Anda di halaman 1dari 5

2008-2009 DATA CONSULT. All rights reserved.

LAPORAN MARKET INTELLIGENCE

PERTUMBUHAN INDUSTRI POLYETHYLENE BELUM OPTIMAL

April 2010

Latar belakang

Krisis ekonomi global sejak 2008, telah berdampak terhadap industri bahan baku plastik termasuk
polyethylene (PE). Melemahnya pasar ekspor dan menurunnya pasar di dalam negeri menyebabkan
menumpuknya stok bahan baku plastik termasuk polyethylene (PE), karena tidak terserap oleh industri
hilir (produsen plastik. Hal ini menyebabkan produksi PE mengalami penurunan menjadi 425 ribu ton
pada 2008, atau turun 11,3% dibanding tahun sebelumnya 479 ribu. Namun seiring dengan mulai
membaiknya perekonomian dunia, produksi PE kembali naik terutama di kwartal terakhir tahun2009
lalu.

Menurut Inaplas konsumsi bahan baku plastik awal 2009 mengalami penurunan sebesar 5%. Rata-rata
konsumsi plastik sekitar 20 ribu ton per bulan. Menurunnya daya beli masyarakat akibat lonjakan harga
pangan yang sangat tinggi yang pada gilirannya menurunkan konsumsi pangan yang menggunakan
kemasan plastik.

Besarnya permintaan terhadap PE bergantung kepada fluktuasi kebutuhan dari industri pemakai
tutamanya yaitu industri plastik dan kemasan. Selama ini produk kemasan plastik cenderung meningkat
seiring dengan semakin besarnya konsumsi masyarakat. Saat ini kemasan plastik masih menjadi bahan
kemasan utama bagi industri makanan dan minuman karena praktis dan relatif murah. Menurut Inaplas,
potensi pasar plastik Indonesia sangat besar diperkirakan akan mencapai 4 juta ton pada 2015.
Walaupun potensi pasar cukup besar namun kapasitas produksi industri PE sejak lima tahun terakhir
tidak mengalami perubahan yaitu sebesar 750.000 ton per tahun. Industri PE dalam negeri belum
mampu meningkatkan kapasitas produksi, hal ini disebabkan masih terbatasnya kemampuan pasokan
bahan baku berupa ethylene. Kondisi ini merupakan imbas dari kurangnya produksi nafta di dalam negeri
yang digunakan untuk memproduksi ethylene.

Pasokan bahan baku ethylene semakin berkurang, menyusul sejumlah pabrik petrokimia besar di Asia
terpaksa tutup pada kuartal kedua tahun 2009 lalu. Hal ini diakibatkan oleh turunnya permintaan,
sementara di saat masih beroperasi, kawasan Asia masih defisit bahan baku plastik. Beberapa pabrik
yang berhenti beroperasi pada awal 2009, termasuk Petrochemical Secco di China produsen
polipropilena berkapasitas 120 ribu ton per tahun, kemudian Fujian Refining and Petrochemical di China,
produsen propilena dengan kapasitas sekitar 1 juta ton.

Selain itu, produsen asal Jepang, Mitsubishi Chemical, juga berhenti berproduksi sehingga menyebabkan
terganggunya pasokan bahan baku plastik sekitar 150 ribu ton. Di kawasan Asia Tenggara, produsen asal
Thailand yakni HMC Polymers juga menghentikan produksi, perushaaan ini berkapasitas 300 ribu ton
polipropilena dan 300 ribu ton polietilena per tahun. Tutupnya beberapa pabrik tersebut menyebabkan
pasokan impor tersendat. Kurangnya pasokan dari luar negeri tersebut menyebabkan ketatnya
persaingan untuk mendapatkan bahan baku plastik di pasar dunia.

Kurangnya pasokan PE di pasar dunia, menyebabkan harga PE terus bergejolak. Harga PE dan
Polypropylene (PP) pada kuartal II/2009 melonjak sekitar 33,3%, dari US$1.050 menjadi US$1.400 per
ton. Kondisi tersebut terjadi sebagai imbas dari kenaikan harga komoditas dalam rantai bahan baku di
sektor hulu petrokimia. Kenaikan harga propilena dan etilenabahan baku produksi PP dan PEsecara
langsung membuat harga kedua komoditas yang berada di sisi lebih hilir tersebut ikut terdongkrak.
Sementara itu, kenaikan harga propilena dan etilena dipicu lonjakan harga nafta yang lebih dahulu naik
menjadi US$1.000 - US$1.100 per ton, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah yang berada di atas
US$65 per barel.

Memasuki kuartal II/2010, industri hilir plastik mulai menimbun stok bahan baku berupa PE dan
polipropilena (PP), menyusul lonjakan harga kedua produk tersebut. Menurut INAplas kenaikan harga PE
dan PP di pasar domestik akan berlanjut seiring dengan kenaikan harga minyak mentah yang menyentuh
US$ 85 per barel.
Dalam laporan ini dibahas tentang perkembangan industri PE meliputi perkembangan kapasitas
produksi, produksi, ekspor dan impor produk PE dan masalah yang dihadapi.

