Anda di halaman 1dari 35

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

PENYAJI : - Agus Salim

- Seprima Yenti

- Fikri Bariz

- Vina Yolanda Ikhwin Putri

- Padmasuria Muniandy

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2014
2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
Systemic Lupus Erythematosus.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter Restuti,
SPD yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus
selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, 01 April 2014

Penulis
3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................2

Daftar isi...........................................................................................................................3

Bab 1 Pendahuluan..........................................................................................................4

Bab 2 Tinjauan Pustaka .................................................................................................6

2.1 Lupus Eritematosus Sistemik

2.1.1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik..............................................................6

2.2.2 Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik..............................................................6

2.2.3. patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik.......................................................6

2.2.4 Manifestasi klinis Lupus Eritematosus Sistemik..............................................9

2.2.5 Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik.........................................................12

2.7. Diagnosa Banding.............................................................................................14

2.8. Penatalaksanaan................................................................................................14

Bab 3 Laporan Kasus....................................................................................................24

Bab 4 Pembahasan.........................................................................................................34

Bab 5 Kesimpulan .35

Daftar Pustaka
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit inflamasi kronis dengan manifestasi
yang bermacam-macam (Bartels dan Muller, 2014). Manifestasi LES terdapat pada
kulit, persendian, ginjal, paru-paru, sistem persarafan, dan organ-organ tubuh lainnya
(Ginzler dan Tayar, 2013).
Secara epidemiologi, insidensi LES di Amerika Serikat rata-rata 5 kasus per 100.000
populasi dengan prevalensi 52 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia sendiri,
menurut Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), belum terdapat data
epidemiologi yang mencakup seluruh daerah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Lebih dari 90% kasus LES terjadi pada
wanita daripada pria, hal ini terlihat pada rasio perbandingan kejadian LES pada wanita
dan pria sebesar 10:1 (Ginzler danTayar, 2013).
Kasus LES biasanya terjadi pada wanita di usia produktif, seperti yang di laporkan
di Amerika Serikat bahwa puncak prevalensi LES pada wanita adalah pada usia 16-64
tahun, sementara pada pria tidak terdapat predileksi umur. Morbititas dan mortalitas
pasien SLE masih cukup tinggi. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88%
dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002.
Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit
dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular aterosklerosis (Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
Mengingat beratnya manifestasi klinis dan resiko kematian yang disebabkan oleh
LES, maka melalui kesempatan ini penulis ingin menjelaskan lebih dalam tentang
Lupus Eritematosus Lupus (LES) pada laporan kasus ini. Setelah membaca laporan
kasus ini, diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang LES dan upaya
penatalaksanaannya di Rumah Sakit.
5

1.2. Rumusan Masalah


Bagamanakah Karakteristik LES serta penatalaksanaannya secara komprehensif?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui karakteristik LES serta penatalaksanaannya secara komprehensif
2. Memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior
(KKS) di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara.

1.4. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umumnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai LES.
6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lupus Eritematosus Sistemik


2.1.1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun yang ditandai produksi
antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan manifestasi yang
luas (PB PABDI). SLE merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum
diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis
dan prognosisnya. SLE adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya
inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan (IPD UI, 2007). SLE adalah penyakit kronik yang
menyebabkan terjadinya inflamasi seperti nyeri dan bengkak. Penyakit ini dapat
mempengaruhi persendian, ginjal, paru-paru, sistem saraf dan organ lainnya pada tubuh
(Ginzler dan Tayar, 2013).

2.1.2. Etiologi dan epidemiologi


Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor
genetik diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Adanya gangguan
dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan
kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini
(IPD UI, 2009).

