Interaksi antara obat dengan obat didefinisikan sebagai modifikasi efek dari suatu obat karena
kehadiran obat lain (Walker dan Edwards, 1989), baik diberikan sebelumnya atau bersamaan
yang dapat memberikan potensi atau antagonisme satu obat oleh obat lain (Anonim, 2000), dapat
menguntungkan ataupun merugikan.
Interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat diubah dengan adanya obat lain atau dengan
makanan.
Jenis-Jenis Interaksi :
1. Interaksi obat dengan obat
2. Interaksi obat dengan makanan
3. Interaksi obat dengan minuman
4. Interaksi obat dengan penyakit
Contoh : Sakit maag atau dyspepsia --> minum obat NSID (asam mefenamat, aspirin) akan
mengalami gangguan pada lambung
Hasil Interaksi
Hasil interaksi obat dengan obat adalah respon klinis atau farmakologis dari suatu pemberian
kombinasi obat, yang berbeda dari yang seharusnya terjadi bila kedua obat-obat diberikan
sendiri-sendiri. Efek yang terjadi dapat berupa :
a. Antagonisme (1+1<2)--> saling menurunkan khasiat dari masing-masing obat
Kegiatan obat pertama dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali oleh obat kedua yang
memiliki khasiat farmakologis yang bertentangan, misalnya adrenalin dan histamin.
Contoh : ekspektoran + antitusiv, adrenalin + antihistamin
b. Sinergisme (1+1>2)
Kerjasama antara dua obat dan dikenal ada dua jenis yaitu Adisi efek kombinas adalah sama
dengan kegiatan dari masing-masing obat (1+1=2).
Contoh : kombinasi asetosal dan parasetamol, juga trisulfa.
Potensiasi (mempertinggi potensi). Kegiatan obat dipertinggi oleh obat kedua (1+1>2),
kedua obat dapat memiliki kegiatan yang sama seperti estrogen dan progesteron,
sulfametoksasol dan trimetoprim asetosal dan kodein. Atau satu obat tidak memiliki efek
bersangkutan misalnya analgetik dan klorpromazin, benzodiazepin/meprobamat dan alkohol,
penghambatan MAO dan amfetamin dan lainnya
Contoh : Sulfametoksasol + Trimetoprim --> efek sinergesme
Amoxicillin + Asam Klavulanat --> Asam Klavulanat meningkatkan aktivitas
amoksisilin karena dapat memproteksi cincin beta laktam dari amoxicillin.
c. Idiosinkrasi
Yaitu peristiwa suatu obat memberikan efek yang secara kualitatif total berlainan dari efek
normalnya, umumnya disebabkan kelainan genetika pada pasien bersangkutan. Sebagai
contoh disebut Anemia Hemolitik (kurang darah akibat terurainya sel-sel darah) setelah
pengobatan malaria dengan primaquin atau derivatnya. Contoh lain pasien pada
pengobatan neuroleptika untuk menenangkannya justru memperlihatkan reaksi yang
bertentangan dan menjadi gelsiah dan cemas (Tjay dan Rahardja, 1986)
Onset adalah seberapa cepat efek dari suatu interaksi terjadi dan menentukan seberapa penting
tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari akibat dari suatu reaksi. Onset dibagi 2 :
a. Rapid : efek dari interaksi obat yang terlihat dalam 24 jam setelah pemberian obat, perlu
tindakan penanganan segera.
b. Delayed : efek dari interaksi obat yang terlihat berhari-hari bahkan berminggu-minggu
setelah pemberian obat, tidak perlu tindakan penanganan dengan segera
Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia suatu obat inkompatibel
dengan obat lainnya. Pencampuran obat yang inkompatibel akan mengkibatkn inaktivasi obat.
Interaksi ini sering terjadi pada cairan infus yang mencampurkan berbagai macam obat . Interaksi
secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat memepengaruhi absorpsi, distribusi,
biotransformasi / metabolisme, atau ekskresi obat lain.
Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat merubah aktivitas obat lain pada lokasi yang
terpisah dari tempat aksinya. Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu
obat mempengaruhi aktivitas obat lain pada atau dekat sisi reseptornya. Pada kenyataaanya
interakPada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi tidak hanya dengan satu
mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi secara umum mekanisme
interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua mekanisme utama, yaitu interaksi
farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau
dengan obat lain.
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang
menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi
penilcillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin dalam plasma dan dengan
demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti hipertensi:
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi obat anti kanker: juga
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (4) kombinasi obat anti tuberculosis:
memperlambat timbulnya resistansi kuman terhadap obat; (5) antagonisme efek toksik obat oleh
antidotnya masing-masing.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan
atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitotastik.
Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan atau yang sering
diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang dipakai.
Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena (1)
Dokumentasinya masih sangat kurang; (2) Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya
pengetahuan para dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga
interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi
terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas seringkali diduga akibat
bertambahnya keparahan penyakit; selain itu, terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga
sulit untuk diingat; (3) Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (
populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya
perbedaan kapasitas metabolisme antar individu ), penyakit tertentu ( terutama gagal ginjal atau
penyakit hati yang parah), dan faktor- faktor lain ( dosis besar, obat ditelan bersama-sama,
pemberian kronik).
Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian bersamaan
dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi, tetapi
kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik ( absorpsi, distribusi, metabolisme,
eksresi), farmakodinamik, atau toksisitas kombinasi. Pengetahuan tentang mekanisme dimana
timbulnya interaksi obat yang diberikan sering bermanfaat secara klinik, karena mekanisme dapat
mempengaruhi baik waktu pemberian obat maupun metode interaksi. Bebereapa interaksi obat
yang penting timbul akibat dua mekanisme atau lebih.