Anda di halaman 1dari 12

STRUKTUR BENZENA

Benzena merupakan suatu senyawa hidrokarbon dengan rumus molekul C6H6, dan rumus
strukturnya merupakan rantai lingkar (siklis) dengan ikatan rangkap selang seling. Kedudukan
ikatan rangkap pada senyawa karbon ini dapat berpindah pindah posisi. Peristiwa ini disebut
resonansi ikatan rangkap. Oleh karena posisi ikatan rangkap yang tidak pasti ini, akhirnya
senyawa ini digambarkan sebagai cinci lingkar. Ikatan rangkap yang terdapat pada benzen
disebut dengan ikatan rangkap terkonjugasi. Struktur demikian diperkenalkan pertama kali
oleh Kekule. Senyawa yang mengandung cincin benzena dikenal dengan nama senyawa
aromatis. Senyawa aromatis dapat berisi satu, dua, tiga, atau lebih cincin benzena.

Benzene is a hydrocarbon compound with the formula C6H6 molecule, and its structural
formula is a cyclic chain with double bonds of alternating tubes. The position of the double
bond on this carbon compound can move position. This event is called double bond resonance.
Due to the position of this uncertain double bond, the compound is finally described as a
circular specimen. The double bonds found in benzene are called conjugated double bonds.
Such a structure was first introduced by Kekule. Compounds containing benzene rings are
known by the name of aromatic compounds. Aromatic compounds can contain one, two, three,
or more benzene rings.

(Source: Encyclopdia Britannica, Inc.)

The presence of a conjugated double bond (intercellular) on benzene, making this hydrocarbon
compound as a relatively stable and characteristic molecule. The stability of benzene is shown
by the slow reaction of the benzene with the halogen.

Adanya ikatan rangkap terkonjugasi (selang seling) pada benzen, menjadikan senyawa
hidrokarbon ini sebagai molekul yang relatif stabil dan bersifat khas. Kestabilan benzena
ditunjukan oleh lambatnya reaksi benzen dengan halogen.

Benzene may undergo addition and substitution reactions. Substituted compounds of hydrogen
atoms in benzene are known as benzene derivatives. Benzene is less reactive because the
conjugated bonds that undergo resonance cause the bonds in the benzene to be very stable.
Therefore, the reaction to benzene generally requires a catalyst to speed up the reaction.

Benzena dapat mengalami reaksi adisi maupun substitusi. Senyawa senyawa hasil subsitusi
atom hidrogen pada benzen dikenal sebagai senyawa turunan benzen. Benzen bersifat kurang
reaktif karena ikatan terkonjugasi yang mengalami resonansi menyebabkan ikatan dalam
benzen sangat stabil. Oleh karena itu, reaksi terhadap benzen umumnya memerlukan katalis
untuk mempercepat reaksi.

Sejarah Penemuan
Benzena ditemukan pertama kali pada tahun 1825 oleh seorang ilmuwan Inggris
bernama Michael Faraday. Beliau menemukan benzene dengan mengisolasikannya dari
hidrokarbon (berupa minyak bumi dan gas alam) kemudian menamakannya bikarbunet dari
hydrogen. Kemudian pada tahun 1833, seorang kimiawan Jerman bernama Eilhard
Mitscherlich berhasil menghasilkan benzene melalui distilasi asam benzoat dan kapur. Beliau
menamakan temuannya tersebut dengan nama benzin.
Pada tahun 1845, kimiawan Inggris, Charles Mansfield yang sedang bekerja di bawah
August Wilhelm von Hofmann mengisolasikan benzene dari coal tar (tir). Kemudian pada
tahun 1849 Mansfield berhasil memulai produksi benzene dengan skala besar menggunakan
metode tir tersebut.

Benzene Properties and Toxicity


For understanding more about Benzene, we can see this table of chemical and physical
properties of Benzene.
Tabel 1.1 Physical Properties of Benzene
Properties Value
Molecular Weight 78,11 g/mole
Color Colorless
Boiling Point 80,1C
Melting Point 5.5C
Critical
288,9C
Temperature
0,8787 at
Spesific Grafity
15C
10 kPa at
Vapor Pressure
20C
Vapor Density 2,8 (Air = 1)
Volatility -
Odor Threshold 4,68 ppm
Water/Oil Dist.
O/W = 2,1
Coeff
Routes of entry: absorbed through skin. Dermal contact. Eye contact. Inhalation.

Toxicity to animals: warning: the LC50 values here under are estimated on the basis of a 4-
hour exposure. Acute oral toxicity (LD50): 930 mg/kg [rat]. Acute dermal toxicity (LC50):
>9400 mg/kg [rabbit]. Acute toxicity of the vapor (LC50): 10000 7 hours [rat].

