan
melindungi molekul-molekul vitamin C dari oksidasi. Secara tidak
langsung berarti juga berperan dalam menjaga kesehatan kolagen, jaringan
penyangga jaringan kulit (Dinata, 2006).

B. Nyamuk Aedes aegypti


Nyamuk A. aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa
virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. A. aegypti merupakan
spesies nyamuk yang hidup dan ditemukan di negara-negara yang terletak
antara 35oLU dan 35oLS pada temperature udara paling rendah sekitar
10oC. A. aegypti tersebar di seluruh wilayah tropis dan subtropis Asia
Tenggara, terutama disebagian besar wilayah perkotaan. Pada musim
panas, spesies ini kadang ditemukan di daerah yang terletak di daerah yang
terletak sekitar 45oLS. Selain itu, ketahanan hidup spesies ini juga
tergantung pada ketinggian daerah dan biasanya spesies ini tidak
ditemukan di daerah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut (WHO, 2009).
1. Taksonomi
Klasifikasi A. aegypti adalah sebagai berikut :
Domain : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
12

Subordo : Nematocera
Famili : Culicidae
Subfamili : Culicinae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti

2. Morfologi
Nyamuk A. aegypti biasanya berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus).
Secara umum nyamuk A. aegypti sebagaimana serangga lainnya
mempunyai tanda pengenal sebagai berikut :
a. Terdiri dari tiga bagian, yaitu : kepala, dada, dan perut.
b. Pada kepala terdapat sepasang antena yang berbulu dan moncong
yang panjang (proboscis) untuk menusuk kulit hewan/manusia dan
menghisap darahnya.
c. Pada dada ada 3 pasang kaki yang beruas serta sepasang sayap
depan dan sayap belakang yang mengecil yang berfungsi sebagai
penyeimbang (halter) (Sikka, 2009).
A. aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam. Pada
bagian dada, perut, dan kaki terdapat bercak-bercak putih yang dapat
dilihat dengan mata telanjang. Pada bagian kepala terdapat pula probocis
yang pada nyamuk betina berfungsi untuk menghisap darah, sementara
pada nyamuk jantan berfungsi unutk menghisap bunga. Sepanjang antena
terdapat diantara sepasang dua bola mata, yang pada nyamuk jantan
berbulu lebat (plumose) dan pada nyamuk betina berbulu jarang (pilose)
(Sikka, 2009).
Bagian perut nyamuk A. aegypti berbentuk panjang ramping, tetapi
pada nyamuk gravid (kenyang) perut mengembang. Perut terdiri dari
sepuluh ruas dengan ruas terakhir menjadi alat kelamin. Pada nyamuk
betina alat kelamin disebut cerci sedang pada nyamuk jantan alat kelamin
disebut hypopigidium. Bagian dorsal perut A. aegypti berwarna hitam
13

bergaris-garis putih, sedang pada bagian ventral serta lateral berwarna


hitam dengan bintik-bintik putih keperakan (Sikka, 2009).

3. Bionomik
Nyamuk A. aegypti mula-mula banyak ditemukan di kota-kota
pelabuhan dan dataran rendah, kemudian menyebar ke pedalaman,
meskipun jarak terbang A. aegypti bisa mencapai 2 km namun jarang
sekali terbang sampai sejauh itu karena tiga hal penting yang dibutuhkan
untuk berkembang biak terdapat dalam satu rumah, yaitu tempat
perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat (Sikka,
2009).
A. aegypti jantan yang lebih cepat menjadi nyamuk dewasa tidak
akan terbang terlalu jauh dari tempat perindukan untuk menunggu nyamuk
betina yang muncul untuk kemudian berkopulasi. Sifat sensitive dan
mudah terganggu menyebabkan A. aegypti dapat menggigit beberapa
orang secara bergantian dalam waktu singkat (multiple halter) dimana hal
ini sangat membantu dalam memindahkan virus dengue ke beberapa orang
sekaligus, sehingga dilaporkan adanya beberapa penderita DBD dalam
satu rumah. Nyamuk A. aegypti suka bertelur di air yang jernih dan
menyukai kontainer dalam rumah yang relatif stabil, selain itu A. aegypti
juga lebih menyukai kontainer berwarna gelap dan tidak terkena cahaya
matahari secara langsung (Sikka, 2009).