2.1.3. Patogenesis
Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenic, bantuan sel T yang
berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th 1) ke
Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik.
Respon imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV)
atau infeksi virus dalam waktu yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi
sistem imun (IPD UI, 2009).
7

Faktor Genetik
Kejadian SLE lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan dengan
kembar dizigotik (3%). Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit.
Elemen genetik yang paling banyak berkontribusi terhadap SLE pada manusia adalah
gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian menunjukkan bahwa
kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte
antigen) kelas II. Gen HLA kelas II berhubungan dengan adanya antibody tertentu
seperti anti-sm (small nuclear ribonuclear protein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP
(nuclear ribonuclear protein) dan anti-DNA). SLE berhubungan dengan pewarisan
defisiensi C1q, C1r/s dan C2. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan
terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan,
baik terhadap antigen diri sendiri (self antigen) maupun antigen asing. Jika beban
antigen melebihi kapasitas pembersihan dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin
terjadi. Banyak juga gen lainnya yang berhubungan denga SLE, termasuk gen yang
mengkode mannose binding protein (MBP), TNF-, reseptor sel T, interleukin 6 (IL-6),
CR1, immunoglobulin Gm dan Km allotype, FcaRIIIA dan heat shock protein 70 (HSP
70). (IPD UI, 2009)

Faktor Hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan dan sering terjadi
pada usia produktif. Perempuan dengan SLE mempunyai konsentrasi androgen plasma
yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA),
dan dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS).Konsentrasi androgen berkorelasi negatif
dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosterone plasma yang rendah dan
meningkatnya konsentrasi luteinizing hormone (LH) ditemukan pada beberapa penderita
SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas androgen yang tidak
adekuat pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggung tawab terhadap
perubahan respon imun. Konsentarsi progesterone didapatkan lebih rendah pada
penderita SLE perempuan dibandingkan dengan control sehat (IPD UI, 2009).
Prolaktin adalah hormon yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior,
diketahui menstimulasi respon imun humoral dan selular, yang diduga berperan dalam
pathogenesis SLE.
8

Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam pathogenesis SLE adalah
leptin.Kadar leptin pada perempuan SLE lebih tinggi dibandingkan pada control yang
sehat.

Autoantibodi
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi.
Antibodi ini ditujukan pada nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap
molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antibodi antinuclear (ANA) adalah
antibody yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE (lebih dari 95%).Anti
double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibody merupakan antibody yang
spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE (IPD UI,
2009).

Tabel 1. Autoantibodi patogenik pada SLE


Antigen spesifik Prevalensi Efek klinik utama
(%)
Anti-dsDNA 70-80 Gangguan ginjal, kulit
Nukleosom 60-90 Gangguan ginjal, kulit
Ro 30-10 Gangguan ginjal, kulit, jantung fetus
La 15-20 Gangguan jantung fetus
Sm 10-30 Gangguan ginjal
Reseptor NMDA 33-50 Gangguan otak
Fosfolipid 20-30 Trombosis, abortus
-Actinin 20 Gangguan ginjal
C1q 40-50 Gangguan ginjal

NMDA = N-methyl-D-aspartate

Faktor Lingkungan
Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon
spesifik melalui kemiripan molekuler dan gangguan terhadap regulasi imun. Diet juga
mempengaruhi produksi mediator inflamasi. Toksin/obat-obatan memodifikasi respon
seluler dan imunogenisitas dari self antigen. Agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet
9

(UV) dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan
jaringan (IPD, 2009).
Tabel 2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pathogenesis SLE
Faktor fisik/kimia
Amin aromatic
Hydrazin
Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin,
isoniazid, fenitoin, penisilamin)
Merokok
Pewarna rambut
Sinar Ultraviolet
Faktor makanan
Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
L-canavanine (kuncup dari alfalfa)
Agen infeksi
Retrovirus
DNA bakteri/endotoksin
Hormon dan estrogen lingkungan
HRT, pil kontrasepsi oral
Paparan estrogen prenatal

Radiasi UV dapat mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada


SLE, ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan
terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit
manusia yang menghasilkan blebs nuclear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan
sel (IPD UI, 2009).

2.1.4. Manifestasi Klinis


Keluhan utama dan pertama sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah artralgia,
dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Pasien mengeluh
lemas, lesu dan capek sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam pegal linu seluruh
tubuh, nyeri otot dan penurunan berat badan terdapat kelainan kulit spesifik berupa
bercak malar menyerupai kupu-kupu dimuka dan eritema umum yang menonjol.
Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula sebagai eritema
10

papul atau plak bersisik. Dapat pula terjadi kelaian darah berupa anemia hemolitik,
kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung, gastrointestinal, gangguan saraf dan
kelainan psikatrik (Wallace, 2006).
Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:
Artralgia
Artritis (sinovitis)
Pembengkakan sendi
Nyeri tekan
Rasa nyeri ketika bergerak
Rasa kaku pada pagi hari.

