Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV

2.1.1 Pengertian HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah HIV merupakan retrovirus

yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive

T-sel dan macrophages komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan

menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Penderita HIV akan mengalami

infeksi kerusakan pada sistem imun tubuh yang ditandai dengan gejala AIDS.

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), adalah sekumpulan gejala

penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak

oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah

terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu yang

bersifat oportunistik.22

2.1.2 Etiologi

Virus HIV ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis yang

mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga

pada waktu itu dinamakan LAV (Lymphadenopathy Associated Virus). Gallo

(National Institude of Health, USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T

Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih

lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil

pertemuan International Communittee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO

10
11

memberikan nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain

yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1

secara genetik maupun antigenetik. HIV-2 dianggap kurang patogen dibandingkan

dengan HIV-1.23

HIV adalah retrovirus yang mampu mengkode enzim khusus, reverse

transcriptase, yang memungkinkan DNA ditranskripsikan dari RNA. Sehingga

HIV dapat menggandakan gen mereka sendiri sebagai DNA di dalam sel inang

(hospes) seperti limposit helper CD4. DNA virus bergabung dengan gen limfosit

dan hal ini adalah dasar dari infeksi kronis HIV. Penggabungan gen virus HIV

pada sel inang ini merupakan rintangan berat untuk pengembangan antivirus

terhadap HIV. Bervariasinya gen HIV dan kegagalan manusia (sebagai hospes)

untuk mengeluarkan antibodi terhadap virus menyebabkan sulitnya

pengembangan vaksinasi yang efektif terhadap HIV.24

2.1.3 Patofisiologi HIV

Diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4 untuk

dapat terinfeksi HIV.Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar

terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung

virus.Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki

molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan

penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan terjadi diskontinuitas dari

membran sel limfosit-T kecuali selubungnya.25

Selanjutnya RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA

dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H,


12

RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami

polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase.DNA

yang tebentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limposit-T

dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase, disebut

sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau

dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan

deferesiasi sel pejamu (T-CD4) yang diinfeksikannya, sampai kelak terjadi suatu

stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan

tinggi.25

Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi yang cepat

ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan

mitogen atau antigen yang bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum

maupun sesudah terjadinya infeksi HIV.Tidak semua sitokin dapat memacu

replikasi virus. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umunya ikut serta

mengatur respons imun, seperti misalnya inter Leukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis

factor dan ,macrophage colony-stimulating factor. Bersifat menghambat adalah

interleukin-4, transforming growth factor , interferon dan .25

Setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau melalui

mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Di sini

terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan

limfoid yang lain (multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis.25

Sel limfosit- yang terdapat di dalam setrum gernativum jaringan limfoid

juga memberikan respon imun yang spesifikterhadap HIV.Hal ini yang


13

mengakibatkan limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi

folikural yang ditandai oleh meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum

germinativum dan sel limfosit T-CD4. Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang

meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat proliferasi tersebut, juga

berasal dari migrasi limfosit dari luar.25

Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-

CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba ini merupakan gejala yang khas dari

sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sellimfosit-B menghasilkan berbagai

sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4.25

Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan

komplemen terkumpul di dalam jaringan-jaringan sel dendritic folikular. Seperti

telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk waktu yang

panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai

stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut tidak lagi ditemukan partikel HIV yang

bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel.25

Hal lain yang dapat diamati adalah dengan progresivitas penyakit

terjadilah degenerasi sel. Hal lain yang dapat diamati adalah dengan progresivitas

penyakit terjadilah degenerasi sel dendrite folikular sehingga hilanglah

kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat

meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu meningkatkan

penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.25


14

2.1.4 Proses Penularan HIV

Syarat utama yang harus dipenuhi dalam penularan HIV untuk bisa masuk

ke dalam tubuh melalui aliran darah, bisa berbentuk luka, pembuluh darah

maupun lewat membran mukosa (selaput lendir).Media penularan virus HIV

melalui darah, cairan sperma (air mani) dan cairan vagina.26

HIV akan menular kepada orang lain dari tiga cairan tersebut jika ada

salah satu jenis cairan orang yang terinfeksi HIV masuk ke dalam aliran darah

orang yang tidak terinfeksi HIV. Beberapa kegiatan yang dapat menularkan HIV

yaitu hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom) dengan

orang yang telah terinferksi HIV, pengguna jarum suntik, tindik, tatto yang dapat