4. Siklus Hidup
Spesies ini mengalami metamorfosis yang sempurna yaitu:
perubahan hidup melalui empat stadium yang meliputi: stadium telur,
stadium larva, stadium pupa (kepompong) dan stadium dewasa sebagai
nyamuk yang hidup di alam bebas, sedangkan tiga stadium yang lain hidup
dan berkembang di air. Waktu yang diperlukan untuk daur hidup nyamuk
mulai dari stadium telur sampai stadium dewasa sampai siap bertelur
kembali antara 14-16 hari.
14

Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk A. aegypti


(Sumber: Sumantri, 2011)

a. Telur
Pada waktu dikeluarkan, telur Aedes berwarna putih, dan berubah
menjadi hitam dalam waktu 30 menit. Telur diletakkan satu demi satu
dipermukaan air, atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak lebih
kurang 2,5 cm dari tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai
berbulan-bulan dalam suhu 2C-4C, namun akan menetas dalam waktu 1-
2 hari pada kelembaban rendah. Dari penelitian Brown (1962) telur yang
diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu 1-3 hari pada suhu
30C, tetapi membutuhkan waktu 7 hari pada suhu 16C. Pada kondisi
normal, telur A. aegypti yang direndam di dalam air akan menetas
sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. Telur A.
aegypti berukuran kecil (50), sepintas lalu tampak bulat panjang dan
berbentuk lonjong (oval) mempunyai torpedo. Di bawah mikroskop, pada
dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini, tampak adanya garis-garis
membentuk gambaran seperti sarang lebah. Berdasarkan jenis kelaminnya,
nyamuk jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta
lebih cepat menjadi dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas
telur adalah suhu, pH air perindukkan, cahaya, serta kelembaban
disamping fertilitas telur itu sendiri (Sikka, 2009).
15

Gambar 2.3 telur A. aegypti


(Sumber: Fadhillah, 2010)
b. Larva
Setelah menetas, telur akan berkembang menjadi larva (jentik-
jentik). Pada stadium ini, kelangsungan hidup larva dipengaruhi suhu, pH
air perindukan, ketersediaan makanan, cahaya, kepadatan larva,
lingkungan hidup, serta adanya predator. Adapun ciri-ciri larva A. aegypti
adalah :
1. Adanya corong udara pada segmen terakhir,
2. Pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut
rambut berbentuk kipas (Palmate hairs),
3. Pada corong udara terdapat pectin,
4. Sepasang rambut serta jumbai pada corong udara (siphon),
5. Pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan ada comb scale
sebanyak 8-21 atau berjejer 1-3,
6. Bentuk individu dari comb scale seperti duri,
7. Pada sisi thorax terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva
dan adanya sepasang rambut di kepala,
8. Corong udara (siphon) dilengkapi pectin.
16

Gambar.2.4 larva A. aegypti


(Sumber: Wakhyulianto, 2005)

Larva A. aegypti biasa bergerak-gerak lincah dan aktif, dengan


memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan turun kedasar
wadah secara berulang. Larva mengambil makanan di dasar wadah, oleh
karena itu larva A. aegypti disebut pemakan makanan di dasar
(bottomfeeder). Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva
menempatkan corong udara (siphon) pada permukaan air seolah-olah
badan larva beradapada posisi membentuk sudut dengan permukaan air
(Sikka, 2009).
Dalam posisi istirahat, larva A. aegypti membentuk sudut 45
dengan garis permukaan air dimana dimana bagian kepala berada di
bawah. Pada saat mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan
sifonnya diatas permukaan air, sehingga abodemennya terlihat
menggantung pada permukaan air seolah badan larva berada pada posisi
membentuk sudut dengan permukaan air (Sikka, 2009).
Temperatur optimal untuk perkembangan larva ini adalah 25C-
30C. Larva berubah menjadi pupa memerlukan waktu 4-9 hari dan
melewati 4 fase atau biasa disebut instar. Perubahan instar tersebut
disebabkan larva mengalami pengelupasan kulit atau biasa disebut
ecdisi/moulting. Perkembangan dari instar I ke instar II berlangsung dalam
17

2-3 hari, kemudian dari instar II ke instar III dalam waktu 2 hari, dan
perubahan dari instar III ke instar IV dalam waktu 2-3 hari. Perubahan-
perubahan dari masing-masing stadium larva adalah, sbb:
a. Larva Instar I
Perkembangan dari telur 1 hari, tubuhnya kecil, warna
transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spine) pada dada (thorax) belum
begitu jelas, dan corong nafas (siphon) belum hitam.
b. Larva Instar II
Perkembangan dari instar I ke instar II 1-2 hari, ukurannya 2,5-
3,9 mm, duri dada tetap belum jelas dan corong nafas sudah berwarna
hitam.
c. Larva Instar III
Perkembangan dari instar II ke instar III 2 hari, sudah lengkap
struktur anatominya dan jelas, tubuh bisa dibagi menjadi bagian kepala
(chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).
d. Larva Instar IV
Perubahan instar ditandai dengan pengelupasan kulit yang disebut
Moulting. Larva A. aegypti bertahan hidup di tempat yang mengandung air
dengan pH 4-8. Larva pada instar IV 2-3 hari melakukan pengelupasan
kulit kemudian berubah menjadi pupa (Sikka, 2009).

