Anda di halaman 1dari 1

Dewasa ini semakin banyak penyakit essensial yang menyerang sistem perkemihan pada

manusia antara lain infeksi saluran kemih (ISK), batu ginjal, glomerulonefritis, sindrom
nefrotik, gagal ginjal kronik, serta kanker kandung kemih. Sayangnya, penyakit penyakit
tersebut belum dapat dideteksi secara dini sehingga dapat menimbulkan banyak komplikasi
yang berpotensi mengancam jiwa. Salah satu yang paling banyak adalah penyakit BPH (
Benigna Prostate Hiperplasia).

BPH adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan penyempitan saluran
kencing dan tekanan di bawah kandung kemih. (Aulawi, 2014). BPH dapat menimbulkan
berbagai gejala yang terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi berupa
hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih, double voiding,
mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih. Gejala iritatif berupa urgensi,
frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian
bawah atau Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS) (Cooperberg, 2013).

Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki-laki usia 60-70 tahun
mengalami gejala-gejala BPH dan antara usia 70-90 tahun sebanyak 90% mengalami gejala-
gejala BPH. Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria
yang berusia 80 tahun. Di RS Margono Soekardjo, tahun 2016 didapatkan 5% dari seluruh
kasus adalah BPH dan hampir 80% menyerang laki-laki diatas usia 50 tahun.

Penanganan terbaik dari penyakit BPH adalah operasi untuk membuang jaringan yang
membesar. Namun proses ini seringkali menimbulkan berbagai masalah pasca operasi seperti
gangguan eliminasi urine, resiko infeksi, nyeri dan cemas. Dan berdasarkan pengalaman
penulis sesuai dengan observasi dan wawancara di ruangan, masalah keperawatan yang
sering muncul pada kebanyakan pasien pasca operasi BPH adalah nyeri.

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial sehingga terjadi pelepasan mediator nyeri
seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan serotonin yang merangsang nosiseptor 3, atau
reseptor nyeri, kemudian menghantarkan serabut tipe A dan serabut tipe C menuju medua
spinalis, seistem aktivasi retikular, hipotalamus dan sistem limbik ke otak
(Korteksomatosensori) sehingga terjadinya persepsi nyeri. (Herdman,2012). Nyeri post
operasi harus menjadi perhatian utama dari perawat profesional dalam merawat pasien pasca
operasi, karena adanya nyeri dapat menyebabkan gangguan intake nutrisi dan aktivitas
istirahat pasien, dan pada akhirnya berkontribusi pada komplikasi sehingga memperpanjang
asa perawatan pasien. ( Macintrye, Schug & Walker, 2010)

Anda mungkin juga menyukai