Gejala konstitusional
Gejala yang merupakan manifestasi umum (sistemik) dari penyakit ini yang tidak
termasuk dalam kategori organ tertentu. Yaitu: demam, penurunan berat badan,
kelelahan (fatigue), anoreksia.

Manifestasi kutaneus:
Fotosensitivitas (sun sensitivity): 2/3 pasien SLE mengeluhkan sensitif terhadap
sinar ultraviolet (UV). Reaksinya dapat berupa ruam ringan, demam, arthritis,
kelelahan sampai ke ruam yang berat.
Ruam malar (ruam kupu-kupu): makulo papular hiperemi di daerah malar.
Ulkus oral: 20% pasien SLE mengalami ulkus oral yang biasanya mengenai
mukosa bukal dan langit-langit keras, tetapi kadang-kadang juga di lidah dan
langit-langit lunak. Lesinya berbatas tegas, tepi berwarna keputihan, dan
biasanya tidak nyeri.
Alopecia (rambut rontok)
Discoid Lupus

Manifestasi Vaskulitis kutaneus: radang pembuluh darah kecil yang terlihat


kutaneovaskular: di kulit pada bagian tubuh tertentu (biasanya di tangan dan
kaki). Terlihat sebagai ptekie atau purpura yang dapat diraba,
dan sangat jarang terjadi nekrosis, ulserasi, gangrene.
Fenomena raynaud: terjadi karena hiperplasia tunika intima dari
arteriol jari-jari disertai instabilitas vasomotor yang diperantarai
syaraf autonom. Hal ini akan menyebabkan timbulnya
11

vasodilatasi pada keadaan hangat, dan vasokonstriksi pada


keadaan dingin, sehingga akan menimbulkan perubahan warna
pada jari, dari merah, pucat sampai kebiruan. Jika berat dapat
menimbulkan ulkus atau gangren pada ujung jari (fingertip).
Manifestasi Arthralgia dan arthritis: Arthralgia terjadi pada 80% 90% SLE.
muskuloskeletal Disini tidak terdapat tanda-tanda inflamasi obyektif yang dapat
ditemukan, pasien hanya mengeluh nyeri saat diam maupun
digerakkan. Pada arthritis mengenai 50% pasien SLE), terdapat
tanda lain selain nyeri yaitu bengkak sendi, kemerahan, sendi
teraba hangat, kekakuan pagi hari setelah bangun tidur).
Myalgia dan myositis: Mayalgia terjadi pada 70% pasien,
sedangkan myositis pada 5-10% pasien. Pada myositis terjadi
peningkatan enzim CPK.
Osteopenia dan osteooporosis: Inflamasi kronik karena SLE
serta obat-obatan misalnya kortikosteroid dan methotrexate,
dapat menyebabkan osteopenia dan osteoporosis pada pasien
SLE. Hal ini ditambah dengan kekurangan vitamin D karena
pasien SLE harus menghindari paparan sinar ultraviolet.
Manifestasi Paru Pleurisi: 60% SLE pernah mengalami gejala pleuritis yaitu nyeri
dan Pleura saat inspirasi, dan sekitar 25% pernah mengalami efusi pleura
yang bermakna. Pleuritis dan efusi pleura tidak termasuk organ
threatening disease karena parenkim paru tidak terkena.
Lupus pneumonitis akut, Interstitial lung disease ( bersifat
kronik, gejala biasanya sesak), pulmonary hemorrhage,
pulmonary emboli, pulmonary hypertension, shrinking lung
syndrom.
Manifestasi Perikarditis: pasien mengeluh dadanya seperti ditekan, dan
Kardiovaskular membaik jika dia agak membungkuk ke depan. Sekitar 25%
diantaranya, terdapat efusi perikardial
Myokarditis, endocarditis (Libman-Sacks endocarditis)
Hipertensi: terutama terjadi pada pasien dengan gangguan
ginjal, juga yang dengan terapi kortikosteroid.
Accelerated atherosclerosis.
Manifestasi Renal Lupus nephritis terjadi karena penumpukan kompleks imun di
ginjal. Pemeriksaan urinalisa menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria mikros, adanya silinder. Para ahli sangat
12