Gambar 2.5 pertumbuhan nyamuk A. aegypti


(Sumber: Sumantri, 2011)
18

Derajat keasaman (pH) yang sesuai untuk perkembangbiakan telur


maupun larva dari nyamuk Aedes sp adalah pH sedang. Larva Aedes sp
mempunyai kemampuan hidup pada pH 4-8. Pada pH asam, larva akan
mengatur pH Hemolym dengan meningkatkan laju minum dan ekskresi
(Sikka, 2009).
Habitat alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat mencakup
lubang pohon, pangkal daun dan tempurung kelapa. Di daerah yang panas
dan kering, tanki penyimpanan air yang berada di atas, tanki penyimpanan
air yang ada di tanah dapat menjadi habitat utama larva. Di wilayah yang
persediaan airnya tidak teratur, dimana penghuni menyimpan air untuk
kebutuhan rumah tangga dapat pula memperbanyak jumlah habitat yang
ada untuk larva (Sikka, 2009).
e. Pupa
Larva instar IV akan berubah menjadi pupa yang berbentuk bulat
gemuk menyerupai tanda koma. Untuk menjadi nyamuk dewasa
diperlukan waktu 2-3 hari. Suhu untuk perkembangan pupa yang optimal
adalah sekitar27C-32C (Sikka, 2009).
Pada pupa terdapat kantong udara yang terletak diantara bakal
sayap nyamuk dewasa dan terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling
menutupi sehingga memungkinkan pupa untuk menyelam cepat dan
mengadakan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsang.
Stadium pupa tidak memerlukan makanan. Bentuk nyamuk dewasa timbul
setelah sobeknya selongsong pupa oleh gelembung udara karena gerakan
aktif pupa (Sikka, 2009).
19

Gambar.2.6 pupa A. aegypti


(Sumber: Fadhillah, 2010)

f. Dewasa
Setelah keluar dari selongsong pupa, nyamuk akan diam beberapa
saat di selongsong pupa untuk mengeringkan sayapnya. Nyamuk betina
dewasa menghisap darah sebagai makanannya, sedangkan nyamuk jantan
hanya makan cairan buah-buahan dan bunga. Setelah berkopulasi, nyamuk
betina menghisap darah dan tiga hari kemudian akan bertelur sebanyak
kurang lebih 100 butir kemudian akan menghisap darah lagi. Nyamuk
dapat hidup dengan baik pada suhu 24C-39C, akan mati bila berada pada
suhu 6C dalam 24 jam dan dapat hidup pada suhu7C-9C. Rata-rata
lama hidup nyamuk betina A. aegypti selama 10 hari (Sikka, 2009).

Gambar. 2.7 nyamuk A. aegypti


(Sumber: Cutwa et al., 2008)
20

5. Pengendalian Nyamuk Aedes aegypty sebagai vektor penyakit Demam


Berdarah Dengue (DBD).
Penegendalian vektor harus menerapkan bermacam-macam cara
pengendalian agar vektor tetap masih di bawah garis batas yang tidak
merugikan dan membahayakan. Pengendalian vektor tidak menimbulkan
kerusakan atau gangguan terhadap lingkungan hidup. Sebagai dasar
konsekuensi dari prinsip pengendalian di atas masyarakat dituntut untuk
mempunyai kemampuan mengendalikan nyamuk A. aegypti dengan tepat
tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan.
Metode yang digunakan dalam pengendalian nyamuk A. aegypti yang
efektif untuk nyamuk A. aegypti melalui pemberantasan larva/jentik
(Sikka, 2009).

C. Demam Berdarah Dengue


1. Definisi
Demam berdarah dengue/DBD (Dengue Hemorrhagic Fever,
DHF) adalah suatu penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah,
sering bersifat fatal, penyakit febril yang disebabkan virus dengue melalui
gigitan nyamuk betina A. Aegypti (Halstead, 2007).