menimbulkan luka dan tidak disterilkan dipergunakan secara bersama-sama dan

sebelumnya telah digunakan oleh orang yang terinfeksi HIV, melalui transfusi

darah yang terinfeksi HIV. Ibu hamil yang terinfeksi HIV pada anak yang

dikandungnya pada saat antenatal yaitu saat bayi masih berada di dalam rahim,

melalui plasenta, intranatal yaitu saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu

atau cairan vagina dan post natal yaitu setelah proses persalinan, melalui air susu

ibu.26

HIV tidak menular melalui hubungan kontak sosial biasa dari satu orang

ke orang lain di rumah, tempat kerja atau tempat umum lainnya, makanan, udara

dan air (kolam renang, toilet dan lain-lain), gigitan serangga/nyamuk, batuk,

bersin, meludah, bersalaman, menyentuh, berpelukan atau cium pipi.26


15

2.1.5 Fase-fase infeksi HIV

Orang yang sudah terinfeksi HIV biasanya sulit dibedakan dengan orang

yang sehat di masyarakat.Mereka masih dapat melakukan aktifitas, badan terlihat

sehat dan masih dapat bekerja dengan baik. Untuk sampai pada fase AIDS

seseorang yang telah terinfeksi HIV akan melewati beberapa fase, yaitu:

1) Fase pertama: masa ini disebut dengan window periodebiasanya antara 1-6

bulan, ciri-cirinya belum terlihat meskipun yang bersangkutan melakukan test

darah karena pada fase ini sistem antibodi terhadap HIV belum terbentuk,

tetapi yang bersangkutan sudah dapat menularkan ke orang lain.

2) Fase kedua: fase ini berlangsung lebih lama sekitar 2-10 tahun setelah

terinfeksi HIV. Pada fase ini orang sudah HIV positif dan belum

menampakkan gejala sakit.

3) Fase ketiga: pada fase ini muncul gejala-gejala awal penyakit yang berkaitan

dengan infeksi HIV yaitu: keringat berlebihanwaktu malam hari, diare terus

menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu tidak sembuh-sembuh,

nafsu makan berkurang dan lemah, berat badan terus berkurang, Pada fase ini

kekebalan tubuh mulai menurun.

4) Fase keempat: fase ini sudah masuk tahap AIDS. Hal ini bisa dilihat dari

jumlah sel-T nya (di bawah 2001 mikroliter) dan timbul penyakit yang

disebut dengan infeksi oportunistik.26


16

2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium

Uji khas yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV adalah:

1) Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya

antibodi dalam serum yang memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila

terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif palsu dapat

menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang

positif diulang dan apabila keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih

spesifik dengan Western blot.

2) Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil

kemungkinannya memberi hasil positif palsu atau negatif palsu.26

2.1.7 Pengobatan Pasien HIV dan AIDS

ARV (Anti Retro Virus) ditemukan pada tahun 1996, ini merupakan

revolusi dalam upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian.22

2.1.8 Pencegahan Penularan HIV dan AIDS

Langkah-langkah pencegahan penularan HIV dan AIDS, adalah sebagai

berikut:

1) A = Anda jauhi seks sampai anda menikah atau menjalin hubungan jangka

panjang dengan pasangan (Abstinesia).

2) B = Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau

hubungan tetap jangka panjang (Befaitful).

3) C = Cegah dengan memakai kondom secara benar dan konsisten (condom).

4) D = Katakana tidak pada narkoba (Drug).


17

5) E = Tidak memakai alat suntik secara bergantian (Equipment)

2.2 Faktor-faktor yang memengaruhi

Keputusan individu untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan tidak terlepas

dari faktor perilaku yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dalam teori

Green dijelaskan bahwa faktor-faktor yang merupakan penyebab perilaku dapat

dibedakan dalam tiga faktor, yaitu:

1) Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor ini merupakan faktor yang menjadi dasar atau motivasi bagi

perilaku. Termasuk dalam factor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai

dan persepsi yang berkenaan dengan motivasi seseorang untuk bertindak.

2) Faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan suatu motivasi atau

aspirasi terlaksana. Termasuk dalam faktor pemungkin adalah ketrampilan,

sumber daya pribadi dan komunitas, seperti tersedianya pelayanan kesehatan,

keterjangkauan, kebijakan dan peraturan.

3) Faktor penguat (reinforcing factors)

Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan

memperoleh dukungan atau tidak. Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku

petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.
18

Dalam model yang dikembangkan dalam teori Andersen S ini terdapat tiga

karakteristik utama dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:

1) Karakteristik predisposisi (predisposing characteristics)

Masing-masing individu memiliki kecendrungan yang berbeda dalam

memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diramalkan dengan

karakteristik pasien yang telah ada sebelum sakit. Karakteristik ini meliputi ciri

demografi, struktur sosial, pengetahuan, sikap dan kepercayaan tentang kesehatan.

2) Karakteristik pendukung (enabling characteristics)

Karakteristik pendukung ini adalah antara lain asuransi kesehatan dan

ketercapaian sumber pelayanan yang ada. Bila faktor ini terpenuhi maka individu

cendrung menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada pada saat sakit.

3) Karakteristik kebutuhan (need characteristics)

Faktor ini lebih menitik beratkan pada masalah apakah individu beserta

keluarganya merasa adanya penyakit, atau kemungkinan untuk terjadinya sakit.

Kebutuhan dapat diukur dengan kebutuhan yang dirasakan (perceived need).

Faktor-faktor yang memengaruhi dalam pemanfaatan klinik VCT yaitu:

2.2.1 Faktor Predisposisi

Faktor-faktor yang dapat mempredisposisi terjadinya perilaku pada WPS

adalah pengetahuan dan sikap.

2.2.2 Faktor Pendukung

Faktor-faktor pendukung terjadinya perilaku pada WPS adalah dukungan

tenaga kesehatan dan dukungan mucikari.


19

2.2.3 Faktor Kebutuhan `

Faktor-faktor penguat terjadinya perilaku pada WPS adalah kebutuhan

yang dirasakan oleh WPS itu sendiri.26

2.3 VCT (Volantary Counseling and Testing)

2.3.1 Pengertian VCT

VCT dalam bahasa Indonesia disebut konseling dan tes sukarela. VCT

adalah kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum

dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium.27

VCT merupakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dengan deteksi

dini untuk mengetahui status seseorang yang sudah terinfeksi virus HIV atau

belum melalui konseling dan testing HIV dan AIDS sukarela, bukan dipaksa atau

diwajibkan.16

Menurut Alemie dan Balcha, pemanfaatan pelayanan klinik VCT sangat

penting karena merupakan entry point yang diakui secara internasional sebagai

strategi yang efektif untuk pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS. Status HIV

yang diketahui lebih dini memungkinkan pemanfaatan layanan-layanan terkait

dengan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan. Hal tersebutlah yang

menjadikan pentingnya pemanfaatan klinik VCT.17

2.3.2 Tujuan VCT

VCT sangat penting dilakukan karena VCT merupakan pintu masuk

kelayanan HIV dan AIDS, menawarkan keuntungan baik bagi yang hasilnya

positif maupun negatif dengan fokus memberikan dukungan atas kebutuhan klien
20

seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, pemahaman

faktual dan terkini tentang HIV, mengurang stikma masyarakat, merupakan

pendekatan menyeluruh baik fisik maupun mental dan memudahkan akses

keberbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik kesehatan maupun

psikososial.28

Dalam memberikan pelayanan komperhensif yang berkesinambungan bagi

orang yang terinfeksi HIV diperlukan saran yang harus disiapkan salah satunya

adalah layanan VCT. Layanan VCT merupakan salah satu pintu masuk keseluruh

pelayanan HIV dan AIDS. Fokus pada layanan VCT adalah pemberian dukungan

atas kebutuhan klien untuk melakukan perubahan perilaku, dukungan mental,

dukungan terapi ARV, pemahaman atas fakta tentang HIV dan AIDS terkini

mengurangi stigma dan deskriminasi serta merupakan layanan yang memberikan

pendekatan komprehensif baik bagi kesehatan fisik, mental maupun sosial.29

2.3.3 Prinsip layanan VCT

VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai

pintu masuk ke seluruhlayanan kesehatan HIV dan AIDS berkelanjutan yang

berdasarkan prinsip

1) Sukarela dalam melaksanakan testing HIV

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan

dan tekanan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan

klien. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan

untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU

(Injecting Drug User).