Chronic effects on humans: p. 5 carcinogenic effects: classified a1 (confirmed for human.) By


acgih, 1 (proven for human.) By iarc. Mutagenic effects: classified possible for human.
Mutagenic for mammalian somatic cells. Mutagenic for bacteria and/or yeast. Developmental
toxicity: classified reproductive system/toxin/female [POSSIBLE]. Causes damage to the
following organs: blood, bone marrow, central nervous system (CNS). May cause damage to
the following organs: liver, urinary system.

Other toxic effects on humans: very hazardous in case of inhalation. Hazardous in case of skin
contact (irritant, permeator), of ingestion.

Special remarks on chronic effects on humans: may cause adverse reproductive effects (female
fertility, embryotoxic and/or foetotoxic in animal) and birth defects. May affect genetic
material (mutagenic). May cause cancer (tumorigenic, leukemia)) human: passes the placental
barrier, detected in maternal milk.

Special remarks on other toxic effects on humans: acute potential health effects: skin: causes
skin irritation. It can be absorbed through intact skin and affect the liver, blood, metabolism,and
urinary system. Eyes: causes eye irritation. Inhalation: causes respiratory tract and mucous
membrane irritation. Can be absorbed through the lungs. May affect behavior/central and
peripheral nervous systems (somnolence, muscle weakness, general anesthetic, and other
symptoms similar to ingestion), gastrointestinal tract (nausea), blood metabolism, urinary
system. Ingestion: may be harmful if swallowed. May cause gastrointestinal tract irritation
including vomiting. May affect behavior/central and peripheral nervous systems (convulsions,
seizures, tremor, irritability, initial cns stimulation followed by depression, loss of
coordination, dizziness, headache, weakness, pallor, flushing), respiration (breathlessness and
chest constriction), cardiovascular system, (shallow/rapid pulse), and blood.

Sifat Fisika dan Kimia


Sifat fisika benzene:
Benzena bersifat karsinogenik.
Benzena adalah kandungan alami dalam minyak bumi, namun biasanya diperoleh dari
senyawa lainnya yang terdapat dalam minyak bumi
Benzena berwujud cair pada suhu ruang (270 0C).
Titik didih benzena : 80,10C, Titik leleh benzena : -5,50C
Benzena tidak dapat larut air tetapi larut dalam pelarut nonpolar
Benzena merupakan cairan yang mudah terbakar
Benzena lebih mudah mengalami reaksi substitusi dari pada adisi

Sifat kimia benzene:


Sukar melakukan reaksi adisi
Dapat melakukan reakssi substitusi
Sukar dioksidasi dengan senyawa oksidator, tetapi mudah dibakar
Kurang reaktif sehingga membutuhkan katalis atau kondisi reaksi tertentu

Kebutuhan Nasional
Pada saat ini perkembangan industri petrokimia di Indonesia dapat dikatakan
berkembang cukup pesat. Didukung dengan harga minyak dunia yang saat ini sedang
mengalami penurunan, banyak pihak yang mengatakan bahwa industry petrokimia cukup
diuntungkan dengan keadaan ini dikarenakan minyak adalah bahan baku untuk industry
petrokimia. Berikut adalah tabel supply and demand yang berasal dari BKPM.

Tabel 1.1 Supply and demand industri petrokimia nasional

Pabrik Benzena
Beberapa produsen benzena dalam negeri:
1. PT. Chandra Asri Petrochemical Tbk.
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (CAP), produsen petrokimia terintegrasi dan terbesar di
Indonesia. Terletak di Ciwandan, Cilegon. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi sebesar
260.000 ton/thn Benzene.
2. Pertamina UP IV Cilacap
Produk kilang ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku aromatik (setengah jadi)
untuk kilang UP III Plaju. Namun semua produk benzene dari kilang ini hanya untuk diexport,
sedang produk lain untuk memenuhi kebutuhan domestik. Terletak di Cilacap. Total produksi:
590.000 ton/tahun. Memiliki kapasitas produksi sebesar 250.000 ton/thn Paraxylene dan
120.000 ton/thn Benzene.
3. PT. Humpuss Aromatik
Pabriknya terletak di Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam. Produksinya dari tahun 1998
mencapai 70.000 BPSD Condensate di LPG. Kapasitas produksi pabrik ini sebesar 260.000
ton/thn Benzene.