2. Epidemiologi
DBD adalah penyakit virus yang paling cepat menyebar yang
ditularkan oleh nyamuk A. aegypti di dunia. Dalam 50 tahun terakhir,
insiden telah meningkat 30 kali lipat dan diperkirakan 50 juta infeksi
demam berdarah terjadi setiap tahun (WHO, 2009).
Menurut WHO tahun 2004, Indonesia merupakan negara kedua
terbesar dengan jumlah penderita dan tingkat kematian yang tinggi akibat
penyakit DBD. Kasus DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi pasti melalui isolasi virus
baru dapat dilakukan pada tahun 1970. Sejak saat itu, penyakit DBD
menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh
21

Provinsi di Indonesia (ketika itu berjumlah 27 Provinsi) kecuali Timor-


Timur, telah terjangkit penyakit DBD (Ginandjar, 2008). Pada tahun 2004,
12 Provinsi di Indonesia ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB)
DBD yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Selama
tahun 1996-2005 tercatat 334.685 kasus DBD dengan jumlah penderita
yang meninggal 3092 orang (Bermarwie, 2005).Pada tahun 2007
dilaporkan 150.000 kasus yang merupakan kasus tertinggi dengan lebih
dari 25.000 kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat. Untuk tahun
berikutnya kasus demam berdarah mengalami penurunan di Indonesia dan
pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 196 kematian (Depkes,
2011). Tingkat fatalitas kasus adalah sekitar 1% (WHO, 2009).

3. Etiologi
Demam dengue dan DBD disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat paling tidak 4 tipe
serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau DBD. Keempat
serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe
terbanyak. Sebagai tambahan, terdapat 3 virus yang ditulari oleh artropoda
(arbovirus) lainnya yang menyebabkan penyakit mirip dengue (Endah,
2009).
22

Gambar 2.8 Virus Dengue


(Sumber: Sikka, 2009)

4. Patogenesis
Penyakit DBD ini ditularkan oleh nyamuk A. aegypti betina.
Nyamuk ini mendapat virus dengue sewaktu menggigit dan menghisap
darah penderita DBD, baik orang yang sakit atau tidak sakit yang di dalam
darahnya teradapat virus dengue. Seseorang yang di dalam darahnya
mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit demam
berdarah (Siregar, 2004). Virus yang terhisap oleh nyamuk tadi akan
masuk ke lambung nyamuk dan virus akan memperbanyak diri dalam
tubuh nyamuk dan tersebar di berbagai jaringan tubuh termasuk dalam
kelenjar air liur nyamuk selama periode 8-12 hari. Setelah masa inkubasi,
nyamuk siap untuk menularkan kepada orang lain atau anak lain dan
nyamuk tersebut tetap infektif seumur hidupnya (WHO, 2009)
Penularan penyakit terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit
(menusuk), alat tusuknya yang disebut proboscis akan mencari kapiler
darah. Setelah diperoleh, maka dikeluarkan liur yang mengandung zat anti
pembekuan darah (antikoagulan), agar darah mudah dihisap melalui
saluran proboscis yang sangat sempit. Bersama liurnya inilah virus
dipindahkan kepada orang lain. Transmisi virus dengue dari manusia ke
manusia yang lain berlangsung melalui gigitan nyamuk Aedes yang
terinfeksi oleh arbovirus. Itulah sebabnya virus dengue disebut sebagai
arthropod-borne viruses. Sekali nyamuk terinfeksi oleh karbovirus, maka
23

sepanjang hidupnya nyamuk tersebut akan tetap terinfeksi dan dapat


mentransmisikan virus ke manusia (Djunaedi, 2006).

5. Pencegahan
Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat antara lain dengan menguras
bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu,
mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu
sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan air, mengubur kaleng-
kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas disekitar rumah, dan perbaikan
desain rumah (Kristina, 2004).
Secara biologis, vektor nyamuk pembawa virus dengue dapat
dikontrol dengan menggunakan ikan pemakan jentik dan bakteri. Secara
kimiawi, pengasapan (fogging) dapat digunakan sebagai cara untuk
membunuh nyamuk dewasa, sedangkan pemberian bubuk Abate pada
tempat-tempat penampungan air dapat membunuh jentik-jentik nyamuk
(Kristina, 2004)
Selain itu karena nyamuk Aedes aktif pada siang hari beberapa
tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah penggunakan senyawa
anti nyamuk yang mengandung DEET yang biasanya dijual dalam bentuk
repellen, pikaridin, atau minyak eucalyptus, serta gunakan pakaian tertutup
untuk dapat melindungi tubuh dari gigitan nyamuk bila sedang beraktivitas
diluar rumah. Selain itu, segeralah berobat ketika mulai muncul gejala-
gejala penyakit demam berdarah sebelum berkembang menjadi semakin
parah (Gubler, 2006).