Karakteristik dan klasifikasi produk

Polyethylene (PE) resin merupakan sebuah produk petrokimia menengah (midstream) yang berasal dari
material olefin. PE diproduksi melalui polimerisasi ethylene.

Berdasarkan densitynya, PE resin dikelompokkan kedalam dua type yaitu Low Density Polyethylene
(LDPE) dan High Density Polyethylene (HDPE). HDPE memiliki bentuk fisik lebih kaku dibandingkan LDPE.

Disamping dua type ini, type lainnya yaitu penemuan baru Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) yang
dibuat melalui polimerisasi LDPE pada tekanan rendah.

Bentuk LDPE lembut, sehingga biasanya digunakan dalam industri sebagai bahan baku untuk produksi
plastic tipis dan lapisan dalam kantong plastic. HDPE umumnya digunakan pada industri makanan untuk
membuat wadah dan botol plastic untuk tempat minyak goreng, oli pelumas dan sebagainya. Sedangkan
LLDPE, anti sobek, maka digunakan luas sebagai kemasan dan bahan laminating.

Perkembangan kapasitas dan produksi

Kapasitas produksi industri PE di dalam negeri belum mengalami perubahan berarti, sejak 10 tahun lalu
kapasitasnya tercatat masih sebesar 750.000 ton per tahun. Meskipun kebutuhan PE sebagai bahan baku
industri plastik terus meningkat, namun industri PE mengalami kesulitan menambah kapasitas
produksinya akibat terbatasnya bahan baku.

Kondisi ini disebabkan oleh karena pasokan bahan baku berupa ethylene domestik terbatas. Sementara
kecilnya produksi ethylene di dalam negeri karena pengadaan bahan bakunya berupa nafta juga terbatas.
Pertamina merupakan satu-satunya pemasok nafta di Indonesia. Dari tahun ke tahun pasokan nafta terus
menurun. Sedangkan pada 2010 ini peta outsourcing pengadaan nafta bagi kebutuhan industri
petrokimia hulu diperkirakan sebesar 40% dipasok dari dalam negeri dan

60% impor.

Produsen utama

Di Indonesia hanya ada dua produsen PE yaitu PT. Chandra Asri Petrochemical Centre (CAPC) dan PT.
Titan Petrokimia Nusantara (TPN). CAPC merupakan produsen petrokimia hulu yang terintegrasi dengan
hilirnya yaitu menghasilkan ethylene dan propylene. Produksi hulunya menghasilkan bahan baku plastic
jenis high density polyethylene (HDPE). Sedangkan TPN memproduksi HDPE dan low density
polyethylene (LDPE).

CAPC memiliki total kapasitas produksi PE sebesar 300.000 ton yang terdiri dari LLDPE 200.000 ton dan
HDPE 100.000 ton per tahun.

Sedangkan TPNI memiliki total kapasitas produksi sebesar 450.000 ton yang terdiri dari LLDPE dan HDPE
masing-masing 225.000 ton per tahun.

PT. Chandra Asri Petrochemical Centre

PT. Candra Asri Petrochemical Centre (CAPC) berdiri pada 1989 merupakan joint venture antara Barito
Pacific milik Prajogo Pangestu (75%) dan Marubeni dari Jepang (25%). CAPC mulai produksi komersial
pada 1995 dengan investasi US$ 1,7 miliar.

Setelah mengalami beberapa kali perubahan pemegang saham, sejak 2006 saham CAPC dikuasai oleh
Temasek Holding dari Singapore.

PT. Titan Petrokimia Nusantara

Awalnya perusahaan ini bernama PT. Petrokima Nusasantara Interindo yang didirikan pada 1990 oleh
Beyond Petroleum sebelumnya bernama British Petroleum (BP) dari Inggris, Sumitomo Corp dan Mitsui
Co Ltd dari Jepang dan PT. Arseto Petrokimia.
Pada 2003 PT. Indika dari Indika Group milik keluarga Sudwikatmono membeli 100% saham PENI dari
pemilik lama senilai US$ 50 juta dengan dukungan dana dari perbankan Malaysia. Indika Group milik
keluarga Sudwikatmono yang bergerak dalam bidang pertambangan, energi dan petrokimia.

Pabrik PENI dibangun di area seluas 36 ha berlokasi di Merak, Banten, yang terdiri dari 2 trains, 2 unit
gudang untuk penyimpanan PE berkapasitas 14.000 metrik ton. Pada 1993 PENI mulai berproduksi
dengan total kapasitas 200.000 ton per tahun. Kemudian pada 1998 PENI meningkatkan kapasitas
produksinya menjadi 450.000 ton per tahun, saat itu PENI menjadi produsen PE terbesar ketiga di Asia
Tenggara.

Anda mungkin juga menyukai