4. PT. Styrindo Mono Indonesia


Merupakan satu-satunya produsen Styrene Monomer di Indonesia yang melayani baik industri
hilir domestik dan pasar ekspor regional. Terletak di Puloampel, Serang, dan berada sekitar
40KM dari pabrik Naphtha Cracker. Kapasitas produksi pabrik ini untuk benzena sebesar
110.000 ton/tahun sedangkan, produksi styrene monomer sebesar 340.000 ton/tahun.
5. PT Trans Pacific Petrochemical Indotama
Merupakan salah satu perusahaan di Indonesia yang mengekspor hasil petrokimia di Canada,
USA, dan Europe. Pabriknya terletak di Medan, Sumatera Utara dan berdiri pada tahun 1993.
Memiliki kapasitas produksi sebesar360.000 ton/thn Benzena.
6. PT. Tuban Petrochemical
Merupakan perusahaan yang bergerak di bidang Petrokimia pada tahun 2004, bekerja sama
dengan TPPI (60% sahamnya), Pertamina (10% sahamnya). Terletak di Tuban, Jawa Timur,
Indonesia. Memiliki kapasitas produksi sebesar 300.000 ton/ thn Benzena.
Proses Produksi Benzena
Proses pembuatan benzena meliputi: Catalytic reforming, Toluene hydrodealkylation and
disproportionation, Pyrolysis gasoline, Production from coal tar.
Catalytic Reforming
Catalytic Reforming pertama kali diterapkan pada tahun 1940. Proses ini merupakan
proses yang paling banyak digunakan di dunia dalam pembuatan Benzena. Bahan bakunya
adalah fraksi nafta yang diperoleh dari pemisahan komponen-komponen crude oil. Nafta terbagi
menjadi dua jenis yaitu, nafta ringan dan berat. Keduanya merupakan produk bawah dari unit
debutanizer dan dipisahkan dalam kolom fraksinasi pemisah nafta. Nafta ringan memiliki
rentang boiling sekitar 35-90C. Nafta berat adalah sekitar 80-200C dan mengandung naften
berat. Nafta yang diperoleh dari proses distilasi biasanya tidak mengandung olefin melainkan
paraffin (baik yang lurus maupun bercabang, naften, dan senyawa aromatik. Pemilihan jenis
nafta pada proses produksi BTX khususnya dapat menjadi tahapan proses yang penting.
Misalnya, nafta yang berbasis paraffin merupakan feedstock yang baik untuk unit steam
cracking karena paraffin terengkah pada suhu yang relatif rendah dibandingkan dengan
sikloparafin. Kemudian, nafta yang kaya akan sikloparafin akan menjadi feedstock yang baik
bagi unit catalytic reforming. Karena sikloparafin dapat terhidrogenasi dengan mudah menjadi
senyawa aromatic.

Gambar 2.12. Diagram proses Catalytic reforming


Pada proses ini, nafta mula-mula diputus rantai carbonnya dengan cara hydrocracked,
thermal cracked, atau catalytical cracked. Pertama naptha mengalami hydrotreated untuk
menghilangkan sulfur. Recycled hydrogen kemudian ditambahkan, dicampur, dan
dipanaskan. Stream ini dikirim ke catalytic reaktor dimana paraffin dirubah menjadi
senyawa aromatic. Katalis yang umum digunakan memiliki fungsi ganda yang menyediakan
dua jenis sisi katalis yaitu, sisi hidrogenasi-dehidrogenasi dan sisi asam. Sisi yang utama
biasanya diakomodasi oleh platinum yang sangat baik diketahui sebagai katalis hidrogenasi-
dehidrogenasi, sedangkan sisi asam diakomodasi oleh pembawa alumina (alumina carrier)
yang memicu pembentukan ion corbonium. Kedua jenis sisi ini dibutuhkan dalam reaksi
aromatisasi dan isomerisasi.
Katalis bimetal seperti Pt/Re diketahui memiliki stabilitas yang lebih baik, mampu
meningkatkan aktivitas katalis, dan selektivitas. Katalis trimetal dari campuran logam mulia
juga digunakan untuk tujuan yang sama. Peningkatan stabilitas katalis ini akan
memungkinkan operasi berjalan pada tekanan yang lebih rendah. Perbandingan Pt/Re sekitar
<0,5 pada generasi katalis baru dapat lebih mentolerir tingkat coke dibandingkan dengan
rasio terdahulu yang biasa dipakai yaitu, 1. Disamping itu, katalis ini memiliki toleransi lebih
tinggi terhadap sulfur yang terkandung pada umpan nafta.
Stream yang keluar dibuat mengandung hydrogen berlebih dan reformate yang kaya
akan senyawa aromatic. Stream ini kemudian dikirim ke unit separasi. Disini, hidrogen
dipisahkan dari produk cairan dan sisanya akan direcycle kembali ke feed awal. Liquid product
diumpankan ke stabilizer. Stabilizer akan melakukan proses pemisahan light dan hidrokarbon
yang volatil dari liquid product. Liquid kemudian dikirim ke debutanizer. Benzene, toluene
dan xylenes kemudian diekstraksi dari stable reformate.