menyarankan untuk dilakukan biopsi ginjal untuk diagnosis


standar Lupus nephritis, sehingga terapi lebih terarah.
Manifestasi Anemia karena penyakit kronik, autoimmune haemolytic
Hematologi anemia (AIHA).
Leukopenia ( < 4000/mm3), limfopenia ( < 1500/mm3),
trombositopenia
Trombosis (APS), splenomegali, limfadenopati
Manifestasi Susunan saraf pusat: Psikosis, kejang, aseptik meningitis,
Neuropsikiatrik stroke, demyelinating disorder, myelopati, anxiety disorder,
mood disorder, cognitive dysfunction, sakit kepala.
Susunan saraf tepi: polineuropathy, Guillain Barre syndrome,
mononeuropathy, cranial neuropathy, myastenia gravis.
Manifestasi Ascites, peningkatan enzim hepar, vaskulitis arteri di abdomen,
Gastrointestinal pankreatitis.
(Dooley, 2006; Kasitanon, 2006)

2.1.5. Pemeriksaan Diagnostik

1. Kriteria untuk kelainan kulit


Ruam Malar (butterfly rash) Eritema yang menetap, rata atau menonjol,
pada daerah malar
Ruam/ lesi diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak
nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa
2. Kriteria Sistemik
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau
lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan,
bengkak atau efusi
Serositis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction
rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau
terdapat bukti efusi pleura.Terbukti dengan
rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau
13

>3+
Gangguan neurologi Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolik ( misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).ataub. Psikosis yang bukan
disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
3. Kriteria Laboratorium
Kelainan hematologik Anemia hemolitik atau Leukopenia
<4.000/mm3, Limfopenia <1.500/mm3
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
Kelainan imunologik Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-
phospholipid
Antibodi antinuklearpositif Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear
(ANA) berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi
atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat.
Kriteria Diagnosis SLE menurut American College of Rheumatology, revisi tahun 1997

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.

2.1.6. Diagnosis Banding


a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjgren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (yang dengan ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat (DILE)
14

g. Artritis reumatoid dini


h. Vaskulitis
(Krishnan,2006)

2.1.7. Penatalaksanaan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai
ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.

Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik


I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III.Pengobatan medikamentosa
a.OAINS
b. Antimalaria
c.Steroid
d.Imunosupresan / Sitotoksik

Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas
fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan
sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan
latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.
Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan (IPD UI, 2009).
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah
15

penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga


penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar
matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar
matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja
di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita
LES juga harus menghindari rokok. Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES,
penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat
sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan
mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya. Pengaturan
kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan nefritis, atau
penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan,
misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan
eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu,
pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. Sebelum penderita
LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang
memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya,
penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan
organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang
meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya (IPD UI, 2009).

TERAPI KONSERVATIF
1. Arthritis, Arthralgia & Mialgia
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat
antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah
efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping
terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan
memeriksa kreatinin serum secara berkala. Apabila analgetik dan obat antiinflamasi
nonsteroid tidak memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat
antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat
ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih
16

dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi


oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. Pada beberapa
penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan analgetik atau obat
antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi.
Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi arthritis pada penderita LES (IPD UI, 2009).

2. Lupus kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi akut LES
dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan
kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung
terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela
yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian
besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA
dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A
dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada
dermatitis lupus. Pemilihan preparat tropikal harus hati-hati, karena glukokortikoid
topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi,
teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat
steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk
kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di
daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan
tinggi, misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan
yang berkekuatan lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi
lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria
mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan.Pada penderita yang
resisten terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid
sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis dan lesi LE berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah
17

methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang


memperburuk ruam LES di kulit (IPD UI, 2009)

3. Kelelahan dan keluhan sistemik


Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES, demikian
juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi
glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan
oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi masalah ini.
Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat
dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan
aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan
(IPD UI, 2009).

4. Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda serositis.
Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi
non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan
yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya
(IPD, 2009).

TERAPI AGRESIF
1. Kortikosteroid
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus
segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya
vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis, miokarditis
pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,
trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati
perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi). Dosis glukokortikoid sangat penting
diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun
demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya
dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur
dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada
pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti arthritis, serositis dan gejala
18

konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada


manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian
bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 1,5 mg/kgBB selama 3 hari dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian
dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari. Respons terapi dapat terlihat
sedini mungkin, tetapi dapat juga dalamwaktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu.
Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai
dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila
tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka
penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15
mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis
prednison dinaikkan sampai ke dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.
Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak
menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya (IPD UI, 2009).

2. Siklofosfamid
Indikasi siklofosfamid pada LES :
1. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).
2. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
3. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau
berulang.
4. Glomerulonefritis difus awal.
5. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa
adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
7. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat. Bolus siklofosfamid intravena 0,5-
1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian
cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas
pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1
bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid,
dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas
lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
19

Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila jumlah
leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%.
Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid
yang tidak adekuat sehingga dosisnya harusditingkatkan 10% pada pemberian
berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis
hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.

3. Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap
siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini
dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES; setelah penyakitnya dapat
dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan
baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim
hati dan mencetuskan keganasan.

4. Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah Siklosporin
dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin
darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka
dosisnya harus diturunkan.

5. Mofetil-mikofenolat (MMF)
MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada nefritis lupus,
MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam hal tingkat remisi,
kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan tingkat remisi nefritis
lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF tidak berhubungan dengan
penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea. Dosis MMF adalah 500 1500 mg, 2 kali
perhari.

6. Rituximab
20

Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan dalam


pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk LES. Dosis rituximab adalah 1 gram,
2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap 6 bulan.

7. Imunoglobulin G
Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopenia
pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan selama 5 hari berturut-turut,
diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi
mutlak pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang
ditemukan pada penderita LES.

2.1.8. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila
mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES
telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 5 tahun pada SLE kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah,
mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat
dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan
penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.
21
22
23

BAB 3

LAPORAN KASUS

No. Reg. 59.64.12

Nama Lengkap : Nurasiyah


Tanggal Lahir : 19 Mei 1989 Umur : 24 Thn Jenis kelamin: Perempuan

Alamat : Dusun 1 Guntung 50, Batubara No. Telepon : 085668128600

Pekerjaan : Wiraswasta Status: Belum Menikah


Pendidikan : SMU Jenis Suku : Melayu Agama : Islam

Dokter Muda : Agus Salim


Dokter : dr. Wina
Tanggal Masuk : 20 Maret 2014 pukul : 00.50

ANAMNESIS

Automentesis Alloanamnese

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Keluhan Utama : Nyeri sendi

Deskripsi : Nyeri sendi dialami sejak 3 bulan yang lalu, memberat dalam 2 minggu
yang lalu. Sakit terutama saat bangun tidur. Kaki dan tangan sakit ketika
mau digerakkan. Sakit bersifat hilang timbul. Sudah pernah diobati oleh
bidan sebelumnya. Bengkak pada sendi tangan dan kaki dijumpai,
riwayat penyakit asam urat disangkal. Kehitaman pada kulit muka
dijumpai sejak 3 bulan lalu disertai nyeri pada kulit jika terkena sinar
matahari. Muka pucat disadari pasien sejak 1 minggu lalu. Riwayat gusi
berdarah disangkal, riwayat mimisan disangkal. Bintik kemerahan pada
tangan dan kaki sejak 3 bulan yang lalu. Riwayat mual dijumpai sekitar
1 minggu yang lalu. Riwayat muntah darah disangkal. BAK normal,
BAK sakit di sangkal, BAK seperti berpasir disangkal, BAK berdarah
disangkal. BAB normal.
24