D. Insektisida
1. Bentuk-Bentuk Insektisida
Insektisida dapat berbentuk padat yaitu berupa serbuk, butiran
(granules), pellets, bentuk larutan, yang berupa aerosol yang memiliki
diameter 0,1-50 , mist yang memiliki diameter 50-100 , dan spray yang
24

memiliki diameter 100-500 , serta berupa gas, yang memiliki diameter


0,001-0,1 (Baskoro et al., 2005).
2. Faktor-Faktor Yang Diperlukan Dalam Memilih Insektisida
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
insektisida, antara lain spesies yang dituju, stadium serangga, lingkungan
hidup, dan cara hidup (Baskoro et al., 2005).
3. Klasifikasi Insektisida
Insektisida dapat di klasifikasikan berdasarkan tempat masuknya
(target site) yaitu :
a. Racun kontak (contact poison)
Insektisida masuk mealui eksoskelet kedalam badan serangga
dengan perantaraan tarsus (jari-jari kali) pada waktu istirahat di permukaan
yang mengandung residu insektisida. Pada umumnya dipakai untuk
memberantas serangga yang mempunyai bentuk mulut isap (Elfahmi,
2011).
b. Racun pernafasan (fumigants)
Insektisida masuk melalui sistem pernafasan (spirakela) dan juga
melalui permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk
memberantas semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk
mulutnya. Penggunaan insektisida ini harus hati-hati sekali terutama bila
digunakan untuk pemberantasan serangga di ruang tertutup (Elfahmi,
2011).
c. Racun perut (stomach poisons)
Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut, jadi
harus dimakan. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan
insektisida ini mempunyai bentuk mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat
isap dan bentuk menghisap (Elfahmi, 2011).
4. Syarat Insektisida Yang Baik
Insektisida yang baik memiliki beberapa syarat, yaitu daya bunuh
serangga yang besar dan cepat (quick knockdown effect), tapi aman untuk
manusia dan hewan, susunan kimia stabil, tidak mudah terbakar,
25

penggunaannya mudah, murah, dan mudah didapat, serta tidak berwarna


dan tidak berbau merangsang (Baskoro et al.,2005).
Salah satu syarat untuk dapat dikatakan sebagai insektisida yang
baik adalah jika insektisida tersebut memiliki quick knock down effect
yaitu kemampuan untuk melumpuhkan atau menjatuhkan serangga dalam
jumlah besar dan dalam waktu yang cepat (Astari et al., 2005).
Knockdown Time (KT) adalah waktu yang dibutuhkan insektisida
untuk dapat membunuh nyamuk. Knockdown Time diukur dengan
menghitung jumlah nyamuk yang lumpuh atau jatuh selama interval waktu
tertentu sampai seluruh nyamuk lumpuh atau jatuh (Astari et al., 2005).
5. Larvasida sebagai Insektisida Pengendali Nyamuk
Hingga saat ini cara pencegahan atau pemberantasan DBD yang
dapat dilaksanakan dengan memberantas vektor untuk memutuskan rantai
penularan. Salah satu pemberantasan ditujukan pada larva A. aegypti.
Cara yang biasa digunakan untuk membunuh larva adalah dengan
menggunakan larvasida. Larvasida yang termasuk insektisida biologis,
seperti larvasida mikroba yaitu Bacillus sphaericus dan Bacillus
thuringiensis, sedangkan yang termasuk pestisida adalah Abate
(temephos), methoprene, minyak, dan monomolecular film (Nugroho,
2010).
Nyamuk membutuhkan air untuk berkembang biak. Larvasida
meliputi pemakaian pestisida pada habitat perkembangbiakan untuk
membunuh larva nyamuk. Penggunaan larvasida dapat mengurangi
penggunaan keseluruhan pestisida dalam program pengendalian nyamuk.
Membunuh larva nyamuk sebelum berkembang menjadi dewasa dapat
mengurangi atau menghapus kebutuhan penggunaan pestisida untuk
membunuh nyamuk dewasa.
a. Larvasida Mikroba
Larvasida mikroba yang digunakan untuk mengendalikan nyamuk,
yaitu Bacillus sphaericus dan Bacillus thuringiensis.
26

