ORGANISASI
Teater Kampus di Indonesia tidak independen, kehadirannya berada dalam
struktur Organisasi yang terkoneksi dengan UKM Seni, BEM, PUDEK III, dan
PUREK III. Sehingga, secara organisasi mereka punya anggaran dana tersendiri
untuk kebutuhan proses kreatif, membuat kegiatan semacam festival, diskusi, dan
lain-lain. Situasi ini mengakibatkan ruang gerak organisasi sangat tergantung
dengan kebijakan pimpinan institusi terkait, termasuk di dalam melakukan kontrol
terhadap kerja-kerja organisasi mahasiswa (teater kampus).
Di samping itu, organisasi teater kampus memiliki struktur yang tidak
permanen karena tiap tahun pasti mengalami perubahan struktur organisasi (re-
strukturisasi). Program latihan, pertunjukan, dan diskusi dapat berjalan dengan
baik apabila pimpinan dan anggota sangat produktif di dalam organisasi.
Sebaliknya, jika pimpinan dan anggota kurang produktif, maka gerak program
teater (latihan, pertunjukan, diskusi) menjadi stagnan, tidak berjalan sesuai dengan
cita-cita organisasi yang dibangun.
Kendala lain yang dihadapi oleh teater kampus, terkait dengan anggota
yang terlibat di dalamnya. Anggota teater kampus selalu berubah setiap tahunnya-
tergantung lama studi yang dijalani. Artinya, setiap tahun teater kampus terus
menerima generasi/anggota baru yang nantinya akan terlibat di dalam organisasi,
kerja keaktoran, penyutradaraan, manajemen produksi, dan manajemen artistik.
Resikonya adalah, proses teater selalu dimulai dari nol setiap tahunnya.
NETWORKING
Gerak organisasi teater kampus tidak bisa berjalan dengan sendirinya,
harus ada networking sebagai motor penggerak organisasi tersebut. Paradigma
puas dengan pendanaan, fasilitas yang ada, menjadikan teater kampus hanya
mampu bergerak dalam kotak kaca institusi-nya yang eksklusif. Untuk itu,
paradigma ini harus dihilangkan dengan cara membuka diri dan membangun
relasi dengan siapa saja (personal, organisasi, dan instansi).
Persoalan di atas, barangkali hanya terjadi di beberapa teater kampus di
Indonesia. Teater kampus yang memiliki program dan networking yang baik,
dapat dipastikan mampu mengembangkan organisasi teaternya secara dialektis.
Sementara, teater kampus yang justru autis, euforia dengan kredo gagah dalam
kemiskinan, apalagi mabuk dalam kontestasi eksistensi di hadapan kelompok
teater kampus lain, dapat dipastikan tidak dapat mengembangkan organisasi
teaternya secara baik.
Barangkali, hal ini juga luput dalam kehidupan teater kampus di Indonesia.
terciptanya asosiasi yang nantinya mampu mempertemukan para praktisi teater
kampus dalam organisasi yang lebih besar, memiliki program-program yang
spesifik selain mengikuti program festival seperti FESTAMASIO, TEMU
TEMAN, PEKSEMINAS, dan kegiatan festival/parade teater lainnya. Lembaga
arsip/pendokumentasian teater kampus di Indonesia menjadi salah satu wadah
agar masyarakat teater Indonesia/dunia bisa mengakses perjalanan sejarah teater
teater kampus di Indonesia.