RPT : tidak jelas


RPO : tidak jelas

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah Tanda Bila Abnormal dan Berikan Deskripsi
Umum : Abdomen :
Keadaan umum compos mentis Tidak ada keluhan
Kulit: Alat kelamin perempuan :
Bintik kemerahan pada kulit kaki dan tangan Tidak ada keluhan
Kepala dan leher: Ginjal dan saluran kencing :
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Mata: Hematologi:
Tidak ada keluhan Pucat
Telinga: Endokrin/metabolik:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Hidung: Muskuloskeletal :
Tidak ada keluhan Nyeri tulang dan sendi kaki dan tangan
Mulut dan Tenggorokan: Sistem saraf:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Pernapasan : Emosi :
Tidak ada keluhan Terkontrol
Jantung : Vaskuler :
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan

DISKRIPSI UMUM

Kesan Sakit Ringan Sedang Berat

GiziBB basah: 60 Kg,TB : 162cm IMT= 22,86 (normoweight)


TANDA VITAL
Deskripsi:
Kesadaran CM
Komunikasi Baik
Nadi Frekuensi 94 x/i Reguler, t/v: cukup
Berbaring: Duduk:
Tekanan darah Lengan kanan: 110/70 mmHg Lengan kanan: -mmHg
Lengan kiri : 110/70 mmHg Lengan kiri : - mmHg
Temperatur Aksila: 36,7C Rektal : tdp
Frekuensi: 24 x/menit, kesan
Pernafasan Deskripsi: Abdominal torakal
normal
KULIT : bintik kemerahan pada kulit tangan dan kaki
25

KEPALA DAN LEHER : simetris, TVJ R-2 cmH2O, trakea medial, pembesaran KGB(-)

TELINGA: dalam batas normal

HIDUNG: dalam batas normal

RONGGA MULUT DAN TENGGORAKAN : dalam batas normal

MATA : Conjunctiva palp. inf. pucat (+), sclera ikterik (-),odema palpebra (-)/(-)

RC (+)/(+), Pupil isokor, ki=ka, 3mm

THORAX

Depan Belakang
Inspeksi Simetris fusiformis Simetris fusiformis
Palpasi SF Ki = Ka, kesan melemah pada SF Ki = Ka, kesan melemah pada
lapangan tengah & bawah kedua lapangan tengah & bawah kedua
paru paru
Perkusi Sonor memendek pada lapangan Sonor memendek pada lapangan
tengah & bawah kedua paru tengah & bawah kedua paru
Auskultasi SP: vesikuler, melemah pada SP: vesikuler, melemah pada
lapangan tengah dan bawah kedua lapangan tengah dan bawah kedua
paru paru

JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas : ICR III Sinistra
Kanan : Linea parasternalis dextra
Kiri : 1 cm medial Linea midclavicularis sinistra,
ICR V sinistra
Jantung : HR : 94x/i,reguler, desah (-), gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : simetris
Palpasi : Soepel, Hepar/Renal/Limfettb, undulasi (-)
26

Perkusi : pekak beralih (-)


Auskultasi : Peristaltik (+) N

PINGGANG
Tapping pain (-) ballotement (-)

INGUINAL
Pembesaran KGB (-)

EKSTREMITAS
Superior: edema (-), pucat (-).
Inferior : edema (-), pucat (-).

ALAT KELAMIN:
Perempuan, dalam batas normal

NEUROLOGI:
Refleks Fisiologis (+) Normal
Reflek Patologis (-)

BICARA
Komunikasi baik

Hasil Lab IGD Tgl 20 Maret 2014


Darah rutin:
Hb: 5.8g/dl; Eritrosit: 2.12 x106 /mm3, Leukosit: 2.42 x 103/mm3; Ht: 17.4%; Trombosit:
215.000/mm3; MCV: 82.1fL;MCH: 27.4g; MCHC: 33.3g/dl; RDW:16.5%; MPV: 9.7fL;
PCT:0.21%; PDW:9.6 fL; Neutrofil:62.4%; Limfosit: 22.7%; Monosit: 11.6%; Eosinofil:
2.9%; Basofil: 0.4%
Kesan: leukopenia, anemia.