Gambar 2.13. Stabilized Reformate


Solven yang berbeda digunakan untuk mengekstrak senyawa aromatik dari stabilized
reformate stream. Solven yang digunakan adalah glycol and sulfolane. Kedua proses memiliki
kesamaan system. Dan pada gambar proses ekstraksi Tetra dari Union Carbide menggunakan
tertraethylene glycol sebagai pelarut. Umpan reformate yang mengandung senyawa aromatik,
parafin, dan nafta, setelah bertukar panas dengan raffinate panas, secara berlawanan kemudian
dikontakkan dengan larutan aqueous tetraethylene glycol dalam kolom ekstraksi. Larutan yang
panas yaitu pelarut yang kaya akan senyawa aromatik didinginkan dan dimasukkan ke dalam
kolom stripper melalui bagian atasnya. Ekstrak senyawa aromatik kemudian dipurifikasi
dengan distilasi ekstraktif dan recovery pelarut dilakukan dalam steam stripping. Raffinate
(kandungan utama berupa parafin, isoparafin, dan sikloparafin) dicuci dengan air untuk
memperoleh kembali sisa pelarut dan kemudian dikembalikan ke storage. Pelarut direcycle ke
tower ekstraksi.
Ektraknya yang terdiri dari Senyawa aromatik dan ethylbenzen kemudian difraksionasi.
Benzen dan toluen diperoleh secara terpisah sedangkan ethylbenzen dan xylene dalam bentuk
campuran (senyawa aromatik C8).

Toluene hydrodealkylation and disproportionation

Toluene Hydrodealkylation:
Hydrodealkylation dari senyawa aromatic yang biasanya toluene digunakan juga sebagai
cara menghasilkan senyawa Benzena. Reaksinya sebagai berikut:

C6H5CH3 + H2 -----> C6H6 + CH4

Reaksi senyawa alkil aromatic yang lebih komplek dari Benzena sebagai berikut:

C6H4(CH3)2 + H2 ----------> C6H5CH3 ----------> C6H6 +CH4

Gambar 2.14. Diagram Proses Hydrodealkylation


Hydrodealkylation dari toluene dapat dioperasikan dengan kondisi catalytic atau
thermal . Toluene dicampur dengan fraksi yang lebih berat dari benzene fractionation column.
Campuran tersebut dipanaskan bersama hydrogen pada tekanan tertentu. Stream dimasukan
ke dalam reactor yang mengandung katalis. Disini, toluene bereaksi dengan hidrogen, dan
benzena serta methana dapat dihasilkan. Benzena kemudian dipisahkan dari metana didalam
separator dengan tekanan tinggi. Gas yang mengandung metana dibuang ke atas dan produk
kemudian dikirim ke kolom fraksinasi dimana distilasi digunakan untuk recover benzene
Toluene dan fraksi berat aromatic yang lain direcycle kembali ke umpan. Ada 70 to 85 persen
tingkat konversi toluene menjadi benzene melalui proses ini.

Toluene disproportionation:
Senyawa aromatic yang teralkilasi ditranskilasikan untuk memproduksi benzene. Contoh metode
yang digunakan adalah Tatoray process. Pada proses ini, toluene dan C9 aromatics
dikonversikan ke benzene dan xylena.

2C6H5CH3 -------> C6H6 + C6H4(CH3)2

C6H5 + C6H3(CH3)3 ------------> 2C6H4(CH3)2

Gambar 2.15. Diagram proses Toluene disproportionation


Toluena dikirim ke separator untuk meghilangkan gas. Product stream kemudian
dikirim melalui clay towers yang memisahkan benzene, toluene, and xylene menggunakan
distillasi. Toluene yang tidak bereaksi kemudian direcycle. Benzena dan Xilent murni
dihasilkan. Jika Feednya C9 and C10 aromatics, campuran benzene, toluene and xylenes akan
dihasilkan dan benzene yang terbentuk akan lebih kecil.
Pyrolysis Gasoline
Pyrolysis gasoline adalah produk dari steam cracking gas paraffin, naphtha,
gas oils dan hirdrokarbon yang digunakan untuk membuat ethylene. Pyrolysis gasoline
dapat memiliki kandungan diolefin mencapai 5%. Dan 60% nya merupakan
senyawa aromatic, serta 50% nya adalah benzene. Unt uk m enghi l an gk an diolefin,
Proses cenderung ke polimerisasi, sehingga harus dikonversikan menjadi olefin melalui
hydrotreating. Ini kemudian, dapat digunakan sebagai gasoline. Ini kemudian
diproses hydrotreated untuk mensaturasikan olefin dan menghilangkan sulfur.
Benzena diekstraksi melalui melalui solvent extraction dan kemudian didistillasi.
Proses ini menyumbang 30%-35% dalam produksi benzene dunia.