b. Metophrene
Bekerja menyerupai hormon pertumbuhan pada serangga dan
mencegah maturasi normal dari larva. Digunakan di air untuk membunuh
larva nyamuk.
c. Temephos (Abate)
Abate merupakan nama dagang dari temephos (Tetramethyl-
thiodi-phenylenephosphorothioate), merupakan pestisida golongan organo
fosfat. Penggunaannya pada tempat penampungan air minum telah
dinyatakan aman oleh WHO dan Depkes RI. Dengan formula molekuler
Abate merupakan pestisida yang digunakan secara umum, mengandung
produk yang sedikit beracun (EPA toxicity class III) (Nugroho, 2010).
Temephos adalah insektisida organofosfat non sistemik yang
digunakan untuk mengontrol nyamuk, larva blackfly (Simulidae), dan lain-
lain biasa digunakan di kolam, danau, dan rawa-rawa dan juga biasa
digunakan untuk membasmi kutu pada anjing dan kucing dan membasmi
kutu pada manusia. Temephos tersedia dalam sediaan mencapai 50%
emulsi konsentrat, 50% serbuk basah, dan bentuk granuler yang mencapai
5% (Nugroho, 2010).

Gambar. 2.9 senyawa temephos


(Sikka, 2009)

Temephos senyawa murni berupa kristalin putih padat, dengan titk


lebur 30C30,5C , produknya berupa cairan kental berwarna coklat.
Tidak larut dalam air pada suhu 20C (kurang dr 1 ppm). Larut dalam
aseton, aseronitril, ether dan kebanyakan aromatik dan klorinasi
hidrokarbon. Tidak larut dalam heksana. Mudah terdegradasi bila terkena
sinar matahari, sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari
degradasi tersebut (Nugroho, 2010).
27

Pestisida-pestisida yang tergolong di dalam senyawa fosfat organic


kerjanya menghambat enzim cholinesterase, sehingga menimbulkan
gangguan pada aktivitas syaraf karena tertimbunnya acetylcholin pada
ujung syaraf tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan kematian dan seperti
senyawa-senyawa organo fosfat lainnya, temephos juga bersifat anti
cholinesterase. Keracunan fosfat organik pada serangga diikuti oleh
ketidaktenangan, hipereksitasi, tremor dan konvulsi, kemudian
kelumpuhan otot (paralise). Penyebab utama kematian pada serangga
sukar ditunjukkan, kecuali pada larva nyamuk kematiannya disebabkan
oleh karena tidak dapat mengambil udara untuk bernafas (Nugroho,
2010).
Metabolisme temephos yaitu gugus phosphorothioat (P=S) dalam
tubuh binatang diubah menjadi fosfat (P=O) yang lebih potensial sebagai
anticholineesterase. Larva A. aegypti mampu mengubah P=S menjadi P=O
ester lebih cepat dibandingkan lalat rumah, begitu pula penetrasi temephos
kedalam larva berlangsung cepat dimana lebih dari 99% temephos dalam
medium diabsorpsi dalam waktu satu jam setelah perlakuan. Setelah
diabsorpsi, Abate diubah menjadi produk-produk metabolisme, sebagian
dari produk metabolic tersebut diekskresikan ke dalam air. Dosis Abate
yang dibutuhkan untuk membunuh jentik nyamuk dalam air minum adalah
10 gram untuk 100 liter air (Nugroho, 2010).
Temephos relative aman dan tidak menimbulkan gangguan
kesehatan pada manusia. Meskipun begitu, dalam dosis tinggi, temephos,
dapat menimbulkan overstimulasi sistem saraf menyebabkan pusing, mual
dan kebingungan . Pada pajanan yang sangat tinggi dapat menyebakan
paralise nafas dan kematian (Nugroho, 2010).
a. Monomolecular film
Mono molecular film adalah pestisida dengan toksisitas rendah
yang menyebar sebagai lapisan tipis dipermukaan air yang membuta larva
nyamuk, pupa, dan nyamuk yang hampir dewasa untuk menempel pada
28

permukaan air, dan menyebabakan nyamuk-nyamuk tersebut tenggelam


(Nugroho, 2010).
b. Minyak
Minyak, seperti film, adalah pestisida yang digunakan untuk
membentuk lapisan penutup pada permukaan air untuk menenggelamkan
larva, pupa, dan nyamuk yang hampir dewasa (Nugroho, 2010).