21

2) Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas

Layanan harus bersifat professional, menghargai hak dan martabat semua

klien, konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan

diluar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan

dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak.

Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien maka

informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

3) Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif

Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan

mengikuti hasil pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku

berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam

menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

4) Testing merupakan salah satu komponen dari VCT

WHO dan Depkes RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan

untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti

oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lain yang

disetujui oleh klien.

2.3.4 Model Layanan VCT (Volantary Counseling and Testing)

Adapun model layanan VCT terdiri dari:

1) Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)

Layanan konseling dan testing HIV dan AIDS sukarela model

penjangkauan dan keliling (mobile VCT) dapat dilaksanakan oleh LSM atau

layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat


22

yang memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV dan AIDS di wilayah

tertentu. Layanan ini diawali dengan survey atau penelitian atas kelompok

masyarakat di wilayah tersebut dan survey tentang layanan kesehatan dan layanan

dukungan lainnya di daerah setempat.

2) Statis VCT (Klinik VCT tetap)

Pusat konseling dan testing HIV dan AIDS sukarela terintegrasi dalam

sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya betempat dan menjadi

bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana

kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat

akan konseling dan testing HIV dan AIDS.

Sarana dari pelayanan VCT adalah masyarakat yang membutuhkan

pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan

infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang

datang ke pelayanan VCT disebut sebagai klien. Sebutan klien dan bukan pasien

merupakan salah satu pemberdayaan bagi klien agar berperan aktif dalam proses

konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama mendiskusikan

hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV dan AIDS,

perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif

atau positif. 30

2.4 WPS (Wanita Pekerja Seks)

Menurut keputusan Menteri Sosial No, 80 Tahun 2012 memberikan

pengertian berikut: WPS (Wanita Pekerja Seks) adalah seorang yang melakukan

hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan
23

bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapat imbalan uang,

materi atau jasa. WPS diberikan tempat khusus oleh pemerintah disuatu wilayah

yang disebut lokalisasi.10

WPS bekerja dalam berbagai macam bentuk. Mereka dapat bekerja

dilokalisasi terdaftar di bawah pengawasan medis (direct sex workers) atau dapat

juga sebagai WPS tidak langsung (indirect sex workers) mendapatkan klien dari

jalan atau ketika bekerja ditempat-tempat hiburan seperti kelab malam, panti pijat,

diskotik, caf, tempat karaoke atau bar.

2.5 Kebijakan Pemerintah Tentang Penanggulangan dan Penyebaran HIV

dan AIDS

Kebijakan Pemerintah tentang penanggulangan dan penyebaran HIV dan

AIDS tertuang dalam:

1) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1507/MENKES/SK/X/2005 tentang

pedoman pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS secara sukarela VCT

(Voluntary Counselling and Testing).13

2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 75 tahun 2006 tentang

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.31

3) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor:

1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang pedoman pelaksanaan kolaborasi

pengendalian penyakit TB dan HIV.32


24

4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 76 tahun 2012 tentang

pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obat antiviral dan

antiretroviral.33

5) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2014

tentang pedoman pelaksanaan konseling dan test HIV.34

Hal ini tidak terlepas dari Kebijakan Program Nasional tentang

penanggulangan dan penyebaran HIV dan AIDS yaitu sangat berhubungan dengan

perilaku berisiko, oleh karena itu pengendalian harus memperhatikan 24rasti-

faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut. Kebijakan secara umum

sebagai berikut yaitu: upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan

kondom 100%, peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit,

pengobatan dan perawatan serta dukungan terhadap ODHA, terselenggaranya

kemitraan antara lintas 24rasti dan masyarakat, diutamakan pada kelompok risiko

tinggi tetapi tetap memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan. Guna untuk

menurunkan angka kesakitan dan kematian serta meningkatkan kualitas hidup.