Ginjal
Ureum: 31.0 mg/dL; Kreatinin: 0.9 mg/dL
27

Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah (sewaktu): 85 mg/dL

Elektrolit
Natrium:142 mEq/L; Kalium:3,5 mEq/L; Klorida:115 mEq/L

Urinalisa : reduksi (-), protein (+++), bilirubin (-), urobilinogen (+)


28

RESUME DATA DASAR

(Diisi dengan Temuan Positif)

Nama Pasien : Nurasiyah No. RM : 59.46.12

1. KELUHAN UTAMA : Artralgia

2. ANAMNESIS : (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu,


Riwayat Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga, Dll.)

artalgia sejak 3 bulan yang lalu, memberat dalam 2 minggu yang lalu terutama saat bangun tidur.
Bercak kehitaman pada wajah dijumpai sejak 3 bulan lalu disertai nyeri pada kulit jika terkena sinar
matahari. Riwayat mual disangkal. Muntah disangkal, riwayat muntah berwarna kecoklatan
disangkal. BAK dan BAB normal. Hasil laboratorium : bisitopenia, proteinuria (+++).
29

RENCANA AWAL

No. RM 5 9 4 6 1 2

Nama Penderita : Nurasiyah

Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnosis, penatalaksanaan dan edukasi)

Rencana Rencana Rencana Rencana


No Masalah
Diagnosa Terapi Monitoring Edukasi
1 Systemic Lupus - Urinalisa - Edukasi - Klinis Menerangkan dan
Erythematosus - Darah lengkap - Pada manifestasi non vital, - Laboratorium menjelaskan
- Elektrolit kloroquin 4 mg/kgBB/hari keadaan,
- Faal Ginjal - Pada manifestasi vital, penatalaksanaan
- Fotothorax AP/L prednisone 1-1.5
- ANA test dan komplikasi
mg/KgBB/hari selama 6 penyakit pada
- Test RF
- Biopsi ginjal minggu, kemudian pasien dan
tapering off keluarga
- Berat atau mengancam
nyawa diberikan
metilprednisone 1gr/hari
IV selama 3 hari berturut
turut, lalu prednisone 40-
60 mg/hari
- Na diclofenac 50 mg/8
jam
30

Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
20/3/14 Nyeri sendi Sens : Compos Mentis SLE - Tirah Baring - Urinalisa
TD : 110/70 mmHg - Diet makan biasa - Darah
Pols : 94 x/i - IVFD NaCl 0.9% lengkap
RR : 24 x/i 20gtt/i makro - Elektrolit
- Methylprednisolone 4- - Faal
T : 36.7o C
4-4 Ginjal
- Na diclofenac 50 - Fotothorax
PD: pucat, bercak kehitaman pada wajah, bintik
mg/8 jam AP/L
merah pada tangan dan kaki, efusi pleura

21/3/14 Nyeri sendi, Sens : Compos Mentis SLE - Tirah Baring - Urinalisa
demam TD : 120/70 mmHg - Diet ginjal 1800 - Darah
Pols : 104 x/i kkal lengkap
RR : 32 x/i - IVFD NaCl 0.9% - Elektrolit
20gtt/i makro - HST
T : 38.3o C
- Methylprednisolone - Faal Hati
4-4-4 - ANA test
PD: sama seperti sebelumnya - Test RF
- Na diclofenac 50
- Biopsi ginjal
mg/8 jam
Urinalisa:
Reduksi (-), Protein (+++), Bilirubin (-),
Urobilinogen (+). Kesan Proteinuria

Hasil Laboratorium :
Eri: 2.12x106/mm3, Leu: 2.42x103/mm3,
trombosit: 215x103/mm3, Hb: 5.8gr%, Ht: 17.4
31

MCV: 82.1fL, MCH: 27.4 pg, MCHC: 33.3g%,


RDW: 16.5%.
Kesan : Anemia, leukopenia.