Gambar 2.16. Pyrolysis gasoline


Gambar diatas adalah block flow diagram dari integrated pyrolysis gasoline treatment
process. Pertama raw pygas masuk pada unit depentanizer/hydrogenation dimana pada
unit ini pemisahan fraksi komponen dan reaksi hidrogenasi dilakukan dalam satu kolom
sebagaimana pada gambar 8. Kemudian produk berupa C5 dan fraksi yang lebih ringan di
ambil di kolom bagian atas sedangkan fraksi yang lebih berat masuk ke unit dehexanizer
atau deoctanizer yang bertujuan untuk memisahkan gasoline (C9)yang berguna, dengan
komponen fraksi yang lebih rendah (C6-C8). Komponen fraksi (C9) kemudian masuk ke
degum tower yang terintegrasi dengan unit hidrogenasi untuk dihilangkan kandungan
mercaptannya. Di sisi lain, komponen C6-C8 masuk ke unit aromatic extraction yang
terintegrasi dengan proses hidrodesulfurisasi. Dalam unit ini kandungan H2S dan
komponen fraksi yang lebih ringan (C4-C5) dihilangkan dari bagian atas kolom,
sedangkan bagian bawah merupakan aliran BTX yang terkonsentrasi. Selanjutnya BTX
yang terkonsentrasi ini masuk ke unit benzene tower/treated. Di unit ini terjadi reaksi
hidrogenasi pada bagian atas kolom yang berisi bed katalis dan pemisahan juga terjadi di
bawahnya. Benzen kemudian diperoleh dari bagian atas kolom, sedangkan xylene dan
toluen dari bawah.

Produksi Benzen dari Batu bara cair (coal tar)


Pembuatan benzene dari coal hanya sebagai produk samping dari proses karbonisasi batu
bara yang tujuan utamanya untuk menghasilkan coke(kokas). Dari proses pengolahan batu
bara melalui proses kerbonisasi didapatkan 70% coke, sisanya terdiri dari komponen kimia
dan kokas dalam bentuk gas sebagai produk samping.

Gambar 2.17. Produk benzene dari Coal

Coke digunakan sebagai sumber panas pada blast furnace untuk proses pengolahan dan
pembuatan besi dan baja. Sehingga produksi kokas tergantung pada permintaan dari
industry besi dan baja. Menjelang perang dunia II, aktivitas pada industry besi dan baja
mengalami peningkatan yang sangat signifikan karena kebutuhan senjata yang besar dari
negara peserta perang dunia, sehingga kebutuhan kokas pada industry besi dan baja
meningkat. Meningkatnya produksi kokas menyebabkan suplay bahan kimia dari batu bara
ikut meningkat pesat sebagai produk samping dari proses karbonisasi batu bara.
Pada tahun 1910, produksi kokas mencapai 70 juta ton dalam satu tahun.
Menjelang akhir perang dunia I, produksi kokas mencapai 97 juta ton/tahun. Namun
setelah perang dunia II produksi kokas menurun, sementara kebutuhan bahan kimia
semakin meningkat dan tidak mampu dipenuhi oleh pabrik kokas. Sehingga harus dipenuhi
melalui proses pengolahan minyak bumi. Sehingga pada tahun 1950 an kebutuhan bahan
kimia sebagian besar dipenuhi dari proses pengolahan minyak dan gas bumi.
Gambar 2.18. Alur Pemrosesan Batubara Cair melalui Proses Brown Coal Liquefaction (BCL)
Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang
berkualitas rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi
minyak yang dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian
dilanjutkan dengan proses hidrogenasi di mana heteroatom (campuran sulfur-laden,
campuran nitrogen-laden, dan lain lain) pada minyak batubara cair dipisahkan untuk
memperoleh bahan bakar bermutu tinggi, kerosin, nafta dan bahan bakar lainnya.
Kemudian sisa dari proses tersebut (debu dan unsur sisa produksi lainnya) dikeluarkan.

Anda mungkin juga menyukai