E. Destilasi
1. Definisi
Destilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan
kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap
(volatilitas) bahan. Destilasi uap digunakan pada campuran senyawa-
senyawa yang memiliki titik didih mencapai 200C atau lebih. Destilasi
uap dapat menguapkan senyawa-senyawa ini dengan suhu mendekati
100C dalam tekanan atmosfer dengan menggunakan uap atau air
mendidih (Syukri, 1999). Destilasi uap adalah metode ekstraksi untuk
senyawa dengan kandungan menguap seperti minyak atsiri, berdasarkan
tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air secara
kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap
campuran (Puryanto, 2009).
2. Jenis Destilasi
Pembuatan minyak atsiri dengan penyulingan dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu: besarnya tekanan uap yang digunakan, bobot molekul
masing-masing komponen dalam minyak, dan kecepatan keluarnya
minyak atsiri dari simplisia. Namun demikian, pembuatan minyak atisiri
dengan cara penyulingan mempunyai beberapa kelemahan:
a. tidak baik terhadap beberapa jenis minyak yang mengalami kerusakan
oleh adanya panas dan air.
b. Minyak atisiri yang mengandung fraksi ester akan terhidrolisis karena
adanya air dan panas.
c. Komponen minyak yang larut dalam air tidak dapat tersuling.
29

d. Komponen minyak yang bertitik didih tinggi yang menentukan bau


wangi dan mempunyai daya ikat terhadap bau, sebagian tidak ikut
tersuling dan tetap tertinggal dalam bahan.
Jenis-jenis destilasi/penyulingan, ada 3 yaitu: destilasi air, destilasi
uap dan air, dan destilasi uap.:
a. Destilasi air
Pada destilasi air terjadi kontak langsung antara simplisia dengan
air mendidih. Simplisia yang telah dipotong-potong, digiling kasar, atau
digerus halus dididihkan dengan air, uap air dialirkan melalui pendingin,
sulingan berupa minyak yang belum murni ditampung. Penyulingan
dengan cara ini sesuai untuk simplisia kering yang tidak rusak dengan
pendidihan. Penyulingan air biasa digunakan untuk menyari minyak atsiri
yang tahan panas dari grabahan maupun bahan yang berkayu dan keras
(Sofiadi et al., 2010).
Keuntungan metode ini adalah: kualitas minyak atsiri baik (jika
diperhatikan suhu tidak terlalu tinggi), alat sederhana dan mudah
diperoleh, dan mudah pengerjaannya. Kerugian dari metode ini adalah:
tidak semua bahan dapat dilakukan dengan cara ini (terutama bahan yang
mengandung sabun, bahan yang larut dalam air, dan bahan yang mudah
hangus), adanya air sering menyebabkan terjadinya hidrolisis, dan waktu
penyulingan yang lama (Sofiadi et al., 2010).
b. Destilasi uap dan air
Penyulingan dengan cara ini memakai alat semacam dandang.
Simplisia diletakkan di atas bagian yang berlubang-lubang sedangkan air
di lapisan bawah. Uap dialirkan melalui pendingin dan sulingan
ditampung, minyak yang diperoleh belum murni. Cara ini baik untuk
simplisia basah atau kering yang rusak pada pendidihan. Untuk simplisia
basah atau kering yang rusak pada pendidihan. Untuk simplisia kering
harus dimaserasi lebih dulu, sedangkan untuk simplisia segar yang baru
dipetik tidak perlu dimaserasi. Cara penyulingan ini banyak dilakukan
sebagai industri rumah, karena peralatan mudah didapat dan hasil yang
30

diperoleh cukup baik. Kerugian cara ini, hanya minyak dengan titik didih
lebih rendah dari air yang dapat tersuling sehingga hasil penyulingan tidak
sempurna (masih banyak minyak yang tertinggal di ampas) (Sofiadi et al.,
2010).
c. Destilasi uap
Minyak atsiri biasanya didapatkan dengan penyulingan uap pada
bagian tanaman yang mengandung minyak. Metode penyulingan ini
tergantung pada kondisi bahan tanaman. Penyulingan dengan uap
memerlukan air, uap panas yang biasanya bertekanan lebih dari 1 atmosfer
dialirkan melalui suatu pipa uap. Peralatan yang dipakai tidak berbeda
dengan penyulingan air dan uap, hanya diperlukan alat tambahan untuk
memeriksa suhu dan tekanan. Bila pemeriksaan telah dilakukan dengan air
dan uap, hanya diperlukan alat tambahan untuk memeriksa suhu dan
tekanan. Bila pemeriksaan telah dilakukan dengan baik, dengan cara ini
akan diperoleh minyak yang lebih banyak. Cara ini bisa juga digunakan
untuk membuat minyak atisiri dari biji, akar, kayu, yang umumnya
mengandung komponen minyak yang bertitik didih tinggi. Penyulingan ini
dapat digunakan untuk membuat minyak cengkeh, minyak kayumanis,
minyak akar wangi, minyak sereh, minyak kayu putih, dll. Keuntungan
dari cara ini adalah: kualitas minyak yang dihasilkan cukup baik, tekanan
dan suhu dapat diatur, waktu penyulingan pendek, hidrolisis tidak terjadi.
Kerugian metode ini yaitu: peralatan yang mahal dan memerlukan tenaga
ahli (Sofiadi et al., 2010).