Fotothorax :
Sudut kostofrenikus tumpul dijumpai

Faal Ginjal:
Ureum: 31mg/dl, kreatinin: 0.9mg/dl
22/3/14 Nyeri sendi, Sens : Compos Mentis SLE - Tirah Baring - Biopsi
demam, batuk TD : 110/70 mmHg - Diet ginjal 1800 ginjal
tidak berdahak Pols : 100 x/i kkal
RR : 32 x/i - IVFD NaCl 0.9%
T : 37.9o C 20gtt/i makro
- Methylprednisolone
PD: pucat, bercak kehitaman pada wajah, 4-4-4
- Na diclofenac 50
bercak kemerahan pada tangan dan kaki, efusi
mg/8 jam
pleura - GG 3x100mg

Urinalisa:
Reduksi (-), Protein (+++), Bilirubin (-),
Urobilinogen (-). Kesan Proteinuria

Hasil Laboratorium :
Eri: 2.13x106/mm3, Leu: 2.18x103/mm3,
trombosit: 202x103/mm3, Hb: 5.8gr%, Ht:
17.9%, MCV: 84 fL, MCH: 27.2 pg, MCHC:
32.4 g%, RDW: 17.1%.
32

Kesan : Anemia, Leukopenia.

HST:
%, INR: 0.76, APTT: 0.83, PT: 0.86
TT: 1.1

Faal Hati:
SGPT: 14U/L, SGOT: 17U/L, albumin: 2.8g/dl

23/3/14 Nyeri sendi Sens : Compos Mentis SLE - Tirah Baring Biopsi ginjal
TD : 110/70 mmHg Diet ginjal 1800
Pols : 100 x/i kkal
RR : 32 x/i - IVFD NaCl 0.9%
T : 37.6o C 20gtt/i makro
- Methylprednisolone
PD: pucat, bercak kehitaman pada wajah, 4-4-4
- Na diclofenac 50
bercak kemerahan pada tangan dan kaki, efusi
mg/8 jam
pleura - GG 3x100mg

ANA test: 127


RF : (-)
33

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan kriteria dari the American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun
1997. Dimana ada 11 kriteria yang digunakan untuk menentukan diagnosis LES. Seseorang
dapat didiagnosis terkena SLE jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria dan terdapat
minimal 1 kriteria klinis dan 1 kriteria imunologi. Pada pasien ini ditemukan ruam malar,
ruam diskoid, fotosensitif, arthritis, serositis (efusi pleura), gangguan hematologi, dan tes
ANA positif. Dengan ditemukannya 7 kriteria dan adanya minimal 1 kriteria klinis dan
kriteria imunologi, maka dapat ditegakkan pasien ini menderita LES.
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia tahun 2013, LES termasuk kategori
IIIA. Dimana seorang dokter pelayanan primer, harus mampu menentukan diagnosis dari
penyakit dan memberikan terapi pendahuluan untuk kemudian merujuk kepada dokter
spesialis. Terapi pendahuluan harus diberikan sebelum merujuk pasien LES ke dokter
spesialis Penyakit Dalam. Tujuan terapi pendahuluan ialah mencapai kondisi pasien yang
stabil. Pada kasus ini, terapi pendahuluan yang dapat dilakukan pada kasus ini ialah
mengurangi nyeri sendi tangan dan kaki, menurunkan demam dan batuk.
Adapun penilaian aktivitas penyakit LES ditentukan berdasarkan MEX SLEDAI
(systemic lupus erythematosus disease activity index) SELENA Modification. Skor MEX
SLEDAI untuk pasien ini adalah 14, yang artinya masuk ke dalam kategori Severe flare.
Maka pasien ini perlu dilakukan perawatan di rumah sakit oleh spesialis untuk mendapatkan
terapi yang memadai. Namun, jika skor MEX SLEDAI tergolong kagetori Mild flare maka
monitoring dapat dilakukan oleh dokter pelayanan primer.
34

BAB V
KESIMPULAN
Ibu Nurasiyah, 24 tahun menderita Lupus Eritematosus Sistemik dengan severe flare
berdasarkan MEX SLEDAI SELENA Modification.
35

DAFTAR PUSTAKA

Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 2011.
[cited 2011 Oct 6]. Available from :http://emedicine.medscape.com/article/332244-
overview

Bartels CM. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 2014. Available from : http
://emedicine.medscape.com/article/332244-0verview

Ginzler E. and Tayar J., Systemic Lupus Erythematosus. American College of Rheumatology
Communication and Marketing Committee, 2013.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta:
Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia., 2006. Panduan Pelayanan Medik.

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan


Lupus Eritematosus Sistemik, 2011.

Anda mungkin juga menyukai