Selain itu masalah HIV dan AIDS merupakan salah satu 24rastic2424 MDGs

(Millenium Development Goals) keenam yaitu mengendalikan dan mulai

menurunkan jumlah baru HIV.35

2.6 Landasan Teori

VCT adalah kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang

dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium. Dengan kata

lain VCT merupakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dengan deteksi dini

untuk mengetahui status seseorang yang sudah terinfeksi virus HIV atau belum
25

melalui konseling dan testing HIV dan AIDS sukarela, bukan dipaksa atau

diwajibkan.

Pemanfaatan pelayanan klinik VCT sangat penting karena merupakan

entry point yang diakui secara internasional sebagai strategi yang efektif untuk

pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS. Status HIV yang diketahui lebih dini

memungkinkan pemanfaatan layanan-layanan terkait dengan pencegahan,

perawatan, dukungan, dan pengobatan. Hal tersebutlah yang menjadikan

pentingnya pemanfaatan klinik VCT.

Teori yang berkaitan erat dengan pemanfaatan pelayanan klinik VCT oleh

WPS adalah model sistem kesehatan (health system model) yang dikembangkan

dalam teori Anderson S dan faktor-faktor yang merupakan penyebab perilaku

dalam teori Green.

Karakteristik predisposisi (predisposing characterictics) merupakan

kecendrungan yang dimiliki masing-masing individu dalam memanfaatkan

pelayanan kesehatan, meliputi ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan

tentang kesehatan. Karakteristik pendukung (enabling characterictics) antara lain

adalah dukungan tenaga kesehatan dan dukungan mucikari. Karakteristik

kebutuhan (need characterictics) dapat di ukur dengan kebutuhan yang dirasakan

(perceived need) dan kebutuhan berdasarkan penilaian tenaga kesehatan

(evaluated need).

Faktor predisposisi (predisposing factors) merupakan faktor yang menjadi

dasar atau motivasi bagi perilaku, meliputi pengetahuan dan sikap yang

berkenaan dengan motivasi seseorang untuk bertindak. Faktor pemungkin


26

(enabling factors) merupakan faktor memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi

terlaksana, meliputi sumber daya pribadi dan komunitas, seperti tersedianya

pelayanan kesehatan, keterjangkauan, kebijakan dan peraturan. Faktor penguat

(reinforcing factors) merupakan faktor yang menentukan apakah tindakan

kesehatan memperoleh dukungan atau tidak, yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi

dari perilaku kesehatan.

Komponen Komponen Komponen Pemanfaatan


Predisposisi Dukungan Kebutuhan Pelayanan

Demografi Dukungan Dirasakan


Mucikari (perceived)

Struktur Dukungan Penilaian


Sosial tenaga (evaluated)
kesehatan

Kepercayaan
kesehatan

Gambar 2.1 Landasan Teori Anderson S26


27

2.7 Kerangka Konsep

Bedasarkan landasan teori diatas, maka kerangka konsep penelitian ini

adalah:

Variabel bebas Variabel Terikat

Faktor predisposisi
Pengetahuan
Sikap

Faktor pendukung
Dukungan tenaga
kesehatan Pemanfaatan klinik VCT
Dukungan mucikari

Faktor kebutuhan WPS


Kebutuhan yang
dirasakan WPS

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian


28

2.8 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap) dengan faktor-

faktor yang memengaruhi pemanfaatan Klinik VCT Villa Garden II di

Kabupaten Karimun.

2) Ada pengaruh faktor pendukung (dukungan tenaga kesehatan dan dukungan

mucikari) dengan faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan Klinik VCT

Villa Garden II di Kabupaten Karimun.

3) Ada pengaruh faktor kebutuhan (kebutuhan yang dirasakan WPS) dengan

faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan Klinik VCT Villa Garden II di

Kabupaten Karimun.

Anda mungkin juga menyukai