3. Proses Destilasi Minyak Daun Jeruk Purut


Ekstrasi yang dilakukan menggunakan pelarut meliputi persiapan
bahan, mencampur, mengaduk dan memanaskan bahan dan pelarut serta
memisahkan pelarut dari minyak atsiri. Metode ekstraksi yang digunakan
antara lain destilasi uap, destilasi dengan cara Likens-Nickerson, maserasi
dan perkolasi (Sofiadi et al., 2010).
31

Pelarut yang banyak digunakan untuk mengekstraksi minyak atsiri


adalah etanol, heksana, etilen diklorida, aseton, isopropanol dan metanol.
Penyulingan atau destilasi uap dilakukan dengan cara menimbang daun
jeruk purut sesuai dengan kapasitas tangki penyulingan, kemudian
dirajang (dipotong kecil-kecil). Proses penyulingan minyak atsiri
dilakukan selama 6 jam. Minyak atsiri yang diperoleh dipisahkan dari air
dengan menggunakan labu pemisah minyak. Destilasi menggunakan alat
yang sama dengan destilasi uap, hanya rajangan daun jeruk purut langsung
dicampur dengan air dan dididihkan. Dalam destilasi uap, rajangan
dipisahkan dari air mendidih oleh suatu kawat kasa, hingga hanya terkena
uapnya. Proses penyulingan dan pemisahan minyak atsirinya juga sama
(Sofiadi et al., 2010).
Cara Likens-Nickerson (alatnya disebut ekstraktor Lickens-
Nickerso) merupakan ekstraksi minyak atsiri dalam skala laboratorium.
Rajangan daun jeruk purut dicampur dengan air suling, lalu diletakkan
dalam labu erlenmeyer 1 liter. Pelarut ditempatkan dalam labu didih 50
mL (labu ini berhubungan dengan labu erlenmeyer melalui pipa gas dan
kondensor). Kedua labu dipanaskan sampai mendidih hingga minyak atsiri
tersuling secara simultan selama 3 jam. Pemisahan minyak atsiri dari
pelarutnya dilakukan dengan penguapan pada tekanan rendah. Pada cara
maserasi, daun jeruk purut yang telah dihancurkan direndam dalam tangki
tertutup dan didiamkan beberapa hari. Selama itu dilakukan pengadukan
beberapa kali supaya larutan minyak atsiri merata. Selanjutnya dilakukan
penyaringan dan pengepresan, hingga diperoleh cairan pelarut.
Penjernihan dilakukan dengan pengendapan atau penyaringan. Sedangkan
perkolasi adalah melarutkan minyak atsiri dari hancuran daun jeruk purut
dengan pelarut yang mengalir. Seperti halnya maserasi, daun dihancurkan
lebih dulu supaya ekstraksi berlangsung lebih cepat. Daun jeruk purut
yang telah dihancurkan tersebut kemudian dialiri dengan pelarut pada
sebuah perkolator. Setelah proses dianggap selesai, cairan yang diperoleh
32

dipisahkan minyak atsirinya dengan cara penyulingan (Sofiadi et al.,


2010).
Jika daun jeruk purut itu disuling, dihasilkan minyak atsiri yang
berwarna dari tidak berwarna (bening) sampai kehijauan (tergantung cara
ekstraksi), berbau harum mirip bau daun (jeruk purut). Minyak atsiri hasil
destilasi (penyulingan) menggunakan uap mengandung 57 jenis komponen
kimia dan kandungan utama adalah sitronelal dengan jumlah 81, 49 %,
sitronelol 8,22 %, linalol 3,69 % dan geraniol 0,31 %. Komponen lainnya
ada dalam jumlah yang sedikit (Andrini et al., 2010).

Anda mungkin juga menyukai